2298Please respect copyright.PENANAPh7NzSa64u
I
Hari itu adalah hari yang membuatku lelah dan menjengkelkan.Perkenalkan aku adalah seorang pegawai rendahan.Yang hari – hari selalu dibayangi dengan tidak keluarnya gaji untuk pegawai rendahan.Presiden dalam suatu pidato awal tahunnya menyatakan bahwa Negara defisit.Menurutku ini adalah suatu akal – akalan pemerintah saja.Kadang seorang penguasa perlu sekali – kali menakut – nakuti rakyatnya.Memang saat sekarang tenaga honorer seperti tidak berguna di mata pemerintah.Honorer bekerja diancam dengan tidak ada gaji.Cuaca Karimun saat itu terik. Aku ditelepon oleh kakakku dari Jakarta yang mengabarkan bahwa ibuku mengalami sakit yang cukup serius dan sudah mulai tidak sadarkan diri,sehingga harus ditangani secara intensif di rumah sakit umum daerah. Mula – mula aku risau dan penuh kebingungan. Dalam pikiranku terbayang : ibuku. Kemudian : uang. Bagaimana aku dapat uang untuk biaya perjalananku.Kebingungan ini membuat aku harus keliling pulau Karimun mencari kawan – kawan dan hutang.
Waktu itu Karimun sangat panas, musim kemarau melanda seluruh pulau. Jalanan dipenuhi debu – debu mobil yang memburamkan pandanganku saat naik motor.Kadang aku berkhayal. Ya sekiranya punya mobil-sekiranya, mukaku mungkin tidak akan kusam seperti ini dan aku tidak membutuhkan helm bututku lagi. Dalam benakku mungkin orang yang punya mobil tidak akan sesulit aku. Saat di jalan aku terpikir andaikan aku seorang gubernur, bupati atau staf eselon tinggi, Aku akan pragmatis saja, tinggal telpon semua beres, uang tidak masalah. Bahkan saat engkau mengantri di imigrasi untuk membuat passport yang katanya formulirnya dibatasi 40 per hari, jika engkau seorang gubernur ataupun bupati, bahkan pejabat eselon, maka engkau tidak perlu berkeringat untuk mengantri formulir itu.Tapi jika engkau ingin mengantri formulir permohonan passport namun engkau bukan seorang pejabat, maka engkau harus siap – siap untuk berkeringat mengantri sambil berharap formulir tidak habis. Seorang pejabat memang seorang yang sangat pragmatis. Jika sekiranya engkau seorang gubernur anggaplah ada adik engkau yang sakit dan harus berangkat ke kota A atau kota B, maka semuanya sudah tersedia dan engkau bisa segera menjenguknya. Bagi aku untuk pergi ke Jakarta menjenguk ibuku yang sakit keras, aku harus mencari hutang, lantaran gaji honorerku tidak keluar akibat keputusan pemerintah Alangkah tidak adilnya hidup bagiku.Sangat tidak berperikemanusiaan.
Bayangkan oleh engkau semua, aku adalah seorang pegawai honorer rendahan yang bergaji kecil sekadar untuk bernafas saja, alangkah sulitnya minta izin pada atasan. Para atasan memang kadang merasa hebat jika mampu melarang bawahannya untuk minta izin, beda halnya jika dia ingin keluar sesuka hati saja dia keluar.
Ini adalah keluhanku saja dalam hati.Demokrasi memang terlihat indah, engkau boleh jadi presiden, engkau boleh memiliki pekerjaan yang engkau sukai.Sistem demokrasi memang membuat engkau tidak perlu menjadi penjilat atasanmu, kemudian menjadi seorang hamba dari seorang pejabat.Ini adalah kehebatan demokrasi.Engkau boleh berkata apapun sesuka hatimu asal masih dalam batas hukum. Tapi jika engkau tidak punya uang, maka engkau akan sengsara. Di Negara demokrasi engkau boleh membeli barang yang engkau suka, namun jika engkau tidak mempunyai uang maka engkau hanya boleh menyaksikan barang yang engkau inginkan.Ini juga semacam kehebatan demokrasi.
Semua ini hanya menyempitkan dadaku saja.Sehabis Isya aku mendapat hutangan dari kawanku.Uang hutanganku telah ada di sakuku.Hutang merupakan suatu budi juga dalam hal seseorang yang sedang mendapat kesulitan.
Hutang!presiden!gubernur!Menteri!pejabat!penyakit! dan mobil!keringat dan debu tahi kambing semuanya. Teriakku dalam hati.
2298Please respect copyright.PENANA3RNYEfgKI6
II
2298Please respect copyright.PENANAF7sLtMvtcz
Jam Sembilan malam, aku pulang istri menyambutku dengan penuh hangat, walau aku yakin dia juga risau dengan keadaan ekonomi keluarga. Aku yakin karena tatapan matanya mengisyaratkan betapa sulit kehidupan saat ini.Hanya saja istriku masih memberikan senyuman manisnya yang khas kepadaku senyuman yang membuatku yakin untuk mendapatkan cintanya saat masih muda.Dia mencoba sabar.Dia dengan cekatan mempersiapkan segala keperluanku selama di Jakarta.Aku memang memahami bahwa penyakit diabetes ibuku memang sulit untuk disembuhkan. Sudah lima tahun dia menderita akibat diabetes. Setelah aku mempersiapkan segalanya termasuk izin kepada atasanku yangsok bijak, maka aku diizinkan untuk ke Jakarta selama dua belas hari. Aku pergi ke pelabuhan untuk mengejar kapal penyeberangan pertama ke pulau Batam. Dalam kapal penyebrangan ingatanku melambung jauh teringat masa – masa kecilku bagaimana suasana Jakarta yang begitu menyenangkan saatku kecil. Ibuku adalah seorang wanita yang kuat setelah ditinggal mati oleh ayahku. Ibuku seorang janda yang tegar dan sangat menyayangiku sebagai anak bungsunya. Lingkunganku saat ku kecil membantuku menjadi manusia modern yang toleran.
Aku teringat peristiwa saat ibuku memelukku dalam kamarnya ketika mendengar tembakan senapan tentara saat mencoba membubarkan ceramah besar seorang yang dituduh islam radikal atau yang dikenal dengan peristiwa Tanjung Priukterjadi di depan rumahku.. Sirene kapal mengembalikan diriku pada realitas. Kapal sesaat lagi mulai berjalan. Cuaca pagi saat itu berkabut, gelombang di sekitar pelabuhan tidak begitu besar. Lautan seperti mencoba memberikan nasihat padaku bahwa berapapun beban berat yang ada di atasnya, maka laut akan mengantarnya. Perlahan – lahan para ABK kapal melepaskan tali yang terikat ke dermaga pelabuhan.
