Seperti boneka kayu yang bagian tubuhnya perlahan terangkat oleh benang, seperti itulah badanku dibangunkan. Lemas lesu bagaikan gelas penuh berisi air lalu dihabiskan seketika. Tanganku mengusir sekiranya kotoran pada jaket pink favoritku dengan ringan. Kulepas pita rambut, dan menggeleng cepat sebanyak empat kali, menghapus debu yang tinggal di rambut hitamku. Kini aku duduk berhadapan Tn. Chad, dipancing oleh koran dan perkataannya barusan.
“Semacam konsorsium?” Tanya Tn. Cake kemudian duduk di kursi yang berdekatan.
“Yeah, sindikat besar – besaran perdagangan gelap. Bukan hanya tak berizin resmi, mereka berpotensi pidana kriminal. Aku membicarakan penculikan, pembunuh bayaran, narkoba, dan barang selundupan. Mereka komplotan orang tolol yang menyusahkan!” Tn. Chad menggigit rokoknya dengan geram.
Well, saat kubaca koran The Times milik Tn. Chad memang masuk akal. Judul tulisan yang berterbaran bagai kerikil jalanan, musimnya panen kasus penculikan.
“Kehilangan anak semata wayangnya, 7 hari Gill Rocher, si pemilik toko perhiasan menangis tanpa henti.” Mataku menngerjap sesaat, kemudian ditarik ke bagian bawah. “Andrey Hopman, siswa SMA The Netherhall School di Queen Edith’s way tanpa kabar, Semingguan guru dan orang tua ketar – ketir!”
Tn. Cake menoleh ke arahku. “Sebanyak itu?” Katanya menghadap Tn. Chad. “Bukankah sudah saatnya polisi segera mengencangkan ikat pinggangnya?”
“Fuh…” Ucap Tn. Chad setelah menghembuskan asap nikotin ke atas. “Kalau menyelesaikan kasus semudah menyalakan sumbu petasan, lain cerita. Masalahnya kami harus mulai dari mana?”
“Anda sudah interogasi lengkap ke pihak yang berhubungan, Tn. Chad?” tanyaku padanya.
“Well, tentu saja, kami mengikuti prosedur, Feline. Tapi kami yakin kalau informasi itu cukup seperti yang dibutuhkan,” tambahnya mengangguk cepat singkat. “Hasilnya? Nihil. Kebanyakan dari mereka tipikal menyalahkan polisi yang bekerja tak becus.”
Mendengar itu aku hanya tersenyum kecil. Tapi tidak bisa dikatakan salah pada pihak yang menelan dampak kerugian, lagipula mereka membayar pajak juga.
“Mereka, komplotan itu, tidak tolol seperti yang anda katakan, Tn. Chad. Mereka hanya seperti landak yang ingin anda makan. Memegangnya saja sudah berdarah – darah, apalagi mengulitinya? Lagipula jangan mencari musuh yang anda belum tahu latar belakangnya, Tn. Chad?”
.
“Heh, kata – kata itu seringkali menyentil kupingku.” Ia mengerjapkan mata sambil tersenyum tipis.
.
Kemudian, tidak ada percakapan lagi setelah lima menit. Tn. Chad hanya ingin bersantai. Menghabiskan secangkir kopi sambil mengebul rokoknya dua batang, Tn. Cake merobohkan separuh tubuhnya tengkurap di meja, sedangkan kakinya memijak lantai. Aku bersandar, menyapa langit – langit lalu membayangkan.
.
“Apa sebahaya itu?” pikirku dengan ringan.
Sementara itu…
Dua rokok itu kini menjadi abu, Tn. Chad hendak mengemasi korannya.
“Saya tidak ingin ikut campur,” ucap Tn. Cake tiba – tiba saat Tn. Chad hendak beranjak dari kursinya.
“Kami bisa pertimbangkan uang mahal-“ balasnya tak selesai sebelum disela.
“Bukan soal uang. Pria sederhana sepertiku berhak hidup dengan tenang,” sela Tn. Cake masih tengkurap di meja.
Aku merasakan hawa canggung. Seakan tiupan angin menyela terowongan fentilasi, bergulir sesaat sebelum tempat ini diisi hening. Nada Tn. Cake yang tidak terasa dibuat main – main, terjawab sudah pertanyaan di pikiran mengambangku tadi.
Tanpa membalas, ia meninggalkan koin untuk secangkir kopi di meja. Lalu menyapaku dengan senyuman sedikit dipaksakan, sebelum menjauh.
“Bila saya menemui kasus yang berhubungan, akan saya beri kabar.”
“Itu juga tidak masalah, Cake.” Balasnya lalu pergi.
Setelah itu berniat untuk tidur lebih awal agar paginya bisa menonton berita di TV. Berkaca dari hal serius tadi, instingku merasa akan terjadi suatu kasus yang dikerjakan Tn. Cake. Mumpung Tn. Cake kurang termotivasi, aku sebaiknya mengisi informasi sebanyak – banyaknya.
***
Minggu, adalah hari favorit bagi siapapun.
Tepatnya hari itu adalah hari libur, waktu manusia menjadi dirinya sendiri. Berbelanja, bermain game, atau bergelimpangan di kasur seperti sapi kekenyangan. Sebuah unek – unek murni yang sebenarnya ingin mereka sampaikan. Bukan dalam bentuk perkataan, namun aktivitas praktis jauh dari rutinitas keseharian bak menjenuhkan.
