×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
Pengembara Mimpi
G
4.4K
0
1
345
4

                 


Pandanganku tertuju pada sebuah gedung yang megah dan indah. Gedung yang mengkilap, bersih karena terpapar terangnya sinar matahari pagi. Gedung yang bertingkat dan ramai dikunjungi banyak orang. Perlahan-lahan kusandarkan tubuh ini dibawah rindangnya pohon beringin yang subur dipinggir jalan tepat didepan Perguruan tinggi impianku. Disanalah orang-orang kaya dengan leluasa menimba ilmu dengan segala fasilitas yang memadai dan mewah. Hati ini selalu berdecak kagum dan senang setiap satu-persatu orang  keluar dari gedung itu, entah itu mahasiswa ataupun Dosen, yang terpenting bukan office boy atau pun satpam kampus yang ku kagumi. 15 menit berlalu, Tanpa terasa kefokusanku kabur mengembara jauh entah kemana, hingga hati dan fikiran kecil ini mulai kosong.

Ditambah dengan semilirnya hembusan angin yang membuat mata indahku ini lambat laun mulai memejam dengan sendirinya. Dalam khayalanku, aku mencoba terbang tinggi dengan sejuta imajinasi yang selalu mendorongku untuk terus bermimpi dan bermimpi.  Aku bisa bergabung bersama mereka, saling sapa-menyapa dengan mereka, serta bersenda gurau disana, aku bisa mencoba berbahasa inggris dan perancis. Bahkan dengan gampangnya aku bisa melihat indahnya pemandangan kota Bandung dari lantai paling atas tanpa harus susah payah membeli tiket dan menaiki pesawat terbang. Aku juga bisa melihat ribuan mahasiswa dan mahasiswi yang berpakain rapi nan anggun, bagaikan seorang presiden dan jajaran menteri-menteri yang siap berpidato kenegaraan didepan audiens. Selang beberapa menit saat sedang nyaman-nyamannya aku berkhayal, tiba-tiba petugas kebersihan jalan datang menghampiriku.

“Minggir mas, pohon ini rantingnya mau saya potong..saya takut nanti mas, tertimpa reruntuhan ranting beringin ini” ucapan itu yang menghentikan mimpi indahku. Akupun akhirnya tersadar dari khayalan kecil yang sulit dinalar oleh kebanyakan orang pada umumnya. “Ah..iya pak” aku pun terkejut dan langsung berdiri menjauhi pohon tersebut. Aku mencoba tersadar dan berhenti untuk tidak meneruskan mimpi disiang bolong lagi. Akhirnya aku mulai berjalan dan meninggal tempat idamanku itu, ditengah perjalanan aku baru teringat tentang sesuatu.

Aku sadar aku harus kesawah hari ini,  Karena aku rasa bapak telah menanti kiriman sebungkus nasi ini dari tadi.

“Kapan aku bisa kuliah mencari ilmu seperti mereka, yang bebas memilih masa depannya tanpa harus membanting tulang mencari uang”. Rintihan ucapan hati yang tak kunjung terwujudkan yang selalu kulontarkan dalam benak hati ini. Perjalanan yang kujalani memang sangat pahit dan menyakitkan. Aku rela demi pendidikan separuh waktu ku habis untuk berbisnis dan bernegosiasi dengan kubangan lumpur yang kotor dan genangan air disawah. Hari ini aku benar-benar merasa bersalah, aku telah teledor dan lalai kepada bapak. Kiriman nasi yang sudah aku buat tadi pagi belum sampai kepada bapak. “Bapak...bapak” suara teriakan serak ku memanggil bapak. “Bapak mu sudah pulang dari tadi wan, dari jam 9 tadi, sepertinya bapak mu pulangnya lebih cepat dari hari-hari biasanya wan” Itulah ucapan yang kudengar dari pak Suryo pemilik sawah. Aku mencoba bangkit dari perjalananku mulai ku percepat dengan langkah tegak layaknya barisan TNI yang siap bertempur dimedan perang.

