Karavan keluarga Bangsawan Astoria melaju perlahan di jalur pegunungan yang terjal, diselimuti kabut pagi yang dingin. Rowan, bocah lima tahun dengan rambut pirang kusam dan mata biru jernih, duduk di dekat jendela, mengamati pegunungan yang menjulang, tanpa tahu bahaya mengintai. Tiba-tiba, suara dentingan logam dan jeritan memecah keheningan. Ini bukan perampok biasa, melainkan pasukan bersenjata lengkap dengan lambang Ular Bermahkota, simbol Bangsawan Vortigern-saingan lama keluarga Astoria. Sihir kegelapan ikut menyertai serangan, menciptakan ilusi bayangan yang membingungkan dan melumpuhkan pengawal.19Please respect copyright.PENANARdx5YQH9Xf
Di tengah kekacauan, Rowan terpisah, didorong ke semak belukar yang berduri oleh ibunya. Dari sana, ia menyaksikan horor itu: pedang-pedang yang berkelebat, sihir gelap yang menyambar, dan suara tangisan yang memilukan. Darah mulai membasahi tanah. Rasa takut mencekik, tapi di dasar jiwanya, bara kemarahan mulai menyala, membakar sisa kepolosan masa kecilnya.19Please respect copyright.PENANAL02dxtXdBv
Ketika semuanya tampak berakhir, di saat para penyerang mulai mengumpulkan jarahan dan memadamkan api, sebuah sosok muncul dari balik pepohonan. Itu Silas. Ia tidak muncul dengan gagah berani, melainkan dengan aura misterius, seolah ia adalah bagian dari hutan itu sendiri.19Please respect copyright.PENANAG5Quy41vNd
"Keributan yang tak perlu," gumam Silas, suaranya serak dan nyinyir, menatap dingin pada kekacauan di depannya. Gerakannya nyaris tak terlihat. Salah satu Ksatria Ular Bermahkota yang mendekat tiba-tiba tersandung akar pohon yang mencuat tajam dari tanah, jatuh tersungkur dengan suara hantaman keras, pedangnya terlempar jauh. Silas hanya mengangkat satu alisnya, pandangannya meremehkan. "Dasar ceroboh. Jalan itu dilihat, bukan diinjak sembarangan."19Please respect copyright.PENANA2DECAik6m8
Matanya kemudian menangkap Rowan yang mengintip dari balik semak. Seringai tipis muncul di bibirnya yang dipenuhi kumis tipis. "Nah, lihat siapa ini? Anak kucing yang tersesat," katanya, lalu mengedipkan mata, ada kilatan licik dan sedikit sensualitas dalam pandangannya yang membuat orang bertanya-tanya, tapi tidak cabul. "Mau ikut kakek? Dijamin hidupmu takkan pernah membosankan... kecuali kau memang jenis yang membosankan." Ia mengulurkan tangan keriputnya, isyarat yang tegas namun tanpa janji kosong.19Please respect copyright.PENANAuLYy8l59Nv
Ketakutan, kepedihan, dan kebingungan membanjiri benak Rowan yang baru berusia lima tahun. Keluarga yang hancur, darah yang membasahi tanah, dan kekacauan di sekitarnya. Saat Silas mengulurkan tangan, menawarkan sebuah "undangan" yang samar namun penuh maksud, Rowan tidak punya pilihan lain. Bukan karena ia percaya sepenuhnya pada kakek asing yang nyentrik itu, tetapi karena tidak ada tempat lain untuk pergi. Naluri bertahan hidup yang mendalam, meski masih kecil, mendorongnya.19Please respect copyright.PENANAn4bRjdPIOZ
Dengan gemetar, Rowan mengulurkan tangan mungilnya, menyambut uluran tangan keriput Silas. Sentuhan itu dingin dan kasar, namun entah bagaimana, ada sedikit kehangatan aneh yang merambat. Silas menarik Rowan keluar dari semak duri, seolah ia hanya mengambil kerikil dari jalan. Tidak ada kata-kata simpati, tidak ada pelukan menenangkan. Hanya tatapan tajam dan seringai tipis yang tetap terpatri di wajahnya.19Please respect copyright.PENANA7q1hLtCA9Q
"Bagus," Silas berujar datar, pandangannya menyapu sisa-sisa perampokan dan mayat-mayat yang tergeletak. "Sekarang, jangan berisik. Hutan ini punya telinga, dan kita punya urusan."19Please respect copyright.PENANA9Emkcca07D
Tanpa menoleh lagi ke arah karavan yang terbakar dan kenangan pahit yang menyertainya, Silas menarik Rowan masuk lebih dalam ke dalam kegelapan hutan lebat. Bagi Rowan, itu adalah akhir dari masa kecilnya yang polos dan awal dari sebuah takdir yang tidak pernah ia bayangkan. Hutan itu kini menjadi rumahnya, dan Silas, seorang ahli pedang yang misterius dan berbahaya, adalah satu-satunya "keluarga" yang tersisa.19Please respect copyright.PENANAPzHwYNzNdA
Kehidupan Baru di Hutan19Please respect copyright.PENANA8iu281nw3c
