
Saat aku masuk SMA, Nadya duduk di kelas 3 SMP. Tubuhnya mulai berubah. Suaranya, cara tertawanya, bahkan caranya duduk di sofa saat menonton drama Korea—semuanya tak lagi sama. Dia tumbuh menjadi gadis yang cantik luar biasa. Posturnya tinggi untuk ukuran anak seusianya, lekuk tubuhnya mulai terbentuk meski masih remaja. Kulitnya yang selalu tampak bersih seakan tak pernah kena matahari, dan setiap kali dia melongok dari balkon lantai dua dengan rambut terurai dan kaus rumahan yang kedodoran... entah kenapa aku merasa sesak.
Aku mulai salah tingkah di dekatnya. Dulu kami bisa duduk lesehan bareng sambil main PS atau berbagi es krim dari sendok yang sama. Sekarang, tiap kali dia mendekat, aku gugup. Aku merasa bersalah karena melihatnya sebagai perempuan. Tapi rasa itu tak bisa kutahan.
Mami melihat kami semakin dekat, dan bukannya melarang, dia justru tampak bahagia. “Kalian makin akur ya. Mami senang lihat kalian kayak kakak-adik sungguhan.” Aku hanya bisa tersenyum. Nadya juga begitu. Tapi dalam beberapa tatapan kami, ada jeda diam yang tak bisa dijelaskan. Sebuah ruang rahasia yang bahkan Mami pun tak tahu isinya.
Ayah... seperti biasa sibuk. Dia pulang hanya malam hari dan kadang bermalam di luar kota. Hubunganku dengannya tidak dekat. Dia lebih banyak bicara soal prestasi, masa depan, investasi, dan perusahaan. Tentang nilai, kuliah luar negeri, atau siapa temanku. Tapi tak pernah tentang rasa. Tak pernah tentang ibuku yang pertama. Aku curiga, dia bahkan tak pernah benar-benar mencintai ibu kandungku. Mungkin dia menikah hanya karena harus, dan kehilangan itu tak benar-benar membuatnya hancur. Mungkin justru Mami adalah cinta sejatinya.
Kehidupan kami berjalan rapi seperti film keluarga ideal. Tapi tidak ada yang tahu, di balik pintu kamar, di balik senyum-senyum makan malam keluarga, aku mulai memikirkan Nadya dengan cara yang... tidak seharusnya. Dan yang membuat semuanya lebih rumit: dia juga kadang menatapku dengan tatapan yang serupa.
Tatapan yang membuatku bertanya-tanya: Apakah Nadya juga merasakan hal yang sama?
Atau apakah ini hanya aku yang mulai kehilangan kendali?
Aku dan Nadya cukup akrab, sedemikian rupa hingga orang luar tidak akan menyangka bahwa kami bukan saudara kandung. Dari kecil kami tumbuh bersama, berbagi masa kecil yang sama, ruang makan yang sama, dan kamar yang hanya dipisahkan dinding tipis di lantai atas rumah mewah kami. Meski bukan darah yang sama, hubungan kami lekat—terlalu lekat, kadang-kadang.
Kulitku tidak seputih Nadya yang mewarisi darah Amerika dan China dari kedua orang tuanya.
Tapi dibandingkan dengan kebanyakan orang Jawa, kulitku tergolong bening. Darah campuran antara ayahku yang keturunan China dan ibuku yang orang Jawa tulen menciptakan perpaduan unik dalam diriku tinggi 179 cm, tubuh tegap karena kegemaranku bermain basket, dan wajah bersih tanpa jerawat. Hidungku tidak pesek, bahkan sedikit mancung seperti ayah. Aku bukan tipe cowok yang suka memamerkan diri, tapi aku tahu banyak orang menganggapku menarik.
Buktinya, di sekolah dulu banyak cewek yang berusaha mendekatiku. Tapi sayangnya, aku justru bukan tipe yang gampang membalas perhatian mereka. Ada sesuatu dalam diriku yang membuatku selalu kikuk saat berdekatan dengan cewek. Kadang kupikir, mungkin karena aku tumbuh tanpa sosok ibu yang cukup lama. Kadang kupikir... mungkin karena satu-satunya perempuan yang paling sering mendekatiku sejak kecil adalah Nadya.
Nadya, dengan semua sikap manjanya, sering membuatku gugup. Saat dia menyandarkan kepala di bahuku saat menonton TV bersama, saat dia tertawa sambil menarik lenganku ketika bercanda, atau bahkan saat dia masuk ke kamarku hanya untuk rebahan sambil main HP di sebelahku aku harus menahan napas. Aku tahu dia tidak punya niat apa-apa. Aku juga tahu ini seharusnya biasa. Tapi tidak bisa kupungkiri bahwa semakin dia dewasa, semakin besar juga kegelisahan yang tumbuh dalam dadaku.
95Please respect copyright.PENANAz36UQLT3zR
Rumah kami besar. Sangat besar. Kami tinggal di bagian atas rumah, di lantai dua, yang khusus dirancang untuk kamar keluarga. Semua kamar memiliki kamar mandi dalam dan perabot lengkap. Kamarku menjadi semacam studio pribadi. Ada meja belajar luas, laptop, televisi layar datar, rak buku, lemari penuh koleksi video game, dan bahkan kursi pijat otomatis pemberian papa. Nadya, meski kamarnya tidak se“gadget-heavy” kamarku, tetap nyaman dengan nuansa feminin: selimut bulu berwarna pastel, meja rias penuh parfum, dan gantungan baju yang selalu berisi busana-busana baru dari butik langganan mami.
Jangan Lupa Follow & Bookmark di https://victie.com/novels/enaknya_jadi_anak_tiri
ns216.73.216.176da2