BAB 1214Please respect copyright.PENANA3xYeYtZijK
Meet You
Sabtu, 09 Sept 2017.214Please respect copyright.PENANASIx8hPs2jm
-05:00 am-
Setelah melaksanakan sholat shubuh, Yura bergegas menuju dapur untuk membuatkan sarapan adik-adiknya. Tidak banyak yang ia bisa selain nasi goreng telur buatannya. Wanita itu besyukur karena kedua adiknya tersebut tidak pernah mengeluh dengan masakan apapun yang ia buatkan untuk sarapan mereka.
‘Huft....’
Wanita itu menyapu keringat di pelipisnya. Ia menatap piring nasi goreng buatannya. “Tidak buruk” ucapnya memuji hasil masakannya sendiri. Puas dengan hasil masakannya, Yura segera melepaskan apron yang ia kenakan, kemudian menyambar sapu dan pel lantai. Selesai dengan urusan mengemasi rumah, wanita itu terduduk di sofa ruang tengah. Sepertinya tubuhnya memerlukan istirahat sejenak. Cukup lama ia duduk di sana hingga kembali berjalan menuju kamar adik-adiknya.
“Renal? Denny?” panggilnya di ambang pintu.
‘Haish, masih tidur? Sudah jam berapa sekarang?’ gerutu Yura masuk ke dalam kamar sang adik.
“Oi! Bangun, sudah jam 08:00 pagi!” panggil Yura sekali lagi sambil menguncang tubuh adiknya itu satu persatu.
“Hmmm....”
“Lima menit lagi, kak!”
“Hoaaa.... jam berapa kakak bilang tadi?” pekik Renal terduduk di ranjang atas.
Yura mendongak melihat Renal yang sudah terbangun. Wanita itu menampilkan senyum jahilnya. ‘Ha...Ha... rasakan bagaimana membosankannya harus bangun pagi setiap harinya!’ ucap Yura dalam hati.
“Cepat mandi dan sarapan!” ucap Yura berlalu pergi.
Sekarang Yura disibukkan dengan mengurus dirinya sendiri karena ia harus segera pergi bekerja. Wanita itu menyelesaikan mandinya lebih cepat dari biasanya, alasannya karena air pagi yang mengalir di rumahnya sangat dingin melebihi dinginnya es di kutub. Saat sudah berpakaian rapi pun Yura masih bisa merasakan dingin yang menusuk tulang. Lima menit kemudian Yura keluar dari kamarnya, ia pergi menuju meja makan. Sedikit terkejut mendapati dua adikknya yang sudah duduk disana lebih dulu dengan mengenakan seragam sekolah.
“Ha...Ha...Ha....” tawa Yura pecah.
Kedua adiknya itu memandang sang kakak dengan tatapan bingung.
“Kalian mau kemana dengan pakaian itu?” tanya Yura menahan tawanya.
“Sekolah lah, apalagi?” jawab Denny.
“Bahkan saat weekend seperti sekarang ini?” tanya Yura di susul suara tawanya, “Ha...Ha... Ha....”.
Wajah kedua adiknya itu memerah, mereka melotot pada Yura. Sementara sang kakak duduk manis di meja makan sambil meyantap sarapannya. Wanita itu tidak menghiraukan aura kemarahan adik-adiknya padanya. Ia melanjutkan makannya tanpa merasa terganggu.
“Ini uang jajan kalian!” ucap Yura menyerahkan selebaran uang bernilai lima puluh ribu rupiah.
Alasan kenapa Yura memberikan uang sebanyak itu untuk adik-adiknya adalah karena kepulangan Yura yang tidak pasti, mengingat pekerjaannya sebagai seorang dokter di rumah sakit terkenal.
“Kakak pergi yah? Hati-hati di rumah!” pamit Yura berdiri dari kursinya.
Wanita itu lekas pergi meninggalkan ruang dapur. Ia tidak ingin mendengar teriakan kesal dari adik-adiknya itu. Yura berlari menuju garasi dan menyalakan mobilnya dengan cepat.
1
2
3
“KAKAK!!!!”
Yura terkikik di dalam mobilnya, untung saja ia berhasil menyelamatkan diri dengan cepat. Jika sedikit saja ia terlambat, mungkin ia akan kehilangan indera pendengaranya hari itu juga. Sungguh awal yang cerah di pagi yang cerah pula.
Sudah dua puluh menit berlalu semenjak kedatangannya di rumah sakit ini, wanita yang masih setia duduk di kursinya itu memeriksa tumpukan berkas yang berisi rekam medis para pasiennya. Dokumen-dokumen itu di bacanya satu per satu dengan teliti, karena dengan membaca dokumen tersebut berarti secara tidak langsung Yura sedang memantau kondisi pasien-pasiennya. Melihat tidak ada kondisi pasien yang memprihatinkan, Yura menutup berkas terakhirnya. Ia merapikan tumpukan kertas tersebut ke sisi meja.
‘Melelahkan sekali!’ batin Yura mengeluh.
Wanita itu melipat kedua tangannya di dada, kemudian menempelkan satu pipinya ke sisi meja yang kosong. Kedua matanya menutup perlahan merasakan dinginnya meja marmer yang menyentuh kulit.
Tok....
Tok....
(Suara ketukan meja)
Tubuh Yura tersentak kaget mendengar suara ketukan di mejanya. Refleks, wanita itu membetulkan posisi duduknya kembali lalu menyambar salah satu dokumen di sisi meja dan bertingkah seolah sedang membaca. Diam-diam, manik hazel Yura mengintip dari balik dokumen yang ia baca. Yura yang hampir terkena serangan jantung tersebut menghempaskan dokumen yang ada di tangannya ke meja. Ia segera memegangi jantungnya yang berdetak tidak beraturan.
“Good morning, Dokter Yura Anastasya!” sapa seseorang yang ternyata adalah rekan kerjanya.
“Fiona? Kau mengagetkanku!” ucap Yura kesal.
“Ha.. Ha..., kau pasti berpikir Professor yang datang kan?” tebak Fiona dengan gelak tawa.
Yura mengangguk membenarkan tebakan Fiona barusan, “Kenapa? Ada apa kesini?” tanya Yura berhasil mendapatkan dirinya kembali.
Wanita yang bernama Fiona itu membungkukkan badannya 45 derajat ke arah Yura, “Apa kau sudah mendengarnya?” bisiknya di telinga Yura.
Yura menggelengkan kepalanya, “Tidak, jangan ceritakan apapun padaku. Apa kau tidak lihat aku sedang sibuk? Jadi tolong pergilah!” ucap Yura mengacungkan jari telunjukknya ke pintu.
