
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di https://lynk.id/finalfantasy
2 chapter berbayar SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
Word Count: 10000++
Mins Read: 50++
Update, kita baru daftar di victie: https://victie.com/app/author/82829
Silahkan difollow
-----------------------------------
Chapter 6: Tangisan Kesepian Di Malam Hari585Please respect copyright.PENANAObuWvJjd9n
Cahaya senja yang lembut menyelinap melalui jendela, hujan telah benar-benar reda, meninggalkan udara segar di luar namun kamar kecil Nisa terasa pengap, dipenuhi aroma keringat laki-laki yang bukan suaminya, aroma Pak RT yang tajam dan maskulin, seratus persen berbeda dari bau Anto yang biasa ia kenal. Nisa duduk sendirian di kasur, tubuhnya masih bugil, kulitnya lengket karena keringatnya sendiri bercampur peluh Pak RT yang baru saja “mengajarinya” posisi ngentot misionaris agar cepat hamil, sebuah alasan manipulatif yang membuatnya terjebak dalam zina. Ia menatap seprai yang kusut, penuh noda keringat dan sisa peju yang telah dibersihkan, hatinya berkecamuk antara rasa bersalah dan kenikmatan yang masih terasa. Klitorisnya masih berdenyut pelan, sisa nikmat dari gesekan kontol Pak RT yang begitu kuat, membuat tubuhnya panas meski momen itu telah usai.
Nisa menarik napas panjang, rambutnya yang basah menempel di pundak, ia menyadari kondisi tubuhnya yang dilumuri keringat campuran, lengket dan hangat, seperti bukti dosa yang tak bisa ia sembunyikan dari dirinya sendiri. “Ya Tuhan, apa yang udah Nisa lakuin…” gumamnya pelan, suaranya penuh penyesalan, namun matanya berkilat, ada hasrat yang masih membara di dalam dirinya, kenangan ciuman buas dan gesekan intim dengan Pak RT seperti bayangan yang tak mau pergi. Ia bangkit, kakinya sedikit gemetar, lalu memandang jam dinding—pukul 5:15 sore, Anto, suami sahnya, sebentar lagi pulang. Panik melanda, ia harus menghapus jejak zina ini sebelum Anto mencurigai sesuatu.
Dengan langkah cepat, Nisa menarik seprai kusut dari kasur, kain itu terasa berat karena keringat dan aroma dosa, lalu melemparkannya ke keranjang cucian di sudut kamar. Ia mengganti seprai dengan yang baru, tangannya bergerak lincah meski pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Pak RT, kontolnya yang keras, dan pujian manis yang membuatnya merasa diinginkan. “Nisa, kamu istri idamanku,” kata-kata Pak RT itu bergema di kepalanya, membuat klitorisnya berdenyut lagi, napasnya memburu tanpa ia sadari. Ia mengambil pengharum ruangan dari meja kecil, menyemprotkannya ke seluruh kamar, aroma bunga sintetis menyebar, berusaha menutupi bau keringat Pak RT yang masih samar-samar tercium, meski tak sepenuhnya hilang.
