BAB 4: GEMA SUMBANG DI BALIK DINDING
Malam-malam setelah insiden di "Kedai Senja" itu menjelma menjadi sebuah koridor panjang tak berujung yang dipenuhi gema. Nama 'Nabil', yang diucapkan dengan nada cabul dan tawa mesum, terus memantul di dinding benakku, menjadi hantu audio yang tak bisa kuusir. Ia menyusup ke dalam mimpi-mimpiku, meracuni udara pagi yang kuhirup, dan membubuhkan noda kelabu pada kanvas kehidupanku yang seharusnya penuh warna.
Berhari-hari aku hidup dalam limbo, terombang-ambing di antara penolakan keras dan kecurigaan yang merayap laksana sulur beracun, melilit jantungku hingga sesak. Setiap dering telepon dari Bunda, setiap pesan singkatnya, kini kubaca dengan sebuah filter baru yang buram, mencari makna tersembunyi di antara barisan kata-katanya yang ceria.
37Please respect copyright.PENANAubeRlsvCXg
Keseharianku menjelma menjadi sebuah pementasan sandiwara yang melelahkan. Di panggung kampus, aku adalah Arka, mahasiswa DKV yang ambisius, yang tenggelam dalam lautan deadline tugas, yang tertawa lepas bersama teman-teman di kantin, yang berdebat sengit tentang estetika dan konsep dengan dosen.
Aku memainkan peranku dengan begitu apik, mengenakan topeng keceriaan dan ketenangan yang kubuat sendiri. Namun, begitu tirai panggung itu tertutup, di dalam kesunyian kamar kosku, aku kembali menjadi Arka yang rapuh, yang pikirannya tak henti-hentinya memutar ulang rekaman percakapan kotor itu.
37Please respect copyright.PENANA6ZF6XI4kPx
Aku akan menatap langit-langit kamarku selama berjam-jam, mencoba menyusun kepingan-kepingan teka-teki yang menyakitkan ini. Setiap detail tentang 'Nabil' tubuhnya yang matang, statusnya sebagai istri orang, pesonanya yang memikat kaum adam semuanya terasa seperti anak panah yang melesat dan menancap tepat di potret Bunda dalam benakku.
37Please respect copyright.PENANAaxUb6FADZJ
Hari itu hari Sabtu, hari di mana kota Bandung sedikit bernapas lega dari kepadatan aktivitas perkuliahan. Langit sedikit mendung, menggantungkan awan-awan kelabu yang berat seolah ikut merasakan beban di hatiku. Didorong oleh sebuah impuls yang tak bisa kujelaskan, aku memutuskan untuk pergi ke kosan Bunda tanpa mengabarinya terlebih dahulu. Aku hanya ingin melihatnya , atau mungkin, tanpa sadar aku sedang mencari sesuatu, entah itu penegasan atau bantahan atas ketakutanku.
37Please respect copyright.PENANA2l4hz0X1iy
Aku memacu Vespaku dengan pelan, membiarkan angin membelai wajahku. Setibanya di "Kost Jingga Muda", suasana terasa lengang. Aku memarkir motorku dan berjalan menaiki tangga menuju lantai dua. Langkahku terasa berat, setiap anak tangga adalah sebuah keraguan baru. Dan saat aku tiba di ujung anak tangga dkoridor lantai dua, pemandangan yang menyambutku membuat darahku seolah berhenti mengalir. Pintu kamar Bunda sedikit terbuka, dan dari dalamnya, keluarlah sosok Mang Jajang.
37Please respect copyright.PENANA3ZQweD5qMh
Kami berpapasan tepat di tengah lorong antara kamar bunda dan tangga. "Eh, A' Arka," sapanya dengan nada yang dibuat seramah mungkin, senyumnya yang biasa terpampang di wajahnya. Namun, kali ini, saat matanya yang licik itu bertemu dengan mataku, aku melihat sesuatu yang lain. Hanya sepersekian detik, sebuah kilas yang begitu cepat hingga aku nyaris meragukan penglihatanku sendiri. Sebuah senyum tipis yang mengejek, sebuah sorot kemenangan yang angkuh, yang seolah berkata, 'Aku tahu sesuatu yang kau tidak tahu'. Kilasan itu sirna secepat ia datang, digantikan lagi oleh topeng keramahannya. Ia menepuk pundakku sekilas lalu berlalu menuju tangga.