“Yuraa....” rengek Fiona tidak terima.
Melihat Fiona yang tidak kunjung pergi dari ruangannya, Yura berdiri, ia mendorong tubuh Fiona hingga ke luar ruangan. Fiona sempat memberikan perlawanan pada Yura, namun akhirnya ia mengalah dan membiarkan dirinya di tendang keluar oleh rekan kerjanya sendiri.
‘Lalat menyebalkan!’ gerutu Yura sambil memandangi pintu.
Dokter wanita itu kembali sendiri di dalam ruangannya, ia begitu menikmati kesendiriannya. Perasaan tenang dan damai menghampiri jiwanya, Yura mendudukkan tubuhnya di kursi sambil mencoba menutup kedua matanya kembali.
Code Blue!
Code Blue!
(Alarm peringatan kondisi darurat)
‘Aish! Baru saja aku memejamkan mata’ batin Yura menggerutu.
Detik berikutnya Yura sudah berlari ke luar ruangannya. Wanita dengan jubah dokter itu menuju ke ruang VIP yang pengeras suara sebutkan tadi. Benar saja, ia menjumpai seorang pasien dengan keadaan tidak stabil di ruangan tersebut. Kedua tangan Yura yang sudah terlatih bergerak cepat untuk memberikan pertolongan pertama pada si pasien. Beberapa menit kemudian kondisi pasien kembali stabill, Yura tidak langsung meninggalkan ruangan tersebut. Ia menunggu sampai keadaan pasien benar-benar normal kembali. Setelah yakin dengan kondisi pasien, barulah Yura berani meninggalkan ruangan tersebut.
Drrtt....
Drrtt....
Yura merasakan ponselnya bergetar, ia merogoh kantung jubah dokternya. Ponsel yang sudah berada di dalam genggamannya menuliskan nama sang adik. Wanita itu tersenyum sebelum menggeser layar ponselnya.
“Kenapa?” tanya Yura menempelkan ponselnya ke telinga.
“Kakak! Bagaimana ini, rumah kita kebakaran!!!” teriak Renal histeris.
Mata Yura membelalak kaget, ia berlari menuju tempat parkir yang ada di basement. Dalam perjalanannya menuju basement, Yura melewati meja resepsionis di lantai dasar. Ia melepaskan ID card miliknya dan meninggalkannya di atas meja resepsionis.
“Katakan pada Professor aku ijin keluar, sangat mendesak!” teriak Yura pada suster jaga.
Wanita itu terus berlari hingga sampai ke dalam mobilnya, tangan Yura gemetaran. Kunci mobil yang ia pegang jatuh berkali-kali, pikiran wanita itu tidak pada kepalanya. Ia cemas jika sesuatu yang tidak ia inginkan menimpa kedua adiknya itu. Begitu berhasil memasangkan kunci mobil, Yura lekas menyalakan mesin mobilnya dan melajukan sedan putihnya ke jalanan kota. Karena rasa khawatirnya pada sang adik, wanita itu menambah kecepatan mobilnya sampai di atas rata-rata.
Ciiiiiiiiiiiiiittt....
Braghk.....
(Suara rem mobil yang di tekan dengan kuat di susul dengan suara dentuman keras dari dua buah mobil yang saling bertabrakan)
Dokter wanita itu membanting setirnya, kakinya menginjak pedal rem kuat-kuat. Akibat kelalaiannya dalam mengemudikan sedan putinya tersebut, wanita itu membuat dua mobil lain di dekatnya terlibat kecelakaan parah. Sesaat setelah mobil yang ia kendarai berhenti, Yura keluar dari mobinya. Ia terperangah memandangi kecelakaan lalu lintas yang terjadi karena ulahnya. Di depannya kini ada dua mobil yang mengalami kerusakan parah, wanita itu berlari menghampiri dua mobil tersebut. Ia ingin memastikan keselamatan sang pengendara naas tersebut.
“Tuan?” panggil Yura pada seorang pria yang duduk di balik kursi kemudi.
Wanita itu mengguncang-guncangkan tubuh pria yang bersimbah darah tersebut. Ia memeriksa denyut nadi pria tersebut, Yura menggeleng karena denyut nadi yang ia rasakan sangat lemah. Wanita itu kemudian berbalik ke belakang, ia sedikit terkejut karena sudah banyak warga yang memenuhi tempat kejadian. Di sudut matanya yang lain, Yura melihat pria paruh baya keluar dari mobil yang satunya.
“Permisi, pak? Bisa tolong bantu saya memindahkan pria ini ke sedan putih yang ada di sana!” pinta Yura pada petugas polisi yang berdatangan.
Polisi lalu lintas itu mengangguk mengerti. Sementara Yura lekas berlari pada pria paruh baya yang kesusahan berjalan, ia menduga telah terjadi sesuatu pada kaki bapak-bapak tersebut.
“Permisi pak? Saya yang bertanggung jawab atas kecelakaan ini, jadi bisa bapak ikut bersama saya ke rumah sakit untuk segera mendapatkan perawatan?” tanya Yura menghampiri pria paruh baya tersebut.
Tidak ada jawaban dari pria paruh baya tersebut, Yura tidak membutuhkan jawaban darinya. Ia hanya harus bertanggung jawab atas semua yang telah ia lakukan. Yura membantu mendudukkan bapak-bapak tersebut ke kursi penumpang di samping kursi kemudi. Sementara kursi penumpang di bagian belakang di isi oleh pria yang berlumuran darah tadi. Yura berbicara dengan polisi yang sudah membantunya.
“Ini KTP, SIM dan Kartu nama saya!” ucap Yura memberikan kartu-kartu yang ada di dalam dompetnya.
“Tapi anda harus di mintai keterangan lebih lanjut di kantor polisi!” jawab Polisi tersebut.
“Pak, pria ini sedang kritis! Jika bapak menahan saya lebih lama lagi maka pria ini akan meregang nyawanya di sini dan bapak akan menjadi tersangka utama atas kematiannya!” teriak Yura mulai panik.
Wanita yang sudah tidak berpikir dengan jernih itu lekas menyalakan mesin mobilnya dan menjalankan sedan putihnya kembali menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Bahkan di tengah kesibukannya dalam mengemudi, ia sempat menghubungi pihak UGD untuk segera bersiap menjemput kedatangannya. Sesampainya Yura di rumah sakit, petugas UGD langsung menghambur menuju mobilnya. Orang-orang itu membantu Yura dalam memindahkan pasien-pasien barunya.