Nisa kembali duduk di kasur yang kini rapi, tubuhnya masih bugil, kulitnya berkilau karena keringat yang belum kering, ia menatap tubuhnya di cermin kecil di sudut kamar, melihat lekuk tubuhnya yang tadi begitu dipuja Pak RT. “Mas sayang… kenapa enak banget…” bisiknya pada diri sendiri, suaranya penuh kebingungan, namun ada senyum kecil di bibirnya, hasrat yang belum padam kini menguasai dirinya. Ia sadar Anto belum pulang, mungkin masih beberapa menit lagi, dan dorongan nafsu itu terlalu kuat untuk diabaikan. Dengan jantung berdegup kencang, ia memutuskan untuk memanjakan dirinya sendiri, tangannya perlahan turun ke memeknya, jari-jarinya menyentuh klitoris yang masih sensitif, membuatnya mendesah pelan, “Mmh…”
Nisa merebahkan tubuhnya di kasur, kini bugil sepenuhnya, matanya terpejam, pikirannya dipenuhi bayangan Pak RT, ciumannya yang buas, kontolnya yang menggesek klitorisnya tanpa penghalang, dan pujian-pujian yang membuatnya melayang. Jari tengahnya mulai menggosok klitorisnya dengan gerakan melingkar, pelan namun penuh tekanan, setiap sentuhan menghasilkan sensasi yang membuat tubuhnya bergetar, napasnya tersengal, “Mas sayang… gini lagi ya…” desahnya, suaranya penuh kenikmatan, imajinasinya membayangkan Pak RT menindihnya, lidahnya menari di mulutnya. Kamar yang pengap terasa semakin panas, aroma keringat Pak RT seolah masih ada, menambah nafsunya yang kian liar.
Gerakan jari Nisa semakin cepat, ia menambahkan jari kedua, menggosok klitorisnya dengan ritme yang brutal, memeknya yang basah menghasilkan bunyi “slik… slik” yang pelan namun jelas di keheningan kamar. “Mas… Nisa suka kontol mas…” gumamnya, suaranya penuh hasrat, tubuhnya melengkung, kakinya mengangkang lebar, membayangkan gesekan kontol Pak RT yang tadi begitu nyata, pejunya yang membasahi jembutnya. Ia meremas payudaranya dengan tangan kiri, putingnya yang keras menambah sensasi, desahannya kini lebih keras, “Ahh… mas sayang…” Keringat kembali muncul di dahinya, campuran peluh baru dan sisa keringat zina tadi, membuat kulitnya semakin lengket.
Nisa tenggelam dalam masturbasinya, jari-jarinya tak berhenti, klitorisnya yang berdenyut kini seperti pusat dunia baginya, setiap gosokan membawa kenikmatan yang semakin mendekati puncak. “Mas… Nisa pengen mas lagi…” desahnya, imajinasinya begitu jelas, ia melihat Pak RT tersenyum, mengelus kepalanya, berjanji untuk “latihan” lagi besok. Tubuhnya mulai menegang, pinggulnya terangkat dari kasur, jari-jarinya menggosok dengan penuh nafsu, bunyi “slik… slik” bercampur dengan desahannya yang kian lantang. Cahaya senja yang memudar membuat kamar semakin gelap, seolah menyembunyikan dosa baru yang Nisa lakukan sendirian.
Puncak kenikmatan tiba, Nisa merasa gelombang panas menyapu tubuhnya, klitorisnya berdenyut kuat, dan ia muncrat, cairan hangat membasahi jari-jarinya dan seprai baru, tubuhnya bergetar hebat, “Pak RT sayang!” teriaknya tanpa sadar, suaranya penuh kenikmatan, menyebut nama pria yang bukan suaminya di saat orgasme. Napasnya tersengal, matanya terbuka perlahan, wajahnya memerah karena keterkejutan atas apa yang baru ia ucapkan, namun ada senyum puas di bibirnya, kenikmatan itu terlalu kuat untuk ia sesali. Ia terduduk, jari-jarinya masih basah, memandang seprai yang kini ternoda lagi, “Nisa… kamu gila…” bisiknya, suaranya penuh kebingungan namun juga kepuasan.
Kamar kembali hening, hanya suara napas Nisa yang masih memburu, aroma keringat dan pengharum ruangan bercampur, menciptakan suasana yang aneh, seperti perpaduan dosa dan usaha menyembunyikannya. Nisa bangkit, tangannya gemetar, mengambil tisu untuk membersihkan jari-jarinya dan seprai, lalu buru-buru mengenakan daster sederhana, menyisir rambutnya agar tak terlihat mencurigakan. Ia melirik jam—pukul 5:25 sore, Anto pasti sudah dekat, dan ia harus bertindak normal, meski tubuhnya masih panas dan pikirannya dipenuhi bayang-bayang Pak RT. “Mas sayang… besok lagi ya…” gumamnya pada diri sendiri, suaranya penuh harap, jantungnya berdegup kencang memikirkan janji “latihan” berikutnya, meski ia tahu itu salah.