Dan lagi, inginnya berkata demikian…
Hari yang kunantikan sebenarnya sirna ditelan kesialan. Tn. Cake yang membisu dan membuka selembar koran. Aku mengira – ngira, entah itu berkaitan dengan yang Tn. Chad perbincangkan. Atau bisa juga kebodohan yang kulakukan.
“Tn. Cake? Mau saya buatkan tisane?” tanyaku sambil mengetuk pintu ruang kecil kantornya. Karena itu sudah panggilan yang ketiga, tanganku sudah tak peduli bila disebut lancang. Hanya suara halaman koran dibuka yang membalas di telingaku.
“Tn. Cake?”
Pria itu tampak tak bergeming, bahkan lampu baca masih menyala seharian waktu. Posisinya mematung bagai es beku, tangannya dilipat dijadikan sandaran dagu. Koran yang pagi – pagi sekali mendahului jam bangunku di hari minggu, enam lebih dua puluh satu.
Aku melewati pinggiran meja lalu membelakanginya, kemudian membuka tirai jendela yang sinarnya surga Vitamin D. Kuputar tubuhku, kucuri pandangannya.
“Geh… saya kira apa, ternyata anda hanya malas – malasan,” ungkapku kecewa saat koran the guardian dibukanya bagian properti.
“Eh? Memangnya tak boleh?” Mata malasnya fokus tak memandangku sambil membalikkan halaman berikutnya. “Oh, tadi kamu bilang mau buatkan aku teh? Itu sangat membantu, tolong,”
Suara lesu sampai roman mukanya yang tak bersemangat itu lumayan membuatku geram. Kata – katanya kemarin seakan tercemin hari ini. Sama sekali tidak mendidihkan jiwanya.
“Anda harusnya lebih bersiap -siap!” protesku.
Perlahan kepalanya dijatuhkan ke meja, lalu menghadapku, “Mengapa? Ini kan minggu? Lagipula nanti kita akan buat selai, kan?”
“Kesampingkan hal yang memang sudah jadi rutinitas kita, bukannya kita kemarin mendengar banyak kasus penculikan?”
“Hm…” Telunjuknya digerak -gerakkan pada ujung koran. “lalu?”
Ia sama sekali tak meladeniku, kantong matanya punya kantong mata lagi, sementara bola matanya agak memerah sayu – sayu.
“Berhenti bercanda, Tn. Cake!” Kedua tanganku menghentakan mejanya dengan ringan. “Bukankah saatnya kita mengintai, memperhatikan dari jauh, atau mewawancari seseorang?”
“Mengintai dan memperhatikan dari jauh sama saja.” Balasnya menguap lalu menggunakan koran sebagai penutup kepalanya. “Kau sepertinya salah sangka. Barangkali kau sengaja nonton berita agar punya pasokan informasi lebih banyak, kan? Sayang sekali aku tidak tertarik saat ini.”
Tangan kanannya berdiri lalu digerakkan seakan ia mengusirku.
“Eh? Kok anda bisa tahu?” Wajahku mendekatinya seakan penyakit umumku kambuh, penyakit rasa penasaran.
Tanpa sedikitpun memandangku, kini jari kanan Tn. Cake dibuat menyerupai pistol, memencet – mencet pipiku.
“Sudahlah, kau banyak tanya! Cepat buatkan tisane, barangkali nanti kau dapat sepatah dua patah?” Suaranya bagai anak manja yang malas sekolah, pencetan itu semakin lama semakin cepat dan menyakitkan.
“Aduduh! Baiklah, baiklah!” Rintihku lalu segera mengindar dan mengabulkan keinginannya.
“Charmomile, kan?” tanyaku.
“Apalagi? Aku tak punya selain itu.”
Hatiku jengkel, bahkan lekas kupalingkan wajahku sambil sengaja menghentakan kaki dengan keras. Tn. Cake memang seperti anak kecil.
“Oh benar juga. Rasanya sudah penuh. Tolong ambilkan isi kotak surat di belakang,” katanya padaku saat hendak selangkah keluar dari kantor kecilnya.
“Huh? Bukannya tadi anda ambil koran pa-“ kataku terhenti saat tangannya digerakkan dengan maksud mengusirku lagi.
Mataku agak berkedut sebelah, darahku berdesir kencang seakan mau tumpah. Berpuluh – puluh kata mengutuk dan menghina mengendap di otakku. Masalahnya kalau dirinya ambil koran, seharusnya sekalian ambil seluruh surat – surat itu.
Eh, tunggu sebentar? Jadi itu maksudnya ia merasa sudah penuh? Tn. Cake ternyata menguji kesabaranku. Dari awal ia memang mengusiliku. Amarahku tak padam.
Kubuka pintu belakang, kotak surat itu pas ada di samping kiri.
“Huh! Apanya yang detektif? Pemalas berkedok tukang roti!” ocehku sendiri sambil memutar kunci kotak surat.
Saat dibuka, ternyata memang ada banyak isinya. Lagi – lagi rasa penasaranku kambuh.
“Ini tidak seperti aku penguntit, tapi karena o-orang itu tak mau berbagi!” kataku hampir membuka isi surat itu.
Ada sekitar delapan surat dengan beberapa alamat berbeda. Namun aku merasa masih ada satu yang belum terambil. Segera aku mendongak ke dalam kotak surat itu.
“Eh, kado hitam?” pikirku.
ns3.142.97.186da2