
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA1610Please respect copyright.PENANARHkuotizkp
------------------------
Cahaya pagi yang lembut masih menyelinap melalui jendela ruang tamu Nisa, menerangi sofa kayu yang penuh noda kenikmatan, pukul 11:00 di desa yang masih sepi. Nisa dan Pak RT, setelah zina brutal mereka, kembali bermesraan, duduk berdekatan di sofa, tubuh mereka masih panas, aroma peju dan keringat samar di udara. Nisa, dalam lingerie renda merah yang basah dan menempel di kulitnya, bersandar di dada Pak RT, tak lagi peduli bahwa hubungan zina ini awalnya untuk “latihan” agar hamil dengan Anto, suaminya; kini ia hanya haus akan belaian dan kejantanan pria yang ia temukan pada Pak RT. Mereka berciuman lembut, bunyi “smeck… slurpp” pelan mengisi ruangan, lidah Nisa menyapu bibir Pak RT, tangannya mengelus dada pria itu yang hanya memakai celana dalam melorot, penuh keakraban mesum seperti pasangan sejati.
Pak RT, dengan senyum genit, meremas payudara Nisa yang semok melalui renda, jari-jarinya mencubit puting dengan gemas, “Sayangku, payudaramu ini kayak buah surga, bikin suamimu nggak bisa berhenti,” pujinya serak, matanya penuh nafsu. Nisa mendesah, “Mmh… mas sayang, puji terus, Nisa suka,” katanya manja, lalu membalas dengan meremas biji Pak RT yang terasa penuh di balik celana dalam, jari-jarinya memencet-mencet gemas, seolah itu mainan pribadinya. Pak RT menggeliat, wajahnya sedikit meringis kesakitan, tapi ia tertawa, “Aduh, sayang, pelan dikit, tapi… nikmat banget, lanjut!” katanya, tangannya mengelus paha Nisa, menikmati permainan binal wanita itu, sofa berderit pelan di bawah gerakan mereka, sinar matahari pagi memperlihatkan lingerie merah yang berkilau.
Ciuman mereka semakin dalam, Nisa menjilat leher Pak RT, bunyi “slik” basah mengiringi, “Mas sayang, Nisa kangen banget belaian mas, Anto nggak pernah gini,” desahnya, tangannya terus memencet biji pria itu, merasakan teksturnya yang kenyal, membuat Pak RT mendesah, “Sayangku, kamu bikin suamimu gila, bijiku ini cuma buat istriku binal,” balasnya, lalu melumat bibir Nisa lagi, lidah mereka bertarung, bunyi “slurpp… plop” bercampur napas yang memburu. Nisa tenggelam dalam kenikmatan, kebutuhannya akan kasih sayang dan kejantanan laki-laki terpenuhi oleh Pak RT, pria yang kini ia anggap lebih dari sekadar pelarian dari Anto yang dingin, payudaranya bergesek di dada pria itu, renda jaring menambah sensasi mesum.
Tiba-tiba, handphone Nisa yang tergeletak di meja kecil berdering keras, memecah kemesraan mereka, nada dering yang familiar membuat Nisa tersentak. Ia melepaskan ciuman, wajahnya memucat, “Astuh, siapa ini?” gumamnya, meraih ponsel dan melihat nama “Anto” di layar. Dengan tangan gemetar, ia menjawab, “Halo, mas?” katanya, suaranya dipaksakan lembut, mencoba menyembunyikan panik. Di ujung telepon, suara Anto terdengar lemah, “Nisa, aku pusing, mau pulang tadi, tolong siapin teh hangat sama paracetamol, ya.” Nisa panik sekaligus kesal, “Hah? Sekarang? Iya… iya, mas, Nisa siapin,” balasnya tergesa, lalu mematikan telepon, wajahnya cemberut, “Mas Anto pulang cepet, pusing katanya, aduh, kenapa sih!” keluhnya, tangannya mengepal, kesal karena momen mesranya terganggu.
