“Perhatian, untuk Ibu di atas. Tolong pertimbangkan kembali tindakan yang akan Ibu lakukan! Tim kami akan naik untuk menyusul!” suara megafon dari polisi terdengar begitu nyaring, membuat hiruk pikuk terdengar semakin menyeramkan.
“Ana! Ayo turun, jangan seperti itu!” teriak suara seorang perempuan tua yang begitu keras. Air mata membanjiri kedua pipinya, seolah-olah keputusasaan sudah menguasai dirinya. “Ibu janji akan kasih kamu apa aja, tapi ayo turun, Na!” teriak Ibu itu sekali lagi, dengan sangat keras.
Angin berhembus cukup kencang, dan semua terasa cukup kecil jika kulihat dari atas sini. Semua orang, bahkan suara Ibu, suara orang-orang yang mencoba untuk membujukku, suara sirene, suara polisi dengan megafon yang menyebalkan itu, semua terasa begitu kecil. Bahkan diriku.
Iya, bahkan diriku.
Fiuhh, hembusan angin yang cukup kencang, cukup membuat bulu kudukku berdiri kedinginan. Namun, aku tidak bisa merasakan apapun. Aku hanya bisa melihat semua orang dari atas sini dengan tatapan kosong. Semakin lama, semakin banyak, semakin banyak, semakin banyak.
Suara riuh yang sangat pelan dari atas sini, sayup-sayup semakin terdengar. Kudengar suara permintaan maaf, suara bujukan, mulai sedikit terdengar dalam telingaku. Namun, aku tidak menganggap itu semua penting. Kupejamkan mata, kubiarkan angin malam berhembus, menghilangkan setiap suara itu dari pikiranku.
Tidak ada lagi yang bisa menyelamatkanku. Bahkan, jauh sebelum aku ada di sini, atas Gedung kantor 20 meter ini. Aku kehilangan kepercayaanku, pada dunia ini. Semua hanyalah manusia tolol yang mementingkan dirinya sendiri. Semua hanya peduli, ketika aku sudah di atas sini. Semua baru merasa diriku penting, bahkan ketika aku sudah menganggap semua ini sudah tidak penting lagi.
Aku? Kalau aku, aku sudah tidak peduli lagi dengan semua ini. Semua hanyalah sampah. Semua hanya manusia munafik, yang bermain dengan diri mereka sendiri. Mereka hanya menjadi apa yang orang lain ingin lihat, dan tidak ada yang benar-benar peduli dengan orang lain.
Aku muak dengan kepalsuan semua orang. Bahkan Ibuku. Lihat dia di bawah sana, berteriak dengan bercucuran air mata bodohnya. Seolah-olah aku tidak tau, selingkuhan yang ia bawa ke rumah ketika aku masih kecil, ketika melihat Ayah begitu hancur pada saat menemukan hubungan gelap mereka. Seperti aku tidak tau, ketika Ibu bahkan tidak peduli terhadap kondisi Ayah, yang semakin lama semakin tidak stabil. Ketika kewarasan Ayah semakin tidak stabil, dan mau tidak mau dirawat di Rumah Sakit.
Melihat Ibu dengan pacar barunya, dan kondisi Ayah yang tidak seperti dulu lagi, sudah cukup membuatku terpukul sejak kecil.
Aku tumbuh menjadi anak yang pendiam, bahkan aneh. Walaupun aku selalu mendapatkan ranking di sekolah, aku hampir tidak punya teman.
“Lihat dia, Ana si aneh!”
“Oalah pantesan aneh, lah dia broken home!”
“Eh denger-denger, mamanya punya pacar baru ya? Yah, ga heran anaknya jadi aneh!”
“Jangan katain dia, nanti kita gabisa nyontek PR lagi tau dari dia!”
“Eh udah dong, nilai kita jelek nih! Kita butuh bantuan dia!”
Mendengar semua itu, aku hanya bisa terdiam, lalu menangis. Aku tidak kuasa menahan semuanya. Dunia tidak pernah berpihak padaku. Semua orang selalu memandangku rendah, semua orang melihatku sebagai kegagalan. Namun, semua orang berlomba-lomba untuk memanfaatkanku. Semua orang hanya ingin memanfaatkan segalanya dariku. Uangku, tubuhku, bakatku, kemampuanku, semuanya. Tidak ada yang peduli denganku.
Mereka tidak bisa menghargaiku.