Tahun-tahun pertama kehidupan Rowan bersama Silas jauh dari bayangan pelatihan pedang yang heroik. Hutan adalah guru pertamanya, dan rutinitas Silas adalah kurikulum yang keras. Tidak ada bujukan, tidak ada kemewahan. Hanya kelangsungan hidup.19Please respect copyright.PENANAF9ruucNFK4
Setiap pagi, sebelum fajar menyingsing, Rowan yang mungil akan dibangunkan oleh tendangan pelan di kakinya atau cipratan air dingin di wajahnya. Silas tidak berbicara banyak, hanya menunjuk ke arah sungai atau tumpukan kayu bakar yang kosong. Tugas-tugas ini adalah ujian pertamanya Berjalan ke sungai yang berliku dan dingin, mengisi guci tanah liat yang terkadang lebih besar dari tubuh kecilnya. Airnya seringkali dingin menusuk, dan jalannya licin. Silas akan mengawasinya dari kejauhan, terkadang dengan komentar sinis jika Rowan tersandung atau menumpahkan air. "Jika kau tak bisa membawa air, bagaimana kau bisa mengangkat pedang?" ia mungkin akan menyindir. Memasuki kedalaman hutan, mencari ranting dan batang pohon kering yang cukup untuk api unggun malam. Itu berarti bergulat dengan semak berduri, menghadapi serangga, dan belajar membedakan kayu yang baik dari yang busuk. Terkadang, Silas akan melemparkan kapak kecil padanya, "Belajar membelah sendiri, atau kau tidur kedinginan." adalah yang paling sulit dan seringkali paling brutal. Awalnya, Rowan hanya bertugas memasang jebakan kecil atau membantu Silas membawa hasil buruan. Namun seiring waktu, ia dipaksa untuk belajar melacak, mengintai, dan akhirnya, mengakhiri hidup hewan kecil seperti kelinci atau burung dengan tangan kosong atau pisau sederhana. Silas tidak pernah memberinya simpati. "Kelaparan tidak peduli siapa orang tuamu, bocah," ia akan berujar dingin, mengajarkan realita pahit tentang rantai makanan.19Please respect copyright.PENANAXj0REFdyJ9
Rutinitas ini adalah fondasi yang dingin dan keras, jauh dari pelatihan bela diri. Itu adalah cara Silas untuk melihat apakah Rowan punya ketahanan, kecerdasan, dan kekejaman yang diperlukan untuk bertahan hidup, apalagi untuk membalas dendam. Silas jarang tersenyum, dan seringai yang muncul di wajahnya lebih sering berarti evaluasi yang kejam daripada humor.19Please respect copyright.PENANA7kpwt4bjs2
Waktu telah mengikis sisa-sisa kepolosan Rowan. Kini, di usianya yang menginjak sepuluh tahun, bocah pirang kusam itu telah berubah menjadi pemuda kurus berotot, dengan tatapan mata biru yang lebih tajam dan dingin, mencerminkan ketajaman sang guru. Sifat Silas yang sarkas, licik, dan pragmatis telah meresap ke dalam dirinya, membentuk cangkang keras di sekitar hatinya yang terluka. Ia belajar mencibir pada kelemahan, menertawakan kemalangan orang lain (tentu saja dalam hati), dan melihat dunia dengan kacamata skeptisisme yang diwarisi dari sang kakek tua. Humor yang dulu ditiadakan kini muncul kembali, namun bukan humor tawa, melainkan humor gelap yang pahit dan menusuk.19Please respect copyright.PENANAADRZmLImAV
Rutinitas harian mereka di hutan bukan lagi sekadar bertahan hidup, melainkan pendekatan brutal terhadap penguasaan diri dan lingkungan.19Please respect copyright.PENANApWYGDaxflV
Setiap pagi, Silas tidak lagi hanya menendang kakinya. "Bangun, pemalas! Apa kau ingin mati beku di sarangmu sendiri? Atau kau menunggu malaikat mencium jidatmu?" Silas akan menyalak, suaranya serak membangunkan seluruh hutan. Ini bukan lagi sekadar membawa guci. "Ambil air dari jurang itu, Bocah!" perintah Silas, menunjuk ke sebuah ceruk tersembunyi yang berbahaya, licin dan curam. "Jika kau terpeleset, anggap saja kau sudah sampai di alam baka lebih cepat. Setidaknya, kau tidak perlu lagi mendengar ocehanku." Rowan harus menuruni tebing, mengisi kantung kulit yang berat, dan kembali dengan kecepatan yang di luar nalar. Jika ia tumpah setetes pun, Silas akan menyindir, "Lupakan pedang, kau bahkan tak bisa memegang air. Mungkin kau harus jadi penari balet saja, setidaknya tumpahannya tidak akan jadi masalah." Tugas ini berubah menjadi pelajaran taktik dan stamina. "Bawa pulang kayu bakar dari sarang beruang itu, Rowan. Tapi jangan sampai dia terbangun. Dia rewel jika tidur siangnya diganggu, sama