Pak RT, tak peduli dengan kabar itu, malah menarik Nisa kembali ke pelukannya, “Sayang, ngapain panik, biarin Anto, sekarang waktunya istriku dimanjain suamiku ini,” katanya genit, tangannya meremas payudara Nisa lagi, mencium lehernya dengan bunyi “smeck” lembut, “Payudaramu ini bikin mas lupa dunia, lanjutin main biji mas, dong,” tambahnya mesum. Nisa, meski panik, tak bisa menolak, tertawa kecil, “Ih, mas sayang nakal, Anto bentar lagi sampai loh,” katanya, tapi tangannya kembali meremas biji Pak RT, memencet-mencet dengan gemas, “Masi kencang banget, mas, nikmat nggak?” tanyanya genit, ciumannya mendarat di sudut bibir pria itu, mencoba melupakan kekesalan pada Anto, sofa berderit pelan di bawah sentuhan mereka.
Mesraan mereka berlanjut, Nisa menjilat cuping telinga Pak RT, “Mas sayang, Nisa cuma pengen sama mas, bela Nisa terus ya,” desahnya, suaranya penuh rindu, biji pria itu masih ia remas, membuat Pak RT mendesah, “Sayangku, bijiku ini cuma buat kamu, remes sepuasnya, istriku,” balasnya, tangannya menelusuri pinggul Nisa, menariknya lebih dekat, lingerie renda merah basah oleh keringat baru. Ciuman mereka kembali buas, lidah Nisa menyapu ludah Pak RT, bunyi “slurpp” bercampur desahan, “Mmh… mas, Nisa suka banget gini,” katanya, lupa sejenak pada telepon Anto, kebutuhannya akan kejantanan laki-laki mengalahkan rasa bersalah. Pak RT meremas payudara Nisa dengan gemas, “Nisa, kamu bikin suamimu nggak mau pulang ke rumah sendiri,” katanya, pujiannya membuat Nisa tersenyum, tangannya memencet biji lebih keras, sofa menjadi saksi kemesraan mereka yang tak peduli waktu.
Nisa tahu Anto akan segera tiba, tapi belaian Pak RT terlalu nikmat untuk dihentikan, ciumannya penuh hasrat, tangannya tak berhenti memainkan biji pria itu, “Mas sayang, Nisa cuma butuh mas, Anto nggak ngerti Nisa,” desahnya di sela ciuman, payudaranya bergesek di dada Pak RT, renda jaring memperkuat sensasi. Pak RT tertawa, “Sayangku, mas bakal kasih semua yang kamu mau, Anto nggak akan tahu,” katanya, tangannya mencubit puting Nisa, membuat wanita itu mendesah, “Ahh… mas, nakal banget,” katanya genit, ciumannya beralih ke leher pria itu, bunyi “slik” basah mengiringi. Handphone Nisa tergeletak diam, tapi bayang-bayang Anto yang akan pulang membuat jantungnya berdegup kencang, meski ia memilih tenggelam dalam pelukan Pak RT, kebutuhannya akan kasih sayang dan kejantanan mengalahkan segalanya.
----------------
Nisa dan Pak RT, tenggelam dalam mesraan penuh dosa, duduk berdekatan, lingerie renda merah Nisa basah keringat, payudaranya sesekali diremas gemas oleh Pak RT, sementara tangannya memencet biji pria itu dengan binal. Ciuman mereka lembut namun penuh nafsu, bunyi “smeck… slurpp” pelan memenuhi ruangan, “Mas sayang, Nisa cuma pengen gini sama mas,” desah Nisa, lidahnya menjilat sudut bibir Pak RT, lupa pada Anto yang tak pernah memberi belaian seperti ini. Pak RT, dengan celana dalam melorot, membalas, “Sayangku, mas bakal manjain istriku tiap hari,” katanya serak, tangannya mencubit puting Nisa melalui renda, sofa berderit di bawah sentuhan mereka.