Kenapa semua orang jahat? Aku tidak pernah menyakiti siapapun, tapi kenapa semua orang menyakitiku?
Aku menghabiskan masa sekolahku dengan penuh tangis. Aku mencoba untuk mengampuni, aku mencoba untuk berbuat baik. Tapi, sekeras apapun aku mencoba, sekuat apapun aku melakukannya, itu tidak pernah cukup.
Iya, tidak pernah cukup untuk mereka. Tidak pernah cukup untuk mereka, agar mereka mengakuiku. Tidak pernah cukup untuk mereka, agar mereka mau menerimaku.
Aku hanyalah sampah yang baik hati, yang bisa mereka injak seenak mungkin, kapanpun dan di manapun.
“Na, tolong bantuin gue dong! Ini susah banget!” rengek Rita, teman kuliahku.
“Ini gampang kok Ta, lu tinggal pake rumus ini, terus lu selesai deh!” jelasku perlahan, agar Rita bisa mengerti dengan baik.
“Yaampun, Ta, gue gatau sih idup gw kalo gaada lo!” peluk Rita dengan erat. Walaupun pelukannya membuat kepalaku sakit, aku sayang dengan sahabatku waktu itu. Aku tau dia bukan orang yang sempurna, tapi, aku tidak butuh kesempurnaannya. Aku hanya menyayangi dia, sesederhana itu.
Aku bertemu Rita di semester I awal aku masuk kuliah. Kami berdua sama-sama duduk di bangku paling belakang. Kulihat dia duduk dengan kikuk, dengan kacamata bulat dan rambutnya yang dikuncir kuda. Baju kuning agak kusam miliknya, dan celana jins biru yang biasa ia kenakan, membuat dia tidak menjadi mahasiswi potensial yang akan dilirik oleh semua orang.
“Lu ngerti gak?” bisik Rita waktu itu.
“Ngerti kok.” Balasku cuek.
“Nanti boleh ajarin gue gak? Plis?” kata Rita sambil memasang wajah ibanya yang lucu.
Aku hanya tertawa kecil, lalu mengangguk. Dari situlah, persahabatan kami bermulai.
Rita bukan orang yang pintar, tapi aku senang bagaimana dia ingin belajar. Dia berasal dari Salatiga, dan merantau saat ini. Ayah Ibunya sangat ingin Rita menjadi orang yang sukses. Maka dari itu, mereka mengirim Rita ke Jakarta.
Melihat kegigihan Rita untuk belajar, membuat diriku terkagum. Aku berjanji, untuk membantunya lulus dengan nilai yang baik!
Sampai, tiba saat itu.
“Taa! Temenin gue dong hari ini ke MKG, gue mau belanja nih!” sambil kupeluk erat tangan Rita ketika bertemu dengannya di kantin.
“Wah..hmm gue gabisa nih Na hari ini..” kata Rita ragu.
“Loh, kenapa Ta?” tanyaku bingung.
“Hmm, gue ada kerjaan nih. Besok gue temenin deh ya!” kata Rita, buru-buru memasukkan barangnya, lalu pergi.
Semenjak saat itu, aku merasa, semuanya berubah.
Setiap hari, aku merasa sifat Rita semakin berubah. Tatapannya redup, seolah-olah jenuh bersamaku. Matanya hanya tertuju ke layar handphone ketika sedang duduk bersamaku. Ada beberapa saat, tiba-tiba saja dia berjalan meninggalkanku begitu saja. Aku tidak tau apa yang sudah aku lakukan kepadanya.
“Ta..lu kenapa?” tanyaku kepada Rita di suatu siang hari.
“Hah? Engga kok, kenapa emang Na?” kata Rita, sebentar melirik ke arahku, lalu kembali sibuk dengan handphonenya.
“Gue ngerasa..hmm gapapa kok!” kataku menggeleng, sambil tersenyum. “Lu sibuk gak hari ini? Gue mau jalan lagi nih, biasa ke MKG!” kataku riang, mencoba mencairkan suasana.
“Hmmm, gue kayaknya langsung pulang nih. Ada yang harus gue kerjain.” Kata Rita datar. “Gue duluan ya!” katanya sambil melengos pergi, meninggalkanku kembali sendiri.
Walaupun aku sedih, aku tetap berusaha tegar. Aku tau, Rita pasti benar-benar sibuk. Aku lalu menggelengkan kepalaku, mengusir semua pikiran negative yang melayang-layang bebas di benakku.