Kapal mulai bergerak menjauhi dermaga dengan kecepatan rendah. Lama – kelamaan kapal meningkatkan kecepatannya, pelabuhan makin kecil dan menghilang dari pemandangan, aku duduk di depan sambil menyaksikan sebuah film yang biasanya ditayangkan oleh perusahaan kapal penyeberangan untuk mengusir kejenuhan penumpang. Film yang kutonton dalam kapal membuat aku kembali pada lamunanku bagaimana saat aku pertama kali masuk sekolah dasar dekat rumahku. Ibuku menyiapkan segala keperluanku. Aku teringat juga bagaimana ibuku menolak keringanan biaya uang sekolah bulananku dengan alasan walupun janda dia masih sanggup untuk membayar full. Semuanya diusahakan ibuku dengan berbagai upaya dari membuat krupuk kulit, sampai bisnis kue kering.
Kehidupan Jakarta di tahun 80-an memang sangat menyenangkan. Aku begitu terkesan dengan masa kecilku di tahun 80-an saat aku tinggal di Jakarta.Waktu itu pop disko semarak di kalangan orang muda.Selama tiga puluh menit, aku melamunkan masa laluku semakin dalam rasa kangenku kepada tempat kelahiranku. Aku juga ingat saat om karman menceritakan sejarah bangsa Indonesia/ Dia ingat betapa berapi – apinya Sukarno saat berpidato, dia juga begitu menghayati saat bicara mengenai sejarah peristiwa Oktober 1952 Kemal Idris. Kadang bicaranya sambil setengah berbisik, takut didengar oleh mata – mata rezim Suharto saat itu. Aku juga ingat saat kukecil bermain bola di halaman Sekolah Dasar milik seorang sesepuh daerahku, walaupun agama dia berbeda dengan kami, namun lingkungan kami penuh toleransi. Sejauh mataku memandang tiap pulau yang dilalui kapal penyeberangan yang kulalui, semuanya membawaku ke masa laluku yang begitu mengharukanku.
Tidak terasa sudah masa itu sudah bertahun – tahun berlalu aku sekarang sudah memiliki istri yang cantik dan anak yang sehat. ya semua orang punya masa – masa bahagia dan masa – masa suramnya. Semua orang juga memiliki sendiri arti dari kebahagiannya masing – masing. Tidak terasa lamunanku mmebuatku tertidur dan kapal penyeberangan telah sampai di pelabuhan Batam.
“Bang, maaf kita sudah sampai” seorang wanita kru kapal membangunkanku. Midi supir taksi langgananku telah menungguku. Dia adalah langgananku sudah bertahun – tahun di Batam aku selalu hubungi dia. Aku percaya padanya, dan sifat ramah dia padaku.
“ Assalaamualaikum bang!” Sambut dia sambil menyalamiku. Aku balas sambutannya
“ Waalaikum salam bang Midi” jawabku
“Waduh mobil baru nampaknya?”.
“ Alhamdulillah bang, walau kredit, untuk peremajaan mobil sewa saja, baru ambil 3 bulan bang “. Midi seorang supir taksi perantauan dari tanah minang, istri dia pun tidak kalah semangat dalam mencari nafkah, dengan menjahit baju. Kota Batam memang sudah pantas disebut metropolitan layaknya di Jakarta. Hidup di Batam sangat keras.Dengan tingkat persaingan yang semakin tinggi, maka para penduduk Batam harus giat mencari nafkah untuk kehidupannya.
“ Bagaimana sewa mobil bang Midi?”
“ Semakin ramai?”
Midi menjawab sambil menarik nafas panjang “ Ya begitulaah bang”
Dari tarikan nafasnya menyiratkan dia sedang mengalami kelelahan. Maklum untuk kejar setoran. Pada suatu lampu merah aku mencoba memecahkan suasana dengan menanyakan kabar istri dan anaknya.
“ Bagaimana kabar anak dan istri bang midi?”
“ Alhamdulillah sehat bang!” jawabnya.
Sekitar kurang lebih empat puluh menit kami telah sampai di Bandara Hang Nadim.
“ Sampai jumpa lagi bang Midi” Sambil aku beri dia uang ongkos sedikit lebih. Aku biasanya pulang dari Jakarta juga dijemput bang Midi.
Bandar Hang Nadim saat itu memang ramai, ya aku lihat banyak pejabat – pejabat daerahku yang kuliah di daerah – daerah di pulau Jawa juga nampak. Ada yang kuliah di Jakarta, Jogjakarta, dan Semarang. Mereka semua sedang mengambil kuliah S-3.
Aku lihat juga seorang pejabat eselon yang senyum – senyum dengan koleganya tersenyum di tengah – tengah kasus terkuaknya perselingkuhannya dengan seorang istri dari aparat pemerintah juga. Tapi dia- masih bisa tersenyum puas!!!. Di seberang tempat duduk ada seorang gadis cantik dengan wajah yang muram, mungkin dia pun sedang dilanda masalah juga. Ya- dalam dunia ini semuanya relatif , saat bersamaan ada juga manusia yang sedang sedih dan berduka, dan juga di saat bersamaan ada juga manusia yang sedang bersuka cita, karena naik jabatan dan otomatis naik tunjangan. Jadilah manusia yang pragmatis, seorang birokrat kapitalis. Yah beginilah, waktu-seperti sebuah lingkaran roda. Semuanya akan berulang kembali. Kisah duka atau suka yang kita rasakan merupakan bagian dari putaran roda dunia.
Check – in sudah siap, maka aku pun ke ruang tunggu. Suasana begitu ramai, aku baru ingat ini adalah malam sabtu, pesawat yang kutumpangi adalah pesawat terakhir. Dalam tempat duduk aku terbayang wajah muda ibuku yang begitu tegas merawatku, kadang diselingi dengan wajah muram istriku yang seolah pasrah di tengah keterbatasan keuangan aku harus pergi ke Jakarta. Namun istriku adalah orang tegar, bayanganku lompat ke seyuman manis istriku saat masih gadis, saat hatiku tergoda untuk mendekatinya dan menarik hatinya. Lamunanku sepertinya tidak terarah, tapi itulah lamunan dia tidak perlu arah,dia tidak peduli dengan urutan waktu.
Dalam kesadaranku, aku berpikir mungkin ada satu tempat dimana waktu berhenti. butiran hujan bergantung di udara, atau semua orang – orang di ruang tunggu pesawat berhenti semua. Saat waktu berhenti mungkin itu adalah suatu anugerah bagi seorang ibu, yang akan memeluk anaknya terus menerus. Kasih sayangnya selalu abadi. Pelukan seorang kekasih akan abadi saat waktu berhenti.
Panggilan kru pesawat pada seluruh penumpang menghentikan aktivitas khayalanku. Aku segera beranjak dari tempat dudukku untuk mengantri masuk dalam pesawat. Pesawatnya tepat waktu. Sebuah maskapai yang berkualitas. Saat itu pukul tujuh malam. Pesawat dijadwalkan berangkat pukul tujuh lewat lima belas. Saat pesawat lepas landas, jantungku berdetak cepat, karena aku ingin cepat sampai ke Jakarta menemui ibuku. Dalam hatiku ini mungkin perjumpaan terakhirku dengan ibuku. Aku mengerti dengan keadaan ibuku saat ini. Dalam pesawat aku duduk bersebelahan dengan seorang pedagang dari sebuah daerah di Jawa Barat. Usianya kira – kira lima puluh tahunan, tapi masih terlihat sehat.
