
330Please respect copyright.PENANAecrn0goqP4
BAB 2: HARMONI SEMU DI AMBANG FAJAR
330Please respect copyright.PENANAPlllOPZ0Q5
Dua fajar telah merekah di langit Parahyangan sejak kami menambatkan sauh takdir di kota ini. Bandung menyambut kami dengan selimut kabut paginya yang puitis dan udara sejuk yang menusuk hingga ke tulang sumsum, sebuah antitesis dari hawa Jakarta yang pengap dan selalu tergesa.
330Please respect copyright.PENANAYVUjqdNvyj
Hari-hari pertama ini adalah sebuah mozaik sureal,di satu sisi, ada euforia samar akan permulaan yang baru, di sisi lain, ada dawai gelisah yang terus bergetar di dasar sanubariku, menciptakan sebuah melodi sumbang yang enggan sirna.
Kehidupan baru ini terasa seperti sebuah kanvas kosong yang terbentang luas, namun kuas di tanganku gemetar, ragu warna apa yang akan pertama kali kutorehkan.
Selama dua hari kemarin, aku beberapa kali menyambangi istana mungil Bunda di "Kost Jingga Muda". tujuanku sederhana, hanya sekadar mengecek keadaannya, memastikan ia tak kekurangan suatu apa pun.
Namun, setiap kunjunganku justru menambah lapisan baru pada keresahanku.dari pengamatanku yang sekilas, bangunan berwarna oranye pastel itu dihuni oleh para mahasiswa dan mahasiswi dari berbagai universitas di sekitar. Koridornya kerap ramai oleh lalu-lalang anak muda dengan gaya busana terkini, tawa mereka yang renyah sesekali memecah keheningan.
Yang membuat keningku berkerut adalah kenyataan bahwa kosan ini ternyata kosan campur. beberapa pintu kamar yang terbuka saat aku melintas memperlihatkan penghuni pria, sebagian bertelanjang dada dengan handuk tersampir di bahu, baru selesai mandi, sebagian lagi tengah asyik bermain gim dengan suara riuh. sebuah informasi kecil yang luput dari survei kami, dan entah kenapa, alarem dikepalaku memberi sinyal bahaya.
Aku membayangkan Bunda, dengan pesonanya yang tak terbantahkan itu, harus berbagi ruang komunal dengan para lelaki asing yang tatapan mereka tak bisa kuduga.
Dan keresahan itu semakin menjadi-jadi setiap kali kami berpapasan dengan sang pemilik kos, Mang Jajang. Pria itu seolah memiliki radar gaib yang selalu tahu kapan kami akan keluar masuk dari gerbang kosan. Entah kami hendak pergi mencari makan siang di warung tenda terdekat, atau sekadar berkeliling mencari toko untuk melengkapi amunisi perkuliahan kami, ia hampir selalu ada di sana. Duduk di teras rumahnya yang menyatu dengan lantai dasar kosan, menyeruput kopi hitam dari cangkir blirik, atau sekadar menyirami tanaman dalam pot.
Dan setiap kali matanya menangkap sosok Bunda, ritual yang sama akan terulang. Matanya yang licik akan melakukan pemindaian instan, bergerak lambat dengan kurang ajar dari atas ke bawah, seolah menelanjangi setiap lekuk tubuh Bunda dengan tatapan lapar seekor predator. Kilat aneh itu selalu ada, sorot mata yang membuat darahku mendidih dalam diam. tapi, yang paling membuatku frustrasi adalah reaksi Bunda. Ia akan membalas sapaan ramah Mang Jajang dengan senyumnya yang tulus dan obrolan ringan yang polos, seolah ia benar-benar buta dan tuli terhadap bahasa tubuh dan tatapan menjijikkan yang dilemparkan pria itu. Ia seakan hidup dalam sebuah gelembung kepolosan, tak menyadari adanya serigala yang tengah mengintainya dari balik semak-semak keramahan palsu. Aku hanya bisa mengepalkan tangan di dalam saku celana, menelan ludah yang terasa pahit, terjebak dalam dilema antara ingin melindungi dan takut dianggap berlebihan.
330Please respect copyright.PENANANYiOcRSlNy
Pagi ini, fajar ketiga kami di Bandung, adalah hari dimulainya petualangan akademik yang sesungguhnya. Mentari baru saja menampakkan semburat keemasannya ketika ponselku bergetar di atas nakas. Nama "Bunda" tertera di layar. Aku menggeser ikon hijau, menempelkan ponsel ke telinga. "Arka, Sayang, sudah bangun?" suara merdunya menyapa, terdengar ceria seperti biasanya. "Sarapan mau bareng di sini atau sendiri-sendiri saja? Bunda mau masak nasi goreng spesial, nih." Aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang. Bayangan harus berpapasan lagi dengan Mang Jajang sempat membuatku enggan, namun membayangkan sarapan pertama sebagai mahasiswa baru sendirian di kamar kos yang asing terasa lebih menyedihkan. "Aku ke sana, Bun," jawabku akhirnya.aku segera melompat dari ranjang, menyambar jaket denim dan kunci Vespaku.