Namun, ternyata, aku tidak salah.
“Lu temenan ama dia Ta?” kata Rani, mahasiswi cantik yang cukup terkenal, ketika aku berpapasan dengannya di MKG. Hatiku serasa hancur, ketika kulihat Rita berjalan di sampingnya.
“Loh, Ta, katanya lo pulang?” kataku dengan suara pelan, tidak percaya dengan apa yang kulihat.
“Hmm, engga Ran..waktu itu gue manfaatin dia doang kok!” sanggah Rita.
Rani menatapku dengan tatapan jijik, lalu berkata, “Udah, sama kita aja. Malu kali temenan sama orang culun gini.” Katanya tanpa perasaan. “Kalo mau bertahan di kota besar, lo harus cantik. Kalo lo main sama orang ini, lo gaakan jadi siapa-siapa.” Kata Rani sekali lagi dengan dingin.
“Fisik, uang, koneksi, itu syarat lo buat sukses di sini, bukan belajar capek-capek buang waktu!” kata Rani lembut, dengan tatapan mengejek ke arahku.
“Ta..lu kenapa?” tanyaku lirih, mencoba menarik Rita kembali kepadaku.
Namun, Rita hanya menatapku, lalu membuang wajahnya, seolah-olah kita tidak pernah bertemu.
Benar, seolah-olah kita tidak pernah bertemu.
Ketika kenyataan menghantamku sekuat baja, aku tidak tau harus berbuat apa. Aku hanya bisa berdiri, menangis melihat satu-satunya temanku, membunuh perasaanku.
“Gue sayang sama lo Ta, kenapa lo kayak gini..” isakku perlahan. Aku tau Rita tidak bisa mendengarku, tapi aku tidak berani terisak lebih keras lagi. Aku hanya bisa hancur dalam diam, terbunuh dalam sunyi. Tidak ada yang bisa menarikku keluar, setelah masa itu. Tidak ada lagi yang bisa kupercaya di dunia ini. Semua manusia, hanya menginginkanku, tetapi tidak benar-benar menyayangiku.
Kuliah kulewati dengan sendiri. Semenjak saat itu, aku hanya bisa menutup diriku. Semua orang menganggap diriku aneh. Tapi aku menganggap, semua orang adalah pembunuh, yang siap menyerang dan menusukku, ketika aku tidak menyadarinya.
Sampai, aku bertemu dengan Andra.
Aku bertemu dengannya di kantor tempatku bekerja saat ini. Ia adalah karyawan senior di tempat ini.
Ia bukan orang hebat di sini, bahkan biasa-biasa saja. Dia bukan karyawan kesayangan atasan, atau senior yang menjadi panutan. Tapi, Andra adalah orang yang ramah kepada semua orang. Ia pekerja keras, dan tidak segan untuk membantu setiap orang yang membutuhkan bantuannya.
Kukira, Andra orang yang istimewa. Kukira, Andra adalah satu-satunya orang yang bisa kupercaya.
“Orang-orang memang jahat Na, tapi, kamu gaboleh kayak gitu. Kamu harus tetap jadi orang baik, meskipun semua orang jahat sama kamu.” Kata Andra dengan senyumannya yang manis.
“Gaada yang boleh nyerang lu dari belakang, Na. Aku bakal jagain kamu kok!”
“Na, pulang yuk. Udah malem. Aku tau kamu capek, yuk aku anter sampe rumah.”
Semua kenangan yang terus mendesir isi kepalaku, seperti elusan tangan yang lembut membelai rambutku. Kukira, aku sudah menemukan orang yang bisa aku andalkan. Kukira, aku sudah menemukan orang yang bisa kusayangi dengan sepenuh hati.
Aku mulai membuka hatiku, aku mulai menerimanya. Aku mulai mengetahui segala ketidaksempurnaannya, kekurangannya, segala hal kecil tentangnya.
Aku mulai tau bahwa Andra sangat menyukai ramen pedas yang sering kita beli di supermarket. Aku mulai tau bahwa Andra akan membereskan tas kerjanya setiap pukul 6 lewat 40 menit, karena kamu takut jam 7 nanti jalanan akan sangat padat.
Aku tau bahwa ada luka panjang di punggungnya, yang selama ini ia tutupi dan tidak ingin ia ceritakan. Padahal, aku sudah menerima segala yang ada padanya, bahkan luka yang ia pikir jelek di tubuhnya.