“ Mau pulang kampung pa?” Tanya orang itu padaku.
“ mmmh ya pak.”jawabku.
Perbincanganku dengan pedagang itu makin melebar, dari masalah ekonomi, bagaimana bisnis telur asin dia sedang surut. Sampai masalah politik, pedagang itu punya pandangan mengenai kebijakan presiden yang dirasa berat, namun bagi dia inilah perjuangan hidup. Kita menjadi manusia mulia karena kita bekerja. Kita tidak boleh lemah akibat kebijakan – kebijakan pemerintah yang terasa merugikan kita.
“ Kamu harus tahu nak, demokrasi sekarang menipu kita”
“ Kita meniru demokrasi Amerika”
“ Amerika melalui demokrasinya, mencoba mencegah Negara lain maju teutama Negara yang modelnya di luar model kapitalis ala barat”
“ Demokrasi itu ekspor Amerika Serikat yang mematikan”
“ Demokrasi Amerika terlalu banyak kepentingan”. Dalam keadaan setengah mengantuk aku mencoba mencerna apa yang bapak itu perbincangkan. Aku memutuskan tidak ambil peduli terhadapa apa yang bapak itu ungkapkan.
Isi pesawat sejenak hening, semua penumpang terdiam. Ada yang merenung ada yang tertidur. Sedangakan aku hanya membaca novel kesukaanku. lampu kabin dalam keadaan mati. Novel itu membawaku pada seorang temanku yang begitu tabah dalam menjalankan usahanya. Saat aku sampai di Jakarta aku mencoba menyempatkan berkunjung ke tempat dia. Aku paham saat – saat dia mengalami kesulitan. Dia memulai usahanya dengan membuka kedai kopi. Yah dia adalah seorang pejuang sejati dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Saat itu aku hanya seorang mahasiswa yang masih sok pintar akan kemahasiswaannya. Kadang aku sering diberi kopi gratis. Aku tidak paham apa maksudnya. Aku sekali pernah menolak. Namun dia memaksaku untuk menerima suguhannya. Kedai kopi itu sangat ramai. Sekarang sepuluh tahun kemudian,temanku sudah melebarkan usahanya ke bisnis sembako. Kedai kopi legendarisnya tetap buka.
Turbulensi pesawat membangunkanku pada dunia nyata. Pesawat yang kutumpangi mengalami sedikit turbulensi. Kru pesawat terbang memberikan pengumuman untuk memasang sabuk pengaman. Sebuah kejadian fisika khas pada pesawat terbang. Turbulensi adalah masalah fisika yang masih menjadi misteri.
Saat turbulensi itu hilang, aku kembali merenungkan sebuah realita lingkunganku di masa lalu. Begitu berwarna. Sebuah masyarakat yang maju dalam perdagangan. Tiba – tiba dalam lamunanku badanku merasa tidak enak, mungkin ac pesawat terbang telah menggangguku. Seperti masuk angin. Kepalaku pusing. Pramugari pesawat terbang mengumumkan sesaat lagi pesawat akan mendarat. Aku telah menelpon kakakku untuk menjemputku di bandara. Rasanya pengumuman itu membuat masuk anginku sembuh untuk sementara.
Pesawat mendarat dengan sempurna di bandara Sokarno Hatta Cengkareng. Aku merasakan badanku sembuh. Kakakku ternyata telah menanti kedatanganku di ruang kedatangan. Saat itu rungan tunggu kedatangan telah ramai dengan para penjemput. Masing – masing mungkin telah ada yang menanti. Akhirnya bumi Jakarta terhampar di bawah kakiku, aku hirup dalam – dalam udara daratan Jakarta. Bertahun – tahun yang lalu bandara ini kutinggalkan sekarang dalam keadaan berantakan. Pemerintah telah menganggarkan trilyunan untuk mempercantik Bandara ini. Yang kudengar dari berita, proyek ini tersendat – sendat, akibat banyaknya kepentingan. Semalam aku dengar ada seorang pejabat legislatif tertangkap tangan oleh Tim Pemberantasan Korupsi dengan seorang wanita di sampingnya akibat kasus suap proyek Stasiun Kereta Api Bandara.
“ Sudah berapa lama pembangunan Stasiun ini kak?” Tanyaku pada kakakku.
“ Dua Tahun” Jawab kakakku
“ Rasanya semakin modern Jakarta ini, semakin ruwet situasi Jakarta. Bayangkan jalanan semakin macet, mungkin kalau hujan banjir langsung menyapa.”
“ Memang benar, Jakarat semakin ruwet, pembangunan ini sebenarnya hanya untuk memuaskan si pemiliki modal dan pejabat” Jawab kakakku.
“ Lihat dik sebelah kiri dan kanan kita sekarang Jakarta hanya berisi hutan bangunan tembok saja. Rakyat kecil tetap saja susah. Yang kaya mungkin akan terus bertambah kaya. “
“Bagaimana situasi daerahmu dik?”
“ Biasa aja kak?”
“Daerah yang sedang berkembang, daerah itu subur, namun sekarang sudah mulai masuk paham kapitalisme”
“Pemerintah Daerah memberikan proyek Perusahaan Italia untuk menggarap kandungan Bauksit daerah, namun timbul masalah baru yang lebih berbahaya. Masyarakat lokal iri dengan semakin banyaknya orang – orang luar yang bekerja di daerah itu. “
“ Banyaknya penduduk lokal yang kurang didik dengan benar oleh pemerintah daerah, pada akhirnya akan menghasilkan kemalasan penduduknya.”
“ Bagaimana keadaan ibu di rumah sakit Kak?”
“ Ibu selalu mengigau tentang dirimu. Suatu hari dia bermimpi melihat rumahku dalam keadaan berantakan, makanya dia ingin jumpa engkau”
“ Sesaat setelah mengatakan itu dia langsung pingsan dan tidak sadarkan diri sampai sekarang”
“Kami meminta pendapatmu mengenai hal ini, dik”
“Semalam dokter berkonsultasi dengan kakak, bahwa dia bilang sangat kangen anak bungsunya”.
“Saat dia sadar dia bicara, bahwa almarhum abah mendatanginya tiap malam”
“ Kakak pikir ibu hanya meracau saja”
Aku punya enam orang kakak perempuan dan satu kakak laki – laki. Semua kakak perempuanku sangat baik hatinya.Aku adalah adik kesayangannya. Sungguh beruntung punya kakak perempuan yang begitu perhatian.
