BAB 6: DISTORSI FREKUENSI DI BUKIT BIRU
49Please respect copyright.PENANAuuW634uj8h
Dalam beberapa minggu berikutnya, aku menemukan sebuah suaka, sebuah oasis di tengah gurun kegelisahanku yang tandus.
49Please respect copyright.PENANAjxHQtRDZWX
Aku menyibukkan diri hingga ke titik lebur, menenggelamkan setiap celah waktu luang ke dalam sebuah gairah baru yang tak terduga: fotografi. Lensa kamera menjadi mata ketigaku, sebuah perisai kristal yang kuletakkan di antara diriku dan dunia.
Melaluinya, aku bisa membingkai realita, mengisolasinya menjadi sebuah komposisi yang terkendali. Kekacauan di luar sana dan di dalam kepalaku seketika tunduk pada aturan aperture, shutter speed, dan ISO. Kesibukan ini secara perlahan mengurai sesak di dadaku, meredam volume bisikan-bisikan curiga yang selama ini berdengung tanpa henti,mengaburkan imaji imaji yang terus menghantui memberiku jeda untuk bernapas.
Aku bergabung dengan klub fotografi di kampus, sebuah komunitas yang dihuni oleh para pemburu cahaya dan penangkap momen.setelah melalui proses lobi yang cukup alot di mana aku harus mempresentasikan proposal berisi penyaluran energi berlebih di bidang fotografi kepada Ayah lewat panggilan video, yang tentu saja dibantu oleh rayuan maut dan kedipan mata Bunda yang tak mungkin ditolak Ayah, akhirnya aku berhasil mendapatkan restu.
49Please respect copyright.PENANAwMv8058isk
Sebuah kamera mirrorless baru yang ramping kini selalu menggantung di leherku, terasa seperti sebuah medali kehormatan. Duniaku seketika meluas. Aku banyak belajar dari para senior di klub. Ada Kak Sari, seorang mahasiswi tingkat menengah dengan rambut sebahu dan mata yang mampu melihat keindahan pada objek paling banal sekalipun. Ia mengajariku tentang sihir golden hour, tentang bagaimana cahaya sore yang keemasan dapat mengubah pemandangan biasa menjadi sebuah lukisan dramatis.
49Please respect copyright.PENANAC2DZBGP9Fl
Ada Bang Jodi, fotografer spesialis jalanan yang mengajariku untuk menjadi tak terlihat, menangkap emosi manusia yang paling murni dalam hiruk pikuk kota.
49Please respect copyright.PENANA1BTCk4lJkt
Pandanganku terhadap seni fotografi semakin terbuka lebar. Aku tidak lagi hanya melihat, aku mulai mengamati. Aku tidak lagi hanya memotret, aku mulai bercerita melalui gambar.namun, ketenangan itu tak ubahnya sebuah fatamorgana.
49Please respect copyright.PENANAwfijBBWvuX
Suatu Minggu pagi yang cerah, saat aku tengah membersihkan lensa kameraku di kamar, Bunda menelepon dengan nada ceria yang khas. Ia memberi kabar bahwa ia akan mengikuti pelatihan dasar dan pengukuhan anggota baru Mapala yang diikutinya.
49Please respect copyright.PENANAen4UEGRzBW
Jantungku yang tadinya tenang, kembali berdebar dengan ritme yang tak menyenangkan. Pelatihan itu, katanya, akan dilaksanakan selama lima hari. Bukan di gunung terjal yang menjadi sumber kekhawatiranku dulu, melainkan di sebuah tempat bernama Bukit Biru, sebuah kawasan perkemahan yang memang didesain untuk pelatihan pemula. Lanskapnya indah, dengan padang rumput yang luas dan hutan pinus yang tidak terlalu lebat.
Kali ini, tidak ada perdebatan. Aku tahu, menentangnya hanya akan menjadi usaha yang sia-sia. Aku sudah lelah melawan tembok tekadnya yang sekeras baja. Aku hanya mengajukan satu syarat. "Janji, harus kasih kabar setiap hari, Bun. Setiap malam, telepon aku. Apa pun yang terjadi," kataku dengan nada yang lebih terdengar seperti permohonan ketimbang sebuah syarat. Ia menyetujuinya dengan mudah.
Dan ia menepati janjinya. Pada hari pertama, sekitar pukul sembilan malam, ponselku berdering. Ia menelepon, suaranya terdengar bersemangat di tengah riuh rendah suara anggota lain di latar belakang. Ia bercerita tentang materi navigasi darat yang baru ia pelajari, tentang bagaimana ia dan timnya berhasil mendirikan tenda dengan cepat.