Aku mencintainya, bahkan dengan kekurangannya.
Kukira ia istimewa, sampai di hari itu. Kulihat Andra tertawa lepas dengan seorang perempuan. Kulihat wajahnya yang begitu senang bersamanya. Kulihat ia membelai lembut wajah perempuan itu, lalu mulai mencium keningnya.
Aku tidak bisa berkata apa-apa. Aku terdiam mematung. Semua perasaan berkecamuk di kepalaku. Tidak berdaya, putus asa, hancur, jatuh, gelap, semuanya.
Semuanya.
Bahkan, laki-laki yang sangat kusayangi. Laki-laki yang kupercaya, laki-laki yang demi dirinya, aku rela untuk membuka hatiku kembali. Ternyata, dia juga sama seperti dunia ini.
Sampah.
Dunia ini sampah, semua orang sampah.
“Selamat tinggal, dunia sampah!” kataku sambil memejamkan mata. Aku mulai melemaskan tubuhku, membiarkan angin kencang menghembuskan tubuhku ke bawah.
“Emang kalo kamu mati, terus gimana?” aku tersentak mendengar suara seorang laki-laki dari belakang. Jantungku berdebar sangat kencang, mengetahui aku hampir menjatuhkan tubuhku.
“Kamu siapa? Kok bisa masuk ke sini? Kan pintu sudah aku kunci!” kataku ketus, sambil mencoba mengatur napasku. “Kamu gatau apa-apa tentang hidupku, mending diem aja!” tiba-tiba suaraku menjadi keras. Semua amarah, semua kekecewaan serasa meluap dalam diriku.
“Kamu gatau kan, kalo dunia ini sampah, dan dipenuhi oleh sampah! Kamu siapa, mencoba untuk mengatur hidup matiku?!” amukku kepada orang itu. Anehnya, orang itu hanya menatapku lembut, sambil tersenyum.
“Kamu juga pasti sama kayak orang lain! Kamu hanya manusia sampah, sama seperti mereka!” aku semakin marah, melihat laki-laki itu hanya menatapku lembut. Namun sekali lagi, ia hanya tersenyum lembut.
“Jawab aku!” entah mengapa, emosiku semakin menjadi-jadi.
Kulihat laki-laki itu berjalan mendekat. Laki-laki itu menggunakan hoodie berwarna putih dengan celana jins, dan sepatu kulit coklat. Sepertinya, dia bukan orang kantor ini.
“Yah memang banyak orang sampah di zaman seperti ini.” Katanya sambil berjalan mendekat. “Tapi, kamu orang baik kan? Dunia ini butuh orang baik, kayak kamu.” Katanya sambil tersenyum.
“Hft, aku capek jadi orang baik!” debatku keras. “Orang baik hanya dijadikan mainan di dunia ini. Semua orang baik perlahan akan dibunuh di dunia ini!” sanggahku sekali lagi.
“Hmm, kata-kata kamu ada benernya.” Katanya sekali lagi. Kali ini, dia menurunkan ponco kepalanya. Aku bisa melihat wajahnya cukup jelas. Seorang bapak-bapak berumur 50an. Rambutnya cukup panjang, kira-kira sebahu. Namun, kulihat tatapan matanya yang berbeda dengan orang lain. Tatapan matanya penuh pengertian, seperti menembus jiwa. Seperti dia mengerti apa yang aku pikirkan dan ucapkan.
Namun yang aneh, aku tidak merasa ada penghakiman dalam matanya. Ia tersenyum begitu tulus.
Begitu lembut.
“Tapi, itu tugas orang baik kan? Mungkin kita dibunuh, kita dicerca, kita dikhianati. Tapi, kita menjadi contoh buat orang lain. Kita lah yang membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik. Ketika semua berpikir bahwa dunia ini gelap, kitalah yang menjadi cahaya. Ketika semua berpikir, semuanya kotor, kitalah yang menjadi garamnya.”
Jantungku serasa dipukul keras. Aku pernah mendengar kata-kata itu sebelumnya.
“Kamu siapa? Kamu ga kenal aku!” kataku sambil berjalan mundur. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat aku berjalan mundur.
“Kamu kaget ya sama kata-kata barusan?” katanya sambil tertawa kecil. “Yah, kata-kata itu, aku yang menulisnya. Bukan aku secara langsung, tapi kamu ngerti kan maksudku?” katanya sekali lagi dengan lembut.
