Sore itu, kota kecil tempat Shiwy tinggal diselimuti awan kelabu yang menggantung rendah, seolah menahan hujan yang belum siap turun. Di dalam kamar sederhana yang kini menjadi rumah barunya bersama Hasan, Shiwy duduk di depan meja rias kecil, menatap ponselnya dengan pandangan kosong. Layar ponsel menampilkan pesan masuk yang baru saja ia baca, sebuah pesan yang membuat jantungnya berdegup kencang dan pikirannya berputar ke masa lalu yang ia kira sudah terkubur.
91Please respect copyright.PENANAy4fbOaV1j0
“Shiwy, apa kabar? Aku kangen. Bisa ketemu? – Reza.”
91Please respect copyright.PENANAw9YiDmuTVW
Nama itu, Reza, seperti kilat yang menyambar di tengah ketenangannya yang rapuh. Reza, mantan kekasihnya dari masa kuliah, pria yang pernah mengisi hari-harinya dengan tawa dan janji-janji manis, namun juga meninggalkan luka saat hubungan mereka kandas karena restu keluarga yang tak pernah datang. Shiwy menggigit bibir bawahnya, jarinya ragu-ragu di atas layar. Ia tahu seharusnya ia mengabaikan pesan ini, menghapusnya, dan melanjutkan hidupnya sebagai istri Hasan. Namun, ada sesuatu dalam dirinya—kerinduan, penasaran, atau mungkin kebosanan—yang membuatnya tidak bisa menahan diri.
91Please respect copyright.PENANABWBZi0QZPI
Di ruang tamu, Hasan sedang duduk di atas tikar, sebuah mushaf Al-Qur’an terbuka di pangkuannya. Ia membaca dengan khusyuk, suaranya yang lembut mengalir seperti alunan doa. Jenggot pendeknya bergerak pelan mengikuti irama bacaannya, dan sorban putih yang selalu ia kenakan saat di rumah memberikan kesan wibawa yang tak pernah luntur. Hasan tidak menyadari kegelisahan Shiwy di kamar. Baginya, kehidupan mereka sebagai suami-istri baru berjalan sesuai rencana: ia mengajar di pesantren, Shiwy bekerja di kantor, dan mereka menjalani ibadah bersama. Ia percaya bahwa cinta akan tumbuh dengan sendirinya, seperti yang selalu dikatakan ayahnya. Namun, ketidakpekaannya terhadap kebutuhan emosional Shiwy membuat celah kecil di hati istrinya semakin menganga.
91Please respect copyright.PENANAWPHdeYbTEd
Shiwy menarik napas dalam-dalam, lalu mengetik balasan dengan jari yang sedikit gemetar. “Reza, aku sudah menikah. Kita nggak seharusnya ketemu.” Ia menatap pesan itu sejenak, lalu menghapusnya tanpa mengirim. Sebagai gantinya, ia menulis, “Aku baik-baik saja. Ketemu di mana?” Ia menekan tombol kirim sebelum pikirannya sempat menahannya, dan seketika rasa bersalah menyelinap ke dadanya. Ia meletakkan ponsel di atas meja, seolah ingin menjauhkan diri dari keputusan yang baru saja ia buat.
91Please respect copyright.PENANA2Kctb6iske
Di luar, suara adzan Maghrib berkumandang dari masjid kecil di ujung kampung. Hasan menutup mushafnya, bangkit, dan menuju kamar untuk mengajak Shiwy salat berjamaah. Ia mengetuk pintu pelan. “Ummi, waktunya salat,” katanya, suaranya tenang namun penuh otoritas lembut.
91Please respect copyright.PENANArreq7tft2c
Shiwy tersentak, buru-buru menyembunyikan ponsel di laci meja rias. “Iya, Mas, sebentar,” jawabnya, suaranya sedikit tergesa. Ia bangkit, mengambil mukenah putih dari lemari, dan mengenakannya dengan gerakan cepat. Cermin di depannya memantulkan wajahnya yang pucat, matanya penuh dengan rahasia yang baru saja ia ciptakan.
91Please respect copyright.PENANAFOfcf8W5Ld
Di ruang tamu, mereka salat berjamaah, Hasan memimpin dengan bacaan yang fasih, sementara Shiwy mengikuti di belakangnya. Namun, pikiran Shiwy tidak berada di sana. Ia teringat kafe kecil dekat kampus, tempat ia dan Reza sering menghabiskan malam dengan secangkir kopi dan cerita-cerita yang tak pernah habis. Reza, dengan jaket kulitnya yang usang dan senyum nakal yang selalu membuat Shiwy tersipu, adalah kebalikan dari Hasan. Reza adalah kebebasan, sedangkan Hasan adalah kewajiban. Dan malam ini, Shiwy merasa lebih dekat dengan bayang-bayang kebebasan itu daripada suami yang berdiri di depannya.