“Fiona, tolong kau tangani bapak yang satu ini!” perintah Yura melihat Fiona yang baru saja datang.
Fiona yang baru saja bergabung di kerumunan orang tersebut melongo memandangi pria paruh baya yang dilemparkan padanya. Ia bahkan belum mengetahui apa yang terjadi, tapi sudah dilemparkan tugas untuk mengurusi seorang pria tua.
“Mari saya bantu, pak!” ucap Fiona mendudukkan pria itu di kursi roda.
-UGD-
Yura bergegas mengganti pakaiannya dengan pakaian bedah, tidak ketinggalan dengan sarung tangan khusus di kedua tangannya. Kini ia berdiri di depan tubuh pasien, wanita itu telah siap untuk melakukan pembedahan. Sesekali ia melirik monitor yang ada di sampingnya. Yura memejamkan matanya sejenak sebelum melakukan operasi, bahkan di situasi genting seperti ini Yura selalu menyempatkan untuk berdoa kepada yang maha kuasa. Wanita itu meminta ridho dari sang pencipta agar operasi yang ia lakukan bisa berjalan dengan lancar.
“Injection intracardiac!” pinta Yura.
“Tapi dok-ter,”
Yura melirik sang asisten yang berdiri di sampingnya dengan benda yang ia minta di genggaman tangannya. Wanita itu segera merebut benda tersebut dan memberikan suntikan itu langsung ke jantung pasien.
“Tekanan darah pasien menurun,” asistennya memberitahu.
Dokter yang memimpin jalannya operasi itu mengindahkan peringatan buruk dari asistennya. Ia terus melakukan operasi, dalam pikiran Yura saat ini adalah masalah waktu. Terlambat sedikit saja, nyawa pasien akan segera melayang. Tangan Yura bergerak cepat, dokter itu mengeluarkan beberapa organ dalam pria itu dari tubuhnya. Sesuai dengan apa yang Yura perkirakan, pasien itu hanya harus menjalani pelepasan ureter untuk mengobati penyumbatan yang ia alami.
‘Selesai’ batin Yura bernafas lega.
“Lanjutkan sisanya!” Ucap Yura pada asistennya.
Yura segera meninggalkan ruang bedah dan pergi menuju ke tempat dimana pasien yang satunya lagi di rawat. Dokter itu bahkan belum melepaskan pakaian bedahnya, ia langsung pergi ke ruangan dimana pria paruh baya itu berada.
“Bagaiaman keadaannya?” tanya Yura pada Fiona yang sedang membalutkan perban di kaki pasien.
“Hanya luka lecet, tidak ada yang perlu dikhawatirkan” jawab Fiona cepat.
Setelah menyelesaikan tugasnya, Fiona pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yura berajalan menghampiri pria paruh baya yang terduduk di atas ranjang rumah sakit.
“Bapak tidak apa-apa? Apa masih ada rasa sakit lainnya?” tanya Yura khawatir.
Bapak-bapak itu menggelengkan kepalanya, ia melemparkan seulas senyum pada Yura, “Terima kasih, aku beruntung saat tahu orang yang menyebabkan kecelakanku adalah seorang dokter. Jika itu orang lain mungkin aku tidak akan mendapatkan perawatan sebaik ini”.
Yura ikut tersenyum, “Saya hanya bertanggung jawab atas semua yang telah saya perbuat” jawab Yura merendah.
“Baiklah, biar aku yang mengurus sisanya di kantor polisi!” ucap Sang Bapak berdiri.
Yura segera membantu pria itu untuk berjalan, tapi bantuan Yura di tolak olehnya. Ia menggeleng pelan, “Tidak perlu, bapak bisa sendiri” ucapnya menepis tangan Yura pelan, “Kau perempuan yang baik, jadi sebagai tanda terima kasih aku yang akan membereskan sisanya” lanjut bapak itu lagi.
Dokter wanita itu mengantarkan pasiennya dari belakang, ia baru berhenti mengikuti pria paruh baya itu saat melihat keluarganya datang untuk menjemput. Yura berdiri di depan pintu masuk rumah sakit, ia melambaikan tangannya pada pasiennya yang baru saja pergi. Senyum bahagia Yura mengembang seketika, satu masalah telah terselesaikan.
Drrtt...
Apa kakak sedang di jalan pulang?
Jangan ngebut,
Maaf karena tadi itu hanya kebohongan.
From : Adikku tersayang
Senyum Yura memudar seketika, baru saja ia bisa bernafas lega dan dapat merasakan kebahagiaan. Kini rasa kesal menyeruak masuk ke dalam dirinya menggantikan perasaan bahagia yang sempat ia rasakan tadi, sepertinya kedua adiknya itu memang perlu diberi sedikit pelajaran agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.
‘Apa kau tahu apa yang sudah kalian perbuat?’ batin Yura mengutuk aksi jahil sang adik yang berujung petaka.
‘Mengesalkan saja, akan kubalas kalian!’
Drrtt....
Drrtt....
“APALAGI?” teriak Yura kesal pada seseorang di ujung sana.
“Yura? ini aku Fiona,”
Terkejut dengan suara yang ia dengar ternyata bukanlah suara dari sang adik. Wanita itu menatap layar ponselnya sekali lagi untuk memastikan, memang benar bahwa Fiona-lah yang sedang menelponnya sekarang. Yura mengambil nafasnya dalam-dalam lalu mendekatkan ponselnya ke telinga.
“Maaf, emosiku sedang tidak stabil” Ucap Yura memijat keningnya pelan.
“Pasien yang baru saja kau operasi itu sudah sadar” lanjut Fiona.
Tut....
Tut....
Yura memutus sambungan telepon secara sepihak, wanita itu kembali bergegas menuju lantai tiga untuk memastikan keadaan pasiennya. Sesampainya di lantai tiga, wanita itu berlari menuju ruang VIP. Ia membuka pintu ruangan tersebut dengan sangat kuat hingga menimbulkan suara dan lekas menghambur ke dalam ruangan tersebut. Wanita itu berdiri di samping ranjang pasien, ia memegangi kedua lututnya yang gemetaran. Sudah tidak terhitung lagi banyaknya ia berlari selama seharian ini. Yura mencoba menormalkan nafasnya yang masih memburu akibat berlari tadi.
“Apa kau berlari kemari?” tanya Fiona yang sudah berada dalam ruangan ini terlebih dahulu.
Yura mengangguk.