sepertimu." Silas akan menunjuk ke area hutan yang terkenal berbahaya, di mana binatang buas berkeliaran. Ini bukan tentang membelah kayu, melainkan tentang bergerak tanpa suara, mengamati lingkungan, dan menilai risiko. Silas akan mengawasinya dari puncak pohon. "Gerakanmu lambat seperti siput mabuk. Apa kau ingin jadi santapan malam? Kalau begitu, aku akan mengambil pisaumu untuk memotong dagingmu sendiri." Ini menjadi ritual yang kejam. Silas tidak lagi hanya meminta Rowan berburu hewan kecil. "Hari ini, kita akan makan babi hutan," ujarnya suatu kali, matanya berbinar licik. "Tapi kau yang akan menangkapnya. Hidup-hidup." Rowan dipaksa untuk melacak mangsa yang lebih besar dan berbahaya, menjebaknya, bahkan terkadang harus bergulat langsung dengannya, hanya dengan pisau. "Lihat mata hewan itu, Rowan," Silas akan berkata saat Rowan bersiap untuk mengakhiri hidup hewan buruan. "Di situ kau akan melihat ketakutan. Biarkan ketakutan itu mengajarimu bagaimana rasanya menjadi predator. Dunia ini hanya peduli pada siapa yang lebih kuat, bukan siapa yang paling manis." Lalu, dengan seringai tipis yang tidak mencapai matanya, ia akan menambahkan, "Atau kau ingin aku yang melakukannya? Aku bisa menunjukkan beberapa 'teknik' yang akan membuatmu merinding." Ada sentuhan "mesum" dalam cara Silas mengamati perjuangan Rowan, bukan nafsu, melainkan semacam kepuasan aneh melihat calon penerusnya didorong hingga batas kemampuan, melihat percikan kekejaman alami yang mulai tumbuh dalam diri Rowan.19Please respect copyright.PENANAMJcpzXEKhj
Suatu senja yang dingin, setelah seharian berburu yang brutal dan melelahkan, Rowan duduk di dekat api unggun, membersihkan pisau buruannya dengan gerakan cekatan yang efisien. Silas, yang mengawasi dari bayangan, menyesap ramuan pahit dari cawan kayu. Keheningan hutan dipecah oleh suara desiran angin, namun yang lebih menusuk adalah keheningan antara guru dan murid.19Please respect copyright.PENANAE3VUPKkMcv
Akhirnya, Rowan memecah keheningan itu, suaranya rendah dan sarat sarkasme, meniru intonasi Silas sendiri. "Jadi, Kakek. Kau sudah mengajariku cara hidup seperti hewan, membedah bangkai, dan menghindari pohon tumbang. Keterampilan yang sangat berharga... jika aku ingin menjadi tukang kebun atau penjagal hewan." Ia menghela napas, gestur yang sama persis seperti yang sering dilakukan Silas. "Tapi, bagaimana dengan membalas dendam? Atau apakah itu hanya dongeng sebelum tidur yang kau ceritakan agar aku tidak kabur?"19Please respect copyright.PENANAFMgPwOfLl6
Silas mendengus, tidak terkejut dengan tantangan itu. Ia tahu Rowan tidak akan diam selamanya. "Balas dendam? Bocah, kau bahkan tidak bisa mengayunkan kapak dengan benar tanpa membuat dirimu sendiri kehilangan jari. Kau pikir pedang itu mainan? Itu alat kematian. Dan kau, kau terlalu lunak. Mudah patah." Ada kilatan mesum di matanya saat ia menatap Rowan, seolah sedang menilai apakah bocah itu sudah "matang" sepenuhnya untuk menghadapi kekejaman sejati. "Kau ingin balas denadam ? Dengan apa? Dengan tusuk sate daging buruanmu?"19Please respect copyright.PENANAiEbaalcreR
Rowan tidak gentar. Ia meletakkan pisau, matanya menatap tajam ke arah Silas, memantulkan nyala api. "Lunak? Aku sudah makan lumut dan serangga karena kau. Aku sudah membunuh hewan dengan tangan kosong karena kau. Jika itu lunak, maka kau yang salah mengajar. Kau yang membentukku menjadi ini." Ia menunjuk dirinya sendiri. "Dan jika pedang adalah alat kematian, maka ajarilah aku cara menggunakannya. Karena hanya itu yang bisa menembus tumpukan lemak para bangsawan itu. Atau kau takut, Kakek? Takut cucu asuhmu ini akan melampauimu?"19Please respect copyright.PENANAOKXm8k5WlP
Seringai tipis muncul di wajah Silas. Rowan memang telah belajar banyak dari dirinya, bahkan cara memprovokasi. "Melampauiku? Kau bahkan belum menginjakkan kakimu di medan perang yang sesungguhnya. Pedang bukan hanya soal mengayun, bodoh. Itu soal jiwa. Soal merasakan niat lawan. Soal menjadi bagian dari pedang itu sendiri." Ia menyesap minumannya lagi, pandangannya mengamati Rowan dari atas ke bawah. "Kau ingin pedang? Baik. Tapi jangan harap itu akan mudah. Lebih baik kau mati di tangan pedang daripada mati di tangan kakekmu yang 'lembut' ini karena kau terlalu lambat." Ia mengedipkan mata, ada sentuhan godaan yang hampir tidak terlihat, sebuah permainan yang hanya mereka berdua pahami.19Please respect copyright.PENANAiRj0Y2cJ6p