2298Please respect copyright.PENANAaC3xdsjvhh
III
2298Please respect copyright.PENANAveWQhWVDQK
Malam aku sampai, aku sengaja mampir ke rumahku dulu, rumah aku dilahirkan. Ibuku bercerita, bahwa saat aku melahirkan aku tidak sempat di bawa ke bidan, bapakku sedang di kampung. Alhasil,persaliannku ditangani seorang dukun beranak namanya mak neng. Seorang dukun beranak terkenal saat itu. Yah – rumah ini penuh kenangan memang bagiku. Rumah inilah seorang wanita tegar membimbing tujuh anaknya dalam kesulitan namun kami cukup bahagia. Aku beristirahat untuk kemudian meminum kopi yang telah disediakan kakakku. Kepalaku masih sedikit pusing, mungkin akibat pengaruh pesawat terbang. Setelah merasa segar aku mulai berjalan ke rumah sakit dengan berjalan kaki. Rumah sakitnya tidak terlalu jauh dari rumahku, hitung – hitung mengulang masa kecilku. Banyak gang dan lorong kulintasi banyak teman – teman lamaku saling menyapa. Semuanya dalam keadaaan sehat dan ada juga yang mengalami kesulitan. Aku berangkat sendiri ke rumah sakit itu karenakakakku yang lain telah menantiku sepertinya aku telah disiapkan untuk menjaga malam ibuku. Aku paham, bahwa aku memang suka berjaga saat malam. Sampai saat ini aku pun sering terbangun di malam hari untuk selanjutnya aku membaca buku – buku yang biasanya baru kubeli atau juga buku yang kusuka jadi aku baca kembali.
Rumah sakit itu nampak sepi halamannya. Tidak begitu banyak mobil terparkir, hanya kendaraan motor. Aku melewati lantai satu yang memang berisi dokter spesialis. Lantai dua berisi bangsal – bangsal pasien gratis umumnya penederita demam berdarah. Aku pun masih terheran di Jakarta dengan situasi modern, ternyata demam berdarah masih banyak melanda penduduknya. Di lantai dua suasananya sedikit ramai, banyak penunggu pasien yang saling ngobrol, ada yang sedang merenung, mungkin sedang bingung dengan apa sedang dialaminya. Dengan alasan sudah lelah, aku naik lift dari lantai dua ke lantai enam. Sampailah aku di lantai enam, aku menuju kamar nomor tujuh, namun sebelum masuk ke kamar ibuku, banyak keponakanku dan kakakku tersenyum atas kehadiranku. Mungkin karena tenagaku sangat dibutuhkan untuk jaga malam.
Malam itu ibuku belum sadar, dalam keadaan badan diinfus, aku duduk disampingnya. Kemudian kakaku datang membawa makanan untukku. Aku juga membawa buku untuk kubaca di saat malam. Ada juga beberapa penjenguk berkunjung sebagian besar adalah teman – teman lama ibuku. Teman majlis taklim, bahkan rentenir pun yang katanya penghisap darah manusia ikut menjenguk ibuku. Mungkin dia telah iba melihat nasib ibuku. Aku ingat saat peristiwa banjir besar di Jakarta, katanya banjir lima tahunan. Ibuku tiba – tiba didatangi rentenir itu menagih dengan membentak – bentak. Ibuku menangis meraung – raung kakak – kakakku yang lain juga menagis, hanya kau yang tidak menangis, mungkin karena aku laki – laki. Aku dengar rentenir itu juga mengidap penyakit kelamin akibat tertular suaminya yang ternyata suka main di lokalisasi yang sekarang sudah dibongkar pemerintah DKI Jakarta. Di dalam sana kakakku Munah dari tadi disamping ibuku yang sedang tak sadarkan diri. Di luar kamar aku bincang – bincang dengan kakak – kakau lalu keponakanku, semuanya dalam keadaan tegar. Lalu aku masuk ke kamar ibuku kemudian perlahan – lahan pintu kubuka, ibuku terbangun dari ketidak sadarannya akibat mendengar suara pintu yang terbuka. Suara ibuku masih jelas saat menanyakan kabar dariku dan istriku.
“Kapan datang?”
“ Jam setengah Sembilan malam tadi”
“ Naik pesawat terbang ?”
“ Kenapa istrimu tidak ikut?”
“Repot mak”
“Mungkin lain kali”
Aku tak sampai hati untuk memberitahukan kepada ibuku, bahwa aku saat ini sedang dilanda krisis keuangan yang membuat istriku tak bisa menyertaiku ke Jakarta.
“ Aku tak percaya alasanmu seperti itu” ibuku begitu penasaran.
“ Mungkin engkau sedang dilanda kesulitan keuangan”
“Itulah kehidupan, kadang kita mengalami masa sulit, kadang mengalami masa senang, semua memiliki gilirannya”. Ah, inilah naluri seorang ibu, tanpa perlu memberitahu dia tahu aku sedang mengalami kesulitan.
“Tak usah Mak merasa susah dengan keadaan anakmu ini.”
“Bukankah aku masih mampu bekerja, bukankah Mak bilang orang yang bekerja dengan cara halal itulah orang yang mulia”. Percakapanku beralih ke masalah makanan.
“ mak ingin makan bihun besok, sedikit aja”
“Kasih tahu kakakmu, untuk buat bihun, bagi yang tidak repot”. Dengan nada sedikit membantah aku coba beritahu bahwa makanan itu tidak boleh dimakan oleh ibuku. Namun ibuku bersikeras dengan keinginannya.
“Baiklah mak, besok akan dibuatkan ka Leha “.
Tak lama kemudian dua orang perawat masuk ke ruangan ibuku, untuk memeriksa keadaannya. Aku tidak sadar bahwa sekarang sudah pukul setengah dua malam. Aku keluar dari ruangan untuk memberikan kesempatan perawat menyelesaiakn tugasnya. Tidak lama kemudian setelah perawat menyelesaiakn tugasnya aku mencoba bertanya keadaan ibuku kepada perawat yang memeriksanya.
“ Maaf suster, bolehkah saya mengetahui keadaan ibuku?”
“ Oh, begini, ibu ini keadaannya masih belum stabil, akibat diabetesnya yang tinggi”
“ Keadaan akan sulit, karena ternyata Ibu punya maag”
“Hanya saja keadaan jantungnya masih stabil”
Aku masuk kembali ke dalam ruangan ibuku, dia masih mencoba berbicara apapun kepadaku. dia berbicara mengenai kamarku yang dalam mimpinya berantakan. Memang aku adalah anak bungsu dia yang paling jorok, namun sejak menikah istriku merawat dengan baik kamarku. Segera kupegang tangan ibuku
“ Mak lebih baik istirahat dulu”
“Mak mau cepat pulang nak”
“Tak enak tinggal lama – lama di rumah sakit”
“ Yah kalo Mak sembuk, kita langsung pulang. Siapa yang betah berlama – lama di rumah sakit “
“ Mak mau pulang kampung”
“ Insya Allah Mak kita pulang kampung segera setelah Mak sembuh. “
Ibuku tak bicara lagi. dia mulai menutup matanya dengan mengatur nafasnya perlahan – lahan. Aku lepaskan peganganku. Aku lihat tubuh ibuku yang makin kurus, hanya saja rambutnya masih bagus. Ruangan lantai enam sangat sepi sekali, mestinya aku bisa tidur dengan pulas, namun aku malam itu tidak ada perasaan mengantuk, entah kenapa. Badanku pun tidak karuan rasanya. Padahal badanku sudah terlalu lelah. Aku mencoba mengusir rasa bosan dengan membaca. Aku tertidur entah jam berapa. Adzan shubuh membangunkanku rasanya baru sebentar aku tertidur. Kepalaku pusing akibat kurang tidur. 2298Please respect copyright.PENANAqZWzOpKQkU
IV
2298Please respect copyright.PENANAdNvGTm0SLz
Pukul enam adalah giliranku pulang untuk kemudian diganti oleh kakakku,Meni. Dia yang tidak terlalu sibuk saat itu. Hari ini adalah hari Pilkada Jakarta. Aku sudah tidak peduli. Bagiku tidur adalah yang terbaik dari Pilkada. Sampai aku di rumah, waktu itu bibiku nunung ada di Indonesia, dia tinggal di Malaysia saat ini. Namun kebetulan sedang liburan ke Indonesia. Aku menyapa dengan bahasa melayu khas Malaysia. Itu tidak berlangsung lama, aku segera ke kamar langsung tertidur. Saat itu jam delapan pagi. Undangan untuk menyoblos tidak kuhiraukan. Jam satu siang aku terbangun, tidak lama kemudian kawan ku Wawan datang ke tempatku,memang aku rencananya akan pergi ke toko buku terdekat.
