×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
My Little Happiness
G Completed
1.6K
0
1
341
5

swap_vert


Seperti tanah yang mengeras setelah bertemu hujan. 

_Kim Jong Dae_

.

.

.

"Akhirnya selesai juga." 


Wanita berusia dua puluh empat tahun itu bangkit dari duduknya dan meregangkan tubuhnya setelah duduk berjam-jam lamanya. Ia lalu merapikan beberapa rekam medis pasien yang sedari tadi ia kerjakan dan melirik jam yang terletak di meja kerjanya. Waktu menunjukkan jam sembilan malam.

"Waktunya kita pulang yah, Nak," ucapnya sembari mengelus perutnya yang membuncit. Ia lalu keluar dari ruangan yang bertuliskan 'Kepala Ruangan, Rika Wulandari S.Keb'.

Menjadi kepala ruangan di usia yang terbilang sangat muda merupakan salah satu pencapaian terbesar di hidupnya. Tak sedikit rekan kerjanya yang merasa iri dan bahkan membencinya.

Tidak seperti biasanya, jalanan terlihat lengang, sehingga wanita yang akrab dipanggil Wulan itu melajukan mobilnya agar ia lebih cepat sampai ke rumah dan beristirahat. 

Setelah berkendara selama sepuluh menit, tiba-tiba seekor kucing melintas di depannya, membuatnya terkejut dan tidak bisa mengendalikan mobilnya. 

.

Seorang dokter muda menjadi pusat perhatian di salah satu rumah sakit ternama. Parasnya yang rupawan menarik seluruh atensi orang-orang yang berada di sekitarnya.

Setelah mengevaluasi keadaan para pasien yang telah menjalani masa pemulihan pasca operasi, ia lalu kembali ke ruangannya, namun langkahnya tertahan oleh rekannya, Dokter Ajeng dengan napasnya yang masih tersengal-sengal. 

"Ren, istrimu … kecelakaan!" 

Waktu seakan berhenti berputar, ia mendadak tuli dengan keadaan sekitarnya. Dadanya terasa sesak membuatnya sulit bernapas.

Ajeng menepuk keras pundaknya, membuatnya kembali tersadar.

"Sadar, Ren! Kamu yang harus selamatkan dia! Wulan sedang dalam perjalanan kesini, akan kuminta perawat Revy untuk menyiapkan ruang operasi, kamu juga bersiaplah," ujar Ajeng panjang lebar.

.

Segera setelah Wulan tiba, langsung saja ia dilarikan ke ruang operasi karena tanda-tanda vitalnya yang semakin memburuk namun tidak ditemukan luka atau perdarahan eksternal yang berarti telah terjadi perdarahan internal.

Operasi dimulai. Setelah menemukan lokasi perdarahan, dengan cekatan ia menggunakan pisau bedahnya lalu mulai melakukan pembedahan dengan menyayat sekitar satu sentimeter pada sisi kiri dan kanan perut pasien. Matanya terfokus pada layar monitor yang menampilkan organ yang terluka sementara tangannya sibuk menggerakkan laparoskop.

"Tekanan oksigennya menurun!" ujar salah seorang perawat. 

Dengan cepat dokter anestesi menambah dosis anestesi agar tingkat oksigen pasien tidak turun.

"Naikkan tingkat oksigennya," ujarnya tanpa mengalihkan pandangannya dari monitor. 

"sembilan puluh itu sudah bagus, Dok." Seketika semua mata tertuju pada sumber suara yang memberikan pernyataan tersebut. 


"Bodoh! Kau tidak lihat dia hamil hah!" Matanya menatap tajam dokter anestesi yang baru saja mengabaikan perintahnya.

"Kapasitas paru-parunya rendah, jadi tidak bisa naik," ujarnya," paru-paru yang lainnya juga tidak baik," lanjutnya.

"Kau mau membunuhnya?" tanyanya sinis setelah mendengar penuturan sang dokter anestesi. 

"Dokter," celetuk asistennya menghentikan perdebatan.

Hening beberapa saat, semua orang terfokus melihat perjuangan dokter untuk menemukan titik perdarahan hingga dokter anestesi tersebut kembali buka suara.

"Izinkan saya melakukan lung ventilation. Gumpalan darahnya sudah saya singkirkan, jadi sepertinya akan baik-baik saja." Tanpa menunggu jawaban, langsung saja ia melakukan proses lung ventilation tersebut.

Selang beberapa detik kemudian, perdarahannya berkurang serta tekanan oksigennya mulai meningkat secara perlahan.

Tanpa menunggu lagi, tangannya dengan cekatan menjahit bagian paru-paru pasien yang robek. Peluh terus membanjiri keningnya meski perawat telah menyekanya berkali-kali. Setelah berhasil menghentikan perdarahan, matanya lalu tertuju pada layar monitor yang menampilkan tanda-tanda vital pasien.