"Jadi, kita mulai?" Rowan menantang, senyum tipis yang sama muncul di bibirnya.19Please respect copyright.PENANAqZOMoWCDiU
Silas meletakkan cawan kayunya dengan denting pelan. Ia bangkit berdiri, gerakannya yang dulu tampak lambat kini terlihat efisien dan mematikan. "Besok pagi, saat fajar menyingsing. Siapkan dirimu. Dan jangan berani-beraninya kau mengeluh sakit. Karena jika kau melakukannya, aku akan membiarkanmu mati perlahan di sarang kita. Paham?"19Please respect copyright.PENANAeExad6XDT1
Fajar menyingsing, mewarnai langit timur dengan gradasi kelabu dan ungu. Silas sudah berdiri di samping api unggun yang masih berasap, menatap Rowan dengan pandangan tanpa ekspresi. Tidak ada pedang sungguhan. Di tangan Silas, sebuah ranting kering yang lurus dan kokoh diayunkan dengan presisi mematikan.19Please respect copyright.PENANADTzduvtiBN
"Lihat ini," Silas menggeram, tanpa basa-basi. Ranting itu berdesing membelah udara, menebas, menusuk, dan kembali ke posisi siaga dalam gerakan yang nyaris sempurna, seolah itu adalah perpanjangan tangannya sendiri. "Ini bukan sekadar kayu. Ini adalah matamu, telingamu, nyawamu. Dan ini," ia melemparkan ranting lain yang sama panjangnya ke kaki Rowan, "akan menjadi nerakamu."19Please respect copyright.PENANAOGF9aLL5zc
Rowan mengambil ranting itu. Terasa ringan, namun beban tugas yang menunggu terasa menghimpit.19Please respect copyright.PENANAqQWht2OXXY
"Seribu ayunan. Seribu tebasan. Seribu tusukan," Silas memulai, suaranya monoton namun setiap kata adalah cambuk. "Setiap hari. Tanpa henti. Tanpa mengeluh. Ayunkan seperti kau mengayunkan dendammu. Tebas seperti kau memotong leher musuhmu. Tusuk seperti kau menusuk jantung mereka."19Please respect copyright.PENANA2mMsQihxe9
Ia mulai menghitung. "Satu. Dua. Tiga..."19Please respect copyright.PENANAWpQ0yItMJj
Rowan mengayunkan rantingnya. Gerakannya kaku, canggung, dan jauh dari keanggunan Silas. Setiap ayunan terasa berat, setiap tebasan terasa seperti membelah udara kosong, dan setiap tusukan berakhir dengan desahan putus asa. Otot-ototnya mulai berteriak protes, melepuh di tangannya, dan keringat membasahi tubuhnya. Namun, setiap kali ia ingin menyerah, ia bisa merasakan tatapan dingin Silas yang mengawasinya, dan bayangan keluarga yang hancur kembali memenuhi pikirannya.19Please respect copyright.PENANAaqn6re9jm9
"Lebih cepat! Apa kau mau menunggu musuhmu minum teh dulu sebelum kau melukai mereka?" Silas menyalak, terkadang melemparkan kerikil kecil untuk mengenai kaki atau tangan Rowan jika gerakannya terlalu lambat atau ceroboh. "Fokus! Jika pikiranmu melayang, kau sudah mati di medan perang. Pedangmu adalah pikiranmu."19Please respect copyright.PENANAOnZQj1KUs8
Kadang, Silas akan mendekat, membetulkan posisi tangan Rowan, sentuhannya kasar namun presisi. "Pergelangan tanganmu seperti agar-agar, bodoh! Kencangkan. Rasakan getaran rantingnya. Itu bukan sekadar kayu, itu adalah kemarahanmu yang mengalir." Lalu ia akan menampar pelan punggung tangan Rowan yang ceroboh. "Jika kau tidak serius, lebih baik kau kembali menjadi tikus kecil yang bersembunyi. Aku tidak punya waktu untuk mengajari pecundang."19Please respect copyright.PENANAoqP9swCL7R
Menjelang senja, ketika hitungan mencapai ribuan, tubuh Rowan akan terasa remuk. Otot-ototnya kaku, tangannya lecet, dan pandangannya kabur karena kelelahan. Tapi ia tidak pernah berhenti sebelum Silas mengizinkannya. Itu bukan hanya latihan fisik; itu adalah pencucian mental, menanamkan disiplin yang brutal dan ketahanan yang tak tergoyahkan.19Please respect copyright.PENANAysNB15ODPz
Silas dengan hati-hati membuka bungkusan kain usang itu. Di dalamnya, tersembunyi sebuah pedang yang tidak seperti pedang-pedang Eropa yang umum dikenal. Bilahnya panjang, melengkung halus dengan satu sisi tajam yang mematikan, dan gagangnya terbungkus kulit berwarna gelap. Memancarkan aura ketenangan namun mematikan.19Please respect copyright.PENANA3FfIZc0Kwm
