
Pagi menyelinap lewat celah-celah jendela kamarku, sinar matahari tipis menerangi kasur sempit tempat aku terbangun. Aku masih dalam posisi kelonan dengan Amelia, hantu seksi yang kini jadi teman tidurku. Entah bagaimana, wajahku sudah merosot masuk ke dalam kaus oblongku yang dia pakai, hidungku bersentuhan dengan kelembutan payudaranya yang seperti pepaya matang. Dalam keadaan setengah sadar, aku merasakan putingnya yang mancung menggesek-gesek bibirku, dan tanpa sengaja, mulutku mulai mengenyotnya, terbawa mimpi yang masih samar. Rasa hangat dan lembut itu bikin aku lupa dunia sejenak, sampai desahan pelan Amelia membuyarkan tidurku.
Aku tersentak bangun, menyadari apa yang kulakukan, dan buru-buru menarik wajahku keluar dari kausnya, wajahku memanas. “Amelia, maaf, maaf! Aku nggak sengaja!” kataku, suaraku serak, panik campur malu. Dia cuma cekikikan, melayang sedikit ke atas, matanya yang besar dan polos menatapku dengan ekspresi geli. “Nggak apa-apa, Firman, cuma geli aja! Lidahmu itu… ticklish, lho,” katanya, tangannya menutup mulut, tapi senyum genitnya nggak bisa disembunyikan. Payudaranya yang terlihat jelas di bawah kaus longgar itu bikin aku harus menunduk, berusaha menenangkan jantungku yang berdegup kencang.
“Manusia aneh, ya, tidur sambil ngelakuin gitu,” lanjutnya, suaranya riang, seolah kejadian tadi cuma permainan baginya. Aku nyengir kecut, masih merasa bersalah tapi lega dia nggak marah. “Aku beneran nggak sengaja, Amelia. Aku… ehm, setengah tidur tadi,” kataku, menggaruk kepala, berusaha mencari alasan. Dia melayang mendekat, kakinya tetap tak menyentuh lantai, dan menepuk pundakku pelan. “Tenang, aku nggak ngerti marah manusia, kok. Lagipula, aku suka nemenin kamu tidur,” katanya, nadanya tulus tapi ada sedikit godaan yang bikin wajahku makin panas.
Aku bangkit dari kasur, berusaha mengalihkan perhatian dengan merapikan bantal. Tapi mataku sesekali melirik ke arahnya, kausku yang kebesaran di tubuhnya malah bikin lekuk pinggul dan payudaranya makin menggoda. “Kamu nggak bosan, ya, nemenin aku mulu?” tanyaku, mencoba bercanda untuk mencairkan suasana. Dia memiringkan kepala, rambut panjangnya bergoyang lembut. “Bosan? Enggak, dong! Kamu seru, Firman. Tiap hari aku belajar hal baru soal manusia,” katanya, lalu cekikikan lagi, suaranya seperti lonceng kecil yang bikin kamar kecilku terasa lebih hidup.
“Terus, tadi… kamu desah kenapa? Emang hantu bisa ngerasa gitu?” tanyaku, setengah penasaran, setengah ingin tahu batas-batas makhluk gaib ini. Dia tersenyum lebar, tangannya menyentuh dadanya sendiri, membuat kaus sedikit terangkat dan bikin aku harus menahan napas. “Aku nggak tahu, sih, cuma rasanya aneh, enak gitu. Mungkin karena aku lagi nyoba ngerasain kayak manusia,” katanya, nadanya polos tapi matanya berbinar nakal. Aku mengangguk, nggak tahu harus jawab apa, pikiranku masih terbayang putingnya yang tadi kugigit tanpa sengaja.