37Please respect copyright.PENANA4HoJyXm9U6
Aku membeku di tempat, mencerna apa yang baru saja kusaksikan.37Please respect copyright.PENANAGSoMHrwUK5
Dengan tangan yang sedikit gemetar,aku berjalan ke arah kamar bunda,lalu aku mengetuk pintu kamar Bunda yang kini sudah tertutup rapat. "Bun," panggilku. Beberapa saat kemudian, pintu terbuka.
37Please respect copyright.PENANAD1bOpX3tPK
Di sanalah ia berdiri, penampilannya membuat jantungku berdegup semakin kencang. Ia mengenakan tengtop berwarna hitam yang sangat ketat dan celana super pendek dari bahan kaus yang lebih mirip pakaian dalam. Rambutnya yang panjang terlihat sedikit lepek dan berantakan. Wajahnya memerah, bukan karena riasan, tapi seperti rona sehabis melakukan aktivitas fisik. Ada bulir-bulir keringat di pelipisnya, dan napasnya terdengar sedikit terengah-engah, ngos-ngosan. "Arka? Tumben tga bilang-bilang mau ke sini?" tanyanya, suaranya terdengar sedikit serak.
37Please respect copyright.PENANAuSZl2133Ac
Aku mencoba mengabaikan penampilannya, mengabaikan ribuan pertanyaan liar di kepalaku. Aku harus fokus pada satu hal. "Tadi... Mang Jajang kenapa dari kamar Bunda?" tanyaku, berusaha menjaga nada suaraku sedatar mungkin, tanpa sedikit pun emosi. Bunda tampak sedikit terkejut dengan pertanyaanku, namun ia dengan cepat menguasai diri. Ia tertawa kecil. "Oh, itu. Tadi keran wastafel di kamar mandi macet, ga mau keluar air. Bunda panik, jadi minta tolong Mang Jajang buat benerin. Syukurlah sudah beres sekarang," jelasnya.
Sebuah alasan yang begitu mulus, begitu logis, begitu sempurna, meluncur dari bibirnya tanpa jeda sedikit pun. Aku menatap matanya, mencari celah, mencari setitik kebohongan. Tapi yang kutemukan hanyalah kepolosan yang sama seperti biasanya. Aku pura-pura percaya. Lebih tepatnya, aku terpaksa percaya. Aku tidak punya bukti apa pun untuk menyangkalnya. Mungkin aku memang salah tafsir? Mungkin senyum mengejek Mang Jajang tadi hanyalah imajinasiku? Atau adakah sebuah kebenaran pahit yang tengah Bunda sembunyikan dengan rapat di balik senyum manisnya?
Aku menghabiskan sisa hari itu di kosannya. Kami makan siang bersama, lalu aku menemaninya menonton serial drama Korea favoritnya hingga sore,menjelang malam, ia memasak makan malam untuk kami.
37Please respect copyright.PENANA2WHnqoZ2rs
Sepanjang waktu itu, aku mencoba bersikap normal, tapi aku tak bisa menahan diri untuk tidak mengamatinya. Setiap gerak-geriknya, setiap kata-katanya, kini menjadi objek analisis bagiku. Aku merasa seperti seorang detektif yang menyelidiki orang yang paling ia cintai di dunia. Sebuah peran yang menyiksa. Setelah makan malam, aku pamit pulang, membawa serta sebongkah keraguan baru yang terasa lebih berat dari sebelumnya.
37Please respect copyright.PENANAisDIF3WLOn
Kehidupan terus berjalan. Aku masih rutin bertemu Bunda di "Maki Cafe". Penampilannya kini semakin hari semakin modis. Ia seolah menemukan kembali masa remajanya yang hilang. Koleksi blus, kemeja, dan gaun kasualnya semakin bertambah, semuanya mengikuti tren anak muda terkini. Kami masih saling bertukar cerita, namun kini terasa berbeda. Ia banyak bercerita tentang tugas-tugas kuliahnya, tentang teman-temannya, tapi belum ada lagi cerita tentang ada yang menggodanya. Aku tak tahu, entah memang tak ada lagi kejadian seperti itu, atau ia memilih untuk tidak menceritakannya lagi kepadaku.
37Please respect copyright.PENANAfkHUc1QIWT
Setiap kali bertemu, kami hampir selalu menyempatkan diri untuk melakukan panggilan video dengan Ayah. Kami akan tertawa, menunjukkan makanan kami, menciptakan sebuah ilusi keluarga harmonis yang terpisah jarak. Seolah kami bertiga tengah nongkrong bersama.