Nisa berdiri di depan cermin, memeriksa wajahnya, memastikan tak ada tanda-tanda zina yang terlihat, lalu menyemprotkan pengharum ruangan sekali lagi, berharap aroma Pak RT benar-benar hilang sebelum Anto masuk.
-----------------------------
Langit di luar telah berwarna oranye, cahaya senja memudar, dan hawa menjadi dingin karena embun sisa hujan deras yang kini telah reda, meninggalkan udara segar namun kamar kecil Nisa masih pengap, penuh aroma keringat dosa. Jam dinding menunjukkan pukul 5 sore, Anto, suami sah Nisa, masih belum pulang, mungkin terlambat di perjalanan setelah bekerja seharian. Nisa berdiri di depan cermin, tubuhnya yang bugil berkilau karena keringat campuran dirinya dan Pak RT, jantungnya berdegup kencang, pikirannya berkecamuk antara penyesalan dan kenikmatan yang masih membara. Ia memutuskan untuk mandi, ingin membasuh tubuhnya dari keringat dosa, berharap air dingin bisa menenangkan gejolak di hatinya, meski ia tahu itu tak akan menghapus apa yang baru saja terjadi.
Nisa berjalan ke kamar mandi kecil di sudut rumah, air dari bak plastik terasa dingin saat ia menyiramkan ke tubuhnya, membuatnya tersentak, namun sensasi itu tak mampu menghilangkan denyut halus di klitorisnya, sisa kenikmatan dari gesekan kontol Pak RT. Sabun wangi yang ia gosokkan ke kulitnya menghasilkan busa lembut, namun setiap sentuhan tangannya ke tubuhnya sendiri mengingatkannya pada tangan Pak RT yang meraba, mengelus, dan memuji setiap lekuk tubuhnya. “Nisa, kamu istri idamanku,” kata-kata itu bergema di kepalanya, membuatnya menutup mata, air mengalir di wajahnya, seolah ingin menyembunyikan air mata yang hampir tumpah karena pertentangan dalam hatinya—ia telah mencederai pernikahannya, membagi cinta dan tubuhnya untuk laki-laki lain.
Di bawah guyuran air, Nisa merasakan beban berat di dadanya, pikirannya dipenuhi rasa bersalah karena telah mengkhianati Anto, suami yang setia meski sederhana, yang tak pernah memintanya untuk melakukan hal-hal liar seperti yang Pak RT ajarkan. “Aku udah gila, Anto nggak pantas dapat istri kayak aku,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya tenggelam oleh bunyi air yang jatuh ke lantai semen, tangannya menggosok lengan dengan keras, seolah ingin menghapus jejak sentuhan Pak RT. Namun, di sudut lain hatinya, ada dorongan yang tak bisa ia tolak—kenikmatan yang diberikan Pak RT begitu nyata, begitu berbeda dari apa yang pernah ia rasakan bersama Anto, membuatnya merasa hidup sebagai wanita dalam cara yang baru dan memabukkan.
Nisa memejamkan mata, air terus mengalir, dan pikirannya melayang ke Pak RT, pria yang tadinya ia benci karena sikapnya yang genit dan licik di lingkungan RT. Dulu, ia jijik setiap kali Pak RT melempar senyum atau candaan mesum, tapi kini ia tak bisa menyangkal bahwa pria itu begitu jantan, tubuhnya yang kekar, kontolnya yang keras, dan caranya memuji membuatnya merasa seperti ratu. “Mas sayang tahu cara bikin Nisa lumer,” gumamnya, wajahnya memerah di bawah air, mengakui bahwa Pak RT pintar memperlakukan wanita, sesuatu yang Anto, dengan sifatnya yang lugu, tak pernah lakukan. Ia membayangkan ciuman buas Pak RT, pujiannya yang manis, dan gesekan yang membuat klitorisnya berdenyut, sensasi yang membuatnya merasa diinginkan sepenuhnya.