“Pasienmu ini sudah sadar sejak beberapa menit yang lalu, keluarga pasien juga sudah di beritahukan” jelas Fiona pada Yura.
“Terima kasih atas semua bantuanmu padaku” ucap Yura memeluk Fiona sekilas.
Wanita yang bernama Fiona itu mengangguk pada Yura sembari melemparkan senyumnya. Setelah kepergian Fiona, Yura mendekat pada pasiennya. Ia memeriksa denyut nadi pasien secara manual sambil memandangi layar monitor yang ada di samping kepala pasien dengan seksama.
“Huft....” Yura mendesah lega.
Dokter wanita itu menarik kursi yang ada di dekatnya dan duduk di atas sana sambil merapikan rambutnya yang berantakan. Selesai merapikan rambutnya, wanita itu menundukkan kepalanya dalam. Ia menggigit bibir bawahnya pelan, otak dan pikiran Yura saat ini sedang berkecamuk untuk memutuskan sesuatu yang akan diucapkannya. Wanita itu berhutang penjelasan pada pasien yang terbaring di hadapannya sekarang, meski sempat merasa takut ia tetap memberanikan dirinya untuk mengutarakan rasa bersalahnya.
“Maafkan aku,” wanita itu menarik nafasnya dalam-dalam, “Aku yang membuatmu menjadi seperti ini” ucap Yura pelan hampir tidak terdengar.
Hening....
Wanita itu mengangkat kepalanya ke arah pasien, mata pria itu masih tertutup rapat. Yura menghela nafasnya, semua permintaan maafnya tadi terbuang percuma. Pria itu tidak mendengarkannya, Yura menggaruk tengkuknya keheranan. Bukankah tadi Fiona bilang pria ini sudah sadar? Pikir Yura dalam hati. Wanita itu kembali menunduk menatap jari-jari tangannya.
“Harusnya kau bunuh saja aku....”
Mendengar suara itu, Yura mengangkat kepalanya secara spontan, ia mendapati pria itu benar-benar telah sadarkan diri. Kedua matanya terbuka menatap lurus ke arah Yura. “Harusnya kau bunuh saja aku....” kepala Yura mencerna perkataan yang pria itu ucapkan padanya. Apa ia mengalami gegar otak? Tanya Yura kepada dirinya sendiri. Dokter wanita itu lekas menggelengkan kepalanya, menepis pemikiran buruknya tersebut.
“A-pa? Setelah semua usaha yang kulakukan untuk menghidupkanmu kembali, kau memintaku untuk membunuhmu? Yang benar saja!” ucap Yura kesal.
Pria itu terdiam, namun kedua matanya masih menatap lurus pada Yura. Sementara wanita yang ditatap pria tersebut hanya diam menunggu jawaban darinya. Wanita itu tercengang dengan sikap bodoh pria yang tidak tahu diri ini, bukannya berterima kasih karena telah menyelamatkan nyawanya kembali, pria ini justru lebih memilih untuk merelakan nyawanya hilang begitu saja. Tidak tahan dengan sikap diam dari pasiennya, Yura segera berdiri mendekati pria tersebut dengan ekspresi marah di wajahnya.
“Aku sangat paham jika kau sudah bosan untuk hidup, tapi setidaknya kau harus tahu bahwa satu nyawa itu sangat berharga. Perhiasan termahal di dunia ini adalah nyawa seseorang!”
-Ruang VIP-
Seorang pria dengan lilitan perban di kepalanya masih terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit. Pria yang sudah tersadar dari masa-masa kritisnya itu enggan untuk membuka kedua matanya. Mata itu mengatup semakin rapat mendengar suara pintu yang terbuka, meski begitu kedua telinganya masih aktif mendengarkan langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahnya. Ia merasakan seseorang itu menyentuh denyut nadinya kemudian menarik selimut yang ada di kedua kakinya sampai ke atas dada. Beberapa saat kemudian langkah itu terdengar kembali di susul dengan suara pintu yang menutup perlahan.
‘Dia pergi?’ batin pria itu menajamkan indera pendengarannya.
Setelah yakin bahwa seseorang tersebut benar-benar telah pergi dari ruangannya, pria itu membuka kedua matanya. Ia menyentuh kain lembut yang menyelimuti tubuhnya. Pria itu menghela nafasnya, keningnya berkerut seolah sedang memikirkan hal rumit. Pandangan kosong pria itu tertuju pada pintu yang berada tidak jauh dari hadapannya.
Flashback on
Satu jam sebelum kecelakaan....
Pertengkaran hebat terjadi pada salah satu rumah di sebuah komplek perumahan elite. Suara beberapa barang berbahan dasar kaca yang terhempas jatuh ke lantai terdengar sampai ke luar rumah. Tidak ada yang tahu bahwa di dalam rumah tersebut ada dua orang ayah dan anak yang saling bersitegang. Anak itu menatap wajah ayahnya penuh dengan kebencian, sementara kedua tangan anak itu mengepal erat hingga urat tangannya terlihat.
“Papah tidak mau tahu, kamu harus bekerja di rumah sakit itu!” ucap sang ayah murka.
“Sudah berapa kali Verro bilang kalau Verro tidak mau bekerja di sana!” sang anak membantah.
Anak itu berpaling dari hadapan ayahnya, ia hendak pergi meninggalkan ruang tamu yang mulai terasa panas ini. Namun langkahnya terhenti, saat jalannya di halangi oleh sang adik.
“Alverro!” teriak ayahnya sangat marah.
Pria yang bernama Alverro itu berbalik menghadap ayahnya kembali. Tatapan matanya pada sang ayah masih sama seperti beberapa menit yang lalu, api kebencian masih tersirat di dalam bola matanya.
“Jika papah benar-benar menginginkan seorang penerus, kenapa papah tidak memberikan tempat itu pada Kirey?” ucap Alverro menunjuk sang adik.
Amarah sang ayah semakin membara mendengar ucapan Alverro barusan. Pria tua itu berjalan mendekati anak sulungnya tersebut dengan cepat. Tanpa aba-aba lagi, ia melayangkan tamparan keras di wajah mulus Alverro. Pria tua itu melototi wajah anaknya marah.
Plaakk....
Alverro jatuh tersungkur ke lantai, ia memegangi salah satu pipinya yang baru saja mendapatkan tamparan dari sang ayah. Pria itu meringis sambil berusaha bangun kembali, ia menegapkan bahunya di hadapan sang ayah. Alih-alih merasa takut karena dipelototi sang ayah, anak itu justru menatap balik tatapan sang ayah tidak kalah bengis. Kebencian Alverro semakin bertambah begitu melihat berkas darah di telapak tangannya.