37Please respect copyright.PENANAhdhLD6pEAg
Namun, aku menyadari satu hal. Popularitas Bunda di kafe itu meningkat pesat. Semakin banyak yang mengenalnya, baik dari kalangan pengunjung maupun para staf kafe. Kebanyakan dari mereka adalah laki-laki. Mereka akan menyapanya dengan akrab, "Hai, Teh Yuli!" atau " pagi ,Mbak Yuli?". Bunda akan membalas sapaan mereka dengan senyum ramahnya yang khas, sebuah pemandangan yang entah kenapa membuatku semakin resah.
37Please respect copyright.PENANA9wQ2pRe3Kq
Suatu malam, setelah kami baru saja pulang dari mal untuk mencari bahan tugas Bunda, hujan deras tiba-tiba mengguyur kota Bandung. Langit seolah menumpahkan seluruh airnya, menciptakan tirai kelabu yang mustahil untuk ditembus. "Sudah, kamu menginap di sini saja malam ini, Arka," usul Bunda. "Bahaya menerobos hujan begini." Aku ragu sejenak, tapi melihat kilat menyambar di kejauhan, aku akhirnya mengangguk. Bunda menggelar karpet bulu tebal di lantai untukku, sementara ia sendiri bersiap untuk tidur.
Tak lama kemudian, ia keluar dari kamar mandi, telah berganti pakaian. Ia mengenakan baju tidur andalannya: tengtop satin berwarna merah marun dan celana gemes yang serasi. Sebuah kebiasaan yang ia bawa dari rumah, yang selalu ia kenakan setiap hendak tidur sejak dulu. Namun, di sini, di dalam kamar kos yang sempit ini, kebiasaan itu entah kenapa terasa berbeda.pemandangan itu membuatku merasa panas dingin, sebuah campuran antara kekaguman dan perasaan bersalah yang aneh.
37Please respect copyright.PENANA8zeH8VjG8d
Kami berbaring di tempat masing-masing dalam diam, hanya suara hujan yang menderu di luar yang mengisi keheningan. Lalu, tiba-tiba, sebuah suara lain menyelinap masuk, menembus dinding tipis yang memisahkan kamar Bunda dengan kamar sebelah. Sebuah desahan panjang. Hhhmmmm. Aku dan Bunda saling berpandangan sekilas, lalu cepat-cepat membuang muka. Suasana seketika menjadi sangat canggung. Kami diam membisu, berpura-pura tidak mendengar. Namun suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas. "Sssshhhh, pelan pelan". Lalu disusul erangan tertahan. "Uuuhhhh,jangan cepet cepet" Tidak salah lagi. Itu adalah suara orang yang sedang bercinta. Sangat jelas. Aku bisa merasakan darahku berdesir, mengalir ke bagian selatan tubuhku. Rudal kebanggaanku yang tertidur pulas, tiba-tiba terbangun dan berdiri tegak tanpa permisi, menekan celanaku.
Suara-suara itu semakin menjadi-jadi. "aaaahhhhh,iiiyyaaaa begitu" Desahan itu begitu memekakkan telinga, "uuuuuuuhhhh,aaaaaahhhh" erangan-erangan yang saling bersahutan,suara benturan kulit bertemu kulit dan suara ranjang yang berderit menciptakan sebuah orkestra birahi yang liar. Mereka seolah sedang berpacu dengan nafsu, mengejar gelombang kepuasan tanpa peduli pada dunia luar.
Aku melirik Bunda. Wajahnya memerah padam. Ia tampak sangat gelisah, jemarinya sibuk memainkan layar ponselnya tanpa tujuan yang jelas, namun ia tetap membisu.
Kami sama-sama tenggelam dalam pikiran masing-masing, terperangkap dalam sebuah gelembung kecanggungan yang menyesakkan. Akhirnya, Bunda seolah tak tahan lagi. Ia menyalakan musik dari ponselnya, mencoba meredam gema sumbang dari kamar sebelah.
Namun, sebuah ironi terjadi. Bukannya teredam,"aaaaaaahhhh eennak" suara desahan dari sebelah malah terdengar semakin kuat,plok plok plok, melodi ketukan sentuhan tulit bertemu dengan kulit yang begitu ritmis menggema,"uuuuuuhhh dikiiit laghiiiii" seolah mereka sengaja menantang volume musik Bunda, "aaaaaahh,hhhhmmmmm,tteeeruuuusss" seakan ingin memberitahu seluruh penghuni kos tentang betapa bergairahnya pertempuran mereka.