“Aku kenal kamu Ana.” Sekali lagi, kulihat matanya yang lembut. Entah kenapa, aku membiarkan dia kini berdiri sangat dekat denganku.
Anehnya, aku tidak merasa takut.
Aku merasa aman. Bahkan, aku merasa sangat aman.
“Ana Elizabeth, lahir di Jakarta, 19 Mei 1996” lanjut laki-laki itu. “Kamu besar di keluarga yang berantakan. Ayahmu harus dirawat, setelah ia mengetahui ada hubungan gelap antara Ibumu dengan pacarnya.” Lanjutnya.
“K-kamu..kamu siapa?!” kataku sampai tergagap. “Kamu siapa??”
“Kamu adalah perempuan yang manis. Kamu memilikki hati yang lembut dan otak yang pintar. Kamu ranking 1 di sekolah International Husada selama 3 tahun SMP, dan ranking 3 besar selama di SMA.” Katanya sekali lagi.
“Kamu disakiti puluhan kali, ratusan kali, oleh teman-temanmu. Teman-temanmu memerlakukan kamu dengan sangat buruk. Namun, mereka membutuhkan dirimu, mereka membutuhkan kecerdasanmu. Makanya, mereka sangat senang memanfaatkanmu.”
“Kamu sudah dikhinati oleh Rita, kamu sudah disakiti oleh Andra, dan kamu sudah dikecewakan oleh Ibumu. Kamu tidak percaya siapapun semenjak saat itu. Oleh karena itu, kamu hancur saat ini. Kamu merasa, tidak ada lagi manusia yang menyayangimu. Kamu merasa, tidak ada lagi manusia yang bisa diandalkan dan menjadi sandaran untukmu.” Tambahnya sekali lagi.
Perkataannya seperti menusuk perasaanku. “Bagaimana kamu tau kisah hidupku?! Jawab aku!!” tanyaku sekali lagi, kini sambil menangis sesenggukan. Entah bagaimana, dia mengetahui semuanya, dan entah bagaimana, dia seperti membaca pikiran dan hatiku.
“Aku? Aku sosok yang paling mengenalmu Ana.” Katanya sekali sambil tersenyum lembut.
“S-s-siapa kamu?! Jangan mendekat!” teriakku sekali lagi.
“Mungkin ayah ibumu meninggalkanmu, tapi sekali-sekali, Aku tidak akan meninggalkanmu.” Balas laki-laki itu, sambil berjalan perlahan.
Ana tertegun setelah mendengar kata-katanya.
“Mungkin manusia akan mengecewakanmu, tapi Aku tidak pernah mengecewakanmu.” Katanya sekali lagi. Wajahnya begitu lembut. Namun, kulihat ada rasa sakit di wajahnya, seolah-olah ia mengetahui perasaanku.
Aku hanya bisa menangis semakin keras.
“Ana, ini Aku.”
Kulihat tangannya terulur, dan kulihat ada sepasang lubang di kedua pergelangan tangannya. Lubang yang sudah sering kudengar, tapi tidak pernah kumaknai sebelumnya. Lubang yang sudah aku ketahui alasannya, tapi aku tidak pernah ingin mengenal pribadiNya.
Kini, tangan yang berlubang ini lah yang menarikku keluar dari kegelapan, keluar dari jurang keputusasaan.
Tangan yang berlubang inilah, yang kini memelukku erat. Sangat erat.
Aku hanya bisa menangis dalam pelukanNya. Pertama kalinya dalam hidupku, aku merasa begitu aman.
Begitu dikasihi, begitu diterima.
Aku hanya bisa meraung di dekapNya. Aku menangis seperti tidak pernah menangis sebelumnya. Aku memeluk diriNya sangat keras, bahkan amat keras. Berulang kali aku merenggut belakang jaket putihNya dengan sekuat tenaga. Semua air mata, amarah, kesedihan, kebencian, rasa rindu, kuluapkan begitu saja di dekapanNya. Namun, Dia tidak bergeming, Dia tidak melawan tangisanku. Dia tidak menahan semua amarahku. Bahkan perlahan, Dia mengelus rambutKu dengan tenang, sambil mempererat pelukanNya. Dia mengizinkanku untuk mengeluarkan semuanya.
Dia menyayangiku, Dia sangat menyayangiku.