Tiba-tiba, suara motor yang berdengung pelan di halaman depan memecah kemesraan, diikuti bunyi mesin yang mati, membuat Nisa tersentak. Ia melepaskan ciuman, jantungnya berdegup kencang, “Astaga, siapa itu?” gumamnya, buru-buru bangkit dan mengintip dari celah jendela. Wajahnya memucat saat melihat Anto, suaminya, turun dari motor, lebih cepat dari yang ia kira, tas kerjanya digantung di bahu, wajahnya lelah. “Mas Anto! Cepet banget!” bisik Nisa panik, tangannya gemetar, aroma peju dan keringat di ruang tamu tiba-tiba terasa mencolok. Ia berbalik ke Pak RT, “Mas, cepet, Anto pulang, kita harus pura-pura biasa!” katanya tergesa, matanya liar mencari baju di lantai, panik bercampur kesal karena momen mesranya terputus.
Nisa dengan cepat mengambil daster biru dan rok pendek dari tumpukan baju di sudut ruang tamu, buru-buru memakainya di atas lingerie renda merah yang masih basah, rendaian itu menempel ketat di kulitnya, payudara dan memeknya samar terlihat di bawah kain tipis. Pak RT, tak kalah panik, menarik kaus ketat dan celana jeans yang tadi dilempar sembarangan, jari-jarinya tergesa mengancingkan resleting, “Tenang, sayang, kita pura-pura ngobrol aja, kayak RT mampir biasa,” katanya dengan nada menenangkan, meski keringat di dahinya menunjukkan kegugupan. Mereka bergegas duduk di sofa, berjarak sopan, Pak RT pura-pura memegang cangkir teh dingin yang terlupakan, sementara Nisa menyisir rambut kusutnya dengan tangan, berusaha tampak wajar, sofa masih hangat dari zina mereka.
Pintu depan terbuka dengan bunyi “krek,” Anto masuk, wajahnya pucat, matanya sayu karena pusing, kaus kerjanya kusut, “Assalamualaikum, Nis,” sapanya lemah, lalu matanya langsung tertuju pada Pak RT yang duduk di sofa, alisnya terangkat, “Loh, Pak RT? Ngapain di sini?” tanyanya, nada curiga samar terdengar, tasnya diletakkan di lantai. Nisa, kagok, buru-buru berdiri, tersenyum dipaksakan, “Waalaikumsalam, mas, eh, Pak RT cuma mampir bentar, ngobrol soal… urusan RT,” katanya tergagap, tangannya memegang lengan Anto, mencoba mengalihkan perhatian, “Mas, aku ambilin teh sama paracetamol, ya, duduk dulu,” tambahnya, berjalan ke dapur, jantungnya berdegup kencang, takut Anto mencium aroma amis di ruang tamu.
Pak RT, dengan wajah tenang yang dipaksakan, tersenyum lebar, “Iya, Mas Anto, saya mampir sebentar, keliling ke warga, kebetulan lewat sini, mampir ngobrol sama Nisa,” katanya santai, tangannya memegang cangkir teh, berpura-pura menyesap meski teh itu sudah dingin. Anto mengangguk pelan, masih curiga, lalu duduk di kursi kayu di depan Pak RT, “Oh, gitu, Pak, ada urusan apa? Soal iuran RT lagi?” tanyanya, suaranya lelet karena pusing, tapi pertanyaannya panjang, seperti ingin menggali lebih dalam. Pak RT tertawa kecil, “Bukan, Mas, cuma tanya kabar, sekalian ngasih tahu rencana kerja bakti minggu depan, biasa lah, tugas RT,” katanya, ngeles dengan mulus, matanya sesekali melirik Nisa yang kembali dari dapur, membawa segelas teh hangat dan paracetamol.
Nisa menyerahkan teh dan obat pada Anto, “Ini, mas, minum dulu, biar cepet sembuh,” katanya, suaranya berusaha lembut, tapi tangannya sedikit gemetar, lingerie renda di bawah daster terasa mencolok, ia takut Anto memperhatikan. Anto meneguk teh, lalu menelan paracetamol, “Makasih, Nis,” katanya, lalu kembali menatap Pak RT, “Jadi, kerja bakti apa, Pak? Gotnya lagi mampet ya?” tanyanya, nadanya masih penuh rasa ingin tahu, wajahnya lelah tapi matanya tak lepas dari pria itu. Pak RT tetap tenang, “Iya, Mas, got di ujung gang agak buntu, rencana minggu depan kita bersihin bareng, saya tadi ceritain ke Nisa, biar Mas Anto tahu juga,” katanya, suaranya meyakinkan, tangannya mengusap dagu, berpura-pura santai, meski jantungnya berdegup kencang, tahu sofa di belakangnya penuh noda zina.