49Please respect copyright.PENANAzg9qnmghjA
Hari kedua pun sama. Panggilan telepon datang sekitar jam delapan malam. Ia menceritakan kegiatan jungle survival, belajar mengenali tanaman-tanaman yang bisa dimakan. Suara teman-temannya yang tertawa dan bermain gitar menjadi musik latar yang menenangkanku. Semuanya tampak normal. Semuanya terkendali.
49Please respect copyright.PENANAaQEEHmpmAI
Namun, pada hari ketiga, pola itu retak. Tak ada panggilan telepon yang datang. Sebagai gantinya, hanya sebuah pesan singkat yang masuk ke ponselku sekitar pukul sepuluh malam. 'Arka, maaf baru sempat pegang HP. Capek sekali hari ini, habis lintas alam. Bunda langsung tidur ya. Love you.' Sebuah pesan yang singkat, padat, dan entah kenapa, terasa dingin. Kecemasan yang tadinya tertidur, mulai menggeliat bangun.
49Please respect copyright.PENANAhNEUxMJjUt
Puncaknya terjadi pada hari keempat. Malam semakin larut, jarum jam merayap melewati angka sembilan, sepuluh, lalu sebelas. Tak ada telepon. Tak ada pesan. Ponselku membisu seribu bahasa. Kecemasan kini telah sepenuhnya terjaga, berubah menjadi kepanikan. Aku mulai meneleponnya.
Panggilan pertama, nada sambung. Panggilan kedua, masih nada sambung. Aku terus mencoba, lagi dan lagi. Jari-jemariku terasa dingin, perutku melilit.jantungku terasa sakit,paru paruku seperti terhimpit, Setelah panggilan yang entah keberapa, mungkin sudah belasan kali, akhirnya sambungan itu terangkat. "Halo..." Suara di seberang terdengar lemah, serak, dan sangat jauh. Itu suara Bunda, tapi ada yang berbeda. "Bun? Bunda baik-baik saja? Kenapa dari tadi tidak ada kabar?" cecarku, tak bisa lagi menyembunyikan kepanikanku. "Maaf, Sayang... Bunda... sibuk sekali. Ada evaluasi... malam. Tidak sempat... pegang HP," jawabnya terbata-bata. "Waktu...... kamu telepon .......tadi juga Bunda.......tidak dengar." ada jeda disetiap kata dikalimatnya.
Latar belakang suaranya terdengar sangat bising, lebih bising dari dua malam pertama. Ada suara orang bermain gitar dengan asal-asalan, diselingi gelak tawa yang keras dan pekikan-pekikan yang tidak jelas.49Please respect copyright.PENANAlXfLSucO3T
"Bun, di sana berisik sekali. Coba cari tempat yang lebih sepi," pintaku. "Iya, sebentar..." jawabnya.
49Please respect copyright.PENANAKrqHK6UUm4
Sesaat sebelum ia berpindah, aku samar-samar mendengar suara bisikan, sangat dekat dengan mikrofon ponselnya. Aku tidak jelas mendengar kata apa yang terucap, tapi itu jelas bukan suara Bunda. Lalu, aku mendengar suara langkah kaki di seberang sana. Bukan langkah kaki biasa di tanah lapang. Terdengar agak berat, menyeret. Kres... kras... Suara dedaunan kering dan ranting-ranting kecil yang terinjak. Anehnya, ritme langkah itu terasa ganjil, seperti bukan langkah satu orang, melainkan dua orang atau lebih yang berjalan beriringan sangat rapat. "Sudah, di sini lebih tenang," katanya setelah beberapa saat. Suara bising tadi memang sudah jauh berkurang.
Kami melanjutkan obrolan. Ia menceritakan kegiatan hari ini, tentang materi pertolongan pertama pada kecelakaan. Ia juga bilang bahwa besok pagi akan ada kegiatan penutup, dan setelah itu mereka akan langsung pulang. Mungkin malam hari ia sudah akan sampai di Bandung.
49Please respect copyright.PENANAJPlRaNmjUW
Di tengah obrolan itu, aku menyadari sesuatu yang sangat mengganggu. Napas Bunda terdengar semakin berat. Setiap kali ia selesai mengucapkan satu kalimat, akan ada jeda di mana aku bisa mendengar dengan jelas ia menarik napas dalam-dalam, seolah kehabisan udara. Terkadang, suaranya tercekat di tengah kata. Tidak, tidak ada suara desahan atau leguhan birahi seperti yang kudengar dari kamar sebelah kosnya. Ini berbeda. Ini adalah suara napas orang yang kelelahan luar biasa, atau... menahan sesuatu.
