
1971Please respect copyright.PENANAT7jKTKRKoD
Di pagi yang cerah, Kampung Angin kedatangan seorang pemuda yang sudah lama tak terlihat. Dani, pria yang dulu tumbuh besar di desa ini, akhirnya kembali setelah menyelesaikan kuliahnya di ibu kota. Dengan langkah santai dan senyum hangat, ia melangkah melewati jalanan desa yang sudah lama ia tinggalkan.
1971Please respect copyright.PENANAYm8oWuOP9P
Begitu melihatnya, para warga langsung menyambutnya dengan antusias. "Dani! Sudah lama sekali kau tak pulang!" seru seorang bapak tua di warung kopi. Para ibu-ibu yang sedang berkumpul pun ikut menyapa, mengingat betapa anak itu dulu sering membantu mereka sebelum pergi merantau.
1971Please respect copyright.PENANAhfpFdUipoO
Dani menyambut semua sapaan itu dengan ramah. Ia memang bukan orang asing di sini—namanya dikenal sebagai pemuda yang baik hati dan suka membantu. Warga bangga melihatnya kembali setelah menuntaskan pendidikan, meskipun ada juga yang bertanya-tanya, mengapa ia memilih kembali ke desa setelah kuliah di kota besar?
1971Please respect copyright.PENANAVVTt54Vj5G
Namun, Dani hanya tersenyum setiap kali ditanya. Ia punya alasan tersendiri untuk kembali ke tempat yang membesarkannya. Sebuah alasan yang mungkin belum disadarinya sepenuhnya.
-----------------------------------------
1971Please respect copyright.PENANAX1iePv3BOw
Sejak kepulangannya, Dani tak hanya berdiam diri. Ia mulai ikut andil dalam berbagai kegiatan desa, membantu memajukan pertanian dan memberi ide-ide baru untuk meningkatkan kesejahteraan warga. Kehadirannya perlahan membawa perubahan—dan tanpa disadari, membawa dirinya lebih dekat dengan seseorang yang tak pernah ia duga sebelumnya.
1971Please respect copyright.PENANAux8gFi3M39
Hari itu, Dani mendapat tugas dari ibunya untuk membeli banyak barang kebutuhan di warung desa. Dengan santai, ia berjalan menuju warung kecil di ujung jalan, tak menyangka bahwa warung itu kini dikelola oleh seseorang yang sudah berubah.
1971Please respect copyright.PENANACmuOJPtj5R
Saat ia mendorong pintu kayu warung dan masuk, suara tegas langsung menyambutnya.
1971Please respect copyright.PENANAT9d5bSI2kb
"Mau beli apa? Cepat bilang, jangan melamun di depan pintu!"
1971Please respect copyright.PENANAlDe40FOJOt
Dani tersentak, kaget mendengar nada ketus itu. Ia menoleh dan menemukan Rina, sosok yang dulu ia kenal sebagai wanita lembut, kini berdiri di balik meja kasir dengan tatapan tajam. Ia mengenali wajah itu, tapi auranya kini berbeda—lebih keras, lebih berwibawa, lebih… galak.
1971Please respect copyright.PENANAfkYjh2BhVX
"Bu Rina?" Dani mengerjap, berusaha memastikan penglihatannya.
1971Please respect copyright.PENANAe30f2uQCHQ
"Siapa lagi? Hantu?" Rina menyilangkan tangan di dada. "Kamu Dani, kan? Anak Bu Siti. Sudah gede ternyata."
1971Please respect copyright.PENANA7Bf7zjrNXy
Dani mengangguk, masih agak terkejut. "Iya, Bu. Lama nggak pulang. Dulu warung ini bukan punya Bu Rina, ya?"
1971Please respect copyright.PENANAss35rEd6xY
"Dulu lain, sekarang lain." Rina menyodorkan kantong plastik kosong. "Mau beli apa? Cepat daftar belanjaannya. Saya nggak punya waktu untuk orang yang cuma berdiri bengong."
1971Please respect copyright.PENANAvckqKCmxv7
Dani terkekeh kecil, kini mulai paham. "Wah, Bu Rina sekarang galak, ya."
1971Please respect copyright.PENANAaYYZCatRvH
Rina mendelik. "Kenapa? Nggak boleh? Mau saya usir sekalian?"
1971Please respect copyright.PENANAa4sHgUi1U7
Dani mengangkat tangan menyerah. "Bukan gitu, Bu. Cuma… beda aja dari dulu."
1971Please respect copyright.PENANAD9edMzCYkX
Rina mendengus, lalu mulai mengambil barang-barang yang Dani sebutkan. Namun, di dalam hatinya, ada perasaan aneh yang muncul. Dani yang dulu bocah kecil, kini sudah jadi pria dewasa. Dan entah kenapa, meskipun ia tetap ingin galak, ada sesuatu yang mengusik hatinya.
1971Please respect copyright.PENANAGNWMqRdsIM
Sementara Dani, meski sempat terkejut, akhirnya hanya bisa tersenyum. Rina memang berubah—tapi mungkin, itu bukan hal yang buruk.