Nisa duduk di samping Anto, kakinya rapat, berusaha menutupi kegugupan, “Iya, mas, Pak RT cuma cerita itu tadi, nggak lama kok,” katanya, tersenyum kaku, tangannya memegang lengan Anto, berharap suaminya tak curiga. Anto mengangguk, “Oh, gitu, ya udah, Pak, nanti saya ikut kerja bakti kalau udah sembuh,” katanya, lalu menyesap teh lagi, wajahnya mulai rileks, pusingnya sepertinya mereda. Pak RT mengangguk, “Bagus, Mas, kita butuh tenaga bapak-bapak, ya, saya pamit dulu, mau lanjutin keliling,” katanya, berdiri dengan gerakan santai, meski keringat dingin membasahi punggungnya, ia melangkah ke pintu, menoleh ke Nisa sekilas, matanya penuh janji mesum yang tersembunyi, “Nisa, Mas Anto, saya duluan, ya, semoga cepet sembuh,” tambahnya, suaranya ramah.
Pak RT keluar, pintu ditutup dengan bunyi “krek” pelan, meninggalkan Nisa dan Anto di ruang tamu yang masih hangat oleh sisa zina. Nisa menghela napas lega, tapi jantungnya masih berdegup kencang, lingerie renda merah di bawah daster terasa seperti rahasia yang membakar, “Mas, istirahat dulu di kamar, aku bersih-bersih,” katanya, buru-buru berdiri, ingin menghapus jejak di sofa sebelum Anto memperhatikan. Anto mengangguk, “Iya, Nis, aku mau tiduran, pusing banget,” katanya, berjalan ke kamar, tanpa curiga, tangan Nisa gemetar saat memungut cangkir, aroma amis di ruang tamu masih samar, tapi Anto tak menyadari. Nisa melirik ke arah pintu, teringat ciuman Pak RT, belaiannya, dan janji “besok,” hatinya terbelah antara rasa bersalah dan hasrat yang kini tak bisa ia tolak.
Ruang tamu kembali sepi, sinar matahari pagiari menyinari sofa yang penuh noda, lingerie renda merah Nisa tersembunyi di bawah daster, tapi kenikmatan zina dengan Pak RT masih terasa di tubuhnya. Nisa mengambil kain lap, buru-buru mengelap sofa, tanya, “Mas, tehnya habis? Mau tambah?” katanya dari ruang tamu, berusaha terdengar biasa, suaranya sedikit serak. Anto, sudah di kamar, menjawab lemah, “Nggak usah, Nis, aku tidur dulu,” katanya, pintu kamar tertutup. Nisa menghela napas panjang, tangan gemetar memegang lap basah, pikirannya melayang ke Pak RT, “Mas sayang… besok kita lanjutin,” gumamnya sendiri, senyum kecil muncul di bibirnya, meski penuh rasa bersalah. Desa di luar tetap hening, tak tahu bahwa Nisa telah menjaga rahasia zina di rumahnya, sementara Anto, terlelap karena pusing, tak menyadari sofa di ruang tamunya telah menjadi panggung dosa istrinya dengan Pak RT.
-------------------------------------------------------
Anto, suami Nisa, kini terlelap pulas di kasur kamar, wajahnya pucat karena pusing, dengkurannya pelan terdengar dari balik pintu yang sedikit terbuka. Nisa berdiri di ruang tamu, tangannya gemetar memegang kain lap basah, membersihkan sofa kayu yang masih hangat, penuh noda peju dan keringat dari zina brutalnya dengan Pak RT—ironi yang membuat jantungnya hampir copot, karena sofa itu baru saja diduduki Anto tanpa curiga. Aroma amis peju dan keringat mereka berdua masih samar di udara, namun Anto, yang lelah dan sakit, tak menyadari apa pun, membuat Nisa menghela napas lega sekaligus ketakutan, “Ya Tuhan, hampir ketahuan…” gumamnya, wajahnya memucat, daster birunya menutupi lingerie renda merah yang masih basah di kulitnya.
Nisa menggosok sofa dengan keras, kain lap menyerap noda cairan kenikmatan, bunyi “sret… sret” dari kain basah mengiringi pikirannya yang kacau, tubuhnya masih merasakan sisa ciuman mesra Pak RT—di bibir, leher, hingga payudaranya—setiap sentuhan pria itu seperti cap panas yang tak hilang. Ia berjongkok, menyeka tetesan peju di lantai kayu, jejak yang ditinggalkan saat ia berjalan ke dapur tadi, “Mas sayang… kenapa buru-buru pulang sih,” desahnya pelan, sedih karena Pak RT terpaksa pergi saat Anto tiba, meninggalkan kehangatan yang Nisa dambakan. Lingerie renda di bawah daster terasa seperti pengingat dosa, memeknya masih lumer, peju Pak RT yang kental seolah menempel di rahimnya, membuatnya merindukan belaian dan kejantanan pria itu, sesuatu yang Anto tak pernah penuhi, terutama hari ini saat ia hanya tidur pulas.
Selesai membersihkan sofa dan lantai, Nisa berdiri, tangannya menyeka keringat di dahi, ruang tamu kini bersih, aroma amis tersamarkan oleh bau sabun dari kain lap, tapi hatinya masih bergejolak. Ia melirik ke arah kamar, mendengar dengkuran Anto yang teratur, “Mas udah tidur mati kayak gini, nggak tahu apa-apa,” pikirnya, kesal bercampur sedih, merasa suaminya tak pernah peka pada kebutuhannya sebagai wanita. Rasa rindu pada Pak RT semakin kuat, ciumannya yang buas, pujiannya yang mesum, “Sayangku, kamu istriku binal,” bergema di kepalanya, membuat klitorisnya berkedut pelan, hasratnya belum padam. Nisa menatap jam dinding—baru pukul 11:30—dan pikiran nakal muncul, “Mas sayang mungkin masih di jalan, belum jauh,” gumamnya, jantungnya berdegup kencang, ada dorongan kuat untuk menyusul pria itu, mencari belaian yang terputus tadi.
Nisa berjalan ke cermin kecil di sudut ruang tamu, memeriksa penampilannya, daster birunya sederhana, tapi lingerie renda merah di bawahnya membuatnya merasa seksi, wajahnya masih memerah karena kenikmatan tadi, “Nisa, kamu gila, tapi… Nisa butuh mas sayang,” bisiknya pada diri sendiri, tangannya menyisir rambut yang sedikit kusut. Ia melirik ke pintu kamar lagi, memastikan Anto masih tidur, dengkurannya tak berubah, “Mas nggak bakal bangun, pusing gitu,” pikirnya, meyakinkan diri untuk berani melangkah. Dengan hati-hati, ia mengambil sandal di dekat pintu, tangannya memegang gagang pintu, napasnya tersengal, rasa bersalah bertarung dengan hasrat yang membakar, tapi keinginannya untuk dicintai oleh Pak RT menang, “Cuma sebentar, ketemu mas sayang, terus balik,” gumamnya, mencoba membenarkan niatnya.
Nisa membuka pintu pelan, bunyi “krek” kecil terdengar, udara segar pagi menyapa wajahnya, desa tampak tenang, hanya suara burung dan angin yang terdengar. Ia melangkah keluar, menutup pintu dengan hati-hati, lalu berjalan cepat ke arah gang tempat Pak RT biasa lewat saat keliling sebagai RT, daster birunya berkibar, lingerie renda di bawahnya terasa seperti rahasia yang ia bawa. “Mas sayang, tunggu Nisa…” bisiknya, matanya memindai jalanan, berharap melihat sosok Pak RT yang mungkin masih berjalan pulang. Jantungnya berdegup kencang, setiap langkah penuh risiko, tapi kenangan ciuman Pak RT, remasan di payudaranya, dan genjotan yang membuatnya merasa hidup mendorongnya maju, melupakan Anto yang tidur pulas di kasur, tak tahu istrinya mengejar pria lain untuk cinta mesum.