“Tidur terus luh”
“ Ayo kita pergi lah”
“Luh mau kemana gua anter”
Wawan adalah teman terbaikku sepanjnag hidupku. Aku tak tahu bagaimana cara beterima kasih kepadanya. Setelah makan, pergilah aku ke mall di mana terdapat toko buku yang biasanya ku kunjungi setiap minggu. Aku berprinsip biarpun gaji kita pas – pasan namun pengetahuan harus kita cari bagaimanapun caranya untuk kemudian kita sebarkan ke sesama umat manusia. Aku pikir itulah yang harus kulakukan salah satunya membeli buku – buku yang pas. Maklum akses buku di daerah tempatku bekerja sangat sulit.
“ Luh beli buku terus. Kapan lu nulis bukunya?”
“ Ah luh, mana ada orang yang mau membaca buku hasil tulisan seorang bodoh kaya gua gini wan”
“ Eh luh jangan salah, Thomas Payne itu orang yang tidak terkenal sampai saat dia menulis ‘common sense’ ternyata malah menggugah kesadaran orang Amerika untuk merdeka”
“Yah itu dulu”
“Sekarang banyak orang pintar” Jawabku.
Memang kadang kita sebenarnya diberi bakat imajinasi, namun manusia tidak menyadari hal itu. Aku keliling – keliling mall selain ke toko buku tersebut. Hand phoneku berdering
“Dik mak, kembali tak sadarkan diri, pulanglah segera”
Kabar dari kakakku memecah kesenanganku di mall, aku dan wawan bergegas pulang untuk kemudian ke rumah sakit. Saat aku sampai rumah sakit aku tak peduli dengan keramaian rumah sakit, aku jalan terus sampai lantai 6 aku sampai. Kakak – kakakku sudah sampai sana dalam keadaan menangis semua. Yah – ibuku dalam keadaan tak sadarkan diri lagi. Kondisinya makin tidak stabil. Denyut jantungnya makin lemah. Beberapa jam kemudian, ibuku kembali sadar, dan memanggilku dengan isyarat untuk mendekat. Aku dekati ibuku perlahan – lahan.
“Mak minta air putih” dengan suara perlahan – lahan. Aku ambil air perlahan – lahan aku minumkan ke mulut ibuku. Ibuku mulai sadar kembali.
“Engkau tahu, aku selalu menyuruh engkau minum air putih banyak – banyak,supaya hatimu jernih sejak kecil”
“ Ya, mak masih ingat apa yang mak katakan”
“Nak, mak tak yakin apakah bisa melihat cucu darimu lahir atau tidak”
“Tadi malam mak bermimpi abahmu ngajak jalan sambil nyiapkan segala keperluan – keperluan selama pergi”
“Telah banyak yang mak kerjakan sejak abahmu meninggal, mak bersyukur pada Allah yang memberi kekuatan mak membesarkan tujuh anak mak dalam keadaan sehat semua”
Aku memahami segala curhatan ibuku kepadaku. Aku masih ingat saat aku kecil para tetangga menagih hutang dengan kasar kepada ibuku. Aku masih ingat bagaimana menderitanya ibuku saat kena tipu seorang makelar tanah saat mengurusi masalah penjualan tanah ibuku. Sejak sakit memang sudara – saudara ibuku belum ada yang menjenguknya. DIa begitu seedih dengan keedaan ini.
“Coba kau tengok wa Rahmah, mungkin dia sedang kesulitan”
“Ya mak tenang aja jangan pikirkan macam – macam. “
Wa Rahmah adalah satu – satunya adik perempuan ibuku yang masih hidup dari lima orang adiknya. Rumah Wa Rahmah lah yang kami singgahi jika kami pulang kampung ke Banten. Sebenarnya ibuku punya adik laki – laki namanya Jarman. Adik tiri, namun ibuku sering tidak akur dengannya. Jarman sering menipu ibuku dalam hal apapun. Jarman sekarang dalam keadaan kurus kering. Dulu dia seorang yang gagah, sepertinya memiliki ilmu pengasihan suatu ilmu di mana para wanita akan mudah takluk. Jarman sudah empat kali ganti istri. Setiap dia nikah, selalu dapat gadis yang cantik. Sekarang Jarman hanya seorang tengkorak hidup. Dia mengidap penyakit lever dan TBC akut, mungkin tinggal tunggu waktu saja.
Sejak jam tujuh malam aku menemani ibuku, para perawat bergantian mendatangi ibuku untuk mengecek status ibuku. Orang – orangnya berbeda. Akulah yang masih setia dekat ibuku. Jam dua belas malam ibuku tertidur dengan napas yang seperti tertatih – tatih. Aku keluar untuk sekadar mencari udara segar. Malam saat itu sejuk, aku turun ke lantai bawah. Saat di lift aku melihat seorang ibu menangisi jasad suaminya. Begitu sedih dan terluka hatinya. Di lantai tiga aku lihat banyak pasien demam berdarah yang sedang menjadi kasus luar biasa di beberapa daerah. Selama beberpa jam saja aku telah melihat kematian beberapa pasien. Dunia memang seperti sebuah pasar, dimana berbondong – bonding manusia datang, namun berbondong – bonding pula pergi meniggalkan pasar. Sampai akhirnya aku tiba di halaman parker untuk membeli kopi. Jalan raya sekitar rumah sakit dipenuhi truk – truk bermuatan besar hendak masuk ke pelabuhan. Rumah Sakit memang berdekatan dengan pelabuhan dan sejak zaman kolonial telah berdiri. Sejak tahun 1950 pemerintah mengambil alih rumah sakit tersebut untuk di jadikan Rumah Sakit Umum. Aku perhatikan jam tanganku hanya sepuluh menit aku keluar. Saat menuju ke kamar ibuku, aku berbarengan dengan perawat jaga malam yang datang untuk melihat status dari ibuku.
“ Gimana kabar ibu Muslimah”
“ Keadaannya tak stabil pak, ginjal dia makin turun fungsinya”
“ Mungkinkah ini akibat dari diabetesnya” Jawabku.
“ Mmmmh mungkin juga pak.”