1971Please respect copyright.PENANAwWrTH7PZ8j
Saat Dani melangkah pergi, suara lonceng kecil di atas pintu warung berbunyi pelan. Rina masih berdiri di balik meja, matanya tanpa sadar mengikuti punggung pemuda itu yang semakin menjauh.
1971Please respect copyright.PENANAT1n97llZkQ
Ada sesuatu yang menyesak di dadanya. Rasa bersalah. Bukan karena ia galak—tapi karena ia merasa tak seharusnya bersikap seperti itu kepada Dani.
1971Please respect copyright.PENANArIN5mFsdww
Matanya melirik ke meja kayu di depannya. Ada gelas teh yang sejak tadi belum ia sentuh. Teh yang tadi masih mengepul, kini sudah dingin. Seperti hatinya yang tiba-tiba terasa kosong.
1971Please respect copyright.PENANAEA6IsiEXiN
Ia menghela napas panjang. Angin sore berhembus pelan dari jendela warung, mengibarkan tirai tipis berwarna krem. Seakan membawa sesuatu yang tak terlihat—sebuah perasaan yang belum bisa ia pahami sepenuhnya.
1971Please respect copyright.PENANAa5e7AizpW8
Dani sudah pergi, tapi bayangan wajahnya masih tertinggal di dalam kepala Rina.
------------------------------
1971Please respect copyright.PENANAH2fg7blKhl
Sejak pertemuan pertama itu, Dani semakin sering datang ke warung Rina. Bukan karena ia sengaja, tapi karena ibunya kini kerap menyuruhnya membeli berbagai keperluan untuk arisan, masakan, atau sekadar titipan ibu-ibu lain.
1971Please respect copyright.PENANAqjIBjFjjEm
Awalnya, Rina tetap bersikap ketus setiap kali Dani datang. Namun, perlahan, ia mulai mengubah nada bicaranya. Tidak lagi terlalu kasar, meskipun masih berusaha menunjukkan sikap acuh.
1971Please respect copyright.PENANAExaqHQxJuJ
"Beli lagi? Emangnya di rumah nggak ada makanan?" gumam Rina suatu hari saat Dani datang lagi.
1971Please respect copyright.PENANAnJuuIdlGOT
Dani hanya terkekeh. "Ibu saya sibuk, jadi saya disuruh beli ini itu. Kalau merepotkan, saya bisa ke warung lain, Bu."
1971Please respect copyright.PENANArLLMHwm7N5
Rina meliriknya tajam. "Siapa yang bilang kamu merepotkan? Kalau mau beli, ya beli aja. Nggak usah banyak omong."
1971Please respect copyright.PENANAhRqhr75RP9
Dani tersenyum, menerima kantong belanjaan dengan santai. Ia bisa merasakan perubahan dalam sikap Rina. Meski masih berusaha keras terlihat dingin, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan dan cara bicaranya.
1971Please respect copyright.PENANA4RCuSM6HJK
Di sisi lain, Rina sendiri mulai merasa aneh. Kenapa setiap kali Dani datang, dadanya terasa sedikit lebih hangat? Namun, ia tetap memaksa dirinya untuk bersikap biasa saja.
1971Please respect copyright.PENANAke1iMvme7a
Hari demi hari berlalu, dan Dani tetap menjadi pelanggan setia warungnya—meski bukan atas kehendaknya sendiri. Ia selalu datang dengan alasan titipan ibunya, tetapi dalam hati, ia tidak keberatan.
1971Please respect copyright.PENANAl2soMBEYwE
Sementara itu, Rina mulai menyadari sesuatu. Ia memang masih galak, masih berusaha menjaga jarak, tapi… entah kenapa, saat Dani pergi, warungnya terasa lebih sepi dari biasanya.
-------------------------------
1971Please respect copyright.PENANAm1bS7l785r
Saat Dani sedang memilih sayur yang disuruh ibunya, tiba-tiba Rina keluar dari dalam rumah dengan wajah sedikit panik.
1971Please respect copyright.PENANAykeWWSN74g
"Dani! Kamu bisa cek listrik nggak?" tanyanya cepat, suaranya terdengar lebih mendesak dari biasanya.
1971Please respect copyright.PENANAyGHcxmSeqt
Dani menghentikan tangannya yang sedang memilah tomat. "Kenapa, Bu?"
1971Please respect copyright.PENANAfPuNTNU1F9
"Listrik di rumah saya kayaknya konslet. Tadi sempat mati sendiri, terus nyala lagi. Saya takut ada yang korsleting."
1971Please respect copyright.PENANAMBJE469nAf
Dani langsung meletakkan sayurannya. "Wah, itu bahaya, Bu. Coba saya cek dulu."
1971Please respect copyright.PENANAo52VeqBE9W
Dengan langkah cepat, ia masuk ke dalam rumah Rina yang menyatu dengan warung. Begitu melihat panel listriknya, Dani bisa langsung menebak masalahnya. Kabel-kabel di rumah ini sudah usang, beberapa terlihat menghitam karena sering terkena arus berlebih.
1971Please respect copyright.PENANAQj40uJuXZz
"Bu Rina, ini harus diganti, kabelnya udah tua. Bisa bahaya kalau dibiarkan."
1971Please respect copyright.PENANAaGuK1A112z
Rina menghela napas, terlihat sedikit cemas. "Aduh… saya nggak ngerti soal ginian. Bisa kamu benerin nggak, Dani?"
1971Please respect copyright.PENANAul3ugpvYPc
Dani mengangguk. "Saya ambil perkakas dulu di rumah. Tunggu sebentar!"
1971Please respect copyright.PENANAgSk6Obc871
Tanpa menunda waktu, Dani langsung pulang untuk mengambil peralatan listrik yang ia simpan. Beberapa saat kemudian, ia kembali dengan gulungan kabel baru dan peralatan lain.
1971Please respect copyright.PENANAKRYrLXkCCo
Dengan cekatan, Dani mulai bekerja. Ia melepas kabel lama, mengganti dengan yang baru, dan memastikan semua sambungan aman. Tangannya terampil, sesekali ia mengusap keringat di dahinya. Rina, yang biasanya hanya galak, kini berdiri agak canggung di dekat pintu, melihat Dani bekerja tanpa banyak bicara.
1971Please respect copyright.PENANAUlGlaa7ny0
Di dalam hatinya, ia merasa sedikit aneh melihat Dani begitu serius dan terampil dalam pekerjaannya.
1971Please respect copyright.PENANAeLsgSgB1z9
Setelah selesai memperbaiki listrik, Dani menghela napas lega. "Udah beres, Bu. Sekarang harusnya nggak ada masalah lagi."
1971Please respect copyright.PENANACkURvvt6Ro
Rina, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya tersenyum kecil. "Terima kasih, Dani. Kamu emang bisa diandalkan."
1971Please respect copyright.PENANAQES8cqJy4x
Dani hanya tertawa ringan. "Sama-sama, Bu. Untung nggak sampai korslet besar."
1971Please respect copyright.PENANAVSAyCz7P7s
Tanpa banyak bicara, Rina masuk ke dalam dan kembali dengan beberapa lembar uang. Ia menyodorkannya ke Dani. "Ini upahnya. Kamu udah nolongin saya."
1971Please respect copyright.PENANAvObYElDDlD
Dani menatap uang itu sejenak, lalu menerimanya dengan senyum santai. "Wah, rezeki nomplok, nih. Makasih, Bu Rina!"
1971Please respect copyright.PENANAlDTQ65eBJZ
Setelah itu, ia kembali ke warung untuk melanjutkan belanjaannya. Tangannya cekatan memilih sayuran yang tadi sempat tertunda. Setelah semuanya terkumpul, ia berjalan ke meja kasir dan merogoh dompetnya.
1971Please respect copyright.PENANAhKWdDX8l3m
"Berapa semuanya, Bu?" tanyanya sambil bersiap membayar.
1971Please respect copyright.PENANAwy7r7UkDEv
Namun, yang tak ia sangka, Rina justru menggeleng sambil tersenyum tipis.
1971Please respect copyright.PENANA9tLbKftqwL
"Gratis. Anggap aja bonus karena udah nolongin saya."
1971Please respect copyright.PENANAA8mg0HrWvM
Dani mengerjap, agak terkejut. "Hah? Beneran, Bu?"
1971Please respect copyright.PENANAbi7YZK9SMi
"Saya kelihatan bercanda?" Rina menyilangkan tangan di dada, tapi kali ini tidak dengan ketus. Ada ekspresi berbeda di wajahnya—lebih lembut, lebih tulus.
1971Please respect copyright.PENANAfxcFrg3H3W
Dani tersenyum lebar. "Kalau gitu, terima kasih banyak, Bu Rina! Saya pamit dulu, ya."
1971Please respect copyright.PENANAIxgMFxTimA
Dengan langkah ringan, Dani keluar dari warung, meninggalkan aroma kehadirannya yang masih terasa di ruangan.
1971Please respect copyright.PENANA7Cp2FJ94OJ
Rina menatap punggungnya yang semakin menjauh, dan tanpa sadar, dadanya terasa hangat—seperti ada sesuatu yang perlahan mencair di dalam sana.
1971Please respect copyright.PENANA3KQAW8fcum
Angin sore bertiup pelan, mengelus pipinya dengan lembut, seolah membisikkan sesuatu yang tak bisa ia abaikan. Matanya terus mengikuti langkah Dani, sampai pemuda itu benar-benar hilang di tikungan jalan.
1971Please respect copyright.PENANAeRycjUOA8k
Sebuah senyum kecil muncul di sudut bibirnya—senyum yang bahkan tak ia sadari.
1971Please respect copyright.PENANAx1AFwEwzys
Hati Rina bergetar. Ada sesuatu yang baru tumbuh di sana.
1971Please respect copyright.PENANAZPgL6e9Ias
Sebuah perasaan yang lama ia kubur dalam-dalam… kini mulai bangkit kembali.
1971Please respect copyright.PENANABjNuLDglao