Akhirnya aku sampai pada tempat tujuan yaitu markas yang ku tunggu-tunggu hingga tadi, aku pun siap bertemu dengan sang Letnan Jendral. “Assalamu’alaikum pak..bapak ?” itulah kalimat yang selalu kulontarkan kepada bapak. Belum sempat menjawab salamku, bapak langsung memarahi diri ini. “Sudah lupa atau memang kamu sengaja melupakan tugas mu wan? atau mungkin kamu sudah bosan dengan janji bapak untuk menyekolahkan mu diperguruan tinggi”. Lontaran ucapan panjang itu mampu  mengiris hatiku secara perlahan. Akupun mencoba bertanya kepada bapak tentang apa sebenarnya kesalahan yang membuat bapak emosinya memuncak. “Apa Awan sudah terlalu keterlaluan pak? Sehingga bapak berkata seperti itu?”.  Aku tersungkur dan menanggis dihadapan bapak sambil meraih bingkai foto ibu diatas meja yang sudah kusam dan berdebu. Aku mencoba sesekali memberi penjelasan kepada bapak dengan ucapan yang lirih sambil tersendu-sendu. Bapak ternyata hanya terdiam dengan raut muka yang pucat pasi karena seharian bapak belum makan dan minum sejak tadi pagi.

Sesekali bapak mengusap keningnya yang bercucuran keringat sambil menghela nafas panjang. “Bapak, dengarkan penjelasan Awan pak, Awan bukan bermaksud begitu pak”.  Desak aku dengan ucapan keyakinan. “Bapak sudah tahu dan paham dengan apa yang kamu lakukan seharian ini wan, bapak paham betul dengan kelakuan mu. Tapi, tolong patuhilah tugas yang sudah bapak berikan kepadaku sedari dulu. Kamu ini sudah dewasa bukan anak kecil lagi seperti yang lain, usia mu jauh lebih tua dari yang lain. Ubah lah sikap manja mu itu, bapak tidak akan pernah memanjakkan mu seperti dulu kamu dimanjakan oleh ibu mu. Ingat ibu mu telah meninggal, apakah itu bentuk dari kebaktian mu kepada orang tua mu?”. Hati ini perih sekali tatkala mendengar kata ibu, dan air mataku kembali bercucuran dengan deras.  Aku mulai bingung apa kalimat yang akan aku lontarkan, tapi, hati ini bersikeras untuk mengatakan sesuatu kepada bapak. Tapi, aku tetap teringat dengan pesan guru disekolah bahwa, seorang anak tidak boleh menjawab ucapan orangtuanya ketika marah. Tapi, hati ini selalu meyakinkan aku untuk mengatakan sesuatu kepada bapak.

Aku pun mengeluarkan selembar brosur bergambar perguruan tinggi yang selalu menjadi impianku sejak aku duduk dibangku MTs. “Awan ingin kuliah pak, Awan ingin seperti yang lain, yang mampu menguasai berbagai bidang keilmuan, yang mampu mencari uang sendiri ketika sudah wisuda, yang mampu mengangkat derajat keluarga ini ketika Awan sukses nanti, Awan bosan pak harus menunggu selama 2 tahun ini pak”. Dan akupun mulai berani melontarkan keinginan dan cita-cita yang sudah terpendam lama selama kurang lebih 2 tahun ini. Akupun seolah tidak berfikir apa konsekuensi yang kudapatkan dari ucapan yang kulontarkan kepada bapak tadi, bahkan aku mengatakan kalimat tadi karena aku memang sudah terobsesi menjadi bagian dari mahasiswa. Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, bapak merobek-robek brosur yang kukeluarkan tadi, tentu aku terkejut dengan perlakuan bapak terhadapku. Sungguh baru kali ini bapak sejahat dari apa yang aku pikirkan sebelumnya, bapak yang aku kenal dahulu bersikap lembut, baik, penyayang ternyata berubah drastis seiring ibu yang aku cintai pergi meninggalkan aku. Bahkan bapak mengeluarkan sebuah korek api dari saku celananya dan membakar brosur yang selama ini aku simpan dengan rapi hati-hati. “Bapak jangan! Awan mohon pak! Awan sayang bapak”. Aku pun hanya bisa tersungkur didepan kaki bapak sambil menangis meratapi kesalahanku.

“Apa ini yang harus selalu bapak lakukan wan, agar kamu sadar dengan kondisi bapak saat ini, apa kamu sudah tidak punya rasa sabar seperti yang diajarkan nabi mu kepadamu? Bapak sudah paham hampir 2 tahun ini kamu mengubur dalam-dalam impianmu itu wan. Sadar wan.. bapak hanya tinggal sendirian saat ini, apa bapak harus rela menjual rumah reot ini hanya untuk membayar pendaftaran kuliah mu? Bapak mohon sabar dan sabar, bapak sedang usaha wan, bapak rela mati-matian banting tulang mengumpulkan uang untuk mu kuliah, tapi apa ini balasanmu untuk bapak? Apa ini balasanmu untuk bapak, jawab wan?”. Memang benar baru kali ini aku melihat bapak semarah dari yang kubayangkan sebelumnya. Nampaknya kemarahan bapak kali ini karena aku telah benar-benar membuat kesabaran bapak hilang. “Maaf pak, aku sadar dengan apa yang telah aku lakukan tadi pagi dan saat ini pak, maafkan Awan pak, aku tidak akan mengulangi kesalahan ini lagi. Awan sadar awan telah termakan bujuk rayu syetan pak”. Bapak menanggis melihat aku tersungkur dihadapan kakinya yang masih berlumuran lumpur sawah.