Pembicaraan kami sempat terpotong, karena si perawat harus memeriksa status ibuku. Aku hanya memperhatikan dari luar saja. Aku lihat ibuku sempat menolak walaupun dalam keadaan sudah lemah. yah tipe seorang pekerja keras. Bahkan saat – saat yang lemahpun ibuku tak mau diatur – atur. Selesai pemeriksaan, suster itu mendekatiku sambil ngajak bicara.
“ Ibu pak seorang yang kuat”
“Begitulah suster”
“Sayalah yang dekat dengan dia sebelum saya pergi merantau ke kota K”
“Oh gitu, apakah saya dengar bapak adalah anak bungsunya”
“betul suster”
“Besok kalau keadaaannya masih seperti ini, dokter akan memasukkan selang makanan ke mulut ibu”
“Itu pun harus dengan kesepakatan bapak atau keluarga bapak”
“Ibu sepertinya sudah tidak bisa diinfus lagi. Tubuhnya sudah bengkak”
“Tapi pak, ini baru perkiraan saya saja yah pak”
“Mungkin inilah kesempatan terakhir kami sebagai tenaga medis dalam melaksanakan tugasnya”.
“Maaf, bolehkah saya memanggil bapak mas saja? karena saya melihat bapak masih muda”
“ silahkan suster, kalau boleh saya tau nama suster?”
“Saya Larasati”
“Saya Muttaqin”
“ Bapak nampak begitu letih dari wajahnya”
“Betul Mbak?Tak keberatan kan saya panggil Mbak?
Suster Larasati, umurnya kira – kira 30 tahun. Namun masih terlihat cantik, walau sudah nampak kerutannya. Memang manusia tidak bisa menolak nasib saat wajah tuanya muncul.
Betapa lemahnya jiwaku saat mendengar hal tersebut. Namun aku mencoba memasang wajah tenang kepada suster tersebut.
“Mak nanti akan pulang kampung”. Aku tak tahu perkataan ini adalah sebuah isyarat atau bukan. Aku benci dengan isyarat – isyarat duka.
“Engkau tahu nak, Mak sudah selesai melaksanakan tugas “
“Engkau yang tahu, bagaimana mak mengorbankan segala jiwa raga mak, setelah kematian bapakmu”
“ Engkau tahu apa rasanya waktu mak dicaci maki oleh tengkulak – tengkulak, karena harus meminjam demi menghidupi keluarga kita.”
“ Hati – hatilah engkau dalam mengarungi kehidupan, dunia sudah terlalu banyak kesengsaraan buat kita”
“ Kalau engkau jadi seorang guru buanglah sifat kebinatanganmu”
“ Jangan jadi bandit – bandit buat orang miskin”
“Engkau tahu nak! sekarang guru baik pun belum tentu muridnya jadi baik. Apalagi jika engkau seorang penjahat”
“Aku tahu engkau sedang mengalami masa – masa kesulitan, tapi yakin nak, ini adalah sebuah ujian agar engkau lebih berani dalam menghadapi segala tantangan”
“Tapi ingatlah bahwa Allah selalu bersama orang yang berbuat kebaikan.”
“ Mak minta maaf jika hanya membawa kesengsaraan buatmu.”
“Itulah nasibmu yang tidak perlu kamu ratapi.Apa yang ada padamu syukurilah”
Tidak lama kemudian ibuku kembalai tak sadarkan diri. Aku segera panggil perawat. Sampai datang perawat ibuku masih tidak sadarkan diri. Aku menangis dengan keadaan ini, aku menyesali atas kurangnya balas budiku pada ibuku. Saat itu juga dokter memanggilku untuk meminta persetujuan dalam pemasangan alat bantu pacu jantung.
“ Ibu anda rasanya sudah sulit untuk pulih, saat ini muncul gejala strokenya akibat dari tingginya kadar gula darahnya. Kami para dokter akan selalu berusaha untuk memulihkannya. Ibu harus segera dipasang alat bantu pernafasan untuk bisa menstabilakn pernafasannya. “
Tanpa persetujuan dari saudara – saudaraku aku menyetujui saran dokter. Bagiku ibuku harus diperjuangkan di atas segalanya. Ini artinya aku harus berkorban dengan berhutang. Alat bantu pernafasan ibuku telah dipasang. Maka ibuku masih bisa diperjuangkan. Saat dipasang aku menangis saat melihat matanya yang masih bereaksi. Aku tahu rasanya ini mungkin akhir dari kisah ibuku dalam kehidupan dunia.
Aku tertidur dengan pulas, tersadar saat suster dan dokter memasuki ruangan kemudian kakakku membawa kopi hitam panas. Suasana ramai di kamar ibuku, aku menduga dokternya dua orang dan perawatnya kira – kira empat orang. Aku keluar kamar kakaku menggantikanku untuk menemani ibuku di kamar. Sebentar aku menikmati kopi hitam panas. Hujan turun deras sekali. Ini artinya Jakarta akan kembali tergenang air. Sebuah kisah lama dari zaman penjajahan. Dari beberapa surat kabar ataupun buku – buku, banjir di Jakarta telah menjadi sebuah masalah tersendiri bagi kolonial. Hujan turun cukup deras menahanku untuk tidak segera meninggalkan rumah sakit.
“ Gimana kondisi mak?”
“ Tidak stabil kak”
“ Mungkin sore ini akan dipasang alat bantu lagi untuk jantungnya. Ini menjadikan mak telah memasuki kehidupan palsu.”
“ Harapan sangat tipis, tapi kita akan perjuangkan mak kita sebagaimana dia memperjuangkan kita sedari dalam kandungan”
Hujan deras berubah menjadi rintik – rintik. Maka aku bisa pulang untuk sekedar membayar hutang tidurku di rumah sakit. Kakakku sementara gantikan aku. Aku sengaja berjalan kaki dari rumah sakit ke rumah untuk menghirup udara segar bekas hujan sambil menggunakan payung. Aku melintasi jalan – jalan kenangan kecilku. Aku melintasi rel kereta api khusu pretamina, aku melintasi gang kelinci sebuah gang kecil tempat para kaum – kaum rakyat jelata tinggal dengan kehidupan ala kadarnya. sekarang aku lihat banyak rumah – rumah bertingkat dan banyak rumah – rumah sengaja disewakan atau dijadikan kos oleh pemiliknya. Jalanan sudah mulai bagus. Waktu aku Sekolah Dasar aku sering main ke rumah temanku Asep namanya. Kehidupan gang kelinci dulu memang sangat liar. Hampir tiap hari banyak orang main judi sampai sabung ayam. Polisi sering menggerebek gang kelinci. Rutinitas judi ini kadang diiringi kumpulan minuman keras maupun narkoba kelas rendahan. Aku kenal seorang gadis di daerah ini namanya Eni, seorang gadis cantik nan jelita sewaktu tinggal di daerah ini. Bapaknya pak Karso seorang penjudi berat, ibunya seorang pedagang. Keidupan rumahnya sangat tidak ideal. Sejak aku kuliah si Eni makin dikejar para pemuda – pemuda yang menebar pesonany demi hati si Eni. Eni tidak terpengaruh dnegan kondisi keluarganya. Hanya saja karena dia seorang gadis patuh, atas keinginan bapaknya, maka dia mau saja saat seorang duda berumur hampir lima puluh tahun meminangnya. Orang itu terlihat baik saat melamar Eni. Hartanya cukup banyak, namun setelah beberapa tahun rumah tangganya sang suami meninggal, bapak itu meninggalkan warisan cukup banyak. Anak – anak tiri Eni banyak yang merongrongnya perlahan – lahan. Sekarang yang kudengar Eni telah meninggal karena tekanan batin yang dia tanggung.
