Dua jam berlalu…
Mobil jepang warna hitam yang berangkat dari Norham Gardens telah sampai di depan toko. Kami pun telah meyelesaikan restock selai pada kue. Demi menjaga kualitas, selai kami buat sendiri tanpa membeli partai.
Kami tanpa membuang waktu, segera mengunci tempat lalu masuk ke mobil.
“Halo, halo, halo~” Egremont menyapa semringah saat pintu mobil dibuka.
“Bukannya ini libur? Kenapa dirimu pakai jas formal?” tanyaku padanya.
Rambutnya yang pendek disisir ke belakang menyerupai gaya quiff pria, tak ada yang berubah dari Egremont selain mobilnya yang lebih terawat.
“Entahlah, aku merasa lebih cocok.” Ia memandang spion tengah. “Well, kita akan kemana?”
“3 Westfield, Blean Canterbury,” tambah Tn. Cake. “Jika itu mungkin, ambilah rute yang paling mudah.”
Mesin mobil telah dinyalakan, Honey Egremont menginjak pedal gas mobil sebagai jawabannya. Aku menyarankan untuk menyetir tidak terlalu kencang dan tetap konstan.
Sepintas, kepalaku mengeluarkan bohlam, “Oh ya, Tn. Cake, di surat itu kenapa tak tertulis alamat pengiriman paket?”
“Hematku masih praduga, Feline. Tapi kata ‘mengirim paket’ dan ‘pada alamat yang nanti tertera di bawah’ lalu ditimpali dengan ‘ibu dan ayah menunggu di’ bisa diasumsikan adalah satu penunjuk. Dengan kata lain, sebenarnya alamat pengiriman itu mengacu pada Portpatrick,” jelas Tn. Cake yang dari awal hingga naik mobil memandang serius surat itu.
Diinjaklah rem mobil pada pertigaan jalan Newnham, lampu lalu lintas berganti merah.
“Tn. Monkey, sini pinjam surat itu,”
“Huss, Honey! Panggilnya yang sopan!”
Tn. Cake menyerahkan surat itu padanya.
“Tak apa, dulu aku panggilnya begitu, kok!”
Diperhatikannya lampu ternyata masih merah, Egremont curi – curi pandangan ke surat tersebut. Sekitar semenit, itu dikembalikan kembali, mobil yang kami tumpangai bergerak.
“Tak bisakah dikatakan iseng saja, huh?” ia memandang Tn. Cake yang menolak mentah - mentah, lewat spion tengah. “Sudah kuduga, pasti begitu.”
.
.
-----------------------30 MINUTES LATER--------------------------
Kini Tn. Cake memasukkan surat itu pada jasnya. Alih – alih tersenyum seperti biasanya, ia malah membenamkan diri pada sofa mobil sambil memejamkan mata. Kurasa permasalahan ini lebih rumit dari sebelum – sebelumnya.
“Tn. Cake, apa itu route 54B?” tanyaku tiba – tiba penasaran dengan yang dirisaukan Tn. Chad kemarin.
“Kenapa memangnya?”
“Saya hanya penasaran kira – kira kasus ini ada hubungannya atau tidak,” kataku agak memohon.
“Mari berharap tidak,” balasnya singkat lalu kembali memejamkan matanya lagi. Ia tampak tak ingin membicarakan hal itu.
“Apa masalahnya?” Egremont ikut penasaran.
Sambil mengisi perbincangan, aku menceritakan singkat mengenai Route 54B, sesuai yang dikatakan Tn. Chad.
“Hm? Aku tidak kaget soal itu. Dulu saat masih supir taksi lepas, banyak pelangganku melarang untuk pergi ke tempat dan pada jam tertentu. Khususnya gang – gang sempit yang gelap.”
“Eh? Di mana itu? Lalu apa yang kau lakukan?” tanyaku pada Egremont penasaran.
Ia menghela nafas, “Di tengah kota manapun, telingaku selalu dipenuhi obrolan semacam itu yang intinya untuk sering memperhatikan waktu dan tempat. Well, pada dasarnya hidupku susah, jadi perkataan mereka, kuanggap angin lewat. Tidak bekerja berarti tidak makan. Malam itu hujannya deras di bundaran Swanwell, Coventry, dua orang bermantel dan kacamata hitam membawa koper berlari panik, terlihat dari kaca depan. Kupikir setelah melewati jalur lebar Swanwell bertemu kota kecil. Tiba – tiba, mereka menghadang di tengah jalan sambil menodongkan pistol. Belum sempat ditarik pelatuknya. Untungnya tak berniat merampok mobilku, namun pistol itu masih mengancamku dari belakang kursi penumpang. Sesuai suruhan, setengah jam mobilku menuju Hinckley. Tepat pada pertigaan jalan Hollycroft, mereka turun lalu memberiku seratus pounds. Entah itu sial atau untung. Tapi semenjak itu, aku mulai mempertimbangkan waktu dan tempat beroperasiku.”