Bapak mengambil bingkai foto ibu dari genggamanku dan meletakkannya kembali ke meja. Dan mencoba menganggat tubuhku untuk berdiri dan duduk disampingnya. “Jangan pak, Awan tidak pantas duduk disamping bapak”.  Bapak mulai tersenyum ikhlas sambil menghapus air yang keluar dari matanya. Nampaknya bapak sudah mulai sadar dari kemarahannya. Dan kembali mencoba menjadi sosok bapak yang baik untuk anak satu-satunya yaitu aku seorang. “Jangan berkata seperti itu wan, bapak malah akan merasa hina jika kamu mengatakan seperti itu kepada bapak. Bapak sama dengan mu hanyalah seorang manusia ciptaan Allah yang diberi akal sama seperti dirimu, mulai sekarang jadilah sosok anak kebanggaan bapak yang penurut ya..wan, jadi anak yang selalu mampu menjaga lisannya didepan orangtua mu..karena dengan cara seperti itu bapak akan jauh lebih bangga dan senang dengan mu wan”. Dengan ucapan seperti itu, aku merasa ada kehadiran ibu ditengah-tengah aku dan bapak, rasanya ibu mencoba menggapaiku untuk memeluk tubuh kurus ini. Hingga rasanya aku telah lupa dengan mimpi kecilku yang tak kunjung tergapai hingga saat ini, karena rasanya aku malah ingin mengubur dalam-dalam mimpi ini demi menjadi anak yang berbakti kepada bapak. “Insya Allah pak, doakan saja pak.  Awan akan selalu menjadi yang terbaik untuk bapak” sontak aku memeluk erat tubuh bapak dengan penuh kasih sayang. Inilah sosok bapak yang mampu bertrasformasi menjadi bapak sekaligus ibu untuk ku. Mungkin masalah kuliah aku bisa mencoba bekerja seperti bapak disawah untuk tambahan modal kuliah ku, agar aku tidak terlalu memberatkan bapak lagi dan supaya beban fikiran bapak tidak bertambah banyak lagi.

Keesokan harinya aku pun kembali menjalani aktivitas seperti biasanya yaitu mengatar bekal makan siang bapak sambil membantu mencangkul gundukan tanah disawah pak Suryo. Ketika sampai disawah bapak sudah mulai berteduh dibawah pohon kelapa sambil mengibas-ngibaskan capingnya. “Bapak..bapak ini sarapannya!” teriakan suara ku seakan memecah hawa panas di diri bapak. “Wan bapak ada sebuah surat untuk mu nanti tolong dibaca ya,,bapak kan buta huruf sedari kecil bapak tidak pernah mengenyam pendidikan.  Jadi, tidak bisa membaca”. Bapak menyodorkan sebuah surat beramplov putih yang bersih. Betapa kagetnya diriku ketika membuka surat itu, ternyata pak lurah telah bekerja keras agar diriku mendapatkan bantuan kuliah gratis dari salah satu perguruan tinggi ditempat tinggalnya. Sambil gemetar tanganku, aku pun berkata kepada bapak “Bapak..bapak Awan mendapat beasiswa pak dari pemerintah, bagaimana ini pak?”.

Bapak tersenyum lega, seakan Allah mendengar rintihan doa kecilnya setiap pagi dan tengah malam. Apa ini mimpi? Apa iya terangnya sinar bulan ada dipagi hari, apa benar indahnya kelap-kelip bintang dapat ku gapai dengan tangan kosong? Atau mungkin ini kembali pada kebiasaanku yang selalu berkhayal tentang pendidikan? Oh sang kuasa serasa mimpi diri ini.

“Kalau begitu wan, impian mu selama ini akan benar-benar terwujud wan, jangan banyak berkhayal lagi ya..bapak takut kamu nani kesambet setan nyasar”. Rupanya bapak mulai mengejek ku dengan gurauan kecil tapi mengasyikkan. Tetapi, entah ada apa dengan diri ini, bukannya merasa senang dengan bantuan tersebut, tapi hatiku seakan tidak kuasa dan enggan mengambil bantuan tersebut. Karena sungguh dan jujur selama ini sebenarnya aku ingin kuliah dengan usaha dari jerih payahku sendiri. Aku tidak mau dikasihani layaknya pengemis yang selalu menengadahkan tangannya mulai pagi hingga malam hari dipinggiran jalan raya yang yang dilalu lalangi ribuan kendaraan penyebab polusi udara. Bahkan hati ini serasa hina dan tidak berguna ya Rabb...entah memang sudah gila atau tidak waras aku kini diberi bantuan tapi enggan untuk menerimanya. Aku rasa karena kebanyakan berkhayal aku jadi begini, nampaknya aku perlu berkonsultasi kedokter psikis.

“Maaf pak.., Awan tidak bisa menerima bantuan ini dari pemerintah, Awan rasa, Awan bisa berikhtiar sendiri untuk mendapat pendidikan tanpa harus mengharap secerca bantuan itu dari mereka, ini keinginan Awan pak, Awan mohon bapak jangan menolak keinginanku ini pak..bukannya Awan merasa sombong tapi rasanya, Awan tidak pantas dengan semua ini. Awan mundur saja ya pak, Awan masih sabar kok..menunggu uang Awan kumpul baru bisa masuk perguruan tinggi impianku. Batin Awan juga lebih merasa senang dan gembira apabila Awan memberikan bantuan tersebut kepada teman Awan yang lebih membutuhkan pak”. Yang kulihat bapak kembali meneteskan belasan air mata kebahagiaan yang tulus dari lubuk hatinya yang paling dalam. Padahal aku kira bapak akan memaki diriku karena sudah bodoh menolak bantuan itu yang memang sudah sewajarnya aku terima dengan gembira, dan lapang dada.  Tetapi ternyata bapak sudah mengetahui dan memahami niat baik ku ini. Karena semua yang kulakukan ini tentu ada sebabnya dan konsekuensi yang harus aku tanggung.

“Apa Awan benar-benar ikhlas nak? Apa kamu benar-benar sadar dan ikhlas dengan apa yang kamu lakukan saat ini, karena keputusan mu ini akan memberikan dampak yang besar bagimu wan, bapak ingin kamu memikirkan matang-matang keputusan mu itu.  Jangan sampai kamu nanti akhirnya akan kecewa dan merasa tersisksa dengan keputusanmu.

”Bapak kembali menuturkan kalimat panjang tetapi memberikan makna yang besar bagi diri ini. Tapi ini memang fakta dan kenyataan yang kurasakan saat dan detik ini. Memang aku akui aku bukanlah anak seorang Gubernur, aku juga bukan artis yang selalu disoroti belasan kamera setiap detiknya. Bukannya aku lebih mengutamakan sifat gengsi. Tetapi, jelek-jelek begini aku juga masih punya harga diri dan menurutku tangan diatas itu lebih baik dari pada tangan dibawah. Ya...walaupun mmang aku sudah diberi kemudahan serta dari pemerintah tanpa harus banting tulang mencari tambahan dan auntuk kuliah. Tetapi, mungkin karena aku sudah terbiasa bekerja jadi rasanya nampaknya aneh bagiku jika harus dengan mudah menerima bantuan itu. “Insya Allah Awan ikhlas dan rela pak, Awan tidak akan pernah menyesal dengan keputusan mulia ini, coba nanti Awan bicara dengan pak Lurah ya pak.. barangkali bantuan ini bisa dialih pindahkan kepada teman Awan yang lebih kurang mampu dan lebih  membutuhkan dari padi aku pak”. Nampaknya bapak rela dengan keputusanku ini. “Terserahmu nak, jika menurutmu itu baik..lakukanlah apa yang kamu mau. Pesan bapak satu saja wan, jangan pernah kamu belajar menjadi seniman penghayal di ujung jalan kota Bandung tercinta ini, bapak akan merasa sedih sekali kalau kamu menjadi seorang penghayal abadi, peluk bapak wan..jika memang benar-benar kamu ikhlas lahir dan batin”. Bapak menyuruhku untuk memeluknya sebagai tanda bukti keikhlasanku tentang bantuan tersebut. Akupun langsung memeluk tubuh bapak yang kurus dan akhirnya aku putuskan menolak beasiswa itu dan memberikannya kepada Jojo seorang teman sebayaku yang kondisinya lebih menyedihkan dari pada aku dan mulai detik ini akan kujalani hidup apa adanya tanpa sebuah khayalan belaka yang seringkali membuat fikiran baik ku ini kosong.

Sekian *



favorite
0 likes
Be the first to like this issue!

X