“Kok Tuhan tega sih, ngebiarin aku kayak gini! Aku kesepian!” teriakku keras. “Kok Tuhan rela aku ngelewatin yang kayak gini?!” teriakku amat keras.
Tapi, teriakanku tidak membuat Dia menjadi marah. Dia hanya tersenyum, sambil sekali lagi mengusap rambutku dengan lembut.
“Aku selalu bersamamu Ana, tapi kamu tidak pernah mau mendengar suaraKu.” kataNya dengan lembut, yang membuatku terdiam. “Aku selalu memanggilmu Ana, supaya bersandar kepadaKu. Kamu sendiri yang bilang, dunia ini jahat. Maka itu, kamu butuh Aku.” Sekali lagi, Dia membuatku terdiam.
“Ana, dunia ini memang jahat. Jika menurut kamu Aku tidak mencoba mengingatkan mereka, kamu salah.” Katanya lembut, sambil memelukku dengan erat. “Apa kamu tau, bagaimana Rita merasa menyesal sampai saat ini, atas perbuatannya kepadamu?” sekali lagi, aku tidak bisa membalas. Aku hanya terdiam dalam pelukanNya.
“Aku selalu mengingatkannya, bahwa kamu anak yang baik. Tapi, karna kekerasan hatinya, dia tetap seperti itu.”
“Kayak Firaun ya?” dongakku.
“Hahahaha, anak pinter!” kataNya sambil tertawa terbahak-bahak.
“Andra memang bukan orang yang tepat untukmu. Harusnya, kamu tau itu setelah Aku sengaja membawamu bertemu dia saat itu. Kamu tidak perlu ragu untuk menyelesaikan hubungan itu kan?”
“Tapi, aku sayang Andra.” Kataku, masih dalam pelukanNya.
“Loh, Aku juga sayang Andra, Dia juga anakKu. Tapi, Andra memang belum menjadi laki-laki yang tepat untukmu. Ini bakalan buruk untuk kalian berdua ke depannya.”
“Kalo Ibu?”
“Kamu tau Ibu sudah menyesal kan?” kataNya, “Kamu harus tau, betapa Ibu menyalahkan dirinya sendiri sampai saat ini. Kamu tau sendiri, Ibu yang merawat Ayah sampai saat ini. Kamu tau sendiri, Ibu sangat ingin mendapatkan hatimu kembali, ingin mendapatkan kepercayaanmu kembali.” Katanya sekali lagi, sambil membelai kepalaku dengan lembut.
“Ternyata, Ibu juga merasa sakit ya?”..kataku perlahan.
“Betul, Ibu juga merasa sakit, atas kesalahannya.” KataNya. “Kamu tau kan, kamu harusnya ngapain?”
“Mengampuni?” kataku.
“Lah itu tau!” kataNya, sekali lagi sambil tertawa.
“Nah, kamu tau kan apa yang harus kamu lakukan sekarang.” KataNya, sambil melepas Ana dari pelukannya dengan lembut.
“Jadi terang, jadi garam. Ampuni semua orang yang bersalah sama kamu, dan beritahu kepada semua orang, bahwa Aku menyayangi mereka semua.” KataNya, sekali lagi sambil tersenyum.
“Tapi, Tuhan!” teriakku, “Gimana kalo aku sedih lagi? Gimana kalo aku disakiti lagi? Gimana kalo aku marah lagi?”
“Kamu boleh cerita sama Aku. Kamu boleh ngobrol sambil ngedumel sama Aku. Aku selalu ada Ana, bahkan ketika kamu tidak menyadarinya.” KataNya sekali lagi, dengan lembut. “Asal, kamu juga sambil belajar membaca FirmanKu. Belajar untuk berjalan bersamaKu. Percayalah, bahwa Aku gaakan pernah ninggalin kamu. Percayalah, kalau semua nasihat yang Aku berikan, itu adalah yang terbaik buat Kamu.” kataNya sekali lagi.
“Tapi..aku takut, Tuhan..” kataku dengan wajah sedih.
Tiba-tiba, Ia memelukku sekali lagi, lalu memandangku sambil tersenyum.
“Manusia dibatasi oleh ruang dan waktu, Ana. Tapi, Aku tidak. Aku bisa hadir di manapun, dan kapanpun. Kalo kamu butuh Aku, Aku selalu ada buat kamu. Kalo kamu butuh cerita, Aku langsung mendengarkan. ” Katanya sambil mengelus rambutku, lalu mencium kepalaku, seperti Ayah yang mencium kepala anaknya.