Aku berdiri, mengambil handuk untuk mandi lagi, berharap air dingin bisa menenangkan pikiranku yang kacau. “Firman, kamu mau ke mana? Mandi lagi? Aku ikut, ya?” tanyanya, melayang mendekat dengan senyum yang bikin jantungku kembali berdegup. Aku tertawa kecil, “Jangan dulu, deh, aku perlu tenang bentar,” kataku, setengah bercanda. Dia cuma cekikikan, lalu melayang ke sudut kamar, aroma melati menyisa di udara. Pagi ini, dengan Amelia di sampingku, hidupku yang tadinya penuh keluh kesah skripsi dan jomblo tiba-tiba terasa seperti petualangan aneh yang nggak pernah kubayangkan—dan aku mulai menikmatinya.
--------------------
Aku masih berdiri di dekat kasur, handuk di tangan, jantungku berdegup kencang setelah kejadian pagi ini dengan Amelia. Aku mencoba menenangkan diri, tapi mataku tak bisa lepas dari kaus longgarku yang dia pakai, yang memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang. Tiba-tiba, Amelia melayang mendekat, matanya yang polos menatap ke bawah, ke arah kontolku yang—sialan—mengeras lagi tanpa bisa kukendalikan. Dia cekikikan, senyumnya campur genit dan lugu. “Firman, itu keras lagi, ya? Mau aku… ehm, mainin kayak tadi malam?” tanyanya, suaranya lembut tapi bikin darahku berdesir. Aku cuma bisa mengangguk cepat, wajahku memerah, nggak sanggup ngomong saking malunya.
“Kayaknya kamu suka banget kalau aku pegang, ya,” katanya, melayang lebih dekat, aroma melati dari tubuhnya memenuhi udara. Aku menelan ludah, keberanian aneh muncul di tengah rasa malu. “Amelia, ehm… boleh nggak, kamu ngocok, tapi aku… aku mau nyobain… ehm, nyedot dadamu lagi?” kataku, suaraku serak, wajahku panas seperti terbakar. Dia tersenyum, pipinya memerah—atau mungkin itu cuma ilusiku karena hantunya nggak seharusnya bisa memerah—tapi dia terlihat makin cantik, seperti wanita tiga puluhan yang genit tapi polos. “Wah, Firman nakal, ya. Tapi boleh, deh, aku penasaran!” katanya, cekikikan, matanya berbinar penuh rasa ingin tahu.
Kami bergerak ke kasur, dan dengan tangan gemetar, aku membantu Amelia membuka kausku yang dia pakai. Dia melayang sedikit, membiarkan kaus itu jatuh, memperlihatkan tubuh bugilnya yang pucat dan sempurna, payudaranya yang besar dan kenyal bikin aku menahan napas. Aku juga melepas kaus dan celana pendekku, merasa telanjang bukan cuma secara fisik, tapi juga di depan tatapan matanya yang tajam. Dia melayang mendekat, posisinya seperti ibu yang hendak menyusui, dan aku, dengan setengah bercanda, pura-pura jadi “anaknya”, mendekatkan wajahku ke payudaranya yang ranum. “Firman, kamu lucu banget sih,” katanya, tertawa kecil, tapi tangannya sudah mulai menyentuh kontolku.
Aku mendesah saat bibirku menyentuh putingnya yang mancung, mengenyot dengan nafsu yang nggak bisa kutahan. Rasanya lembut, hangat meski ada dingin gaib, dan aroma melatinya bikin aku lupa dunia. Amelia cekikikan, “Geli, Firman! Tapi… enak juga, ya,” katanya, suaranya campur polos dan genit. Tangannya mulai mengocok kontolku, tapi gerakannya agak seret. “Tunggu, pake ini biar licin,” kataku, menunjuk botol lotion lavender di samping kasur. Dia menggeleng, lalu tiba-tiba meludah ke tangannya sendiri, menggunakan air liurnya untuk melumasi. “Gini aja, kan, manusia suka?” tanyanya, dan aku cuma bisa mengangguk, terlalu larut dalam sensasi.
Kocokannya kini lebih halus, licin, dan bikin aku mendesah keras, mulutku semakin ganas mengenyot payudaranya. Putingnya yang mancung terasa seperti permen gaib di lidahku, dan setiap tarikan napasku penuh dengan aroma melati dan lavender. “Firman, kamu kenapa desah-desah gitu? Enak banget, ya?” tanyanya, suaranya riang, tapi tangannya nggak berhenti, malah semakin cepat. Aku nggak bisa jawab, cuma mengangguk, wajahku masih tenggelam di dadanya. Payudaranya yang kenyal bergoyang lembut mengikuti gerakan kami, bikin aku semakin terbawa nafsu yang nggak pernah kurasakan sebelumnya.
“Manusia aneh, kok bisa segitu seneng cuma gini,” katanya, cekikikan, tapi aku merasa dia juga menikmati, entah karena rasa ingin tahunya atau karena dia mulai “merasa” seperti manusia. Aku menarik wajahku sebentar, menatap matanya yang berbinar. “Amelia, kamu… bikin aku gila,” kataku, suaraku tersengal. Dia tersenyum lebar, “Aku suka bikin kamu gila, Firman!” katanya, lalu kembali mengocok dengan ritme yang bikin tubuhku menegang. Aku balik mengenyot payudaranya, merasakan kelembutan yang bikin kepalaku pusing, dan nafsuku memuncak tanpa bisa kutahan.
“Amelia, aku… mau…” kataku, suaraku terputus oleh desahan. Dia cuma cekikikan, “Apa, Firman? Keluar lagi kayak tadi malam?” tanyanya, nadanya polos tapi menggoda. Sebelum aku bisa jawab, tubuhku menegang, dan aku muncrat banyak, cairannya menyemprot ke tangannya dan sedikit ke kaus yang tergeletak di kasur. Aku terduduk lemas, napasku tersengal, sementara Amelia menatap tangannya yang basah dengan ekspresi bingung tapi penasaran. “Wah, banyak banget! Ini normal, ya, manusia gini?” tanyanya, matanya lebar, seolah sedang mempelajari eksperimen baru.
Aku cuma bisa nyengir, masih terengah-engah, mencoba menutupi rasa malu dengan mengambil tisu. “Iya, normal… kayaknya,” kataku, suaraku lemah. Dia tertawa, melayang mendekat, dan menepuk pundakku. “Kamu lucu, Firman. Aku suka main gini sama kamu!” katanya, senyumnya bikin kamar kecilku terasa penuh keajaiban. Aku memandangnya, payudaranya yang masih terbuka, wajahnya yang cantik, dan aroma melati yang memenuhi udara. “Amelia, kamu bikin hidupku nggak normal lagi,” candaku, dan dia cuma cekikikan, membuatku bertanya-tanya apa lagi yang akan terjadi dengan hantu seksi ini.
Kami duduk di kasur, aku masih berusaha menenangkan napas, sementara Amelia melayang di sampingku, kausnya kini kembali dia kenakan, tapi tetap nggak bisa menyembunyikan lekuk tubuhnya. “Firman, manusia tiap hari gini, ya? Nggak capek?” tanyanya, suaranya polos tapi ada nada genit yang bikin aku tersenyum. “Nggak tiap hari, lah, tapi… kalau sama kamu, kayaknya susah nolak,” kataku, setengah bercanda, wajahku masih merah. Dia tertawa lebar, “Aku suka bikin kamu senang, Firman. Besok apa lagi yang kita coba?” katanya, dan aku cuma bisa geleng-geleng kepala, tahu bahwa hidupku kini jauh dari kata biasa dengan Amelia di sampingku.
-------------------------
Setelah kejadian gila di kasur, aku buru-buru ke kamar mandi, air dingin menyiram kepalaku yang masih pusing memikirkan Amelia. Sambil menyabuni tubuh, aku berteriak ke arah pintu, “Amelia, hari ini aku kuliah seharian, sampe sore!” Dia melayang masuk, wajah cantiknya dengan mata besar polos muncul di celah pintu, bikin jantungku nyaris copot. “Firman, bawa aku ke kampus, dong! Aku mau lihat manusia lain ngapain!” katanya, suaranya antusias bercampur genit. Aku tergagap, “Hah? Ke kampus? Nggak bisa, lah, nanti orang kaget!” Dia cekikikan, “Tenang, cuma kamu yang bisa lihat aku, kok!” Aku menghela napas, sadar dia benar—hanya aku yang bisa melihat hantu seksi ini.