Sepanjang jalan, Nisa berjalan dengan langkah ringan namun waspada, sesekali menoleh ke belakang, takut ada tetangga yang melihat, “Kalau ketahuan, habis Nisa,” pikirnya, tapi hasratnya lebih kuat, memeknya masih basah, peju Pak RT seolah mengingatkannya pada kenikmatan tadi. Ia teringat pujian pria itu, “Nisa, kamu bikin suamimu gila,” dan senyum kecil muncul di bibirnya, “Mas sayang pasti kaget Nisa nyusul,” gumamnya, wajahnya berseri meski penuh ketegangan. Di ujung gang, ia melihat sosok pria berkaus ketat berjalan pelan, jantungnya melonjak, “Itu mas sayang!” bisiknya, mempercepat langkah, daster birunya tersingkap sedikit, memperlihatkan paha putihnya, ia tak peduli, hanya ingin merasakan pelukan Pak RT lagi, belaian yang membuatnya merasa diinginkan sebagai wanita.
Nisa mendekati sosok itu, napasnya memburu, “Mas sayang!” panggilnya pelan, suaranya penuh rindu, pria itu menoleh, dan benar, Pak RT berdiri di sana, alisnya terangkat, senyum licik muncul, “Nisa? Ya Tuhan, sayang, kamu ngapain ke sini?” tanyanya, melangkah mendekat, tangannya langsung menggenggam lengan Nisa, matanya menjelajahi daster yang menyembunyikan lingerie renda merah. Nisa tersenyum malu-malu, “Mas, Nisa kangen, tadi keburu pulang, Nisa pengen ketemu mas lagi,” katanya manja, tangannya menyentuh dada Pak RT, jari-jarinya mengelus kaus ketat itu, “Anto udah tidur, mas, Nisa butuh mas sayang,” tambahnya, matanya penuh hasrat, tak peduli risiko ketahuan tetangga, ciuman mesra tadi masih terasa di kulitnya, mendorongnya untuk mengejar zina yang kini menjadi candunya.
Pak RT tertawa pelan, “Sayangku binal, berani banget nyusul suamimu ini,” katanya, tangannya merangkul pinggang Nisa, menariknya ke sisi gang yang lebih sepi, di balik pohon mangga, “Nisa, kamu bikin mas nggak bisa nolak, pengen manja lagi, ya?” tanyanya serak, jari-jarinya mengelus pipi Nisa, lalu turun ke lehernya, menciumnya dengan bunyi “smeck” lembut. Nisa mengangguk, “Iya, mas sayang, Nisa cuma pengen dibelai mas, cium Nisa lagi,” desahnya, tangannya merangkul leher Pak RT, menariknya untuk ciuman, bibir mereka bertemu, bunyi “slurpp” pelan mengiringi, lidah mereka saling menari, Nisa tenggelam dalam belaian yang ia dambakan, lupa pada Anto yang tidur pulas, lupa pada sofa yang baru ia bersihkan, hanya ingin merasakan kejantanan Pak RT yang membuatnya hidup, meski di ujung gang, di bawah pohon mangga.
----------------------------------------
Cahaya pagi yang hangat menyapa gang kecil di desa, pohon mangga di sudut memberikan keteduhan, namun tak cukup untuk mendinginkan hasrat yang membara antara Nisa dan Pak RT, pukul 11:45 di desa yang masih sepi. Nisa, dengan daster biru tipis yang menutupi lingerie renda merah, semakin liar meski di tempat umum, ciumannya buas, melumat bibir Pak RT di balik pohon, bunyi “slurpp… smeck” pelan memenuhi udara, tangannya merangkul leher pria itu, memeknya masih lumer dari peju tadi, menambah nafsunya. “Mas sayang, Nisa pengen mas sekarang, cium terus,” desahnya, lidahnya menjilat leher Pak RT, tak peduli risiko tetangga melihat. Pak RT, meski terbawa, sedikit menahan, tangannya memegang pinggang Nisa, “Sayang, pelan, kita di luar, ayo ke rumah mas, lebih aman,” katanya serak, matanya penuh nafsu tapi waspada, menarik Nisa agar tak terlalu mencolok.