“Itu nyaris saja, Honey.” Ucapku prihatin.
“Yeah, aku tak berharap yang keduakalinya..” Tengoknya padaku lewat spion tengah.
“Kejadiannya kapan?” Mulut Tn. Cake akhirnya angkat bicara.
“Huh? Setidaknya dua tahun yang lalu.”
“Ada lagi yang kau ingat?”
Egremont menjelaskan bahwa dirinya sedikit mengingat bahwa kedua orang tersebut seperti sedang ketakutan dan terburu - buru. Salah satu dari mereka bilang ingin liburan setelah selesai masalah itu. Satunya lagi mengatakan, kurang lebihnya menurut Egremont, setelah paket itu diterima sebaiknya menyewa tempat paling terisolasi di inggris.
.
Obrolan itu kian seru,. Kendaraan roda empat kami mengambil laju putar Whitstable lalu belok ke kanan mengikuti palang jalan yang tertulis ‘M2, Canterbury A290, Blean’. Daripada pembicaraan yang mendalam, di sinilah pemandangan lebih menarik.
.
Memasuki wilayah Clapham Hill, deretan pepohonan dan perumahan tipe luas. Menurut hemat Tn. Cake, kawasan Whitstable merupakan salah satu tempat santai yang tenang namun masih bernuansa alam. Tidak seperti perumahan di wilayah kami, Cambridge, berderet seakan risih dan dipaksakan. Mereka berdiri megah, halaman luas, teras nyaman dan beberapa memakai pagar rerumputan. Wisata di dalam rumah sendiri, pikirku.
Dalam beberapa kilometer terlewati, masih terlihat sapuan padang hijau kosong melompong. Sebuah palang kuning menatap kami dengan cepat, tanda bahwa Clapham Hill dan tempat berikutnya masih punya potensi bagi developer, Peach Hill dan Honey Hill
Mata kami berkilat emas, sama – sama mendongak luar kaca mobil seisi jalan. Peach hill terlihat beberapa struktur bangunan yang lebih kecil dari sebelumnya, Clapham hill, meski tanahnya masih tergolong sama lebarnya.
Lebih dalam hingga masuk ke Honey hill, beberapa vila dan penginapan terlihat. Masih berkonsep alam, pepohonan rimbun bak replika hutan. Fasadnya terlihat lebih menarik. Salah satunya atap yang lebar hingga menyentuh tanah, kurang lebih itu yang bisa kukatakan.
Dalam perjalanan yang tak terasa kehilangan satu setengah jam, akhirnya kami masuk wilayah Blean. Pemukiman mulai lebih ramai, dengan arsitektur tembok menggunakan blok bata merah, dua tingkat.
Egremont membanting stir ke kanan, masuk ke gang perumahan, “Nomor tiga harusnya di deret paling depan.”
Kedua mataku dipicingkan, menelisik luar jendela kiri. Papan coklat kecil menyapaku perlahan, untung tulisannya dibuat warna putih.
“Ah, itu sebelah rumah yang mobil merahnya di parkir.” Tunjukku.
“Aku baru ingat, surat yang tadi, apa kita nanti blak – blakan? Atau mengendap – endap?” Tanya Egremont pada Tn. Cake sambil menarik rem mobilnya.
“Eh, maksudnya?” tanyaku bingung.
“Bilang kalau kita salah satu investor Tn. Jeph.” Kata Tn. Cake yang merapikan jas dan dasi kupu – kupunya.
Oh jadi ini artinya ia memakai pakaian rapi sedari pagi? Tapi kenapa harus berbelit – belit? Pikirku.
“Itu loh, tertulis ‘tidak membukakan pintu pada siapapun’. Bukannya itu terdengar gawat?”
“Um… setelah dipikir – pikir memang benar.” Aku mengangguk setuju.
Tn. Cake segera membuka pintu mobil, “Bersiaplah, kalian berdua.”
Otakku merangsang setengah paham, ini akan lebih mudah bila mengikuti Tn. Cake.
Berjalan di atas jalan setapak bertekstur batu -batuan, kiri kanannya adalah rumput hijau mirip lapangan sepak bula.
Setelah kami membunyikan bel, dua orang bermuka sedikit arogan menghadap.
“Ada perlu apa?” keluar dari mulut wanita sekitar lima puluh tahunan memakai baju pembantu celemek putih agak menyentak.
Sementara pria di sebelahnya, berwajah kisut menebal alisnya lancip ke bawah, mulutnya mengunyah permen karet seakan hendak mengutuk kehadiran kami.
ns 172.69.7.18da2