91Please respect copyright.PENANAheLhJp4rgR
Setelah salat selesai, Hasan duduk di tikar, memandang Shiwy yang sedang melipat mukenahnya. “Besok aku harus ke pesantren pagi-pagi, Ummi. Ada pengajian khusus untuk anak-anak,” katanya, suaranya penuh tanggung jawab.
91Please respect copyright.PENANAPKrj9Krksp
Shiwy mengangguk, tersenyum tipis. “Iya, Mas. Aku juga ada rapat di kantor besok.” Ia berbohong. Tidak ada rapat, tapi ia tahu ia akan pergi ke kafe yang disarankan Reza, meski hatinya terus memperingatkannya untuk tidak melakukannya.
91Please respect copyright.PENANARePYxBmLsW
Malam berlalu dengan cepat, dan pagi berikutnya, Shiwy berdiri di depan lemari, memilih pakaian dengan hati-hati. Ia memilih jilbab panjang berwarna abu-abu dan blus sederhana yang tidak terlalu mencolok, berusaha menjaga penampilan akhwatnya. Namun, ada kilau kecil di matanya, sesuatu yang tidak ada saat ia berdandan untuk Hasan. Ia merasa seperti sedang mencuri waktu, sebuah perasaan yang asing namun menggairahkan.
91Please respect copyright.PENANA6y4elyuo8Z
Di pesantren, Hasan sedang mengajar sekelompok anak-anak, suaranya penuh kesabaran saat menjelaskan tajwid. Ia tidak tahu bahwa istrinya, yang ia panggil dengan penuh kasih, sedang melangkah keluar dari rumah dengan hati yang dipenuhi rahasia. Hasan percaya bahwa Shiwy adalah perempuan yang Allah amanahkan kepadanya, dan keyakinan itu membuatnya tidak pernah mencurigai apa pun.
91Please respect copyright.PENANAv64XF5eSYE
Shiwy naik angkot menuju kota, duduk di sudut dengan tangan meremas tas kecilnya. Kafe yang disarankan Reza, bernama *Kopi Kenangan*, terletak di sudut jalan yang ramai, dengan jendela besar yang menghadap ke trotoar. Kafe itu adalah tempat favorit mereka berdua dulu, tempat di mana mereka pernah berbagi tawa dan mimpi. Shiwy merasa seperti melangkah ke dalam kapsul waktu saat ia mendorong pintu kafe, aroma kopi dan roti panggang langsung menyapa hidungnya.
91Please respect copyright.PENANA65hiz8EWku
Reza sudah ada di sana, duduk di sudut dekat jendela dengan segelas kopi hitam di depannya. Pria berusia 29 tahun itu masih tampan seperti dulu, dengan rambut yang sedikit berantakan dan senyum yang penuh pesona. Ia mengenakan kemeja flanel yang digulung hingga siku, memberikan kesan santai namun sengaja menarik. Saat melihat Shiwy masuk, matanya menyala, dan ia bangkit dari kursi, melambaikan tangan.
91Please respect copyright.PENANAO1rpgtz30p
“Shiwy!” serunya, suaranya penuh antusiasme. “Lama nggak ketemu, ya Tuhan, kamu masih cantik aja.”
91Please respect copyright.PENANAmlGxQMv7tt
Shiwy tersenyum canggung, merasa wajahnya memanas. “Reza, apa kabar? Kok tiba-tiba nyari aku?” tanyanya, berusaha menjaga nada netral saat ia duduk di depan Reza.
91Please respect copyright.PENANA0QaXkwmuU7
Reza tertawa kecil, mengaduk kopinya dengan sendok. “Aku cuma kangen, sih. Terus dengar kabar kamu udah nikah, jadi penasaran. Suamimu baik, kan?” Nada suaranya santai, tapi ada sedikit sindiran di dalamnya, seolah ia ingin menggali lebih dalam.
91Please respect copyright.PENANAQfyS9534XU
Shiwy menunduk, jari-jarinya memainkan ujung jilbabnya. “Mas Hasan baik. Aku sekarang hidup tenang,” jawabnya, meskipun kata-kata itu terasa kosong di mulutnya.
91Please respect copyright.PENANA2ri0VmMmWj
Reza memandangnya dengan tajam, seolah bisa melihat melalui kebohongan kecil itu. “Tenang, tapi nggak bahagia, ya?” tanyanya, suaranya lebih rendah, penuh sugesti. Ia mengulurkan tangan, menyentuh ujung jari Shiwy di atas meja, gerakannya sengaja lambat dan intim.
91Please respect copyright.PENANAIJuxfSr7C7
Shiwy menarik tangannya dengan cepat, jantungnya berdetak kencang. “Reza, jangan gitu,” katanya, suaranya bergetar. Namun, ada bagian dirinya yang merasa tersanjung, terbawa oleh sentuhan yang begitu familiar.
91Please respect copyright.PENANAySlRFIjQqU
Reza hanya tersenyum, tidak memaksa, tapi matanya tidak pernah lepas dari Shiwy. “Dulu kamu nggak gini, Shiwy. Kamu suka ketawa, suka cerita panjang sama aku. Sekarang kok kayak orang takut?” tanyanya, nada suaranya penuh godaan.
91Please respect copyright.PENANAP6JZepRtu2
Shiwy merasa seperti terjebak di antara dua dunia. Di satu sisi, ia adalah akhwat, istri Hasan yang seharusnya menjaga kehormatan. Di sisi lain, Reza membawa kembali kenangan tentang dirinya yang dulu, perempuan yang bebas tertawa dan merasa hidup. Ia mencoba mengalihkan pembicaraan, memesan segelas teh hangat untuk menenangkan diri. Namun, setiap kata Reza, setiap tatapan, seperti menariknya lebih dalam ke dalam pusaran yang ia tahu berbahaya.
91Please respect copyright.PENANAj2zGpAEnOG
“Dulu kita suka duduk di meja ini, ngobrol sampe kafe tutup,” kata Reza, suaranya lembut, penuh nostalgia. “Kamu ingat nggak, Shiwy, malam itu kamu bilang kamu takut kita bakal kehilangan satu sama lain? Aku masih ingat banget.”
91Please respect copyright.PENANAkMB8lqwDZv
Shiwy menunduk, wajahnya memanas. Ia ingat malam itu, malam di mana mereka berpelukan di tangga belakang kafe, Reza mencium keningnya dengan penuh janji. Kenangan itu begitu hidup, begitu nyata, hingga membuat hatinya sakit. “Reza, itu dulu,” katanya, suaranya nyaris berbisik. “Aku udah punya kehidupan baru sekarang.”
91Please respect copyright.PENANAtULTuvPnIM
Reza mengangguk, tapi senyumnya tidak hilang. “Aku tahu, Shiwy. Tapi apa salahnya kita ngobrol kayak dulu? Aku cuma mau tahu kamu baik-baik aja.” Ia kembali menyentuh tangan Shiwy, kali ini lebih berani, jarinya melingkari pergelangan tangan Shiwy dengan lembut.
91Please respect copyright.PENANAz5gspwXnOr
Shiwy merasa tubuhnya menegang, bukan karena ketakutan, melainkan karena sensasi yang begitu kuat dan asing setelah berbulan-bulan hidup dalam rutinitas yang kaku bersama Hasan. Sentuhan Reza terasa seperti listrik, membangkitkan sesuatu yang telah lama ia kubur. Payudaranya terasa berat di bawah blusnya, napasnya sedikit tersengal saat Reza mengusap ibu jarinya di kulit pergelangan tangannya. Ia tahu ini salah, tapi tubuhnya seolah memiliki kehendak sendiri.
91Please respect copyright.PENANA4CiqcCkGE7
“Reza, aku harus pulang,” katanya tiba-tiba, menarik tangannya dan bangkit dari kursi. Suaranya bergetar, penuh dengan usaha untuk mengendalikan diri.
91Please respect copyright.PENANAEP06KcmsIX
Reza tidak menghentikannya, hanya memandangnya dengan senyum yang penuh makna. “Oke, Shiwy. Tapi kapan-kapan kita ngobrol lagi, ya? Aku nggak ke mana-mana.” Ia mengedipkan mata, gerakan kecil yang dulu selalu membuat Shiwy tersenyum.
91Please respect copyright.PENANArFMMHWQRgx
Shiwy buru-buru membayar tehnya yang hampir tidak tersentuh, lalu keluar dari kafe dengan langkah cepat. Udara sore yang sejuk tidak cukup untuk mendinginkan wajahnya yang memanas. Ia merasa seperti baru saja melangkah ke tepi jurang, dan meski ia berhasil mundur, sensasi itu masih melekat di tubuhnya. Sentuhan Reza, suaranya, tatapannya—semuanya terasa begitu hidup, begitu berbeda dari kehidupan monotonnya bersama Hasan.