Pikiran Nisa terus memuji Pak RT, meski ia tahu itu salah, ia tak bisa menahan diri untuk mengagumi bagaimana pria itu menguasai setiap momen, membuatnya melupakan statusnya sebagai istri orang. “Dia bikin aku ngerasa cantik, ngerasa hidup,” pikirnya, tangannya tanpa sadar menyentuh perutnya, lalu turun ke memeknya, merasakan jembut tipis yang tadi ternoda peju Pak RT, kenangan itu membuat napasnya tersengal. Ia teringat bagaimana Pak RT mengelus kepalanya, memanggilnya “istriku cantik,” dan janjinya untuk “latihan” lagi besok, kata-kata yang seharusnya ia tolak namun justru membuat hatinya berdebar, nafsunya bangkit kembali meski air dingin terus mengguyur tubuhnya.
Nisa menyadari tubuhnya, meski sudah menikah, masih sangat cantik, seksi, dan sintal, seperti anak kuliahan yang ranum, sesuatu yang Pak RT tak henti-hentinya puji, tidak seperti Anto yang jarang memerhatikan. Ia menggosok payudaranya dengan sabun, merasakan kekencangan kulitnya, dan tersenyum kecil, “Pantes mas sayang tergila-gila,” bisiknya, ada rasa bangga yang muncul, meski disertai penyesalan. Kenikmatan yang diberikan Pak RT, ciuman, gesekan, dan orgasme yang ia rasakan saat masturbasi tadi, adalah sesuatu yang tak pernah Anto berikan, membuatnya mulai menormalkan hubungan terlarang itu, dibutakan oleh nafsu yang begitu kuat. “Ini cuma latihan, kan? Nggak ada yang tahu,” pikirnya, mencoba membenarkan diri, meski hatinya tahu itu dusta.
Air terus mengalir, Nisa menggosok tubuhnya lebih keras, berharap rasa bersalah ikut terbasuh, namun bayang-bayang Pak RT terus menghantuinya, suaranya, sentuhannya, dan janji “besok kita lanjut.” Ia menutup mata, membayangkan ciuman buas itu lagi, klitorisnya berdenyut pelan, membuatnya menggigit bibir, “Mas sayang… Nisa kangen…” gumamnya, suaranya penuh hasrat, tangannya hampir kembali menyentuh memeknya sebelum ia menghentikan diri. Ia tahu Anto akan segera pulang, dan ia harus bertindak normal, meski tubuhnya masih panas, pikirannya dipenuhi dosa yang terasa seperti cinta. Bunyi air yang jatuh ke lantai semen seperti pengingat bahwa waktu terus berjalan, dan ia harus menyembunyikan rahasia ini.
Nisa mengakhiri mandinya, mengeringkan tubuh dengan handuk lusuh, kulitnya kini bersih namun hatinya tetap ternoda, pertentangan antara penyesalan dan kenikmatan masih bergolak. Ia mengenakan daster biru sederhana, menyisir rambut basahnya, dan memeriksa kamar sekali lagi, memastikan aroma keringat Pak RT telah hilang, seprai telah diganti, dan tak ada jejak zina yang tersisa. Namun, saat ia berdiri di depan cermin, melihat wajahnya yang masih memerah, ia tak bisa menyangkal bahwa ia menikmati permainan Pak RT, pria yang tadinya ia benci kini menjadi sumber kenikmatan yang tak bisa ia tolak. “Nisa, kamu salah, tapi… mas sayang bikin Nisa ngerasa hidup,” bisiknya, suaranya penuh kebingungan, jari-jarinya menyentuh bibirnya yang masih merindukan ciuman Pak RT.
Langit oranye di luar semakin gelap, embun dingin mulai menyelimuti desa, namun Nisa merasa tubuhnya masih hangat, nafsunya belum sepenuhnya padam, pikirannya dipenuhi janji Pak RT untuk “latihan” besok. Ia berjalan ke pintu depan, bersiap menyambut Anto dengan senyum polos, meski hatinya penuh rahasia yang tak akan ia ceritakan. “Anto nggak boleh tahu, ini cuma… kesenangan Nisa,” pikirnya, mencoba menenangkan diri, meski ia tahu hubungan terlarang itu akan berlanjut, didorong oleh kenikmatan yang membutakan matanya dari kesetiaan.
-------------------------
Langit senja telah memudar menjadi kelabu, embun dingin sisa hujan menyelimuti desa, dan jam menunjukkan pukul 5:45 sore saat Anto akhirnya sampai di rumah, langkahnya berat, wajahnya lelah setelah seharian bekerja sebagai buruh bangunan. Nisa, yang telah selesai mandi dan membersihkan jejak zina dengan Pak RT, berdiri di ambang pintu, mengenakan daster tipis berwarna krem yang hanya menutupi badan hingga paha atasnya, kelihatan lekuk tubuhnya yang sintal, bra dan celana dalam merahnya menerawang dengan sensual, pakaian yang selalu ia kenakan saat menyambut Anto sebagai bentuk sayang istri. Aroma parfum bunga yang harum memancar dari tubuhnya, menyamarkan sisa aroma keringat dosa yang masih menghantui pikirannya. Ia tersenyum manis, wajahnya polos, seolah tak ada perzinahan berlendir nan brutal yang baru saja ia lakukan beberapa jam lalu.
Anto melepas sepatu botnya yang penuh lumpur, matanya yang letih langsung cerah saat melihat Nisa, “Assalamualaikum, sayang, capek banget aku hari ini,” katanya dengan suara parau, tangannya menenteng tas kecil. Nisa mendekat, “Waalaikumsalam, mas, capek ya? Mending istirahat dulu,” jawabnya lembut, lalu menunduk, menyalim tangan Anto dengan penuh hormat, bibirnya menyentuh punggung tangan suaminya, gerakan yang rutin namun kini terasa seperti topeng untuk menyembunyikan dosa. Anto tersenyum, “Kamu wangi banget, sayang, kayak baru dari salon,” pujinya sederhana, tak menyadari bahwa parfum itu adalah usaha Nisa untuk menutupi aroma Pak RT yang pernah memenuhi kamar mereka.
Nisa menggandeng tangan Anto menuju ruang tamu kecil, daster tipisnya bergoyang mengikuti langkahnya, bra merahnya terlihat jelas saat ia berbalik, membuat Anto tanpa sadar menatap lebih lama. “Duduk dulu, mas, aku buatin teh anget, terus aku masak buat makan malam ya,” katanya dengan nada manja, lalu berjalan ke dapur, pinggulnya bergoyang alami, paha putihnya tersingkap sedikit karena daster yang pendek. Anto mengangguk, duduk di kursi kayu, matanya mengikuti gerakan Nisa, pikirannya yang lelah mulai dipenuhi kekaguman pada istrinya yang terlihat begitu memikat malam ini. Di luar, embun dingin semakin tebal, namun di dalam rumah, suasana terasa hangat karena kehadiran Nisa yang berusaha menjalani peran istri sempurna.
Di dapur, Nisa mulai menyiapkan makan malam, mengambil bahan-bahan dari kulkas kecil di sudut, sesekali nungging untuk meraih bawang dan sayuran di rak bawah, daster tipisnya tersingkap hingga memperlihatkan celana dalam merah yang membalut bokongnya yang bulat. Anto, yang sedang menyeruput teh hangat, menyadari pemandangan itu, matanya membelalak, jantungnya berdetak lebih cepat. “Sayang, kok kamu seksi banget hari ini? Apa perasaanku aja?” tanyanya dengan tawa kecil, suaranya bercampur kagum dan sedikit genit, tangannya menggaruk kepala, wajahnya sedikit memerah karena tak biasa melihat Nisa begitu menggoda. Nisa menoleh, tersenyum manis, “Hih, mas bisa aja, ini kan biasa, buat nyambut suami tercinta,” jawabnya dengan nada main-main, namun hatinya berdegup kencang, takut Anto mencurigai sesuatu.
Nisa melanjutkan memasak, menggoreng ikan dan menumis sayur, gerakannya lincah, daster tipisnya sesekali tersingkap saat ia bergerak, bra merahnya seperti sengaja memamerkan sensualitas yang ia tahu membuat Anto tak bisa berpaling. “Mas, makan malam bentar lagi siap, sabun dulu sana, biar seger,” katanya tanpa menoleh, suaranya lembut, berusaha menjaga suasana normal, meski pikirannya masih dipenuhi bayang-bayang Pak RT, ciumannya, dan gesekan yang membuat klitorisnya berdenyut tadi. Anto mengangguk, “Iya, sayang, kamu emang istri terbaik,” katanya, lalu berjalan ke kamar mandi, tak tahu bahwa kamar yang kini harum itu tadi dipenuhi aroma zina yang brutal.
Saat Anto mandi, Nisa menata meja makan, menyiapkan piring dan sendok dengan tangan yang sedikit gemetar, pikirannya terbelah antara rasa bersalah dan kenikmatan yang masih membekas. Ia tahu daster tipis dan parfum ini adalah caranya menunjukkan sayang pada Anto, namun malam ini, pakaian itu juga seperti topeng untuk menyembunyikan dosa, untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ia masih istri yang baik. “Anto nggak boleh tahu, ini cuma… kesenangan Nisa,” bisiknya pada diri sendiri, suaranya penuh usaha untuk menormalkan perzinahan yang baru ia lakukan. Ia menatap bayangannya di jendela dapur, melihat lekuk tubuhnya yang masih sintal, dan teringat pujian Pak RT, “Nisa, kamu istri idamanku,” kata-kata yang membuatnya merasa diinginkan, sesuatu yang Anto jarang ungkapkan.
Makan malam segera tersaji, aroma ikan goreng dan sayur kolplay mengisi rumah, Nisa duduk di depan meja, menunggu Anto dengan senyum yang dipaksakan, daster tipisnya masih memperlihatkan bra merah yang sensual, parfumnya memenuhi udara. Anto keluar dari kamar mandi, wajahnya segar, tersenyum melihat hidangan dan istrinya yang terlihat begitu memikat. “Sayang, kamu bikin aku lupa capek, makasih ya,” katanya, mencium pipi Nisa dengan bunyi “smeck” yang sederhana, tak tahu bahwa pipi itu tadi dilumuri ciuman buas Pak RT. Nisa tersenyum, “Makan yang banyak, mas, biar kuat,” katanya dengan nada lembut, namun di dalam hatinya, ia merasa seperti aktor yang memainkan peran sempurna, menyembunyikan zina yang baru saja ia nikmati, sementara embun dingin di luar menyelimuti desa yang tak tahu rahasia kotor di rumah kecil mereka.
----------------------
Nisa dan Anto duduk di sofa sederhana di ruang tamu, piring-piring telah dicuci, dan suasana terasa hangat meski ada ketegangan tak terucapkan di hati Nisa. Ia mengenakan daster tipis berwarna krem, bra dan celana dalam merahnya masih menerawang sensual, parfum bunga yang harum memancar dari tubuhnya, namun pikirannya terus kembali ke sentuhan Pak RT, gesekan liar, dan pujian yang membuatnya merasa diinginkan. Mereka bercengkerama ringan, Anto bercerita tentang pekerjaannya dengan suara lelah, “Hari ini berat, sayang, proyeknya molor terus,” katanya, sementara Nisa mengangguk, tersenyum, berusaha menutupi rahasia zina yang masih membekas di tubuhnya.
Nisa tiba-tiba berbaring, tanpa diminta, meletakkan kepalanya di pangkuan Anto, pura-pura manja seperti biasa, rambutnya yang masih sedikit basah menyentuh paha Anto, daster tipisnya tersingkap sedikit, memperlihatkan paha putihnya. “Mas, capek banget ya? Ceritain dong, apa aja tadi di kerjaan,” katanya dengan nada lembut, tangannya mengelus lengan Anto, berusaha menciptakan keintiman, meski di dalam hatinya ia masih membayangkan tangan Pak RT yang mengelus tubuhnya dengan penuh nafsu. Anto tersenyum tipis, “Biasa, sayang, cuma ngecor sama angkat material, bikin badan pegel semua,” jawabnya, tangannya hanya memegang pundak Nisa, tanpa usaha lebih untuk membelainya dengan mesra. Nisa memandang wajah Anto, bertanya-tanya, “Apa mas capek banget, makanya nggak mesra kayak biasa?”
Percakapan mereka berlanjut, Nisa mencoba mencerahkan suasana dengan candaan kecil, “Mas, tadi aku masak ikannya khusus loh, biar mas kuat,” katanya dengan tawa genit, berharap Anto menangkap isyaratnya, namun Anto hanya tertawa pelan, “Makasih, sayang, emang enak banget,” balasnya, matanya lelah, tak menunjukkan tanda-tanda ingin lebih intim. Nisa merasa ada jarak, meski kepalanya masih di pangkuan Anto, ia merindukan belaian mesra, pujian, atau setidaknya perhatian seperti yang Pak RT berikan tadi siang. “Mungkin mas Anto capek banget, makanya nggak gitu perhatian,” pikirnya, mencoba memahami, namun ada kekecewaan kecil yang mulai muncul di hatinya, diperparah oleh kenangan kenikmatan terlarang yang masih segar.
Nisa menggeser posisinya, kepalanya masih di pangkuan Anto, daster tipisnya sengaja ia biarkan tersingkap sedikit lebih tinggi, bra merahnya terlihat jelas, berharap Anto tergoda. Dengan nada genit, ia mengisyaratkan, “Mas Anto, mau berhubungan badan nggak? Mau Nisa enakin malam ini?” katanya, matanya berkilat, senyumnya manja, tubuhnya sedikit mendekat, parfumnya semakin kuat menggoda. Anto menatapnya sekilas, lalu menggeleng dengan senyum lelah, “Nggak dulu, Nisa, aku capek banget, mau langsung tidur aja,” jawabnya, suaranya penuh kelelahan, tangannya menepuk pundak Nisa dengan lembut, seolah ingin mengakhiri topik itu. Nisa tersenyum kecil, menyembunyikan kekecewaan yang mulai menggerogoti hatinya, “Oke, mas, istirahat ya,” katanya, namun dalam hati ia merasa ditolak, sesuatu yang tak pernah ia rasakan dengan Pak RT.
Mereka bangkit dari sofa, Anto menguap, “Aku tidur duluan ya, sayang,” katanya, berjalan ke kamar tidur kecil mereka, Nisa mengikuti di belakang, daster tipisnya bergoyang, bra merahnya masih mencolok, namun Anto tak lagi menoleh. Di kamar, Nisa sengaja berdandan lebih lama di depan cermin, menyisir rambut, memoles bibirnya dengan lipstik tipis, berharap Anto melirik dan berubah pikiran, namun Anto sudah merebahkan diri di kasur, memunggungi Nisa, bajunya masih berbau debu dari kerja. “Selamat malam, sayang,” gumam Anto, suaranya mengantuk, lalu dalam hitungan menit, napasnya teratur, tanda ia telah tertidur. Nisa berdiri di sisi kasur, memandang punggung suaminya, hatinya terasa kosong, keindahan dan kebinalan yang ia tawarkan malam ini tak dihiraukan.