"Ini..." Rowan berbisik, matanya terpaku pada bilah baja yang unik itu.19Please respect copyright.PENANA2ti8gWRbdf
"Ini adalah Kage-Tsurugi," kata Silas, suaranya lebih lembut dari biasanya, seolah menyebut nama seorang teman lama. "Pedang bayangan. Ditempa di timur jauh, di tanah para dewa dan iblis. Ringan, tajam, dan mematikan jika berada di tangan yang tepat."19Please respect copyright.PENANATc1r6Yatga
Sebelum menyerahkan pedang itu kepada Rowan, Silas berdiri tegak. Ia memegang Kage-Tsurugi di kedua tangannya, tatapannya fokus ke sebuah pohon besar di kejauhan. Kemudian, dengan gerakan yang nyaris tidak terlihat, ia menghilang dari tempatnya berdiri dan muncul kembali di depan pohon itu dalam sekejap mata. Debu halus di tanah bahkan belum sempat terusik sepenuhnya. Rowan hanya bisa melihat samar-samar jejak gerakan kabur.19Please respect copyright.PENANARAf0sCLgcx
"Itu..." Rowan tercengang, matanya melebar karena takjub dan kebingungan.19Please respect copyright.PENANA5YvKmACQgg
Silas menyarungkan kembali pedangnya dengan gerakan cepat. "Itu adalah Kage-Ayumi-Langkah Bayangan. Bukan sihir dalam artian tradisional, tapi penguasaan gerakan dan energi tubuh yang ekstrem. Memungkinkan pemakainya untuk bergerak dalam jarak pendek dengan kecepatan yang melampaui penglihatan biasa." Ia menatap Rowan dengan intens. "Pedang ini bukan hanya soal menebas dan menusuk. Ini tentang kecepatan, ketepatan, dan pemahaman tentang ruang. Kage-Ayumi adalah salah satu rahasia di baliknya."19Please respect copyright.PENANAij9uYjzYtA
Ia kemudian mengulurkan Kage-Tsurugi kepada Rowan, hulu pedang menghadap pemuda itu. "Sekarang, Bocah. Terimalah ini. Tapi ingat, pedang ini akan menjadi perpanjangan jiwamu. Perlakukan dengan hormat, latih dengan gigih, dan jangan pernah gunakan tanpa alasan yang benar." Ada sedikit nada serius yang jarang terdengar dalam suara serak Silas. "Karena jika kau menyalahgunakannya, pedang ini akan memakanmu hidup-hidup."19Please respect copyright.PENANAiHg4a6WFxz
Rowan menerima Kage-Tsurugi. Beratnya terasa pas di tangannya, seolah pedang itu memang ditakdirkan untuknya. Baja yang dingin menyentuh telapak tangannya, membangkitkan sensasi aneh, perpaduan antara ketakutan dan harapan. Ia mengamati bilahnya yang berkilauan redup di bawah cahaya matahari yang menembus celah-celah pepohonan.19Please respect copyright.PENANAqhBJKaiLZv
"Aku mengerti," kata Rowan, suaranya penuh tekad. Ia merasakan beban tanggung jawab yang baru dipikulnya, sebuah janji bisu kepada pedang dan kepada masa depannya.19Please respect copyright.PENANAbUmiAIEKDI
"Untuk menguasai Kage-Ayumi, kau harus menguasai sesuatu yang jauh lebih dalam dari sekadar otot atau kecepatan," Silas menjelaskan, matanya menatap tajam ke arah Rowan yang kini memegang Kage-Tsurugi. "Kau harus menguasai Ki."19Please respect copyright.PENANAyCLquup9zC
Rowan mengerutkan kening. "Ki? Apa itu, Kakek? Mantra sihir?"19Please respect copyright.PENANAqHJqriiaej
Silas mendengus. "Bukan omong kosong seperti sihir elemental yang murahan, Bocah. Ki adalah energi vital. Kekuatan yang mengalir di dalam setiap makhluk hidup, di setiap helai rumput, di setiap napas yang kau hirup. Ini adalah esensi dari keberadaan. Kau merasakannya setiap kali kau bergerak, setiap kali kau berpikir, setiap kali kau bertarung, bahkan jika kau tidak menyadarinya."19Please respect copyright.PENANAJhn5Sh9GpZ
Silas berjalan mengelilingi Rowan, mengamati setiap gerak-geriknya. "Orang biasa membiarkan Ki mereka mengalir tanpa tujuan, seperti sungai yang tak terkendali. Seorang pendekar sejati belajar mengarahkan Ki-nya, memfokuskannya, dan meledakkannya saat dibutuhkan. Kage-Ayumi bukan sihir. Itu adalah manifestasi fisik dari Ki yang terkonsentrasi dan diarahkan dengan sempurna, membuat tubuhmu melampaui batas normal."19Please respect copyright.PENANAIn4N06IZLq
"Jadi, bagaimana aku menguasainya?" tanya Rowan, cengkeramannya pada gagang Kage-Tsurugi sedikit mengencang.19Please respect copyright.PENANAEq0OFaiagB