Setelah melewati gang kelinci aku melewati Pasar Pindang. Pasar ini dulu hanya bertransaksi ikan pindang, namun seiring waktu pasar ini mulai modern dan tidak hanya sebatas menjual ikan pindang saja, melainkan semua barang – barang kebutuhan. Di pasar Pindang ada gang bandeng aku mampir ke tempat kakakku tinggal sebentar karena aku tahu kakakku Leha masakannya selalu enak dan menunya selalu bervariasi. Masakannya aku bungkus lalu aku bawa pulang. Perjalanan ini merupakan perjalanan kenangan. Aku lihat kedai kopi tempat aku duduk – duduk dengan teman – temanku saat kuliah dulu. Rahman temanku pemilik kedai kopi ini. Bahkan jika aku tidak punya uangpun Rahman menggratiskan aku kalau aku hendak minum kopi. Rahman sekarang sudah tidak menjadi penjaga kedai kopinya, dia sekarang punya beberapa anak buahnya dan usahanya tidak hanya kedai kopi saja melainkan butik baju pada salah satu mall di kelapa gading dan jual sembako di pasar Pindang. Begitulah hasil dari sebuah pekerja keras. Padahal dia hanya seorang tamatan SMP.
Sampai aku di rumah ibuku, kemudian mandi tak lama kemudian aku sarapan lalu menghidupkan televisi dan ternyata isinya membosankanku. Suasana sepi di rumah saat ini. Aku membayangkan betapa sepinya rumah ini jika ibuku sudah tak ada. Yah – untuk pertama kalinya aku menduga kuat ibuku hanya beberapa saat lagi hidup di dunia. Tak sadar mata airku berlinang. Aku larut dalam kesedihan. Lamunanku berhenti saat teriakan tukang sayur datang, Aku langsung lemas dan tak kuat lagi menahan kantuk akibat kurang tidur saat di rumah sakit. 2298Please respect copyright.PENANACu4SbeVjl2
V
2298Please respect copyright.PENANAgyrs73I5Ju
Siang hari yang cukup panas, aku terbangun. Kamar tengah ini memang tak ada ventilasi jadi sangat pengap sekali. Wa Kanah salah seorang saudara ibuku datang, dia adalah tukang urut terkenal di daerahku. Alhasil aku minta dia pijat aku sekaligus kerok aku karena aku memang merasa masuk angin. Maklum makin hari tidurku makin kurang. Saat itu adalah jam dua siang, jadi aku tertidur selama enam jam. Aku diberikan pengobatan tradisional oleh Wa Kanah selama dua jam.
“ Ini udah parah masuk anginnya”
“ Maklum Wa, sejak turun dari pesawat badan rasanya sudah tak karuan.Kepala pusing dan sedikit mual.Sekarang mual makin kuat. Untung wak datang”.
“ Kamu nih jangan memforsir tenaga, memang di rumah sakit tak bisa tidur?
“ Mana enak wa tidur di rumah sakit. “
Bi Nunung datang ikut nimbrung ngobrol. Jadi kami ngobrol semakin tak berarah kesana kemari tanpa tujuan, sebuah obrolan kosong. Bi Nunung dan Wa Kanah adalah orang – orang terdekat ibuku. Saat obrolan selesai aku coba cari makanan. Aku harus berhemat untuk makan selama di Jakarta.
Aku beli makanan di rumah makan ibu Yana masakannya cukup enak dan terlihat merakyat. Aku membeli nasi urap cukup untuk menghemat uangku. Aku duduk paling dekat dengan pintu. Saat itu suasana rumah makan ibu Yono ramai, anak – anak Kos Mall di daerah kami sedang ganti shift, mereka lapar dan nasibya sama denganku harus menghemat – hemat biaya hidup. Mall dekat daerah rumahku berdiri sejak aku berumur sepuluh tahun. Aku tahu pasti bahwa para pekerja – pekerja Mall tersebut merupakan orang – orang jauh. Mereka ada yang datang dari daerah luar Jakarta. Mereka mencoba mengadu nasib ke kota Jakarta karena di desa sudah tidak ada lapangan pekerjaan, ada juga beralasan di kampungnya dia mau dinikahi, namun dia menolak dengan alasan ingin bekerja dahulu. Mereka umumnya berparas cantik dan kulitnya bersih. Beberapa ada yang berjodoh dengan orang sekitar rumahku. Aku tahu mereka memang sekalian cari jodoh bekerja di Mall tersebut. Ada juga alasan karena putus sekolah sehingga mencari kerja untuk menghidupi ibunya dan adiknya. Ada juga pekerja mall tersebut yang terjebak nafsu sesat dengan berjudi di lotere Haji Zakaria. Jadi gaji satu bulannya hamper ludes gara – gara rajin berkunjung ke lotere Haji Zakaria. Haji Zakaria dulu adalah seorang pelaut dan termasuk sukses. Kehidupannya berubah saat istrinya meninggal dan dia mulai sedikt frustasi. Aku kenal Bu Zakaria yang sangat sabar dan sedikit humoris.Anak – anak Haji Zakaria semuanya berebutan harta pusaka, pada dia sendiri belum meninggal. Kata orang – orang Haji Zakaria menjadi Bandar lotere hanya untuk kesenangan saja. Begitulah kehidupan kadang tak jelas dan sangat mengejutkan kelanjutannya.
Sudah setengah jam lebih aku duduk – duduk di rumah makan Bu Yana. Aku pulang untuk menikmati makanan yang baru kubeli tadi di ruang tengah sambil melamun dan mengingat – ingat kejadian saat atap rumahku rubuh karena sudah lapuk. Waktu itu aku baru bangun tidur. Maklum rumahku itu dibangun sejak tahun 1960-an. Kata Ibuku dahulu daerah rumahku memang terkena imbas dari slogan – slogan politik Presiden Soekarno. Ada satu rumah yaitu rumah Ibu Manurung dahulunya tempat para anggota organisasi massa yang berafiliasi dengan PKI rapat. Jadi sudah tiga puluh tahun lebih rumah itu baru ambruk. Aku membandingkan dengan kondisi bangunan Madrasah Aliyahku yang baru beberapa tahun saja sudah banya yang rubuh. Terakhir plafon kelas dua belas IPA rubuh saat pelajaran bahasa Inggris dua kali, nasib baik tidak terkena mesin infokus guru bahasa Inggris. Namun yang kedua terkena pungggung muridku dan sempat masuk rumah sakit. Sangat memprihatinkan sekali bangunan Madrasah tempat aku mengajar. Jika saat hujan lantai lengket akibat plafonnya mencair. Hal yang sangat kontras sekali jika melihat para guru yang sebagian telah PNS dan mendapat tunjangan profesi.