Nisa naik ke kasur, berbaring di sisi Anto, daster tipisnya terasa sia-sia, parfumnya seperti candaan yang tak ada yang menanggapi, dan tanpa sadar, air mata kecil menetes di pipinya, membasahi bantal. “Mas Anto… kenapa nggak lihat Nisa kayak mas sayang tadi…” bisiknya dalam hati, pikirannya kembali ke Pak RT, pujiannya, sentuhannya, dan kenikmatan yang membuatnya merasa hidup. Ia tahu ia salah, telah mengkhianati Anto dengan zina brutal, namun penolakan Anto malam ini seperti membenarkan pilihannya untuk menikmati permainan Pak RT. Air matanya terus mengalir pelan, bukan hanya karena Anto, tapi karena ia sadar dirinya telah berubah, terjebak dalam nafsu yang tak bisa ia tolak.
Kamar terasa hening, hanya suara napas Anto yang teratur dan embun dingin yang mulai meresap melalui celah jendela. Nisa menatap langit-langit, tubuhnya masih hangat meski hawa malam dingin, kenangan gesekan kontol Pak RT di klitorisnya, ciuman buas, dan peju yang membasahi jembutnya kembali menghantui pikirannya. “Mas sayang janji besok lanjut… Nisa harus kuat buat mas Anto, tapi…” pikirnya, suaranya dalam hati penuh kebingungan, air matanya mengalir lebih deras, namun ada dorongan nafsu yang masih membara, membuatnya merindukan “latihan” berikutnya. Ia menarik selimut, berusaha menenangkan diri, namun bayang-bayang Pak RT terus ada, seperti bayangan yang menolak pergi.
Nisa memejamkan mata, mencoba tidur, namun pikirannya tak bisa lepas dari perbandingan antara Anto yang lelah dan Pak RT yang penuh gairah, antara kesetiaan yang ia cedera dan kenikmatan yang ia dambakan. “Nisa, kamu istri idamanku,” kata-kata Pak RT itu seperti mantra, membuat klitorisnya berdenyut pelan, meski ia hanya berbaring diam di sisi Anto. Air matanya berhenti, namun wajahnya penuh kebingungan, ia tahu besok akan ada godaan baru, dan ia tak yakin bisa menolak. Di luar, desa telah tenggelam dalam kegelapan, hanya suara jangkrik yang terdengar, seolah tak ada yang tahu tentang air mata Nisa dan dosa yang ia sembunyikan di balik daster tipisnya.
Anto terus tertidur, tak menyadari pergolakan di hati istrinya, tak tahu bahwa kamar yang kini harum pernah dipenuhi aroma keringat laki-laki lain, dan bahwa Nisa, yang tadinya setia, kini terjebak dalam pusaran nafsu yang dibangkitkan oleh Pak RT. Nisa menarik napas panjang, mencoba memaafkan Anto yang lelah, namun kekecewaannya malam ini seperti membuka pintu lebih lebar untuk Pak RT. “Besok… Nisa cuma mau ngerasa hidup lagi,” pikirnya, suaranya dalam hati penuh kepasrahan, lalu ia memejamkan mata, berusaha tidur, meski air mata terakhir masih membasahi bantal, menyisakan rahasia zina yang hanya ia dan Pak RT tahu, menanti kelanjutan di hari esok.
585Please respect copyright.PENANAwnOcSog7KM
585Please respect copyright.PENANAt9CaYPLza2
TO BE CONTINUED
585Please respect copyright.PENANA7AfUJGLHWq
--------------------------------------
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di https://lynk.id/finalfantasy
2 chapter berbayar SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
Word Count: 10000++
Mins Read: 50++
Update, kita baru daftar di victie: https://victie.com/app/author/82829
Silahkan difollow
-----------------------------------
ns3.137.185.239da2