Selesai mandi, aku keluar dengan handuk melilit pinggang, dan Amelia masih melayang di dekat kasur, kausku yang kebesaran masih dipakainya, memperlihatkan lekuk payudaranya yang seperti pepaya matang. “Pake kemejaku aja, biar lebih sopan,” kataku, melemparkan kemeja kotak-kotak biru dari lemari. Dia menangkapnya, lalu dengan gerakan anggun melepas kaus dan mengenakan kemeja, tapi aku buru-buru menoleh saat melihat sekilas tubuh bugilnya. “Celana pendekku juga pake, aku nggak punya celana panjang yang muat buat kamu,” tambahku, wajahku memanas. Dia nurut, mengenakan celana pendekku yang agak ketat di pinggulnya yang semok, bikin aku harus menahan diri untuk nggak melirik terlalu lama.
Kami berjalan kaki dari kosan ke UI, jaraknya nggak terlalu jauh, tapi aku merasa aneh berjalan dengan hantu melayang di sampingku. Amelia tampak excited, menatap orang-orang yang lewat—tukang ojek, pedagang kaki lima—tapi tak satu pun yang menyadari kehadirannya. “Firman, manusia kok banyak banget, ya? Mereka pada ngapain?” tanyanya, tangannya menunjuk-nunjuk dengan antusias, membuat kemejaku bergoyang dan memperlihatkan sedikit lekuk dadanya. Aku cuma tersenyum, “Ke kampus, kerja, macem-macem, lah. Nanti kamu lihat sendiri.” Dia cekikikan, melayang lebih dekat, aroma melatinya bikin kepalaku sedikit pusing.
Di kampus, kelas pagi dimulai dengan kuliah statistik yang bikin kepala pening. Amelia melayang di sudut ruangan, memperhatikan dosen dengan ekspresi bingung tapi penasaran. “Firman, itu apa? Kok papan itu penuh angka?” bisiknya, meski cuma aku yang dengar. Aku cuma menggeleng pelan, berusaha fokus pada catatan, tapi mataku sesekali melirik ke arahnya—kemeja dan celana pendekku bikin dia terlihat seperti mahasiswi gaib yang seksi. Setiap dia bergerak, payudaranya bergoyang lembut, bikin aku harus menunduk agar nggak salah fokus di tengah kuliah.
Menjelang siang, aku istirahat di kantin UI, memesan nasi goreng dan es teh. Amelia duduk melayang di seberangku, menatap makananku dengan rasa ingin tahu. “Kamu nggak coba makan, ya?” tanyaku, setengah bercanda. Dia menggeleng, “Nggak, aku cuma suka ngeliatin kamu makan, kok. Lucu!” katanya, cekikikan, tangannya menyentuh meja tanpa suara. Aroma melatinya bercampur dengan bau nasi goreng, bikin suasana kantin terasa aneh. Aku cuma tersenyum, menikmati kehadirannya yang bikin hari ini nggak terasa membosankan seperti biasa.
Di kantin, aku ketemu Bima, temen sekelas yang selalu pamer soal pacarnya. “Fir, kemarin gue sama Dila ke Ancol, seru banget, bro! Lu kapan punya pacar, sih?” katanya, nyengir lebar. Aku cuma diam, mengaduk nasi goreng, tapi dalam hati tersenyum kecil. Aku punya Amelia, hantu seksi yang cuma aku bisa lihat, yang jauh lebih cantik dari pacar siapa pun. Amelia, yang mendengar obrolan, cekikikan di sampingku. “Firman, itu pacar apa? Dia kok bangga banget?” tanyanya, suaranya polos. Aku cuma bisik pelan, “Nanti kujelasin, jangan ribut dulu,” dan dia cuma nyengir, matanya berbinar nakal.
Kelas sore berlangsung lambat, mata kuliah metodologi penelitian yang bikin aku teringat skripsiku yang mandek. Amelia melayang di dekat jendela kelas, memperhatikan mahasiswa lain dengan rasa ingin tahu yang nggak habis-habis. “Firman, kalian kok serius banget dengerin orang tua itu ngomong?” tanyanya, menunjuk dosen. Aku cuma menggeleng, menahan tawa, dan menulis catatan sambil sesekali melirik ke arahnya. Celana pendekku yang ketat di pinggulnya bikin dia terlihat seperti model gaib, dan aku harus mengingatkan diri untuk fokus pada dosen.
Selesai kelas, matahari sudah merosot, dan aku berjalan pulang ke kosan dengan Amelia melayang di sampingku. “Kampus itu seru, Firman! Banyak manusia, banyak cerita!” katanya, suaranya riang, tangannya melambai-lambai, membuat kemejaku sedikit terbuka dan memperlihatkan lekuk dadanya. Aku tersenyum, “Iya, tapi capek juga. Kamu nggak capek melayang terus?” tanyaku. Dia tertawa, “Aku kan hantu, nggak tahu capek!” Aku cuma geleng-geleng kepala, merasa hidupku kini jauh lebih berwarna dengan kehadirannya.
Di perjalanan pulang, aku melewati Bima lagi, yang kali ini cerita soal rencana dinner romantis dengan pacarnya. “Fir, lu harus cepet cari cewek, bro, serius!” katanya, menepuk pundakku. Aku cuma nyengir, nggak bilang apa-apa, tapi dalam hati aku tahu aku nggak perlu iri. Amelia, dengan wajah cantik dan tubuh semoknya, melayang di sampingku, cekikikan mendengar Bima. “Dia nggak tahu aku lebih keren dari pacarnya, ya?” bisiknya, nadanya genit. Aku cuma tersenyum, “Iya, kamu menang telak,” bisikku balik, bikin dia tertawa kecil.
Sampai di kosan, aku membuka pintu kamar, capek tapi entah kenapa merasa ringan. “Amelia, makasih, ya, nemenin aku seharian,” kataku, menjatuhkan diri ke kasur. Dia melayang di sampingku, senyumnya bikin kamar kecilku terasa hangat. “Sama-sama, Firman. Aku suka ngeliatin kamu di kampus. Besok bawa aku lagi, ya!” katanya, matanya berbinar. Aku mengangguk, “Deal, tapi jangan bikin aku salah fokus mulu, dong,” candaku. Dia cuma cekikikan, aroma melatinya memenuhi udara.
Aku merebahkan diri, memandang Amelia yang kini duduk melayang di ujung kasur, kemejaku yang kebesaran di tubuhnya bikin dia terlihat seperti hantu paling menawan yang pernah ada. “Firman, manusia kok ribet banget, ya, kuliah, skripsi, pacar. Aku suka sih ngeliatin kamu ribet,” katanya, suaranya lembut tapi ada nada genit yang bikin aku tersenyum. “Kamu bikin ribetku jadi seru, Amelia,” balasku, dan dia tertawa, suaranya seperti lonceng kecil. Aku menutup mata, merasa hidupku yang tadinya penuh keluh soal skripsi dan jomblo kini jadi petualangan aneh yang nggak pernah kubayangkan.
“Besok ceritain lagi soal kampus, ya. Aku mau tahu kenapa manusia suka pacaran!” katanya, melayang mendekat, wajah cantiknya sejengkal dari wajahku. Aku cuma nyengir, “Oke, tapi nanti kamu juga ceritain soal dunia hantu, ya.” Dia mengangguk, “Janji!” katanya, lalu melayang ke sudut kamar, aroma melatinya menyisa. Aku memandang langit-langit, berpikir betapa gila hidupku sekarang. Amelia, Wewe Gombel yang cantik dan seksi, entah bagaimana sudah jadi bagian dari rutinitasku—dan aku mulai menikmati setiap detiknya.