“Alverro, apa kau sadar ucapanmu tadi sudah menyakiti perasaan adikmu!” ucap sang ayah.
Sang ayah merasa kasihan melihat kondisi anak bungsunya yang sekarang ini. Anak itu kehilangan kemampuannya untuk berjalan sejak dua tahun terakhir, akibat sebuah kecelakaan yang di sebabkan oleh ayahnya sendiri. Kirey yang duduk di atas kursi roda itu hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam.
“Jangan pernah memanggil namaku lagi, karena mulai detik ini juga aku bukan lagi Alverro yang kalian kena!” ucap Vero segera berbalik dan pergi meninggalkan ruangan itu.
Melihat kepergian sang kakak, Kirey segera menjalankan kursi rodanya mengejar sang kakak dari belakang. Anak itu menggapai tangan Alverro dan segera menahannya agar tidak pergi lebih jauh lagi.
“Apa semua ini karena perempuan itu?” tanya Kirey dengan mata berkaca-kaca.
Suasana hati Alverro sudah terlanjur hancur, ia menghempaskan tangannya kasar hingga pegangan sang adik terlepas darinya. Pria itu kembali melangkahkan kakinya menuju ke luar rumah. Dari dalam sana, Kirey dan sang ayah yang masih syok dengan sikap Alverro hanya bisa mendengar suara mobil Alverro yang menghilang di kejauhan. Pria itu pergi meninggalkan rumahnya tanpa menoleh ke belakang sedikit pun. Ia sudah mantap dengan keputusannya untuk keluar dari hubungan keluarga yang selama ini mereka jaga.
Di dalam mobilnya, Alverro mencengkeram setir dengan kuat. Pria itu mengemudikan mobilnya tanpa tujuan yang jelas, ia hanya terus melajukan mobilnya di jalanan kota yang sedang ramai. Fokus Alverro teralihkan mengingat kata-kata terakhir yang adiknya ucapkan padanya. Siluet perempuan yang sangat ia kenal hadir di kepalanya, sosok itu tengah tersenyum padanya.
Braghk.....
Dada Alverro membentur setir mobil dengan sangat keras, ia tidak bisa menghindari kejadian naas yang berlangsung sangat cepat itu. Pria itu hanya bisa pasrah merasakan mobilnya yang terguling di jalanan. Ia menutup kedua matanya perlahan sembari merasakan rasa sakit luar biasa yang menyerang tubuhnya.
“Tuan?”
Suara itulah yang terakhir Alverro dengar di telinganya, karena menit-menit berikutnya pandangannya menjadi gelap tanpa ada cahaya sama sekali. Rasa damai menghapus segala emosi yang memenuhi jiwanya, pria itu merasa seolah inilah akhir dari kehidupannya.
Flasback off
Air mata kesedihan mengalir dari sudut mata pria yang sedang terbaring di ruang VIP tersebut. Kenyataan bahwa ia terselamatkan dari maut membuat pria itu kehilangan cahaya hidupnya. Sebenarnya sudah sejak satu tahun yang lalu ia telah kehilangan alasan untuk terus hidup. Keinginannya untuk segera bertemu dengan seseorang yang masih menjadi penghuni hatinya hingga saat ini, hanya tinggal harapan. Ia tidak akan pernah bisa menemui sosok spesial itu lagi dalam hidupnya. Itulah alasan kenapa ia lebih memilih kematian dan merelakan nyawanya begitu saja.
Brakk....
Yura mendobrak pintu rumahnya.
“Renal?”
“Denny?”
Wanita itu meneriakkan kedua nama sang adik dari ambang pintu.
“Kakak pulang!” seru Denny menghambur ke pelukan Yura.
“Horeee!” ucap Renal mengikuti di belakang Denny.
Kedua bocah nakal itu masih bisa tersenyum bahagia di tengah kemarahan sang kakak. Wanita yang mengenakan jubah dokter itu melepaskan pelukannya pada Denny, ia menghela nafasnya berat. Yura menyurutkan amarahnya yang tadi memuncak, karena tidak seharusnya ia memarahi dua anak tidak berdosa ini. Yura memilih untuk melupakan kejadian yang menimpanya hari ini. Ia berlalu melewati kedua adiknya yang menatapnya bingung. Wanita itu melepaskan jubah dokternya dengan malas dan berbaring di atas sofa.
“Kakak tidak lembur?” tanya Renal mendekati Yura.
Huftt....
Hanya hembusan nafas kasar dari Yura yang terdengar di telinga sang adik. Renal dan Denny yang sudah bergabung dengan sang kakak di ruang tengah segera menyalakan TV. Seperti hari-hari biasanya, dua bocah laki-laki itu selalu menghabiskan waktu malamnya untuk menonton acara TV kesukaan mereka.
“Apa kakak marah?” celetuk Denny yang duduk membelakangi Yura.
Pletak....
Yura menjitak kepala bagian belakang adik-adiknya tersebut secara bergantian. Pertanyaan yang Denny lontarkan tadi membangunkan amarah Yura kembali, wanita itu langsung mendudukkan tubuhnya di atas sofa dan memberikan kedua bocah itu hukuman kecil.
“Nyawa seseorang hampir melayang karena ulah kalian, apa kalian menyadarinya?” ucap Yura meluapkan unek-uneknya.
Renal dan Denny menatap wajah sang kakak tidak percaya. Kedua bocah itu saling berpandangan, entah apa lagi yang sedang mereka rencanakan kali ini. Yura menggenggam jemarinya erat, wanita itu menahan tangannya agar tidak bertindak lebih jauh lagi. Ia tidak ingin melukai adik-adiknya tersebut dengan tangannya sendiri, membayangkannya saja Yura tidak akan sanggup.
“Maafkan kesalahan kami!” ucap Renal dan Denny bersamaan dengan kepala menunduk.
Yura bangun dari duduknya, ia menyambar jubah dokternya dan berlalu meninggalkan adik-adiknya di ruang tamu menuju ke kamarnya. Sesampainya di dalam kamar, Yura mengunci pintu kamarnya kemudian melemparkan tubuhnya ke atas tempat tidur. ‘Tidak seharusnya aku melampiaskan kemarahanku kepada mereka’ pikir Yura menyesali perbuatan kasarnya pada sang adik.
Drrtt....
Drrrtt....
Yura merogoh saku yang ada di jubah dokternya, ia langsung mengangkat panggilan itu tanpa tahu nama siapa yang tertera di layar ponselnya.
“Dokter, ada masalah besar!”
Wanita itu terduduk dengan cepat, ia membaca tulisan yang ada di layar ponsel.
“-Rumah sakit-“
Yura bergegas membuka pintu kamarnya, ia berjalan dengan cepat melewati ruang tengah. Langkahnya tiba-tiba terhenti, wanita itu kembali ke ruang tengah dan mendapati dua adiknya yang kebingungan dengan tingkahnya.
“Ini uang jajan kalian! Renal kunci pintu dan pergi tidur!” ucap Yura cepat sambil menyodorkan uang pecahan seratus ribu rupiah kepada sang adik.
“Tapi kakak baru saja pulang?” ucap Denny menyadari niat sang kakak untuk pergi lagi.
“Jangan nakal di rumah, kunci pintu dan pergi tidur!” perintah Yura meninggalkan ruang tengah dan berlari masuk ke dalam mobilnya.
Dokter wanita itu mengemudikan mobilnya dengan sangat cepat di jalanan kota. Sedan putihnya melesat dengan lihainya melewati mobil-mobil yang ada di depannya. Yura sedang dikejar oleh waktu, pekerjaannya sebagai seorang dokter menuntutnya harus selalu siaga dalam keadaan apapun. Seperti halnya sekarang ini, ia mengabaikan rasa lelahnya dan pergi menuju rumah sakit tempatnya bekerja. Tidak lama kemudian Yura sampai di rumah sakit, ia memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu masuk rumah sakit. Wanita itu segera turun dari mobilnya, saat seorang satpam berjalan ke arahnya, Yura melemparkan kunci mobilnya kepada satpam tersebut dan berlari menuju lift.
“Tolong urus mobilku!” teriak Yura yang telah hilang dikerumunan.
Ting!
Yura kembali berlari begitu pintu lift yang ia naiki terbuka. Wanita itu segera menuju ruang VIP, di dalam perjalanannya menuju ruangan tersebut Yura sedikit terkejut dengan apa yang matanya lihat. Ia mendapati ada banyak petugas rumah sakit yang berkumpul di depan pintu tersebut. Yura segera menghampiri orang-orang tersebut.
“Ada masalah apa?” tanya Yura.
Orang-orang yang berdiri membelakangi Yura tersebut segera berbalik dan memberikan Yura jalan.
“Pasien itu mengamuk” jawab suster yang berdiri di dekatnya.
“Dia mencoba untuk mengakhiri hidupnya!” tambah yang lainnya.
Mata Yura mendelik tidak percaya, ia berlari memasuki ruangan tersebut dan terkejut dengan tetesan darah yang berceceran di lantai. Yura melihat pasien itu sedang di pegangi oleh tiga orang dokter jaga, masing-masing dokter itu memegangi tangan dan badan pasien, sementara si pasien terus memberikan perlawanan untuk membebaskan diri. Di ujung tangan kanan pasien, Yura melihat ada benda tajam yang ia pegang dengan erat. Sementara di tangan kirinya terdapat luka sobek yang menganga lebar.
“Pria bodoh! Inikah caramu untuk membalas semua usahaku?” teriak Yura merebut benda tajam itu dari tangan pasien.
Yura dan semua orang yang menyaksikan kejadian di ruangan tersebut, sangat terkejut dengan benda tajam yang berhasil Yura rebut secara paksa dari tangan pasien ternyata sebuah pisau bedah. Yura segera melemparkan pisau bedah berlumuran darah tersebut ke lantai dan memandangi wajah pasien dengan kesal.
“Dari mana ia bisa mendapatkan benda itu?” tanya Yura melototi wajah pasien.
“Pasien merebut benda itu dariku saat aku sedang melakukan pengecekan” jelas seorang suster dari arah luar.
Suster tersebut berjalan dengan kepala menunduk sambil mendekati Yura, ia membawakan beberapa peralatan medis baru untuk mengobati luka sobek di tangan pasien. Melihat isi nampan yang ia bawa, Yura segera mengambil botol yang ada pada nampan tersebut, lalu menumpahkan semua isi cairan botol tersebut ke luka sobek yang ada di tangan kiri pasien.
“Aaargh....” ringis pasien.
“Kenapa? Apa antiseptik lebih sakit dari gesekan pisau?” ucap Yura nada mengejek.
“Kenapa kau selalu menolongku?” tanya pasien tersebut.
“Karena kau adalah pasienku!” ucap Yura membalut luka pria tersebut.
Setelah selesai memberikan cairan antiseptik pada pasien, Yura segera membersihkan luka tersebut agar steril hingga akhirnya ia menutup luka tersebut dengan perban.
“Lepaskan dia!” perintah Yura pada ketiga dokter jaga tersebut.
Ketiga dokter jaga yang masih mencengkeram bagian tubuh pasien itu segera melepaskan cengkeramanannya. Suasana kembali normal, pasien tidak lagi mencoba untuk menyakiti dirinya sendiri. Ketiga dokter jaga dan suster yang berdiri di samping Yura ini pun segera pergi meninggalkan ruangan tersebut di ikuti dengan kerumunan orang-orang yang berdiri di luar sana. Yura menghembuskan nafasnya kasar, ia menoleh pada pria yang berstatus sebagai pasiennya ini.
“Kau seorang dokter?” tanya Yura melipat kedua tangannya di dada.
Mata pria itu bergerak menatap manik Yura lurus, padahal sebelumnya pria itu tidak pernah mau melakukan kontak mata pada siapapun termasuk dirinya. Dokter wanita itu mundur selangkah lalu kemudian ia membungkukkan badannya pada pasien hingga kepala mereka menjadi sejajar.
“Apa kau seorang dokter?” ulangi Yura tanpa mengalihkan pandangannya dari pasien.
“Bukan” ucap pria itu dingin.
Satu sudut bibir Yura tertarik ke atas, ia kembali berdiri dengan tegap. Namun matanya masih memandangi objek yang sama, “Kau ingin memutus pembuluh Vena-mu kan?” Yura berjalan melewati pasien dan berdiri di depan jendela sambil menatap jalanan yang ada di luar sana, “Kau tahu persis dimana letak Vena dan hanya orang medis-lah yang memiliki kemampuan itu. Bagaimana, apa kau masih ingin menepisnya?”.
Pria yang duduk di atas ranjang itu memperhatikan setiap pergerakan Yura. Bahkan saat mereka tidak melakukan kontak mata sekalipun, pria itu tetap melihat ke arah Yura.