Nisa mengangguk, tapi matanya berkilat binal, “Ke rumah mas? Tapi… Bu RT gimana? Nisa takut ketahuan,” katanya, suaranya campur waswas dan hasrat, tangannya masih mengelus dada Pak RT, jari-jarinya bermain di kaus ketat pria itu. Pak RT tersenyum licik, “Tenang, Nisa sayang, istri saya jam segini lagi masak di dapur belakang, dia kalau masak lama, nggak mau diganggu, fokus banget,” katanya meyakinkan, tangannya mencubit pinggul Nisa, “Kita masuk lewat pintu depan, pelan-pelan, lanjut di kamar, mas pastiin aman,” tambahnya, nada mesumnya penuh janji. Nisa menggigit bibir, waswas di hatinya bertarung dengan nafsu yang membakar, “Ya Tuhan, Nisa bakal jadi pelakor beneran…” pikirnya, tapi ciuman Pak RT tadi, pujiannya, dan genjotan yang membuatnya merasa hidup terlalu kuat, “Oke, mas, tapi pelan ya, Nisa takut,” katanya, tersenyum genit, setuju meski jantungnya berdegup kencang.
Mereka berjalan meninggalkan pohon mangga, beriringan seperti kekasih penuh cinta dan nafsu, tangan Nisa menggenggam lengan Pak RT, daster birunya berkibar pelan, lingerie renda di bawahnya terasa seperti rahasia mesum yang ia bawa. Pak RT berjalan santai, sesekali melirik Nisa, “Sayangku, kamu cantik banget, nanti di kamar mas manjain sampai puas,” katanya pelan, suaranya serak, membuat Nisa tersenyum, “Mas sayang, Nisa cuma pengen sama mas, bikin Nisa lupa dunia,” balasnya manja, tangannya mencubit lengan pria itu, langkah mereka cepat tapi hati-hati, menghindari tetangga yang mungkin lewat. Jalanan desa sepi, hanya suara ayam berkokok dan angin pagi, tapi Nisa merasa setiap langkah membawanya lebih dalam ke jurang zina, namun nafsunya menang, melupakan Anto yang tidur pulas di rumah.
Sampai di depan rumah Pak RT, sebuah rumah sederhana dengan pagar kayu dan pintu depan setengah terbuka, Nisa merasa jantungnya hampir copot, “Mas, beneran aman, kan?” bisiknya, tangannya mencengkeram lengan Pak RT, matanya memindai halaman, takut melihat Bu RT. Pak RT mengangguk, “Aman, sayang, denger, nggak ada suara dari depan, dia pasti di dapur,” katanya, menunjuk ke arah belakang rumah, samar-samar terdengar bunyi wajan dan aroma masakan. Ia membuka pintu pelan, bunyi “krek” kecil membuat Nisa menahan napas, lalu menarik tangan Nisa masuk, “Pelan, ikut mas,” bisiknya, langkahnya ringan, Nisa mengikuti, daster birunya menyapu lantai, lingerie renda di bawahnya basah, memeknya berkedut mengingat “lanjutan” yang dijanjikan.
Mereka melangkah masuk, ruang tamu rumah Pak RT sederhana, bau masakan dari dapur semakin kuat, Nisa mendengar suara Bu RT bersenandung pelan, membuatnya semakin waswas, “Mas, Nisa takut, kalau ketahuan mati kita,” bisiknya, wajahnya memucat, tapi Pak RT hanya tersenyum, “Sayangku, percaya sama suamimu ini, dia nggak bakal ke depan, kamar mas di ujung, ayo,” katanya, tangannya merangkul pinggang Nisa, menuntunnya melewati lorong pendek, langkah mereka hampir tak bersuara. Nisa mengangguk, mencoba menenangkan diri, tapi hasratnya tetap membara, “Mas sayang, Nisa cuma mau sama mas, cepet ke kamar,” desahnya pelan, tangannya mengelus lengan Pak RT, seperti kekasih yang tak sabar, meski tahu ia kini benar-benar pelakor, perebut laki orang.
