BAB 5: ANOMALI DI SIMPANG RAGUKU
Panggung kehidupanku kini memiliki dua set dekorasi yang kontras. Di bawah sorotan lampu neon kampus dan tawa riuh di kafe, aku adalah seorang aktor yang terlatih. Aku mengenakan topeng Arka yang periang, yang sibuk, yang normal. Aku melafalkan naskah tentang tugas desain, rencana akhir pekan, dan lelucon-lelucon hambar dengan begitu fasih.teman-temanku adalah penonton yang tak menaruh curiga, bertepuk tangan pada pertunjukanku yang tanpa cela.
Namun, begitu pertunjukan usai dan aku kembali ke belakang panggung ke dalam kesunyian kamarku,topeng itu retak dan luruh. Aku kembali menjadi diriku yang sesungguhnya, seorang penyintas yang tersesat dalam badai bisikan dan keraguan, yang setiap detak jantungnya adalah genderang perang melawan pikirannya sendiri.
Untuk bertahan, aku menyibukkan diri hingga ke ambang batas kewarasan. Aku dan teman-temanku menjelma menjadi sekelompok pemburu kreativitas yang tak kenal lelah. Kami akan begadang di studio DKV yang beraroma kopi dan cat semprot, kepala kami menyatu di atas meja besar, berdebat sengit tentang filosofi warna dan kekuatan tipografi untuk proyek poster kampanye sosial kami.
35Please respect copyright.PENANA5kxQJODa9y
Di akhir pekan, lapangan futsal menjadi kanvas pelampiasanku. Aku akan berlari hingga paru-paruku terasa terbakar, menendang bola dengan segenap kekuatan, membayangkan setiap tendangan adalah sebuah pukulan telak pada hantu-hantu yang menghuni kepalaku. Kami juga sering melakukan perjalanan singkat, berburu foto di reruntuhan bangunan tua di pinggir kota atau sekadar duduk-duduk di tepian Punclut, membiarkan mata kami dimanjakan oleh permadani lampu kota Bandung yang berkelip di kejauhan.kegiatan-kegiatan itu adalah opiumku, dosis penenang sementara yang membantuku melupakan, walau hanya untuk beberapa jam, anomali menyakitkan yang terus menggerogoti jiwaku.
Suatu sore yang teduh, saat aku tengah berada di kosan Bunda, ia menjatuhkan sebuah bom yang terbungkus dalam kertas kado kabar gembira. Saat itu aku sedang asyik membuat sketsa di buku catatanku, sementara Bunda duduk di tepi ranjang, matanya berbinar dengan cara yang sudah mulai kukenali sebagai pertanda akan sebuah gagasan impulsif. "Arka, Bunda punya kabar bagus!" serunya. Aku mengangkat kepala. "Bunda mau ikut Mapala!" lanjutnya, senyumnya merekah lebar seolah ia baru saja mengumumkan akan pergi berlibur ke Paris. pensil yang kupegang nyaris jatuh.
Mapala? Mahasiswa Pecinta Alam? Aku membayangkan Bunda, dengan kulit porselen dan manikur sempurnanya, harus mendaki gunung terjal, tidur di tengah hutan belantara, dan menghadapi alam liar yang tak kenal ampun.
35Please respect copyright.PENANAHKt2wsM5nA
Seketika, alarm bahaya berdering nyaring di kepalaku. Kami pun terlibat dalam perdebatan hebat, namun tanpa urat yang menegang. Aku berbicara dengan nada sepelan mungkin, mencoba menyuntikkan logika ke dalam antusiasmenya. Aku menjelaskan tentang risiko hipotermia, tentang bahaya binatang buas, tentang medan yang berat dan tak terduga.