330Please respect copyright.PENANAulQzTng3Ue
Perjalanan singkat menuju kosan Bunda terasa berbeda pagi ini. Jalanan masih lengang, udara terasa segar dan bersih. Setibanya di "Kost Jingga Muda", suasana memang masih sunyi. sebagian besar penghuni mungkin masih bergelung di bawah selimut, menikmati sisa-sisa akhir pekan sebelum terjun ke dalam rutinitas kuliah yang padat.
330Please respect copyright.PENANAJ4Pw9YU6Ge
Aku menaiki tangga menuju lantai dua, dan dari ujung koridor, aroma bawang putih dan cabai yang ditumis menggelitik hidungku. Di sanalah aku melihatnya.dapur bersama di kosan Bunda memiliki desain yang unik sekaligus mengkhawatirkan. Ia bukanlah sebuah ruangan tertutup, melainkan sebuah area terbuka berbentuk persegi panjang di tengah-tengah koridor, tanpa sekat, tanpa pintu. siapa pun yang berjalan di koridor lantai dua pasti akan melewatinya dan bisa melihat dengan jelas aktivitas apa pun di dalamnya.oh ya hampir lupa,dapur umumnya ada 3,masing masing 1 untuk setiap lantai,dan desain nya sama persis.
330Please respect copyright.PENANA9w4qLpTsMd
Dan di tengah panggung terbuka itulah, Bundaku, sang primadona, tengah beraksi. Ia masih mengenakan pakaian tidurnya, sebuah tengtop putih tipis bertali spageti yang memeluk tubuhnya dengan ketat, memperlihatkan setiap lekuknya dengan murah hati. bagian dadanya yang ranum dan kenyal tersembul dengan jelas, seolah menantang gravitasi. Dipadukan dengan celana gemes berwarna merah muda yang sangat pendek, memperlihatkan paha putih mulusnya yang jenjang dan kencang, hasil dari dedikasinya pada yoga dan gym. Rambut hitam panjangnya ia kuncir kuda seadanya, menyisakan beberapa helai anak rambut yang membingkai wajahnya yang berkeringat tipis karena uap masakan.
Pemandangan itu, di satu sisi, adalah sebuah keindahan yang memesona. Namun di sisi lain, di lokasi yang begitu terbuka, pemandangan itu terasa begitu rentan, begitu telanjang. Ia seperti sebuah lukisan mahakarya yang dipajang di tengah pasar tanpa perlindungan apa pun.
"Nah, jagoan Bunda sudah datang," sapanya riang saat melihatku, senyumnya merekah indah. Ia sama sekali tidak merasa canggung dengan penampilannya. Baginya, ini adalah rumah, dan beginilah cara ia berpakaian di rumah. Aku hanya bisa tersenyum tipis, mencoba mengabaikan perasaan tidak nyaman yang merayap di dadaku. Saat aku tengah duduk di salah satu kursi di area dapur, muncul seorang pemuda, mungkin penghuni kamar sebelah, berjalan melintas menuju tangga. Ia hanya mengenakan celana boxer, rambutnya acak-acakan. Matanya sempat terpaku sesaat pada punggung dan bokong Bunda yang montok saat ia membungkuk mengambil piring, sebelum akhirnya ia mempercepat langkahnya menuruni tangga.
Bunda, yang sibuk mengaduk nasi goreng di wajan, sama sekali tidak menyadarinya. Aku menarik napas panjang, mencoba meyakinkan diri bahwa ini semua hanyalah paranoia-ku saja.
Setelah sarapan nasi goreng spesial yang luar biasa lezat, kami bersiap-siap untuk berangkat. Bunda telah berganti pakaian, kini ia mengenakan kemeja flanel lengan panjang yang kancingnya tertutup rapat hingga ke leher, dipadu dengan celana jeans biru tua dan sepatu kets putih. Sebuah penampilan yang sopan namun masih tetap tidak bisa menutupi aset asetnya yang menonjol dan sangat kontras dengan penampilannya beberapa saat yang lalu.
330Please respect copyright.PENANA6iaHCJO629
Kami keluar dari gerbang kosan bersama-sama. Aku di atas Vespa biruku, Bunda di atas motor matiknya. Kami berhenti sejenak di mulut gang, tempat jalanan mulai bercabang. "Bunda ke kanan, kamu lurus, kan?" tanyanya, memastikan. Aku mengangguk. "Hati-hati di jalan ya, Sayang. Semangat hari pertamanya!" serunya sambil melambaikan tangan, lalu motornya melesat, berbelok ke kanan, membawanya menuju dunianya sendiri. Aku terdiam sejenak, memandangi punggungnya yang semakin menjauh hingga hilang di tikungan. Sebuah perasaan aneh menyergapku.
Ini adalah pertama kalinya kami berangkat bersama namun menuju tujuan yang berbeda, memulai peran yang sama namun di panggung yang terpisah. Ada sebersit rasa kehilangan yang ganjil, seolah tali yang selama ini mengikat kami sebagai ibu dan anak kini sedikit meregang, memberi ruang bagi identitas baru kami sebagai sesama mahasiswa.Aku memutar gas Vespaku, melaju lurus menuju Universitas Velatura Liria. semakin dekat dengan kampus, atmosfernya semakin terasa. Udara dipenuhi oleh energi muda yang meluap-luap.