Adzan Ashar seolah menyelesaikan lamunanku. Aku pergi ke masjid Al – Muhtarom untuk sholat berjamaah Ashar. Banyak kujumpai teman – temanku saat aku kecil. Di antaranya ada temaku yang bernama Rudi dulu saat sekolah dia terkenal akan kepintarannya. Orang tuanya sehari – hari berdagang di pasar. Biaya menjadi alasan dia tak bisa mengasah lebih tajam lagi kecerdasannya, sekarang dia buka usaha servis alat – alat elektronik. Sejak kecil dia terkenal sudah rajin beribadah ke masjid. Saat kelas Dua SMP dia terkena tumor di dua payudaranya,makanya dia tak bisa ikut bermain bola jika kelas olahraga diadakan.
“Assalaamualaikum Rud!”
“Waalaikum salaam Qin, Subhanallah!. Apa kabar luh? sudah gemuk badan?”
“Ah kaya luh ga gemuk aja?”
Begitulah pertemuan dua sekawan yang telah belasan tahun tak berjumpa. Rudi sudah beristri namanya Fitri. Dia adalah kekasih lama Rudi saat SMP dulu. Mungkin hanya aku saja yang tak punya pacar saat SMP, selain tampangku pas – pasan aku juga tak pandai merayu para wanita di SMP. Kata teman – temanku aku sebenarnya banyak yang naksir, tapi aku begitu dingin dan tak peduli. Pertemuan yang begitu hangat, aku diajak ke rumahnya untuk menikmati minuman kopi buatan dia. Setiap aku ke rumah teman lamaku aku selalu disuguhu kopi. Hampir semua teman – temanku tahu bahwa aku penggila minuman kopi.
2298Please respect copyright.PENANAUDuoPyygAS
Jam lima sore pertemuan antar dua teman lama harus selesai. Aku harus bersiap – siap untuk menjaga ibuku kembali. Kakakku harus mengurus rumah tangganya lagi. Aku harus cepat datang. Aku pulang ke rumah, kakakku Tia sudah pulang dari kantornya. Dia habis maghrib datang dahulu ke rumah sakit gantikan kakakku meni, lalu aku datang sehabis Isya.
“Jangan lupa Qin bawa perbekalanmu secukupnya tetah Cuma bawa peralatan mak aja. “
“Oke teh”
Kakakku tiah cukup rajin.Sebelum aku merantau dia dan aku tinggal di rumah beritga bersama mak. Aku pergi ngajar jam tiga sore, karena pagi aku bekerja sebagai tukang kasir sebuah apotik. Kakakku Leha tiba – tiba memberi kabar bahwa jempol kaki ibuku sudah diamputasi akibat efek dari penyakit diabetesnya. Adzan maghrib berkumandang, tak terasa ini adalah malam minggu, berarti aku sudah di Jakarta delapan hari lebih.
Mas Tarno si tukang nasi goreng telah mangkal. Aku pesan buat bekal aku malam nanti. Mughni temanku datang menawarkan diri untuk menemaniku. Dahulu saat almarhum ayahnya sakit aku memang menwarkan diri menemani dia menjaga ayahnya. Ayahnya sakit lever akut sampai meninggal. Jadi aku pergi berdua dengannya. Mughni dan aku dahulu saat kecil mengaji pada guru yang sama Ustadz Sy. Seorang Ustadz ahli hadits. Lalu aku berpisah dia pesantren ke daerah Bogor aku pesantren ke daerah Banten. Dia sekarang berbisnis bidang property dan cukup sukses. Dia menikah dengan sepupunya sendiri. Awalnya pernikahannya tidak direstui kedua orang tuanya. Namun kekuatan cinta mereka berdua meruntuhkan kekerasan hati kedua orang tua masing – masing. Nasib dia sama dengan aku pernikahannya dengan istriku tidak disetujui orang tua istriku karena aku bukan seorang yang berharta maupun bukan seorang Pegawai Negeri Sipil. Sekarang orang lebih mementingkn jabatan dari pada moral. Sampai saat ini orang tua istriku sering menghinaku secara halus. Namun aku tidak peduli semua itu. Selama kami saling mencintai maka kehidupan harus diperjuangkan.2298Please respect copyright.PENANAoZ7VPbFugA
VI
Jam delapan malam aku mulai bergerak ke rumah sakit dengan berjalan kaki, jalanan tergenang banjir akibat pasang air laut. Aku berjalan bersama Mughni sehingga perjalanan tidak terasa membosankan. Cuaca mendung disertai pasang air laut. Rasanya kalau hujan turun semakin lengkaplah derita warga banjir pasti datang.
“ Rasanya malam ini dingin Qin”
“Ya ni mungkin kita nanti beli bandrek untuk menghangatkan tubuh kita”
“Inilah hebatnya Jakarta, tak ada hujan pun banjir, terutama wilayah kita yang berada di tepi laut Qin”
“ Orang pintar rasanya peduli dengan wilayah pusat aja sedangkan wilayah kita Qin?seperti inilah yang kau lihat”
Kamipun mampir ke tempat bandrek untuk membeli dua bungkus. Kedai Bandrek sangat ramai. Semakin dingin semakin ramai kedai ini rasaku. Malam ini malam minggu, di Pasar pindang aku lihat pertunjukkan orkes lokal. Semakin memperjelas ciri malam minggu. Hari adalah tanggal muda bagi sebagian orang itu artinya hari untuk bersenang – senang. Bagi rakyat jelata hanya ini salaah satu cara untuk mengusir kelelahan jiwa dengan sebuah penampilan orkes lokal. Aku dan Mughni tidak memperdulikan itu sambil lalu sampailah kami di rumah sakit. Aku terkejut saat melihat seorang ibu menangis dengan jasad disampingnya. Aku tak tahu siapa yang dia tangisi apakah itu jasad suaminya atau anaknya. Sampai lah aku di depan kamar ibuku. Tiah kakakku menyambutku dalam keadaan menangis.
“Qin kata dokter tadi Ibu sudah tidak ada harapan lagi”
Aku mencoba menenangkan diri walaupun sangat terkejut. Mughni temanuku menampakkan wajah terkejutnya.
“Jadi menurut teteh gimana?”
“Aku tak tahu dek, nanti teteh tanya yang lain”
“ Akhirnya aku tanya langsung kakak – kakak perempuanku mereka semuanya menyerahkan semuanya kepadaku, kecuali kakak laki – lakiku Rafidin. Dia tidak setuju.Namun keputusan sudah kubuat aku minta kepada perawat agar hari senin alat bantu pernafasan ibuku dilepas. Ini artinya kami semua sudah pasrah. Aku sudah meminta semua kakakku untuk segera mempersiapkan segala keperluan buat kepulangan ibuku ke rumah, apapun keadaannya. Semalaman aku tak bisa tenang, Mughni temanku mengaji dekat teling ibuku. Aku sebenarnya ingin menangis setelah mendengar kabar itu. Kakakku Tiah sudah menangis. