Shiwy Maulina menatap langit-langit kamar yang temaram, hanya diterangi lampu tidur di sudut. Suara detik jam dinding mengisi keheningan, terasa lebih keras dari biasanya. Di sampingnya, Hasan sudah terlelap, napasnya teratur namun berat, seperti beban yang tak pernah ia sadari telah dipikulnya. Shiwy menarik selimut hingga ke dada, mencoba menahan dingin malam yang menyusup lewat jendela yang sedikit terbuka. Namun, dingin itu bukan hanya dari udara—ia merasakannya di dalam dirinya, sebuah kekosongan yang tak bisa dijelaskan.
149Please respect copyright.PENANAVslricSYZB
Malam ini, seperti malam-malam sebelumnya, adalah cerminan dari pernikahan mereka. Hasan, dengan ketaatannya yang kaku, selalu menjalankan peran sebagai suami” dengan disiplin yang sama seperti saat ia mengajar di pesantren. Namun, bagi Shiwy, rutinitas itu terasa seperti dinding yang semakin menutup. Ia ingin lebih—bukan hanya kewajiban, tapi kehangatan, percakapan yang dalam, tawa yang ringan. Sesuatu yang membuatnya merasa dilihat, bukan sekadar sebagai “Ummi” dalam rumah tangga.
149Please respect copyright.PENANAGjiTUGrzxz
Shiwy memejamkan mata, mencoba mengingat kapan terakhir kali ia merasa benar-benar hidup. Bayangan Reza muncul tanpa diundang. Pertemuan di kafe dua minggu lalu masih terngiang, sentuhan tangannya yang sengaja menyapu punggung tangan Shiwy, suaranya yang berbisik penuh kenangan. “Kamu nggak pernah berubah, Shiwy. Masih sama seperti dulu, yang aku kangenin.” Kata-kata itu seperti racun manis, membuat jantungnya berdegup kencang, namun juga meninggalkan rasa bersalah yang menggerogoti. Ia mengguncang kepala, berusaha mengusir bayangan itu. “Astaghfirullah,” gumamnya pelan, berharap istighfar bisa menghapus kegelisahan.
149Please respect copyright.PENANA2xOiv5OjHV
Di sampingnya, Hasan bergerak sedikit, mengubah posisi tidur. Shiwy menoleh, memandang wajah suaminya yang tenang. Hasan adalah pria yang baik, shaleh, seseorang yang keluarganya yakini sebagai pendamping ideal untuk menjaga Shiwy di jalan yang benar. Tapi kebaikan itu terasa jauh, seperti doa yang diucapkan tanpa perasaan. Shiwy merasa seperti burung dalam sangkar emas—terlindungi, tapi tak bisa terbang.
149Please respect copyright.PENANAPEX2txfeuR
Pagi itu, seperti biasa, Shiwy bangun lebih dulu. Ia menyiapkan sarapan sederhana: nasi goreng dengan telur mata sapi dan teh manis hangat. Bau bawang goreng memenuhi dapur kecil mereka, menciptakan ilusi kehangatan rumah tangga. Hasan keluar dari kamar mandi, sudah rapi dengan kopiah hitam dan baju koko putih, siap berangkat ke pesantren.
149Please respect copyright.PENANATrgx7cmpKO
“Ummi, sarapannya sudah siap?” tanya Hasan sambil duduk di meja makan, nadanya datar namun penuh hormat.
149Please respect copyright.PENANAVRuF3Zs12j
“Sudah, Mas. Ini nasi goreng, telurnya aku bikin agak setengah matang, seperti yang Mas suka,” jawab Shiwy, menyodorkan piring. Ia tersenyum kecil, berusaha menciptakan momen ringan.
149Please respect copyright.PENANAdZQxPPGiNb
Hasan mengangguk, mengambil sendok. “Terima kasih, Ummi. Nanti malam aku mungkin pulang agak larut, ada pengajian di pesantren.”
149Please respect copyright.PENANAEL30v25KQS
Shiwy hanya mengangguk, menahan desahan yang ingin keluar. Lagi-lagi pesantren. Ia tahu itu tugas Hasan, panggilan hidupnya, tapi ia tak bisa menahan rasa kesepian yang muncul setiap kali suaminya lebih memilih kewajiban agama daripada waktu bersama. “Baik, Mas. Aku juga mungkin lembur di kantor, ada laporan yang harus selesai.”