“Jangan takut anakKu, Aku senantiasa bersamamu, hingga akhir zaman..”
Bagaikan angin, tiba-tiba laki-laki itu menghilang, tersisa diriku yang berdiri dengan pipi yang masih dipenuhi air mata.
BRAK! Pintu berhasil didobrak. Polisi mulai masuk, dan mengamankanku.
“Ibu Ana, tolong perlahan, ikut kami. Kami hanya ingin menolong Ibu.” Kata seorang polisi, yang sepertinya memegang megafon sambil berteriak menyebalkan di bawah tadi.
Namun, Aku mengikuti instruksi dengan tenang. Aku mengikuti arahan polisi untuk ikut turun, sambil polisi menggeledah tempat kejadian tersebut.
“Semua aman!” Teriak seorang polisi kepada polisi yang membawa megafon tadi.
Di bawah, aku melihat Ibu dengan wajah yang sangat khawatir. Ibu berlari, lalu segera memelukku.
“Ana..maafin Ibu ya.” Kata Ibu sambil terisak. “Ibu tau, Ibu bukan orangtua yang baik, tapi izinin Ibu buat nebus kesalahan Ibu.” Kata Ibu sekali lagi.
Aku tersenyum, lalu memeluk Ibu dengan hangat, “Iya Bu, Ana juga sayang Ibu. Maafin Ana ya bikin Ibu khawatir. Ana janji gaakan kayak begini lagi.”
Situasi pun akhirnya berhasil kembali kondusif. Tentu saja berita kali ini menjadi topik hangat di berbagai social media. Namun anehnya, banyak orang yang langsung menyaksikan, bahwa ada seorang laki-laki memelukku saat itu, di tepi Gedung. Namun, ketika polisi masuk, tidak ada siapapun di atas sana.
Semua orang bertanya-tanya. Namun ketika aku berkata siapa sosok itu, semua orang terkejut dan tidak percaya.
“Tuhan??” kata polisi setengah tidak percaya.
“Iya, Tuhan pak..” kataku dengan wajah polos.
“Hmm..oke..Tuhan meluk kamu?” kata polisi itu lagi, sambil menaikan alisnya.
“Iya, pak!” kataku semangat.
“Dan dia mencegah kamu bunuh diri?”
“Dan Dia bilang, kalo Dia sayang sama saya!” kataku sekali lagi.
“Hmm..oke...kayaknya tidak masuk akal..” kata pak polisi, sekali lagi sambil menggaruk kepala.
“Oke, tapi karena kamu juga tidak terluka, jadi sepertinya tidak masalah. Kami hanya ingin bertemu orang itu, jikalau kami menemukan luka pada tubuhmu.” Kata pak polisi sekali lagi.
“Oke, kasus ditutup. Kamu selamat, semua aman.” Kata pak polisi terakhir kalinya, sambil bangun dan membuka pintu keluar.
“Oh iya pak!” seruku.
“Kenapa dek?”
“Kata Tuhan, Tuhan juga sayang sama bapak.”
“Hah, Tuhan udah lupa sama saya dek!”
“Engga kok, Dia lagi nunggu bapak malah, sama kayak Dia nungguin saya!” kataku dengan semangat.
“Hahaha, yah mungkin seperti itu.” Katanya sambil tertawa kecil. “Terimakasih ya dek.” Kata pak polisi itu, sambil tersenyum ke arah Ana.
Malam itu, di rumah, setelah insiden yang membuat gaduh semua orang, aku bersiap untuk tidur. Tiba-tiba, mataku tertuju pada salib yang menggantung di depan kamarku. Aku tersenyum, lalu mulai memejamkan mata, dan melipat kedua tanganku.
“Sorry ya Tuhan, hari ini bikin Kamu repot. Terimakasih atas hari ini. Aku janji bakal ikut Kamu sekarang. Amin..”
Aku lalu menarik selimut, dan mencoba tidur.
Semakin aku terlelap, sayup-sayup, aku mendengar suara.
226Please respect copyright.PENANA2kibeX7pm4
“Aku selalu bersamamu Ana, Selalu.”
Aku hanya tersenyum, mengetahui siapa pemilik suara itu
226Please respect copyright.PENANA9i1fdjD7ap