"Syukurlah, semuanya sudah kembali normal," ujar salah seorang perawat.

"Aku tau kau baru disini, tapi tadi hampir saja. Pasien tidak menerima alasan bodoh seperti itu," ujar Revy sarkas saat sahabatnya hampir meregang nyawa dihadapannya. 

Narendra Bintang Renjana, dokter yang memimpin operasi tersebut menghela napas lega. Setelah sekian banyak operasi yang telah ia lalui, operasi kali ini menjadi operasi yang paling mendebarkan sekaligus menakutkan baginya.

"Dok, biar saya yang tutup," ucap asistennya. 

"Tak apa, biar saya yang selesaikan," ujar Narendra lalu melanjutkan kegiatan menjahitnya untuk menyelesaikan operasi. 

.

Narendra keluar dari ruangan operasi, ia bisa melihat orang tuanya serta ayah mertuanya menunggu dengan cemas di ruang tunggu. Ia lalu menghampiri mereka.

"Nak, bagaimana? Operasinya lancar kan? Mereka baik-baik saja kan?" tanya ibunya dengan suara parau serta mata yang sembab.

Narendra mengangguk, seulas senyum terlukis di wajahnya. 

"Ya, operasinya lancar dan mereka baik-baik saja, Bu."

"Syukurlah." Ibu Narendra kembali terisak lalu menghambur ke pelukan suaminya.

Ayah mertuanya dengan cepat memeluknya erat, mengucapkan terima kasih berkali-kali karena telah menyelamatkan putri semata wayangnya.

"Ayah, ini sudah tanggung jawabku. Orang lain saja kuselamatkan, apalagi ini istri dan calon anakku," ucapnya sembari mengusap air mata yang telah menggenang di pelupuk matanya. Ia tidak bisa membayangkan kalau harus kehilangan mereka berdua.

.

Setelah mereka melihat kondisi Wulan, Narendra meminta agar orang tua dan ayah mertuanya untuk pulang beristirahat. Terlihat jelas raut wajah lelah mereka setelah berjam-jam duduk menunggu operasi selesai.

Narendra menatap wajah pucat istrinya, membelai pipinya pelan, lalu mengecup keningnya selama beberapa detik. Air matanya mengalir begitu saja. Ia sangat bersyukur bisa menyelamatkan istri dan calon anak mereka yang kini memasuki usia tujuh bulan.

Seketika Narendra mengingat ucapan istrinya beberapa hari yang lalu. 

"Ren, kamu kan dokter bedah. Seandainya terjadi apa-apa sama aku dan kamu diberi pilihan antara menyelamatkan aku atau anak kita, tolong … selamatkan anak kita yah."

"Kamu jangan ngawur. Tidak akan terjadi apa-apa sama kamu dan anak kita," balas Narendra tanpa melihat istrinya. 

"Tapi Ren-" 

"Tidak ada tapi-tapian. Hentikan omong kosongmu itu!"

Wulan terdiam, baru kali ini ia melihat suaminya itu marah.

Narendra mengusap wajahnya gusar setelah mengingat kembali hal itu. Ia sangat sadar telah menyakiti Wulan saat itu. Akan tetapi jika seandainya Tuhan benar-benar memberinya pilihan seperti itu, jelas saja ia akan menyelamatkan istrinya. Bukannya ia tak sayang pada anaknya, tetapi kepergian Wulan sama saja dengan kematian jiwanya.

.

Wulan membuka matanya perlahan. Ia mendapati suaminya tertidur dengan posisi duduk sembari menggenggam tangannya. Ia tersenyum, lalu mengelus pelan surai lembut Narendra yang menjadi kegiatan favoritnya setiap kali ia bangun tidur.

"Hm, Sayangku sudah bangun ya?" tanya Narendra dengan suara parau khas orang yang baru saja bangun tidur. Wulan tertawa pelan mendengar panggilan sayang Narendra. Jarang sekali suaminya memanggilnya seperti itu.

"Iya, sayangnya Naren sudah bangun nih. Maaf ya, bikin kamu khawatir," ucapnya lalu menggenggam tangan Narendra lembut.

"Yang penting kamu dan anak kita sekarang baik-baik saja." Narendra tersenyum lalu mengecup perut istrinya.

"Oh, iya. Aku mau telepon orang rumah dulu, kasih tau kalau kamu sudah sadar." Baru saja Narendra hendak beranjak, tapi tertahan oleh Wulan. Ia tersenyum pelan melihat ekspresi memelas istrinya itu.

"Mau apa, hm?"

"Mau bubur buatan ibu," cicitnya.

Narendra tertawa pelan lalu mencubit gemas pipi tembemnya.

.

"Bu, kenyang," rengeknya pada ibu mertuanya.

"Tinggal satu sendok lagi, Nak. Ingat, kamu ini tidak sendiri." Dengan terpaksa ia melahap suapan terakhir itu meski dirinya sudah sangat kenyang setelah menghabiskan empat porsi bubur.