"Pertama, kau harus merasakannya," Silas menjawab, suaranya kini lebih instruktif, namun tetap dengan nada sarkasnya. "Pejamkan matamu. Rasakan tubuhmu. Bukan ototmu yang pegal, bukan lukamu yang perih. Tapi rasakan arus yang mengalir di bawah kulitmu, di dalam tulangmu. Itu adalah Ki."19Please respect copyright.PENANABYRFWTZo49
Silas kemudian memandu Rowan melalui serangkaian latihan meditasi yang aneh dan latihan fisik yang tak kalah melelahkan dari ayunan ranting. Mereka duduk berjam-jam dalam keheningan total, fokus pada napas dan sensasi di dalam tubuh. Silas akan sesekali menampar pelan punggung Rowan atau menusuk rusuknya dengan ranting jika ia merasa konsentrasi Rowan buyar.19Please respect copyright.PENANAuXfSW1t5VF
"Jangan hanya bernapas, bodoh! Rasakan udara mengisi paru-parumu, lalu rasakan energi itu menyebar ke setiap ujung jarimu. Bayangkan itu seperti api kecil yang membakar dari dalam," Silas akan menginstruksikan. "Jika kau tidak bisa mengendalikan api kecil itu, bagaimana kau bisa mengendalikan badai?"19Please respect copyright.PENANA6XUxb6l2co
Kemudian datanglah latihan fisik yang lebih ekstrem untuk membangun sirkulasi Ki. Berlari mendaki bukit terjal hingga batas napas, menahan napas di bawah air dingin sampai paru-paru terbakar, atau berdiri diam di bawah terik matahari atau hujan lebat selama berjam-jam, semuanya dengan fokus untuk merasakan dan mengarahkan aliran energi internal.19Please respect copyright.PENANApE11OzBJze
"Ki adalah fondasi, Rowan," Silas menegaskan suatu hari, setelah Rowan jatuh kelelahan usai mencoba memfokuskan Ki-nya hingga ia merasa bisa meledak. "Tanpa fondasi yang kuat, bangunan setinggi apapun akan runtuh. Dan kau, kau akan runtuh jika kau tidak bisa menguasai Ki-mu. Lalu apa gunanya pedang ini?" Ia menunjuk Kage-Tsurugi yang tergeletak di samping Rowan. "Hanya sebatang baja tak berguna di tangan orang yang bodoh."19Please respect copyright.PENANACbmTJeCASw
Setelah berminggu-minggu meditasi yang menyiksa dan latihan fisik yang menguras tenaga, Rowan mulai merasakan sesuatu. Bukan lagi sekadar sensasi fisik, melainkan aliran halus yang berdenyut di bawah kulitnya, terkadang terasa hangat seperti bara api kecil, terkadang dingin menusuk seperti embun pagi. Inilah Ki.19Please respect copyright.PENANAKo9YU4hKvq
Namun, penguasaannya masih rapuh, seperti api lilin yang mudah tertiup angin. Ia bisa merasakan keberadaannya, bahkan mencoba mengarahkannya, tetapi seringkali energinya lepas kendali atau menghilang begitu saja. Yang paling mencolok, setiap kali Rowan berhasil memfokuskan Ki-nya, ia bisa melihat samar-samar aura tipis hitam pekat yang mengelilingi tangannya-sebuah manifestasi Ki yang aneh dan intens, mungkin cerminan dari dendam yang membara di dalam dirinya.19Please respect copyright.PENANAYbFCqBLsij
Silas mengamati ini dengan seringai puas. "Akhirnya. Kau tidak selembut yang ku kira, Bocah. Ki-mu... itu seperti malam yang gelap. Penuh potensi, dan bahaya. Sama sepertimu."19Please respect copyright.PENANAqQFiuMs45T
Untuk memotivasi Rowan yang masih berjuang dengan stabilitas Ki-nya, Silas memutuskan untuk menunjukkan apa yang bisa dicapai dengan penguasaan sejati. Ia mengambil ranting kering yang sering mereka gunakan untuk latihan. "Lihat baik-baik, Rowan. Ini adalah tujuanmu. Ini adalah cara untuk menghancurkan mereka yang telah mengambil segalanya darimu."19Please respect copyright.PENANAn8IS75qs44
Silas menutup matanya sejenak, menghela napas dalam. Saat ia membukanya, sebuah aura hitam pekat yang lebih pekat dan stabil daripada yang pernah dihasilkan Rowan mulai menyelimuti ranting di tangannya. Ranting itu berdesing dengan energi terpendam.19Please respect copyright.PENANADAa2V8NJFZ
"Ini yang pertama," gumam Silas. Dengan gerakan secepat kilat, ia mengayunkan ranting itu ke udara. Bukan sekadar tebasan. Udara di depan ranting itu seolah terbelah, menciptakan riak kehitaman yang tampak memutar dan merobek ruang hampa. Sebuah celah tipis, nyaris tidak terlihat, terbentuk di udara dan menghilang dalam sekejap, diiringi suara desisan aneh.19Please respect copyright.PENANA7SYJMzUJcx