Gerbang utama universitas berdiri megah laksana gerbang sebuah kuil ilmu pengetahuan, dengan arsitektur bergaya art deco yang kokoh dan anggun. Di baliknya, terhampar sebuah dunia yang sama sekali baru. Mahasiswa-mahasiswi berlalu-lalang dengan langkah penuh semangat. Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) terletak di bagian belakang kampus, sebuah kompleks bangunan dengan desain yang lebih modern dan eksentrik. Dinding-dindingnya dihiasi mural-mural raksasa yang penuh warna, dan di setiap sudutnya terdapat instalasi-instalasi seni yang unik.
Udara di sini terasa berbeda, lebih bebas, lebih ekspresif. Para mahasiswanya adalah sebuah peragaan busana berjalan. Ada yang bergaya bohemian dengan rambut gimbal dan pakaian longgar, ada yang bergaya punk dengan jaket kulit dan sepatu bot, ada pula yang berpenampilan necis dengan kemeja dan kacamata berbingkai tebal. Aku merasa sedikit terintimidasi, sekaligus sangat bersemangat.
Di sinilah tempatku.330Please respect copyright.PENANALQRQWQBkZQ
Pengalaman hari pertama kuliahku adalah sebuah pusaran informasi dan impresi. Kami, para mahasiswa baru jurusan DKV, dikumpulkan di sebuah auditorium besar untuk sesi orientasi fakultas. Dekan FSRD, seorang seniman senior dengan rambut putih panjang yang diikat ke belakang, memberikan pidato sambutan yang membakar semangat. Ia berbicara tentang kekuatan visual, tentang tanggung jawab seorang desainer grafis dalam membentuk persepsi publik, dan tentang kebebasan berekspresi yang harus selalu diperjuangkan.
Setelah itu, kami dibagi ke dalam kelompok-kelompok kecil dan diajak berkeliling studio-studio: studio fotografi dengan peralatannya yang canggih, studio animasi dengan deretan komputernya yang mumpuni, dan ruang-ruang kelas yang dindingnya dipenuhi oleh karya-karya terbaik para senior.
Kelas pertamaku adalah Pengantar Desain Komunikasi Visual. Dosennya adalah seorang pria muda berusia awal tiga puluhan bernama Pak Adhitama. Ia memiliki gaya yang santai, mengenakan kaus oblong bergambar sampul album band indie dan celana jins belel. namun, saat ia mulai berbicara, auranya berubah. Ia berbicara dengan penuh gairah tentang sejarah desain, tentang para maestro seperti Saul Bass dan Paul Rand, tentang bagaimana sebuah logo sederhana bisa memiliki kekuatan yang luar biasa. Ia tidak hanya mengajar, ia bercerita. Ia membuat materi yang terdengar kering menjadi sebuah narasi yang menarik. Aku duduk di barisan tengah, terpaku, menyerap setiap kata-katanya laksana spons kering. Aku bertemu dengan beberapa teman baru, ada Rian, seorang pemuda asal Surabaya yang jago menggambar sketsa, dan Kinan, seorang gadis pendiam dari Cirebon yang ternyata memiliki selera humor yang gelap. Kami berkenalan lalu bertukar nomor telepon dan berjanji untuk mengerjakan tugas pertama bersama-sama.
Sore harinya, saat aku berjalan sendirian melintasi taman kampus menuju tempat parkir, aku merasa sebuah kepuasan yang hangat menjalari diriku. Hari ini luar biasa. Aku merasa hidup, merasa berada di tempat yang tepat. Pikiranku dipenuhi oleh ide-ide baru, oleh inspirasi yang bertebaran di setiap sudut kampus.
330Please respect copyright.PENANAsFj2TxgJl5
Namun, di tengah euforia itu, bayangan Bunda yang tengah memasak di dapur terbuka dengan pakaian minimnya tiba-tiba melintas di benakku. Bayangan tatapan lapar Mang Jajang. Bayangan tatapan sekilas pemuda bertelanjang dada itu. Seketika, rasa hangat di dadaku berganti dengan hawa dingin yang menusuk. Sebuah kontras yang begitu tajam. Di satu sisi, ada duniaku yang baru, dunia akademis yang cerah dan penuh harapan. Di sisi lain, ada dunia Bunda yang baru, sebuah dunia yang entah kenapa terasa diselimuti oleh kabut tipis yang penuh ancaman terselubung.
Harmoni semu yang kurasakan pagi ini di ambang fajar perkuliahan kami, kini terasa begitu rapuh, begitu penuh dengan nada-nada minor yang mengganggu. Aku menstarter Vespaku, deru mesinnya seolah menjadi representasi dari pergolakan batinku yang hebat. Perjalanan pulang menuju kosanku terasa lebih panjang, dibayangi oleh sebuah pertanyaan besar: mampukah aku fokus pada kanvasku sendiri, sementara aku tahu ada sebuah lukisan berharga yang terpajang tanpa penjagaan di galeri yang salah?330Please respect copyright.PENANAdecYiMRvM0