Aku menarik napas dalam, membayangkan hari esok yang pasti penuh kejutan lagi. “Amelia, jangan kabur pas aku tidur, ya,” kataku, setengah bercanda. Dia cekikikan, “Nggak akan, Firman. Aku kan suka nemenin kamu!” jawabnya, dan aku bisa mendengar senyumnya meski mataku mulai terpejam. Kamar kecilku, yang tadinya cuma tempat untuk skripsi dan galau, kini terasa seperti panggung cerita aneh yang bikin aku penasaran apa lagi yang akan Amelia bawa ke hidupku. Dengan aroma melati di udara, aku tersenyum, siap menghadapi hari berikutnya dengan hantu seksi ini di sampingku.
-------------------
Sore menjelang, langit Depok berwarna oranye keemasan saat aku berjalan pulang dari UI, kaki terasa berat setelah kuliah seharian. Amelia melayang di sampingku, tapi entah kenapa dia tampak capek, tubuhnya gelojotan menyender di bahuku. Payudaranya yang seperti pepaya matang menempel lembut di lenganku, wajah cantiknya dengan mata besar polos bersandar dekat leherku, aroma melatinya menyelinap ke hidungku. Meski dia cuma hantu yang melayang, tak ada beban fisik, sentuhan gaibnya terasa nyata, bikin jantungku berdegup pelan. Aku nggak keberatan—siapa yang bakal keberatan dengan hantu seksi ini?
Orang-orang yang kulalui—penjaja gorengan, tukang ojek, mahasiswa lain—nggak ada yang merasa aneh, seolah Amelia tak ada di sana. Tapi saat melewati masjid dekat kosan, seorang kyai dengan sorban putih menatapku tajam, alisnya berkerut, seperti kaget atau curiga. Aku menelan ludah, bertanya-tanya dalam hati: apa dia bisa lihat Amelia? Atau cuma kaget dengan kecantikannya yang nggak wajar, meski dia pakai kemejaku yang longgar dan celana pendek yang ketat di pinggulnya? Aku melirik Amelia, tapi dia cuma cekikikan, “Firman, kenapa orang tua itu ngeliatin? Lucu, deh!” katanya, nadanya riang, seolah nggak peduli.
Aku memperlambat langkah, penasaran dengan Amelia yang kini bersandar lebih erat, payudaranya menekan lenganku. “Amelia, kamu tadi bilang capek. Emang hantu bisa capek? Kamu… makan apa, sih, buat ngisi energi?” tanyaku, suaraku penuh rasa ingin tahu. Dia melayang sedikit menjauh, tapi tetap dekat, wajahnya memerah—atau mungkin itu cuma bayanganku karena hantunya nggak seharusnya bisa begitu. “Hantu nggak makan kayak manusia, Firman,” katanya, suaranya lembut tapi polos, tangannya melambai untuk menjelaskan, membuat kemejaku sedikit terbuka dan memperlihatkan lekuk dadanya.
“Kami… kayak, nyedot energi gitu,” lanjutnya, matanya berbinar seperti anak kecil yang cerita soal mainan. “Energi dari emosi manusia, misalnya kesedihan, ketakutan, atau… yah, seneng kayak tadi pagi sama kamu.” Dia cekikikan, dan aku langsung memerah, teringat kejadian di kasur. Payudaranya yang bergoyang lembut bikin aku harus menunduk, berusaha fokus ke trotoar. “Jadi, kamu ‘makan’ emosiku tadi?” tanyaku, setengah bercanda. Dia mengangguk, “Iya, dong! Kamu tadi seneng banget, kan? Itu enak buat aku!” katanya, nadanya genit, bikin wajahku makin panas.