"Itu Tebasan Dimensi (Dimension Slash)," jelas Silas, nadanya datar namun penuh penekanan. "Menggunakan Ki untuk memanipulasi ruang, membuka celah sesaat yang bisa memotong apa pun yang dilewatinya. Bahkan realitas itu sendiri. Ini yang akan kau gunakan untuk memotong taring mereka, satu per satu, sampai akar-akarnya habis."19Please respect copyright.PENANArTtChO9Itm
Rowan menatap takjub, matanya terpaku pada tempat di mana udara tadi terbelah. Kekuatan yang begitu dahsyat dari sebatang ranting. Ini adalah level yang belum pernah ia bayangkan. Sebuah bara baru menyala dalam diri Rowan-bukan hanya dendam yang samar, tapi tujuan yang jelas, sebuah alat untuk menuntut balas atas apa yang telah dicuri darinya.19Please respect copyright.PENANAgwERb7Iymx
Demonstrasi Silas dengan Tebasan Dimensi tidak hanya menyalakan api dalam diri Rowan, tetapi juga menuangkan bensin ke dalamnya. Kini, setiap ayunan ranting, setiap fokus Ki, terasa memiliki tujuan yang lebih tajam: dendam. Ia telah melihat alat untuk menghancurkan mereka yang mengambil segalanya dari dia, dan tidak ada lagi keraguan. Kegigihan Rowan dalam melatih Ki dan Kage-Tsurugi melesat. Ia adalah yang pertama bangun, Ki-nya yang hitam pekat berdenyut bahkan sebelum Silas memberi perintah, seolah merespons dorongan balas dendamnya.19Please respect copyright.PENANApwYBjdi5MY
Namun, seiring dengan kekuatan, sifat Silas yang nyentrik juga semakin meresap, menghadirkan sentuhan kocak yang gelap di balik sarkasme dan pragmatisme Rowan. Ia mulai membalas gurauan sinis Silas dengan leluconnya sendiri yang tajam, terkadang melampaui batas, seolah humor adalah cara untuk menyembunyikan luka yang menganga.19Please respect copyright.PENANAhY8bCpS8IH
"Apa kau ingin menghabiskan sepanjang hari mencium lumut, Bocah?" Silas akan menyalak, suaranya serak. "Apa kau menunggu mereka menceritakan rahasia kelemahan Vortigern?"19Please respect copyright.PENANA6pPpZziqvM
Rowan, yang kini bisa merasakan Ki-nya berputar di dalam, akan membuka mata sejenak, seringai tipis muncul di bibirnya. "Tentu saja, Kakek. Lumut itu penasihat yang bijaksana. Siapa tahu mereka bisa mengajariku cara membuat bangsawan korup itu tersandung kakinya sendiri tanpa perlu mengotori pedang. Hemat tenaga, kan? Biar lebih elegan saat balas dendam."19Please respect copyright.PENANAzR57OMDDiw
Silas akan mendengus, terkadang dengan senyum geli yang nyaris tak terlihat. "Dasar pemalas. Kau pikir musuhmu akan memberimu waktu untuk diskusi dengan lumut?"19Please respect copyright.PENANAbCD3YH89Xl
"Mungkin mereka akan terpesona dengan percakapan filosofisku," balas Rowan sambil terkekeh pelan. "Atau setidaknya, mereka akan terlalu bingung untuk menyerang. Bayangkan saja, mereka mati karena kebingungan, bukan karena pedang. Itu akan jadi cerita yang lebih lucu, bukan?"19Please respect copyright.PENANA64e6fLSJ34
Saat latihan pedang, jika Rowan melakukan gerakan yang sempurna, ia akan melemparkan rantingnya ke tanah dengan ekspresi bangga yang dilebih-lebihkan. "Nah, bagaimana? Aku sudah bisa membayangkan wajah Bangsawan Vortigern saat melihat jurus ini. Mungkin dia akan kencing di celana. Lalu aku bisa bilang, 'Maaf, Pangeran, saya tidak bermaksud membuat Anda buang air kecil di tempat umum, tapi Ki saya sedikit kelebihan energi.'"19Please respect copyright.PENANArRbY4ta6dN
Silas hanya akan menggelengkan kepala. "Jangan terlalu sombong, Bocah. Kesombongan adalah langkah pertama menuju kematian. Apalagi omong kosongmu itu. Mungkin dia akan mati karena tertawa mendengar leluconmu yang garing, itu pun kalau dia mengerti."19Please respect copyright.PENANAHMAUQHSApL
Meskipun ucapan mereka sering kali tajam dan sinis, ada ikatan aneh yang terjalin. Rowan tidak hanya belajar seni bertarung yang mematikan dari Silas, tetapi juga cara menghadapi dunia yang brutal dengan humor yang pahit, mengolok-olok penderitaan, dan melihat absurditas dalam keseriusan hidup. Ki hitamnya mungkin mencerminkan kegelapan masa lalu dan dendam yang membara, tetapi sifat kocak yang menular itu adalah tameng, cara untuk tetap waras di tengah realitas yang kejam.19Please respect copyright.PENANARrbe4f0zMS