Semakin lama kami berbicara, napasnya terdengar semakin berat dan terengah-engah, setiap kata yang terucap seolah membutuhkan usaha yang luar biasa.
49Please respect copyright.PENANATzrnBrUFRz
Pikiranku mulai menjadi liar. Apakah ini nyata? Ataukah ini hanya imajinasiku yang semakin subur oleh kecurigaan? Mungkinkah aku mulai berhalusinasi? Sebuah bagian gelap dalam diriku, bagian yang selama ini coba kupendam, tiba-tiba muncul ke permukaan. Bagian itu mulai berharap. Berharap bahwa di balik sambungan telepon ini, Bunda sedang melakukan sesuatu,sesuatu yang yang selama ini menghantuiku, imajinasi liarku yang selama ini berputar di kepala. Sebuah pikiran yang mengerikan, namun entah kenapa, juga terasa memikat.sangat membara,
49Please respect copyright.PENANAJhW2Ho5EZQ
"dari....... kemarin..... kegiatannya......padet..... bangeet....." katanya, suaranya semakin tercekat. Napasnya kini terdengar sangat berat, seperti orang yang baru saja berlari maraton. Aku mulai membayangkan skenario-skenario di kepalaku. Mungkin saat ini ia tidak sendirian. Mungkin langkah kaki tadi... Tiba-tiba, imajinasiku terputus.karena Dari seberang telepon, aku mendengar Bunda seperti menjerit tertahan, sebuah pekikan singkat seperti orang yang terperanjat seolah terkejut luar biasa. "Aahk!" Lalu... tut... tut... tut...
Sambungan terputus. Aku terpaku,mulutku menganga tak percaya dengan apa yang kudengar, ponsel masih menempel di telingaku. Aku coba menelepon lagi. Berkali-kali. Puluhan kali. Tapi tak ada lagi jawaban. Yang menyambutku hanyalah suara dingin sang operator. 'Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.' Aku mencoba lagi dan lagi, hingga jariku terasa kebas. Tetap sama. Operator yang menjawab.
49Please respect copyright.PENANARq9Bdd5FGH
Aku melempar ponselku ke atas kasur. Putus asa, gelisah, khawatir, curiga semua emosi itu bercampur aduk menjadi sebuah koktail beracun yang membakar isi perutku.
49Please respect copyright.PENANAPUeKaSMedr
Sekitar pukul satu dini hari, sebuah notifikasi pesan masuk menyalakan layar ponselku. Dari Bunda. Bukan telepon, hanya sebuah pesan singkat. 'Arka maaf HP Bunda tiba-tiba mati total, lupa charge dari siang. Ini baru nyala setelah pinjam power bank teman. Bunda ngantuk sekali, mau langsung tidur ya, besok pagi ada kegiatan penutup. Tidak bisa telepon balik. See you tomorrow.'
49Please respect copyright.PENANAd6tNcDQm8j
Sebuah penjelasan yang lagi-lagi, sangat logis. Namun datang di saat yang paling tidak tepat, membuatnya terasa seperti sebuah kebohongan yang dirancang dengan rapi.
49Please respect copyright.PENANAEs4D7qh9vG
Malam itu aku benar-benar tidak bisa tidur. Kekhawatiranku terhadap keselamatan Bunda bercampur dengan kecurigaan terhadap suara napasnya yang aneh dan panggilan yang terputus tiba-tiba. Pikiranku terbelah. Sisi logikaku mencoba mencari penjelasan rasional: mungkin ia benar-benar kelelahan, mungkin ia tersandung sesuatu makanya terpekik, mungkin sinyal di perbukitan memang buruk.namun, sisi instingku berteriak bahwa ada sesuatu yang sangat tidak beres. sesuatu yang menyalakan alarm tanda bahaya dikepalaku.
49Please respect copyright.PENANAswbQEMms33
Seolah logika dan insting tengah berperang hebat di dalam arena tengkorakku. Lalu, tiba-tiba muncul sosok ketiga. Sosok gelap yang selama ini hanya mengintip dari balik bayang-bayang. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Ia tidak memihak logika maupun insting. Ia hanya duduk di kursi penonton, berbisik kepadaku untuk menikmati setiap pertunjukan, setiap misteri, setiap detak jantung yang berpacu. Ia berbisik agar aku terus berharap, mengharapkan hal-hal yang Bunda lakukan sesuai dengan imajinasiku yang paling kelam. Aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Sosok ini membuatku takut pada diriku sendiri.hingga akhirnya, menjelang adzan subuh, mataku menyerah.