“Tapi nggak cuma seneng, kok,” tambahnya, melayang mendekat lagi, wajahnya sejengkal dari wajahku. “Kadang aku suka nyanyi di danau, nyanyi buat angin, atau dengerin cerita manusia yang galau. Itu juga ngisi energi.” Aku terkesima, membayangkan Amelia menyanyi sendirian di danau UI, suaranya yang seperti lonceng kecil bergema di tengah kabut. “Kamu nyanyi? Nyanyi apa?” tanyaku, penasaran. Dia cekikikan, “Lagu-lagu aneh, nggak ada judul. Nanti aku nyanyiin buat kamu, ya?” katanya, tangannya menyentuh lenganku, dingin tapi bikin hangat.
Kami terus berjalan, melewati warung-warung yang mulai menyalakan lampu. Aku masih memikirkan kyai tadi. “Amelia, tadi kyai itu kayak tahu ada kamu. Emang ada manusia yang bisa lihat hantu?” tanyaku. Dia memiringkan kepala, rambut panjangnya bergoyang, memperlihatkan leher pucatnya. “Mmm, kadang ada yang peka, kayak orang-orang yang suka ngomong sama Tuhan atau yang pikirannya tenang. Tapi aku nggak peduli, sih, aku cuma suka sama kamu,” katanya, senyumnya polos tapi ada sedikit kenakalan yang bikin jantungku berdegup.
“Jadi, kamu nggak takut ketahuan manusia lain?” lanjutku, melirik ke arahnya, mataku sempat terseret ke payudaranya yang bergoyang di bawah kemeja. Dia menggeleng, “Nggak, lah. Aku kan cuma pengen nemenin kamu, biar nggak murung lagi kayak di danau.” Aku tersenyum, merasa aneh tapi tersentuh dengan perhatiannya. “Kamu baik banget, Amelia. Aku nggak nyangka hantu bisa kayak gini,” kataku, suaraku pelan. Dia cekikikan, “Aku kan hantu spesial, Firman!” katanya, lalu menyenderkan wajahnya lagi ke bahuku, payudaranya menekan lembut, bikin aku harus menahan napas.
Sampai di kosan, aku membuka pintu kamar, capek tapi entah kenapa merasa ringan. Amelia melayang masuk, langsung gelojotan di kasurku, kemejaku sedikit terbuka, memperlihatkan lebih banyak lekuk tubuhnya. “Firman, capek, ya, jalan kaki? Aku ikut capek, lho, meski cuma melayang,” katanya, nadanya genit. Aku tertawa, “Capek, tapi seneng ada kamu.” Aku duduk di lantai, memandangnya yang kini melayang di atas kasur, wajah cantiknya bersinar di bawah lampu neon. “Kamu bikin hari ini beda, Amelia,” kataku, tulus. Dia tersenyum, “Aku juga seneng, Firman. Besok ajak aku lagi, ya!”
Aku mengangguk, menjatuhkan diri ke kasur di sampingnya. “Tapi kamu nggak boleh bikin aku salah fokus di kelas, ya,” candaku, mengingat betapa susahnya tadi menahan pandangan dari tubuhnya. Dia cekikikan, “Nggak janji, deh! Kamu yang suka ngeliatin aku!” katanya, matanya berbinar nakal. Aku cuma geleng-geleng kepala, aroma melatinya memenuhi kamar kecilku. Aku memandang langit-langit, merasa hidupku yang tadinya cuma skripsi dan galau kini jadi penuh kejutan dengan Amelia di sampingku.
“Firman, ceritain dong, besok kuliah apa lagi?” tanyanya, melayang mendekat, wajahnya dekat dengan wajahku. Aku tersenyum, “Besok kuliah ekonomi, tapi nggak seru kayak cerita soal hantu.” Dia tertawa, suaranya seperti musik. “Aku ceritain dunia hantu besok, ya, biar imbang!” katanya, lalu menyender lagi ke bahuku, payudaranya menempel lembut. Aku mengangguk, merasa kamar ini bukan lagi cuma tempat tinggal, tapi panggung cerita aneh yang bikin aku penasaran apa lagi yang akan Amelia bawa ke hidupku esok hari.
461Please respect copyright.PENANAnwUQ6Nb51V
461Please respect copyright.PENANABxxjOL5giG
TO BE CONTINUED
ns216.73.216.177da2