91Please respect copyright.PENANAb06jgrm1cC
Di pesantren, Hasan sedang menyelesaikan pengajiannya. Ia tersenyum pada anak-anak yang berpamitan, pikirannya melayang ke Shiwy. Ia merasa bersyukur memiliki istri yang taat, yang selalu mendukungnya dengan senyuman lembut. Ia tidak tahu bahwa Shiwy, yang ia panggil Ummi dengan penuh kasih, baru saja bertemu dengan bayang-bayang masa lalunya, dan bahwa pertemuan itu telah menyalakan percik kecil yang akan segera menjadi api.
91Please respect copyright.PENANAeEcT21Vvv8
Shiwy naik angkot pulang, duduk di sudut dengan pandangan kosong ke jendela. Pikirannya dipenuhi Reza—senyumnya, sentuhannya, dan kata-kata yang manis namun berbahaya. Ia menggigit bibir, mencoba mengusir bayangan itu, tapi semakin ia berusaha, semakin kuat kenangan itu menempel. Ia merasa seperti perempuan yang berbeda, bukan akhwat yang patuh, melainkan seseorang yang merindukan sesuatu yang lebih dari sekadar kewajiban.
91Please respect copyright.PENANAuHHealY5oy
Saat sampai di rumah, Shiwy langsung masuk ke kamar, menghindari ruang tamu tempat Hasan mungkin sedang membaca. Ia duduk di tepi ranjang, tangannya meremas ponsel yang masih menyimpan pesan Reza. Layar ponsel menyala lagi, menunjukkan pesan baru darinya.
91Please respect copyright.PENANAVx1JyEvJTd
“Makasih udah datang, Shiwy. Kamu masih sama seperti yang aku ingat. Kapan lagi, ya? 😊.”
91Please respect copyright.PENANAyRhu3TB3dY
Shiwy menatap pesan itu, jantungnya berdetak kencang. Ia tahu ia harus menghapusnya, memblokir nomor Reza, dan melupakan pertemuan ini. Tapihatikan tangannya sendiri, yang seolah menolak untuk menaati akal sehatnya. Ia menyimpan pesan itu, lalu meletakkan ponsel di saku laci, seolah menyadari rahasia yang baru saja dimulai.
91Please respect copyright.PENANAeqCRhDUH2F
Malam itu, saat Hasan masuk ke kamar dan mengajaknya salat Isya berjamaah, Shiwy mengikuti dengan senyuman yang dipaksakan. Ia berdiri di belakang suaminya, mengikuti gerakan salat dengan tubuh, tapi pikirannya masih terpaku pada Reza. Sentuhan tangan Reza di kafe, tatapan yang penuh makna, dan kenangan yang kembali hidup seperti luka lama yang dibuka—semuanya terasa begitu nyata.
91Please respect copyright.PENANAp8cb0sfi2Z
Setelah salat, Hasan memandang Shiwy dengan kelembutan yang tulus. “Ummi, kamu baik-baik saja? Kok kelihatan capek?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.
91Please respect copyright.PENANAa7hxqeibQH
Shiwy tersenyum tipis, berusaha menyembunyikan kegelisahannya. “Iya, Mas, cuma agak lelah. Kerjaan di kantor lumayan banyak tadi,” jawabnya, berbohong dengan lancar.
91Please respect copyright.PENANAxvcWqi8r2q
Hasan mengangguk, menerima jawaban itu tanpa curiga. “Istirahat yang cukup, ya. Besok aku harus ke pesantren lagi pagi-pagi,” katanya, lalu berbaring di ranjang, segera tertidur dengan napas yang teratur.
91Please respect copyright.PENANA9tXAb2yZax
Shiwy tetap terjaga, duduk di tepi ranjang dengan pandangan kosong. Ia merasa seperti burung yang terbang terlalu dekat dengan api, terpesona oleh cahayanya namun tahu betapa berbahayanya. Reza adalah api itu, dan meski ia tahu ia harus menjauh, ada bagian dirinya yang ingin merasakan panasnya lagi.
91Please respect copyright.PENANAwwbYdZFBLz
Di luar, hujan akhirnya turun, membasahi kampung kecil itu dengan suara gemericik yang lembut. Shiwy menutup mata, berharap bisa menemukan kedamaian dalam tidurnya. Namun, di dalam hatinya, benih keraguan yang ditanam oleh pertemuan dengan Reza mulai bertunas, menjanjikan jalan yang penuh godaan dan bahaya. Malam itu, Shiwy Maulina tidak hanya menjadi istri Hasan, tetapi juga perempuan yang mulai merindukan sesuatu yang telah lama ia kubur—dan yang kini kembali memanggilnya dengan suara yang tak bisa ia abaikan.
ns216.73.216.176da2