Namun, Bunda menepis semua kekhawatiranku dengan argumen-argumen yang menurutnya masuk akal namun terdengar begitu absurd di telingaku. "Justru itu tantangannya, Sayang! Bunda mau membuktikan kalau Bunda bisa. Lagipula, ini bagus untuk membentuk mental dan fisik," katanya. "Bunda bosan dengan rutinitas kampus dan kos yang begitu-begitu saja. Ini sebuah petualangan!" ujarnya seperti sedang menjelaskan rasa eksrim favoritnya,Tembok tekad yang sudah ia bangun di sekeliling idenya itu terlalu kokoh. Argumen logisku hanya memantul tak berdaya.
Pada akhirnya,aku mengalah,membiarkan dia melakukan sebuah 'petulangan', lalu dengan sorot mata memohon, ia memintaku melakukan sesuatu yang membuat perutku melilit. "Tolong, rahasiakan ini dari Ayah ya," bisiknya. "Kamu tahu sendiri, Ayah pasti akan melarang keras. Nanti kalau Bunda sudah membuktikan bisa, baru kita kasih tahu.",sudah dipastikan kalau ayah mendengar ini ia akan langsung terbang menuju bandung dan menyeret bunda pulang ke jakarta, Terpaksa. Aku hanya bisa mengangguk lemah, merasa seperti seorang pengkhianat. Melihat wajahku yang pias, ia mencoba menenangkan. "Tenang saja, Novi sama Maya juga ikut, kok. Bunda tidak akan sendirian." Sebuah penenang yang sama sekali tidak menenangkan.
35Please respect copyright.PENANAw76b8iaugY
Hari itu kami habiskan waktu bersama di dalam kamar kosnya yang mungil, sebuah kebersamaan yang terasa ganjil. Kami sibuk dengan dunia kami masing-masing yang terkurung dalam layar ponsel. Aku mencoba fokus pada sketsaku, sementara Bunda tak henti-hentinya tersenyum dan terkikik pelan saat jemarinya menari lincah di atas papan ketik virtual. Aku tak tahu, dan tak berani bertanya, dengan siapa ia bertukar pesan begitu riang.
35Please respect copyright.PENANAseLFXAC3Ns
Selepas makan malam di sebuah warung soto yang tak jauh dari kos bunda, aku mengantarnya pulang. Aku hanya mengantarnya sampai di parkiran. "Aku langsung balik ya, Bun," kataku. Saat aku hendak memutar balik Vespaku, aku melihat Mang Jajang keluar dari rumahnya di lantai dasar. Ia tersenyum ramah ke arahku, lalu menghampiri Bunda yang baru saja turun dari motor. tepat di lorong koridor kamar lantai 1.
Dari kejauhan, di bawah cahaya lampu parkiran yang temaram, aku melihat mereka terlibat dalam sebuah obrolan. Aku tak bisa mendengar apa yang mereka bicarakan, hanya melihat gestur mereka yang tampak akrab. pemandangan itu, entah kenapa, meninggalkan rasa pahit di lidahku.
Sesampainya di kosku, didorong oleh rasa penasaran yang tak tertahankan, aku iseng menelepon Bunda. Panggilan pertama, tidak diangkat. Hanya nada sambung yang monoton. Panggilan kedua, sama saja. Jantungku mulai berdebar tak nyaman. Baru pada panggilan ketiga, suaranya yang merdu akhirnya terdengar. "Halo, Arka? Maaf, maaf, Bunda tidak dengar." Aku bertanya kenapa. "Hapenya Bunda silent. Bunda baru saja sampai di kamar, ini baru mau bersih-bersih," jawabnya. "Tadi di bawah ngobrol dulu sama Mang Jajang, tanya-tanya soal pembayaran iuran kebersihan bulanan." Lagi-lagi, sebuah perkataan yang mulus dan masuk akal.
Aku pun beralasan hanya ingin mengabari kalau sudah sampai di kos dengan selamat. Obrolan kami mengalir cukup panjang, dari membahas rencana Mapalanya hingga tugas-tugasku.
35Please respect copyright.PENANAVqZKXqEbff
Hingga di tengah obrolan, aku mendengar sebuah suara ganjil dari seberang telepon. 'Tok, tok.' Sebuah suara ketukan yang pelan namun jelas. Aku tidak tahu apakah itu suara ketukan pada pintu kamar kos Bunda, atau hanya suara ketukan iseng tangannya yang tak sengaja mengenai meja atau dinding. "Bun, itu suara apa?" tanyaku spontan. Tiba-tiba, ia terdengar sedikit panik. "Ah, tidak ada apa-apa. Aduh, Arka, sudah dulu ya, perut Bunda mendadak sakit sekali. Mulas!" Dan tanpa menunggu jawabanku, sambungan telepon pun terputus.
35Please respect copyright.PENANAi8gp0iziL3
Aku menatap layar ponselku yang kini gelap, keheningan di kamarku terasa memekakkan telinga. Alasan sakit perut. Sebuah kalimat klise yang justru membunyikan alarm paling kencang di benakku.
aku langsung bangkit dari ranjangku,dan bergegas kembali ke kos bunda walau aku baru saja sampai,namun perasaan tak enak merayap di dadaku.namun seolah alam dan dunia ikut berkontibusi atas kesialanku motor ku tiba tiba tak mau hidup,kucoba berulang kali menstaternya namun tetap saja tak mau nyala,sial sial sial maki ku tak tertahan,lalu kembali kekamar
35Please respect copyright.PENANAonfxYSrM6A
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku berkelana, merangkai skenario-skenario liar, setiap skenario terasa lebih buruk dari yang sebelumnya.
35Please respect copyright.PENANAhbNQDWRrWk
Seminggu setelah malam yang penuh teka-teki itu, hari-hariku terasa seperti berjalan di atas hamparan pecahan kaca. Setiap langkah terasa perih, setiap hari adalah sebuah peperangan batin baru yang tak berkesudahan. Aku menjadi lebih pendiam, lebih observatif, lebih paranoid.
Hingga suatu malam, takdir seolah sengaja ingin mempermainkanku lebih jauh. Aku dan gengku Bima, Sakti, Rian, dan yang lainnya sedang berkumpul di kamar kos Bima yang luas. Kamar kosnya memang sering menjadi markas kami.
Malam itu, salah seorang teman satu kos Bima yang kebetulan berasal dari Universitas Dionysia ikut bergabung. Namanya Dani, seorang mahasiswa semester tiga yang supel. Awalnya kami hanya seru-seruan, bermain kartu uno sambil diiringi tawa dan canda.
Dani membawa sebotol minuman beralkohol oplosan kadar rendah yang ia sebut 'penambah semangat'. Suasana menjadi semakin cair dan riuh. Lalu, entah bagaimana, obrolan kami berbelok ke arah kehidupan kampus masing-masing.
35Please respect copyright.PENANAn6Ywr8r64C
Dan di situlah Dani, dengan wajah yang sudah sedikit memerah, mulai bercerita tentang mahasiswi fenomenal di kampusnya. Mahasiswi bernama Nabil. "Gila, bro. Di angkatan baru gue, ada harta karun terpendam," katanya dengan mata berbinar. "Namanya Nabil. Beuh, penampilannya mirip Bidadari turun dari kayangan juga lewat."35Please respect copyright.PENANAqQLuRCqOD6
Tiba-tiba, ia meraih ponselnya. "Kalian nggak akan percaya kalau belum lihat sendiri. Ini lagi viral banget di grup-grup angkatan," ujarnya sambil mengutak-atik ponselnya. Lalu, ia menunjukkannya kepada kami. Sebuah video.
35Please respect copyright.PENANAPzFQYYZMEQ
Sebuah adegan persetubuhan. Sebuah rekaman amatir yang menampilkan pertempuran dua insan yang tengah mengejar kepuasan. Jantungku seolah berhenti berdetak. Kami semua—aku, Bima, Rian, Sakti—menonton video itu dari layar ponsel Dani yang kecil.
Gambarnya bergoyang-goyang, kameranya tidak fokus, dan kualitasnya rendah. Adegan itu direkam dalam pencahayaan yang remang-remang. Wajah sang wanita tidak pernah terlihat dengan jelas, seringkali tertutup oleh rambutnya yang panjang atau terhalang oleh sudut pengambilan gambar yang buruk. Namun, sekilas, dalam satu momen sepersekian detik saat wajahnya sedikit menoleh, aku melihatnya. Dan seketika, sebongkah beban berat terangkat dari dadaku.
Wajah itu... terlihat bukan seperti wajah Bunda. Ada perbedaan samar di struktur rahang dan bentuk hidungnya. Ada kelegaan yang luar biasa, begitu melegakan hingga aku nyaris terbatuk. Namun, keraguan itu belum sepenuhnya sirna. Videonya terlalu buram. Suara desahannya pun pecah dan terdistorsi, aku tidak bisa mengonfirmasi apakah itu suara Bunda atau bukan. Tapi satu hal yang tak bisa kupungkiri, postur tubuh sang wanita dalam video itu... dadanya yang besar dan penuh... sangat amat menggairahkan, dan sangat amat mirip dengan aset yang dimiliki bunda.
35Please respect copyright.PENANAMziePHO0Lm
Waktu sudah menunjukkan pukul satu dini hari. Setelah membahas video panas itu di mana Dani terus-menerus menceritakan bagaimana si Nabil ini menjadi primadona dan fantasi liar hampir semua mahasiswa di kampusnya kami pun akhirnya bubar. Aku pamit pulang, pikiranku berkecamuk.
Malam itu, setelah tiba di kamarku sendiri, aku kembali diserang. Bayangan video 'Nabil' itu, orkestra suara desahan dari kamar sebelah kos Bunda,penampilan bunda yang menggoda semuanya berputar di kepalaku seperti sebuah film rusak. Lalu, sebuah hal yang mengerikan terjadi dalam imajinasiku. Wajah wanita di dalam video itu perlahan berubah, bermetamorfosis, menjadi wajah Bunda. Suara desahannya yang pecah kini terdengar begitu jelas, menjadi suara Bunda.
Aku mencengkeram kepalaku,menampar kedua pipiku mencoba mengusir bayangan itu, tapi ia menolak untuk pergi. Aku tak tahan lagi. Didorong oleh frustrasi, kebingungan, dan hasrat yang tak tertahankan, tanganku bergerak sendiri. Sekali lagi, aku menuntaskan pergolakan batinku dengan caraku sendiri, mencari pelepasan sesaat dari siksaan yang tak kunjung usai dengan kelima jariku,
Ada sedikit kelegaan setelah melihat video itu. Sedikit. Setidaknya, wajah itu terlihat bukan seperti wajah Bunda secara definitif. Namun, keraguan itu tetap ada, laksana bara api kecil yang tertiup angin, siap berkobar kapan saja.
Gosip tentang Nabil semakin naik ke permukaan, semakin vulgar. Aku mendengarnya di mana-mana. Namun, ada satu hal yang menjadi benteng pertahananku. Dari cerita-cerita yang kudengar dari mereka, tempat-tempat di mana 'Nabil' ini sering terlihat, sebuah kafe board game di Dago atas, sebuah klub malam di Jalan Braga adalah tempat-tempat yang asing di telingaku.
Setahuku, Bunda tidak pernah menjejakkan kaki di sana. Fakta inilah yang terus kupegang erat. Bahwa ini semua hanyalah sebuah kebetulan yang sangat menyakitkan. Sebuah anomali yang seolah sengaja diciptakan oleh takdir untuk menguji kewarasanku, untuk mengganggu ketenangan batinku yang sudah compang-camping.
Namun, setiap kali aku melihat Bunda, dengan pesonanya yang kian hari kian bersinar, aku tak bisa untuk tidak bertanya-tanya: sampai kapan benteng pertahananku ini akan sanggup bertahan?35Please respect copyright.PENANAVyeQ6GYJMV