149Please respect copyright.PENANAnGkr1WJSpd
Hasan menatapnya sekilas, alisnya sedikit berkerut. “Lembur lagi? Jangan terlalu sering, Ummi. Wanita sebaiknya nggak pulang terlalu malam.”
149Please respect copyright.PENANA0NeniuWOQJ
Kata-kata itu terdengar seperti nasihat, tapi bagi Shiwy, itu seperti perintah terselubung. Ia menelan ludah, menjaga senyumnya agar tak memudar. “Iya, Mas. Cuma ini proyek penting, jadi nggak bisa ditunda.”
149Please respect copyright.PENANAIw5nVFjmvL
Hasan hanya mengangguk, kembali fokus pada makanannya. Sarapan berlangsung dalam diam, hanya terdengar suara sendok yang menyentuh piring. Shiwy memandang piringnya sendiri, tiba-tiba kehilangan selera. Ia merasa seperti sedang memainkan peran dalam drama yang tak ia inginkan.
149Please respect copyright.PENANATp1fhYoskW
---
149Please respect copyright.PENANAF02kDzpXkq
Di kantor, Shiwy menemukan pelarian. Ruangan ber-AC yang dingin, tumpukan dokumen, dan suara ketikan rekan kerja menciptakan ritme yang membuatnya merasa produktif, berbeda dari keheningan rumah. Ia duduk di meja kecilnya, mengetik laporan bulanan dengan fokus, berusaha menenggelamkan pikiran tentang Reza dan Hasan.
149Please respect copyright.PENANAeiTy8ECydB
“Shiwy, laporan itu udah sampai mana?” Suara Seno, atasannya, menyela. Ia berdiri di dekat meja Shiwy, tersenyum dengan karisma yang selalu membuat rekan kerja perempuan di kantor berbisik tentangnya. Seno, dengan setelan rapi dan wajah yang selalu tampak ramah, adalah tipe pria yang tahu cara membuat orang merasa diperhatikan.
149Please respect copyright.PENANAqIylGcSYsv
Shiwy menoleh, sedikit tersentak. “Sudah hampir selesai, Pak. Tinggal rekap data penjualan minggu ini.”
149Please respect copyright.PENANAsv1EqDe7nk
Seno mengangguk, menarik kursi di seberang meja Shiwy dan duduk. “Bagus. Kamu selalu bisa diandalkan. Tapi kok kelihatan capek? Kurang tidur?”
149Please respect copyright.PENANAJHiC05jrOT
Pertanyaan itu terdengar biasa, tapi nada Seno penuh perhatian, membuat Shiwy merasa dilihat untuk pertama kalinya hari ini. Ia tersenyum kecil, menggeleng. “Nggak kok, Pak. Cuma agak sibuk di rumah.”
149Please respect copyright.PENANAu4i4xqtA2X
Seno mengangguk, matanya menatap Shiwy dengan intensitas yang membuatnya sedikit gelisah. “Kalau ada apa-apa, cerita aja, ya. Aku kan nggak cuma bos, tapi juga temen.”
149Please respect copyright.PENANAnB9KdxWCnZ
Shiwy tertawa pelan, merasa hangat dengan tawaran itu. “Iya, Pak. Makasih.”
149Please respect copyright.PENANA2LQdRdwWZH
Seno bangkit, menepuk bahu Shiwy sekilas sebelum kembali ke ruangannya. Sentuhan itu singkat, tapi cukup untuk membuat jantung Shiwy berdegup lebih cepat. Ia menggeleng, menegur diri sendiri. “Jangan mikir macam-macam, Shiwy,” gumamnya, kembali fokus pada layar komputer.
149Please respect copyright.PENANAOYIR0WzAmR
Tapi di dalam hatinya, ia tahu bahwa perhatian Seno, sekecil apa pun, adalah sesuatu yang ia rindukan. Sesuatu yang tak ia temukan di rumah.
149Please respect copyright.PENANAAgD5yPp1wZ
---
149Please respect copyright.PENANAQ4rvCtsPqH
Malam itu, Shiwy pulang lebih dulu dari Hasan. Rumah terasa sepi, hanya diterangi lampu dapur yang ia biarkan menyala. Ia duduk di sofa, memandang foto pernikahan mereka yang tergantung di dinding. Shiwy dalam hijab putih, tersenyum sopan, berdiri di samping Hasan yang tampak gagah dengan jas pengantin. Foto itu seharusnya membawa kehangatan, tapi malah membuat dadanya sesak.
149Please respect copyright.PENANAkdt5oTw0vI
Ia bangkit, masuk ke kamar, berharap bisa mendekati Hasan malam ini. Mungkin, pikirnya, jika mereka bisa berhubungan lebih intim, ia bisa melupakan kekosongan yang menggerogoti. Ia mengenakan daster tipis berwarna biru muda, yang sedikit lebih ketat dari biasanya, berharap bisa menarik perhatian Hasan.
149Please respect copyright.PENANAMFgJFzVJw9
Hasan pulang sekitar pukul sembilan, wajahnya tampak lelah. “Assalamu’alaikum,” sapanya, suaranya serak.
149Please respect copyright.PENANAYyq3cG28E9
“Wa’alaikumsalam, Mas,” jawab Shiwy, bangkit dari sofa. Ia mendekati Hasan, membantu mengambil tasnya. “Sudah makan malam?”
149Please respect copyright.PENANATCB5TivrAP
“Sudah, di pesantren tadi ada jamuan,” jawab Hasan singkat, berjalan menuju kamar mandi. Shiwy mengikuti, berdiri di ambang pintu kamar.
149Please respect copyright.PENANAv6vrgy6f18
“Mas, malam ini... kita bisa nggak ngobrol bentar?” tanya Shiwy hati-hati, mencoba membuka percakapan.
149Please respect copyright.PENANAExZ6wtHqt3
Hasan menoleh, alisnya sedikit terangkat. “Ngobrol apa, Ummi? Aku capek, besok pagi harus ke pesantren lagi.”
149Please respect copyright.PENANAFGIjGp45qc
Shiwy menelan ludah, menahan kekecewaan. “Nggak apa-apa, cuma... kangen ngobrol sama Mas, kayak dulu.”
149Please respect copyright.PENANAbsWeiSnDmB
Hasan tersenyum tipis, tapi Shiwy bisa melihat itu hanya formalitas. “Nanti, Ummi. Sekarang aku mau istirahat.”
149Please respect copyright.PENANAxxkTP7aBd5
Shiwy mengangguk, mundur ke kamar. Ia duduk di tepi ranjang, menunggu Hasan keluar dari kamar mandi. Ketika Hasan akhirnya masuk, hanya mengenakan sarung dan kaus putih, Shiwy bangkit, mendekatinya dengan hati-hati. Ia menyentuh lengan Hasan, berharap bisa memulai sesuatu.
149Please respect copyright.PENANAbvG0WT3PVQ
“Mas,” bisiknya, suaranya lembut. “Malam ini... kita bisa nggak... lebih dekat?”
149Please respect copyright.PENANAwqWG6PkYrY
Hasan menatapnya, matanya penuh keheran. “Ummi, aku capek banget. Besok pagi ada pengajian. Kita nanti aja, ya?”
149Please respect copyright.PENANAJHp6u3fBPv
Shiwy merasa seperti ditampar. Ia menarik tangannya, mengangguk dengan cepat. “Iya, Mas. Maaf.”
149Please respect copyright.PENANA29H11rudfK
Hasan mengangguk, naik ke ranjang, dan segera memunggungi Shiwy. Dalam hitungan menit, napasnya sudah teratur, tanda ia telah terlelap. Shiwy berdiri di tengah kamar, memandang suaminya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa seperti orang asing di rumahnya sendiri.
149Please respect copyright.PENANAwazC7kwaVm
---
149Please respect copyright.PENANAuvZ8A5lZSq
Shiwy berbaring di samping Hasan, tapi tidur tak kunjung datang. Pikirannya berputar antara kekecewaan terhadap Hasan dan bayang-bayang Reza yang terus muncul. Ia menutup mata, mencoba menenangkan diri, tapi tubuhnya justru bereaksi. Ada keinginan yang membakar, sesuatu yang tak bisa ia penuhi bersama Hasan malam ini.
149Please respect copyright.PENANA8PnhADWNwo
Dengan hati-hati, Shiwy bangkit, berjalan ke kamar mandi. Ia mengunci pintu, berdiri di depan cermin. Wajahnya tampak lelah, tapi ada sesuatu di matanya—kerinduan, mungkin, atau pemberontakan. Ia melepas daster tipisnya, membiarkannya jatuh ke lantai. Tubuhnya terpantul di cermin, payudaranya yang penuh terlihat jelas di bawah cahaya lampu neon. Ia menyentuh kulitnya sendiri, jari-jarinya meluncur pelan di perut, berhenti di pinggir celana dalamnya.
149Please respect copyright.PENANADJEwSkQUsv
Shiwy menutup mata, membiarkan tangannya bergerak lebih bawah, menyentuh vagina yang sudah basah. Ia menggigit bibir, menahan suara agar tak terdengar. Pikirannya melayang ke Reza, kenangan malam-malam mereka di kosnya dulu, saat Reza menggenggamnya dengan penuh nafsu, penisnya masuk dengan ritme yang membuat Shiwy lupa segalanya. Gerakan tangan Shiwy semakin cepat, jari-jarinya menekan dengan intensitas yang mencerminkan kekacauan di hatinya. Ia membayangkan Reza menekan tubuhnya ke dinding, mulutnya menggigit lehernya, tangannya meremas payudaranya dengan kasar namun penuh hasrat.
149Please respect copyright.PENANA4kSxIdPZCe
Nafas Shiwy memburu, tubuhnya menegang. Ia meraih klimaks dengan cepat, hampir tanpa suara, hanya desahan pelan yang keluar dari bibirnya. Namun, saat sensasi itu mereda, yang tersisa hanya rasa hampa. Ia membuka mata, memandang pantulannya di cermin. Air mata mengalir tanpa suara, membasahi pipinya.
149Please respect copyright.PENANAZUDy0hHxpf
Shiwy mengambil daster dari lantai, mengenakannya kembali dengan tangan gemetar. Ia kembali ke kamar, berbaring di samping Hasan yang masih terlelap, tak menyadari badai yang sedang melanda istrinya. Shiwy memandang langit-langit, berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tak akan membiarkan dirinya tenggelam dalam kekosongan ini. Tapi di sudut hatinya, ia tahu, perjalanan ini baru saja dimulai.
149Please respect copyright.PENANA8SKdzRO43s
---
149Please respect copyright.PENANAZcqSJQKOTN
Pagi berikutnya, Shiwy berangkat ke kantor lebih awal, membawa beban yang lebih berat dari sebelumnya. Di meja kerjanya, ia mengetik dengan mekanis, berusaha menyingkirkan bayangan malam tadi. Ketika Seno lewat dan tersenyum padanya, Shiwy merasa sesuatu bergeser di dalam dirinya. Senyum itu, perhatian kecil itu, terasa seperti seberkas cahaya di tengah kegelapan.
149Please respect copyright.PENANAPMd7lfJoQf
“Shiwy, nanti siang kita meeting sama klien, ya. Kamu ikut, aku butuh data yang kamu siapkan,” kata Seno, nadanya santai tapi penuh otoritas.
149Please respect copyright.PENANAC5pmX8ddTR
“Iya, Pak. Data sudah siap,” jawab Shiwy, tersenyum kecil. Ia merasa hidup kembali, seolah kantor adalah tempat di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri, bukan sekadar istri yang patuh.
149Please respect copyright.PENANAvhDtA7Wd4r
Seno mengangguk, menatapnya sedetik lebih lama dari yang diperlukan. “Bagus. Aku tahu aku bisa ngandelin kamu.”
149Please respect copyright.PENANAv5a1WmVmeS
Shiwy menunduk, menyembunyikan pipi yang memanas. Ia tahu ini berbahaya, tapi untuk saat ini, ia hanya ingin merasakan sesuatu—apa pun—yang membuatnya merasa hidup. Dan di kantor, bersama Seno, ia mulai menemukan itu.
149Please respect copyright.PENANAdpjUO6aL0X
---
Bab 4 sampai 18 dapat dibaca di karya karsa ya, klik aja https://karyakarsa.com/silvertounge/persimpangan-y4hw4t cuma 35.000 aja. Bisa didonlot lo, jadi gak perlu takut hilang. Mau ke tele? Bisa, @sprachgewandt666
ns216.73.216.176da2