“Kenapa diam?” tanya Yura menoleh padanya.
Terkejut dengan tatapan Yura padanya, pria itu lekas memalingkan wajahnya ke arah lain.
“Kenapa kau tidak membiarkanku untuk bunuh diri?” ucap pria itu membalas pertanyaan Yura dengan pertanyaan yang lain.
“Aku tidak melarangmu untuk bunuh diri” jawab Yura.
“Lalu apa itu tadi?” tanya pria itu menatap Yura.
“Aku hanya tidak ingin terlibat dalam kematianmu”
“Apa maksudmu?”
“Kau hampir mati karena kecelakaan yang di sebabkan olehku dan sekarang kau ingin bunuh diri saat kau berstatus sebagai pasienku, apa kau gila?” jelas Yura mulai emosi, “Jangan libatkan aku dalam kematianmu!”.
“Aku tidak akan menuntutmu atas kematiaku!” bantah pria itu.
“Bukan kau tapi orang tua dan keluargamu yang akan melakukannya!” jawab Yura cepat.
“Aku tidak punya orang tua ataupun keluarga!”
Hening....
Seakan di sambar petir berkekuatan ratusan ribu volt. Mulut Yura mengatup, lidahnya kelu padahal ia baru saja ingin mengatakan sesuatu. Tubuh wanita itu membeku, ia takut jika perkataannya nanti akan menyakiti hati pasiennya. ‘Pria ini yatim piatu?’, Yura menggelengkan kepalanya, ‘Tidak mungkin, ia pasti berbohong’ Yura teringat dengan kebohongan yang pria ini lakukan beberapa menit yang lalu. Jika ia bisa berbohong untuk menutupi identitasnya sebagai seorang dokter, kenapa tidak dengan keberadaan keluarga dan orang tuanya.
“Bagaimanapun juga, kau boleh mati setelah mendapatkan izin dariku!” ucap Yura segera pergi meninggalkan ruangan tersebut.
‘Tunggu dulu? Apa yang baru saja ku ucapkan tadi?’, Yura bersandar di samping pintu ruang VIP yang baru saja ia tutup. Wanita itu mengacak rambutnya pelan mengingat kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya, parahnya lagi ia mengatakan hal itu pada pasiennya sendiri. ‘Apa yang kau lakukan? Apa kau malaikat pencabut nyawa? Lalu kenapa kau mengatakan sesuatu yang tidak masuk akal?’ Wanita itu berbicara dengan dirinya sendiri. Sadar akan kekonyolannya, Yura segera berlari menuju pintu darurat. Ia terus menaiki anak tangga hingga sampai di lantai paling atas rumah sakit.
‘Yura, kenapa kau bertingkah seolah kau adalah malaikat pencabut nyawa? Kenapa juga pria itu harus meminta izinmu terlebih dahulu untuk mengakhiri hidupnya? Kau bukan malaikat maut, sadarlah Yura!’ ucap Yura pada dirinya sendiri.
Alverro terperangah dalam duduknya, posisi pria itu tidak berubah sejak kepergian dokter wanita itu dari ruangannya. Ia memandangi pergelangan tangan kirinya yang masih dibalut perban. Kejadian beberapa menit yang lalu saat wanita itu datang ke ruangan ini, saat ia merebut pisau bedah dari genggamannya dan saat mengobati lukanya, terulang dengan jelas dalam ingatannya. Seperti film lama yang di putar kembali.
“Bagaimanapun juga, kau boleh mati setelah mendapatkan izin dariku!”
Kalimat terakhir yang diucapkan wanita itu terus terdengar di telinga Alverro. Pria itu mengerutkan keningnya, alisnya bertautan merasakan sesuatu yang aneh dalam dirinya. Tangan kanan Alverro terangkat ke atas menyentuh jantungnya.
‘Apa yang salah denganku?’ tanya pria itu.
Layaknya film lama yang di putar kembali, ingatan Alverro kembali ke hari dimana ia berjumpa dengan wanita itu untuk pertama kalinya. Saat itu ia baru saja tersadar dari masa kritisnya.
“Maafkan aku,”
....
“Aku yang membuatmu menjadi seperti ini” ucapnya dengan nada bersalah.
“Wanita itu meminta maaf padaku” Alverro menyimpulkan ingatan dalam kepalanya.
“Aku sangat paham jika kau sudah bosan untuk hidup, tapi setidaknya kau harus tahu bahwa satu nyawa itu sangat berharga. Perhiasan termahal di dunia ini adalah nyawa seseorang!”
“Perhiasan termahal di dunia ini adalah nyawa seseorang!” ucap Alverro mengulangi kalimat terakhir yang wanita itu ucapkan padanya terakhir kali.
Pria penghuni ruang VIP tersebut merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Ia memandangi langit-langit rumah sakit sambil terus mengingat cuplikan kejadian dirinya selama berada di ruang perawatan ini.
“Perhiasan termahal di dunia ini adalah nyawa seseorang!” ulangnya sekali lagi.
Tanpa sadar, kedua sudut bibir Alverro terangkat naik secara bersamaan. Pria itu tersenyum melihat siluet wajah seseorang yang telah merawatnya selama seharian ini. Pikiran Alverro di penuhi oleh sosok seorang dokter yang suaranya selalu terngiang di telinganya. Malam semakin larut, namun pria itu masih terjaga dari tidurnya. Ia tertangkap sudah beberapa kali mengubah posisi tidurnya, berusaha mencari posisi tidur yang nyaman untuk segera pergi ke alam mimpi. Alverro sudah menutup matanya rapat-rapat namun ia selalu gagal, ia tidak bisa tidur. Pria itu sangat gelisah karena saat ia memejamkan kedua matanya, wajah wanita itu hadir padanya. Hal yang sama juga terjadi disaat ia membuka kedua matanya, wanita itu juga ada di dalam penglihatannya. Sosok itu sudah memenuhi dirinya dan mengganggu waktu tidurnya. Merasa serba salah dengan semua yang ia lakukan, pria itu bangun. Ia mendudukkan tubuhnya di atas ranjang. Perlahan ia menurunkan salah satu kakinya ke lantai, diikuti dengan kaki yang lainnya. Pria itu berjalan ke arah jendela dan berdiri di tempat yang sama dengan sosok wanita yang memenuhi pikirannya malam ini.
Seperti sebuah sihir, Alverro tidak menyangka jika setiap perkataan yang keluar dari mulut wanita itu mampu mempengaruhi dirinya. Terbukti dengan kegelisahannya sekarang ini, wanita itu mampu membuatnya terjaga dengan perasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. Perasaan yang bahkan tidak bisa ia jelaskan dengan mulutnya sendiri.