Kami benar-benar diam, tidak ada pembahasan tentang itu.pikiranku kalut ketiba tiba tiba sebuah ilusi tergambar di dalam benakku,seolah aktor yang sedang melakukan itu adalah aku dan bunda,aku melirik ke arah bunda,pakaiannya yang menggoda,gerakannya yang seakan mengundang,membuat rudalku semakin berdiri tegak seolah berkata "cepat keluarkan aku",aku bingung harus bagimana.Kami diam membisu sibuk dengan isi pikiran masing masing.
37Please respect copyright.PENANAxIwyOLsyeO
Aku tak tahan lagi. aku takut, aku tidak bisa menahan gejolak nafsu yang semakin membara,akhirnya "Bun, aku pulang saja," kataku tiba-tiba. "Kenapa? Hujannya masih deras sekali," jawabnya, tampak lega sekaligus terkejut. "Tadi Bima chat, dia mau ke kosku sekarang, mau ambil barang yang kupinjam. Penting katanya," aku berbohong, merangkai alasan secepat kilat.
Tanpa menunggu persetujuannya lagi, aku menyambar jaketku dan langsung berlari keluar, menerobos hujan deras yang terasa seperti ribuan jarum es di kulitku. Apa pun lebih baik daripada terkurung dalam kecanggungan itu.
37Please respect copyright.PENANAVKX2CVytO1
Sesampainya di kos, tubuhku basah kuyup dan menggigil, tapi pikiranku terasa lebih panas dari api. Aku masih terngiang-ngiang oleh simfoni birahi dari kosan Bunda. Suara-suara itu bercampur aduk dengan pakaian minim bunda,gerakan gerakan yang seolah menggundang, memori tentang penampilan bunda saat mang jajang keluar dari kamarnya. Sebuah kombinasi yang mematikan. Hasrat yang terbangun tadi kini menuntut untuk dilampiaskan. Akhirnya, dengan perasaan kalut, aku menyerah. Aku membuka laptopku, mengakses situs 'penghibur' yang biasa kukunjungi di saat-saat seperti ini. Di bawah cahaya redup layar laptop, diiringi suara hujan di luar, aku melampiaskan semua hasrat terpendamku dengan senam lima jari.sambil membayangkan kejadian yang dilakukan tetanggakos bunda itu adalah aku dan bunda.ironis memang
37Please respect copyright.PENANAgBxebtjJqm
Setelah gelombang kepuasan sesaat itu datang dan pergi, yang tersisa hanyalah kehampaan. Aku terbaring lemas di atas ranjang, seolah rohku ikut keluar bersama eliksir kehidupan yang tumpah sia-sia di tanganku. Kepuasan sementara yang kuraih itu tidak memberikan kelegaan, malah meninggalkan rasa bersalah dan kelelahan yang mendalam. Aku mematikan laptop dan membenamkan wajahku ke bantal, lalu tertidur dalam keadaan gelisah.
Hari-hari berikutnya, bisikan tentang 'Nabil' seolah mengikutiku ke mana pun aku pergi. Aku beberapa kali mendengarnya lagi. Di koridor fakultas, aku mendengar seorang seniorku sesumbar kepada temannya, "Gue udah nyicipin si Nabil, bro. Mantap bener!" Di sebuah warung makan dekat kampus, aku mendengar sekelompok mahasiswa berjaket Dionysia bercerita dengan bangga. Salah satu dari mereka mengklaim pernah 'diservis' kecil-kecilan olehnya saat mereka mengerjakan tugas kelompok. Ada yang berteori bahwa dia haus belaian karena jauh dari suaminya.
37Please respect copyright.PENANAQ7EwP5jndQ
Masing-masing cerita semakin liar, semakin detail, dan semakin menyakitkan. Namun, tetap saja, belum ada satu pun bukti sahih yang bisa mengaitkan nama 'Nabil' itu dengan Bunda. Ini adalah sebuah anomali. Sebuah kecocokan fisik dan latar belakang yang begitu sempurna, namun dengan nama yang berbeda.
Dalam pergolakan batinku, aku terus bertanya-tanya. Mungkinkah ini hanya sebuah kebetulan yang paling kejam di alam semesta? Atau aku sedang menutup mata dari sebuah kebenaran yang terlalu mengerikan untuk diterima? Aku merasa seperti berjalan di atas tali, di bawahku ada jurang kepastian yang gelap, dan aku terus berjalan, berharap tidak pernah sampai ke ujungnya.37Please respect copyright.PENANACIVpYF7qgs