"Kamu semenjak hamil lahap sekali ya makannya. Empat kali tambah loh, Nak," ujar ayah Wulan yang kini sibuk mengepang rambut putrinya. Wulan hanya bisa nyengir sembari mengelus perut buncitnya.

"Tidak, Yah. Bahkan sebelum hamil juga memang begitu porsi makannya," goda Narendra yang langsung dibalas tatapan tajam oleh istrinya, membuat semua orang yang ada di ruangan itu tertawa melihat ekspresi Wulan.

"Sudah-sudah, dasar kamu ini. Ingat, istrimu ini pasien kamu juga," lerai ayah Narendra.

"Iya, Yah. Dokternya suruh keluar aja, ganggu banget." Setelah itu, Wulan tertawa terbahak-bahak saat ayah mertuanya benar-benar mengusir suaminya dari ruangannya.

.

Kini Wulan dan Narendra sedang duduk di taman rumah sakit setelah sang ibu hamil itu merengek dengan alasan ingin menghirup udara segar. 

"Ren,"

"Sstt, bukan Ren, tapi Sayang," tegur Narendra. 

Wulan tertawa pelan.

"Naren- aww," ringisnya pelan saat suaminya menyentil dahinya.

"Papanya Aileen jahat yah, Nak," adu Wulan pada calon buah hatinya.

"Siapa?"

"Hm, untuk sementara aku mau panggil dia Aileen."

"Tidak, maksudku gabung dengan kata yang sebelumnya." 

"Papanya Aileen?" Narendra tersenyum puas, dua kata itu berhasil menggelitik hatinya, rasanya senang sekali.

"Aileen … artinya apa?" tanyanya lagi.

"Cahaya yang terang."

"Hm, artinya indah."

"sayang," panggil Wulan.

"Hm?" sahutnya yang masih sibuk mengelus perut istrinya. 

"Tentang yang aku bilang sebelumnya, aku minta maaf yah. Aku egois karena gak mikirin perasaan kamu," ujar istrinya yang berhasil membuatnya menghentikan kegiatannya. Ia menatap Wulan yang kini telah berurai air mata.

"Estro dan progesnya naik lagi ini," gumamnya.

"Hah?"

"Tidak sayang, kamu tidak salah. Tidak seorang pun ibu yang rela kehilangan anak mereka," ujarnya berusaha menenangkan ibu hamil yang satu ini.

"Jangan pikir hal-hal negatif, itu bisa berdampak buruk ke janin kamu," lanjutnya lalu menghapus air mata istrinya. 

"Kamu kalau nangis keliatan jelek sekali."

"Iya, terima kasih loh," balas Wulan sarkas.

.

Dua tahun kemudian

Narendra terbangun mendengar suara tangisan yang berasal dari lantai satu. Dengan cepat ia turun dan mendapati istrinya yang sedang memasak sambil berusaha menenangkan putri mereka.

"Sayang, kenapa gak bangunin aku?" tanyanya sembari mengambil putri mereka dari Wulan.

"Aku gak tega bangunin kamu. Kamu kan ada operasi tadi malam sampai jam tiga pagi."

"Lain kali kamu harus bangunin aku, aku gak mau cuma kamu yang menghabiskan waktu sama Aileen," ujarnya dengan nada cemburu. 

"Iya Sayang, iya. Lain kali aku bangunin."

"Aileen main sama papa dulu ya, mama lagi sibuk masak." Wulan lalu melanjutkan kembali kegiatan memasaknya sampai ia mendengar perkataan suaminya.

"Apa? Aileen maunya main sama adik?" Sontak Wulan berbalik hendak protes namun Narendra sudah kabur menuju ruang tamu. 

.

Setelah selesai menyiapkan makanan, Wulan menuju ruang tamu dan mendapati suaminya sedang menidurkan Aileen digendongannya.

"Biar aku," bisiknya lalu mengambil Aileen dari Narendra.

"Kamu makan dulu, habis itu istirahat lagi."

"kamu juga belum makan, kan?"

"Nanti aku nyusul kalau Aileen udah pulas."

Narendra berlalu menuju ke dapur, namun tidak lama kemudian ia kembali ke ruang tamu dengan sepiring makanan namun porsinya seperti untuk tiga orang dewasa.

Wulan yang melihat itu hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya. 

"Apa?"

"Kenapa gak makan di dapur?" Tanpa jawaban dari Narendra, akhirnya ia mengerti setelah pria itu mencoba menyuapnya.

"Papanya Aileen romantis sekali," godanya. Narendra tersenyum puas mendengar panggilan favoritnya itu.

"Kalau Aileen punya adik, panggilan-" Sebelum ia bisa menyelesaikan kalimatnya, wajahnya sudah dipenuhi dengan nasi setelah disembur oleh istrinya.


Poor Narendra.


-END-




























swap_vert

X