“Apa yang telah kau lakukan padaku? Benarkah kau hanya seseorang yang melakukan operasi pada diriku?” ucap Alverro memandangi jalanan di luar sana.
Kedua tangan pria itu berpegangan pada sisi jendela dan menopangkan tubuhnya di sana. Terlalu lama berada di dalam ruang perawatan membuat pria itu terasa seperti dikurung, ia memutuskan untuk keluar dari dalam sana dan berjalan-jalan sambil mencari udara segar. Alverro berjalan melintasi lorong rumah sakit sendirian. Pria itu terus melangkahkan kakinya melewati orang-orang di sekitarnya. Langkah Alverro terhenti di depan pintu kaca yang membatasi dirinya dengan halaman belakang rumah sakit, tangan kanan pria itu terulur untuk membuka pintu tersebut. Setelah pintu terbuka, pria itu berjalan menuju kursi panjang yang ada di tengah sana. Ia duduk di kursi tersebut sambil merasakan udara malam yang menenangkan.
“Kau di sini?”
Alverro menoleh pada seseorang yang berdiri di dekatnya. Terkejut dengan penglihatannya, pria itu salah tingkah, ia bingung harus melakukan apa. Sementara orang yang menanyainya itu langsung duduk di sampingnya.
“K-Kau belum pulang?” tanya Alverro memberanikan diri.
Seseorang yang duduk di sampingnya itu menoleh padanya, “Salah satu pasienku mencoba untuk bunuh diri jadi aku tidak bisa pulang” jawabnya.
Deg!
Alverro merasa terganggu dengan sindiran yang orang itu ucapkan padanya. Ia memandangi tangan kirinya yang dibalut perban. Pria itu baru menyadari kebodohan sikapnya beberapa saat yang lalu. Seharusnya ia tidak pernah melakukan hal sebodoh itu jika tahu harga dirinya akan diinjak-injak seperti sekarang ini.
“Apa maksudmu itu aku? Kau tadi menyindirku?” tanya Alverro menunjuk dirinya sendiri.
“Boleh aku tahu kenapa kau ingin melakukan hal sebodoh itu?”
Hening.
Bibir Alverro mengatup, ia tidak bisa mengungkapkan alasannya pada orang ini. Ia belum siap untuk menceritakan semua kisahnya dengan orang asing sepertinya.
“Apa kau kesepian?”
Seseorang yang duduk di sebelahnya itu semakin berisik dengan terus melontarkan pertanyaannya pada Alverro. Pria yang terus dilempari dengan pertanyaan itu mulai merasa risih. Mungkin akan lebih baik jika ia tetap berada di dalam kamarnya.
“Kenapa diam? Apa itu berat?”
Alverro mengangkat kepalanya, ia menatap manik hazel milik orang tersebut. Entah bagaimana seseorang ini bisa mengucapkan sesuatu yang hatinya rasakan sekarang.
“Apa itu terlihat jelas di wajahku?” Alverro membuka suaranya.
Pemilik mata hazel itu mengangguk, “Seperti seseorang yang kehilangan hasrat untuk hidup” ucapnya menatap lurus ke mata Alverro.
‘Bagaimana ia bisa merasakan apa yang aku rasakan?’ ucap Alverro heran dengan setiap kalimat yang keluar dari mulut seseorang itu. ‘Apa aku seseorang yang mudah ditebak?’ tanyanya lagi. Seseorang yang duduk di samping Alverro berdiri tiba-tiba, pria yang masih duduk di kursi itu mendongakkan kepalanya.
“Ayo masuk! Aku akan mengantarkanmu ke dalam” ucapnya menjulurkan tangannya kepada Alverro.
Pandangan Alverro turun ke tangan seseorang tersebut. Ia ragu apakah harus menerima uluran tangan ini atau tidak. Meski sedikit ragu, pria itu memberanikan dirinya untuk menggapai tangan tersebut. Sungguh di luar dugaan, Alverro merasa nyaman dengan bantuan yang orang itu berikan padanya, setidaknya ia tidak kesusahan berjalan menuju kamarnya.
“Apa kau tidak malu melakukan ini?” tanya Alverro yang berjalan dengan bertumpu pada seseorang di sebelahnya.
“Kenapa harus malu? Seorang dokter akan selalu membantu pasiennya”
Dokter dan pasiennya itu sampai di ruang VIP tempat pasiennya di rawat. Dokter itu merebahkan pasiennya ke atas ranjang dengan sangat hati-hati. Setelah pasiennya berbaring sempurna, dokter itu menarik selimut yang ada di ujung ranjang lalu memakaikannya pada pasien.
“Tidak peduli seberat apapun beban yang kau pikul, kematian bukanlah jalan keluarnya” ucap sang dokter menatap pasiennya.
“Apa kau pernah berada di posisiku?”
Dokter itu mengangguk, “Lima tahun yang lalu saat kedua orang tuaku pergi meninggalkanku dengan beban berat di kedua pundakku” jawabnya.
“Lalu siapa yang menyadarkanmu saat itu?”
“Ditinggalkan dan meninggalkan adalah dua kata yang menyakitkan. Aku memang ditinggalkan oleh kedua orang tuaku tapi aku tidak pernah meninggalkan mereka karena bagaimanapun juga mereka tetaplah orang tuaku dan keluargaku”
Setiap kalimat yang keluar dari mulut dokter tersebut selalu berhasil mempengaruhi Alverro. Kalimat itu menyelinap masuk ke dalam hatinya, membangunkan perasaan bersalah dari lubuk hatinya yang paling dalam mengingat semua yang telah ia lakukan pada keluarganya. Pria itu mendapatkan pelajaran yang berharga dari dokter yang merawatnya sekarang. Melihat dari apa yang telah dokter itu lakukan padanya selama ini, membuat Alverro sadar bahwa ia harus selalu bertanggung jawab atas semua masalah yang terjadi karena ulahnya. Alverro memandangi wajah sang dokter, ‘Terima kasih, kini aku menyadari semua kesalahan yang aku perbuat’ pandangan Alverro turun ke tag nama yang menempel di jubah dokter yang ia kenakan. Pria itu tersenyum membaca nama yang tertulis di sana. Bahagia karena bisa bertemu dengan seseorang yang baik sepertinya.214Please respect copyright.PENANAQ7z9itx3d2
“Yura Anastaya”
ns 108.162.216.26da2