49Please respect copyright.PENANAjkR6iKVhgu
Esoknya, aku bangun agak siang, kepalaku terasa berat seolah habis dihantam benda tumpul. Perang tiga kubu di kepalaku semalam benar-benar menguras energi. Aku segera menelepon Bunda. Kali ini langsung diangkat. Suaranya terdengar normal, ceria seperti biasa. Aku menawarkan untuk menjemputnya di kampus nanti malam. Namun, ia menolak. "Tidak usah, Sayang," katanya. "Katanya nanti rombongan pulangnya mau bareng sama Rizka. Rizka dijemput pacarnya pakai mobil, jadi nanti Bunda bisa nebeng sampai depan gang kos." jelasnya lagi
Malam harinya, sekitar pukul sebelas, Bunda mengabari lewat pesan bahwa ia sebentar lagi akan sampai. Seketika, aku menyambar kunci motorku. Aku tidak tahu kenapa, tapi aku harus melihatnya. Ada sedikit rasa rindu setelah lima hari tak bertemu,ada sesuatu yang harus ku pastikan,namun yang lebih besar adalah dorongan untuk mencari konfirmasi, untuk melihat sendiri keadaannya.
49Please respect copyright.PENANAvDYJGCOk8Y
Aku sampai di kos Bunda lebih dulu. Aku menunggu di parkiran yang temaram dan sepi. Mang Jajang pun tak terlihat batang hidungnya mungkin ia sudah berkelana di dunia mimpi. Agak lama aku menunggu, hingga akhirnya aku melihat seberkas cahaya lampu motor berhenti tepat di depan gerbang kos.
49Please respect copyright.PENANA3luwofWzFY
Bunda turun dari boncengan. Ia dibonceng oleh seorang laki-laki. Bukan mobil. Laki-laki itu memakai helm full-face hitam, posturnya tinggi tegap. Aku tak bisa melihat wajahnya dengan jelas. Mereka terlibat dalam obrolan singkat. Aku melihat Bunda tertawa, lalu memukul bahu pria itu dengan pelan, sebuah gestur yang tampak sangat akrab.
49Please respect copyright.PENANAsr9pWEU2gK
Sepertinya Bunda tidak menyadari keberadaanku yang berdiri di sudut parkiran yang gelap. Saat Bunda melihat sekililing area kos seolah memastikan sesuatu, barulah matanya menangkap sosokku. Ia tampak sedikit terkejut. Ia berbicara lagi sebentar kepada pria itu, lalu pria itu pun melesat pergi.
49Please respect copyright.PENANARk3LHkLvWn
Aku menghampiri Bunda. "Lho, kok kamu di sini?" tanyanya."iya bun,aku kangen" aku mencoba mencari alasan logis, Aku membantunya membawakan ransel carrier-nya yang tampak berat. Ia langsung bercerita dengan sangat antusias tentang semua kegiatannya selama lima hari, lebih detail dari yang ia ceritakan di telepon.
49Please respect copyright.PENANADhwikerTcP
Namun, ia sama sekali tidak menyinggung masalah semalam. Tidak ada penjelasan tentang telepon yang terputus, tentang napasnya yang berat, tentang pekikan tertahannya. Saat aku bertanya mengapa ia tidak jadi bareng Rizka, jawabannya kembali meluncur dengan mulus. "Ternyata pacarnya Rizka jemput pakai motor, bukan mobil. Jadi tidak mungkin nebeng. Tadi waktu Bunda mau telepon kamu buat minta jemput, teman Bunda, Ridho, langsung nawarin buat antar. Katanya rumahnya searah." Ceritanya terdengar begitu natural, tidak ada jeda yang mencurigakan. Tidak ada tidak ada sinyal janggal
Malam itu, setelah memastikan Bunda masuk ke kamarnya dengan selamat, aku pulang dengan perasaan yang lebih kalut dari sebelumnya. Aku tidak tahu lagi apa yang harus kupercaya. Semua kejanggalan selalu ditutup dengan penjelasan yang sempurna. Apakah aku yang terlalu paranoid? Ataukah Bunda yang telah menjadi seorang pembohong yang sangat ulung? Aku menatap pantulan wajahku di kaca spion Vespa. Yang membalas menatapku adalah wajah seorang anak laki-laki yang kebingungan, yang terjebak dalam sebuah sandiwara yang ia sendiri tak tahu perannya sebagai apa.49Please respect copyright.PENANA6e2uioTgNV