Bertahun-tahun telah berlalu, dan Rowan kini menginjak usia lima belas tahun. Ia bukan lagi bocah kurus yang ketakutan. Dengan Kage-Tsurugi yang telah menjadi perpanjangan tangannya dan Ki hitam pekat yang mengalir stabil dalam dirinya, ia adalah seorang pendekar muda yang mematikan, terasah oleh rutinitas brutal dan humor gelap Silas.19Please respect copyright.PENANASIOqw3ZtcW
Suatu pagi, saat mereka berada di tempat latihan rahasia mereka, Silas melemparkan sebuah gulungan kain tua kepada Rowan. "Cukup dengan ayunan konyolmu," katanya, nadanya datar. "Ini waktunya kau belajar membaca."19Please respect copyright.PENANAD5npkyUCXD
Rowan membuka gulungan itu. Di dalamnya ada sebuah buku tua, dengan sampul yang usang dan tulisan tangan yang asing. Aura misterius terasa memancar dari buku itu.19Please respect copyright.PENANAcUBClF5GZd
"Apa ini, Kakek? Buku dongeng?" Rowan menghela napas, dengan sarkasme yang kini sudah menjadi bagian dari dirinya. "Atau ini resep rahasia untuk membuat ramuan awet muda yang kau pakai untuk kulit keriputmu?"19Please respect copyright.PENANA8muHLESYyz
Silas mendengus. "Itu adalah 'Risalah Pedang Timur'," jelasnya. "Buku ini berisi teknik-teknik pedang, filsafat, dan misteri Ki yang lebih dalam dari yang pernah ku ajarkan padamu. Ini tidak seperti omong kosong yang diajarkan di perguruan pedang di sini. Ini nyata. Pelajari. Pahami." Ia menatap Rowan dengan pandangan tajam. "Jika kau ingin memotong kepala para bangsawan korup itu, kau harus tahu lebih dari sekadar mengayunkan pedang. Kau harus tahu bagaimana cara mereka berpikir, bagaimana mereka bernapas, bagaimana Ki mereka mengalir."19Please respect copyright.PENANA4Iau7bJQ1K
"Malam ini, kita akan merayakannya," tambah Silas, seringai licik muncul di wajahnya. "Dan kau akan melihat sedikit dunia di luar hutan ini."19Please respect copyright.PENANANbQOr1Mu6P
Malam itu, mereka berdua turun ke sebuah desa kecil yang tersembunyi jauh di balik jalur gunung yang jarang dilalui. Aroma asap kayu bakar dan ale yang kuat menyambut mereka. Mereka masuk ke sebuah bar yang remang-remang dan ramai. Rowan, yang terbiasa dengan kesunyian hutan, merasa sedikit canggung di tengah keramaian itu, namun matanya yang tajam mengamati setiap detail.19Please respect copyright.PENANASCtGSWYQIT
Silas, seperti biasa, langsung mencuri perhatian. Dengan janggutnya yang beruban dan mata berkedip nakal, ia memesan dua cangkir ale. "Dua cangkir, Gadis manis," katanya pada pelayan bar yang lebih muda, mengedipkan mata genit. "Satu untuk kakek tua yang lelah ini, dan satu lagi untuk cucu asuhku yang tampan ini, yang baru saja berhasil menguasai seni mengeluh."19Please respect copyright.PENANAGErYfJTXbb
Pelayan itu tertawa kecil, terbiasa dengan godaan Silas. Rowan hanya mendengus, menyesap ale-nya yang terasa pahit di lidah.19Please respect copyright.PENANAvMssi1C1EU
"Kau tahu, Nak," Silas memulai, suaranya sedikit melunak setelah beberapa teguk ale, namun matanya tetap waspada mengamati sekeliling. "Pedang ini, Kage-Tsurugi, berasal dari tempat yang jauh di timur. Tempat di mana gunungnya lebih tinggi dari awan, dan para pendekar pedang bisa membelah sungai dengan satu tebasan."19Please respect copyright.PENANAx5tCOSJkYI
Rowan mendengarkan, penasaran. "Jadi, kau dari sana?"19Please respect copyright.PENANAJ7QAuDFHIU
Silas mengangguk. "Dulu. Jauh sebelum aku bertemu denganmu dan semua kekacauan ini. Aku adalah pendekar yang belajar di sana, menguasai Ki dan teknik-teknik yang kau impikan itu." Ia menyeringai. "Tapi, ada banyak gadis cantik di sana juga. Dan kakek tua ini, yah... kau tahu kan? Sulit menolak pesona wanita-wanita dari timur." Ia tertawa renyah, lalu mengalihkan perhatiannya kembali ke pelayan bar yang lewat, mengedipkan mata lagi. "Nona, apakah kau punya ale yang lebih dingin untuk membuat malam ini lebih panas?"19Please respect copyright.PENANAYagFez2Lhz
Rowan hanya bisa menggelengkan kepalanya, senyum tipis terukir di bibirnya. Ia melihat bagaimana Silas, di tengah semua lelucon mesumnya, tetap memancarkan aura bahaya yang tak terbantahkan. Guru yang aneh, pedang misterius, dan kisah-kisah dari timur... dunia yang begitu besar di luar hutan mulai terbuka di hadapan Rowan.19Please respect copyright.PENANAZKyR6oJHXs