Mereka sampai di depan kamar Pak RT, pintu kayu sederhana sedikit terbuka, Nisa melirik ke belakang, memastikan tak ada Bu RT, jantungnya berdegup kencang, “Mas, buruan, Nisa nggak tahan,” bisiknya, suaranya penuh nafsu, lingerie renda di bawah daster terasa panas di kulitnya. Pak RT membuka pintu pelan, “Masuk, sayang, di sini kita bebas,” katanya, menarik Nisa masuk, lalu menutup pintu dengan hati-hati, bunyi “klik” kecil menandakan mereka aman. Kamar kecil itu sederhana, kasur dengan sprei biru, bau sabun dari baju bersih di sudut, tapi bagi Nisa, ini seperti surga mesum, “Mas sayang, akhirnya… cium Nisa, lanjutin tadi,” katanya, langsung merangkul leher Pak RT, bibirnya mencari bibir pria itu, ciuman mereka meledak, bunyi “slurpp… smeck” mengisi kamar, nafsu Nisa tak terbendung.
Di dalam kamar, Nisa dan Pak RT tenggelam dalam ciuman buas, tangan Nisa menarik kaus Pak RT, ingin merasakan kulitnya, “Mas, Nisa kangen banget, bela Nisa lagi,” desahnya, lidahnya menari di mulut pria itu, payudaranya menempel di dada Pak RT, renda renda di bawah daster memperkuat sensasi. Pak RT membalas dengan penuh nafsu, “Sayangku, kamu bikin suamimu gila, di kamar ini mas kasih yang lebih nikmat,” katanya, tangannya menyelip ke daster Nisa, meraba lingerie, jari-jarinya menyentuh memek yang masih lumer, membuat Nisa mendesah, “Mmh… mas, sekarang, Nisa mau mas!” Kamar terasa panas, suara Bu RT dari dapur samar-samar terdengar, tapi Nisa tak peduli, ia kini pelakor sejati, menyerahkan tubuh dan hatinya pada Pak RT, lupa pada Anto yang tidur pulas di rumah.
Ciuman mereka semakin liar, Pak RT menarik daster Nisa, memperlihatkan lingerie renda merah yang basah, “Nisa, kamu bidadari binal, mas pengen ngentot kamu sampe lupa nama,” katanya serak, tangannya meremas payudara Nisa, mencubit puting melalui renda, membuat wanita itu melengkung, “Ahh… mas sayang, genjot Nisa, bikin Nisa punya mas selamanya,” desahnya, tangannya menarik celana Pak RT, ingin merasakan kontol yang tadi membuatnya squirting. Mereka jatuh ke kasur, sprei biru berderit di bawah berat tubuh mereka, ciuman tak putus, bunyi “slurpp… plop” bercampur desahan, Nisa tenggelam dalam nafsu, tahu ia sedang merebut laki orang, tapi kebutuhannya akan belaian dan kejantanan Pak RT terlalu kuat, mengalahkan rasa bersalah yang kian samar, kamar ini menjadi panggung zina baru mereka.
Pagi berlalu, desa tetap hening, tak tahu bahwa Nisa telah meninggalkan rumahnya, menyusul Pak RT, dan kini menjadi pelakor di kamar pria itu, di bawah hidung Bu RT yang sibuk memasak. Nisa dan Pak RT terus bermesraan, kasur berderit pelan, “Mas sayang, Nisa cuma pengen dicintai mas, lanjutin yang tadi, ya,” katanya, suaranya penuh rindu, ciumannya rakus, tangannya mencengkeram rambut Pak RT. Pria itu tersenyum, “Istriku binal, mas bakal kasih semua yang kamu minta, ngentot kita bakal lebih panas di sini,” katanya, tangannya menarik celana dalam renda Nisa, siap melanjutkan zina yang terputus, suara wajan dari dapur seperti pengingat risiko, tapi Nisa tak peduli, hanya ingin tenggelam dalam pelukan Pak RT, melupakan Anto, melupakan Bu RT, dan menikmati dosa yang terasa seperti cinta di kamar kecil itu
1610Please respect copyright.PENANArVeQqJ8ZgR
1610Please respect copyright.PENANA7K84fZfWSS
TO BE CONTINUED
1610Please respect copyright.PENANALW67cX7KdV
1610Please respect copyright.PENANA2EPUb2qhCI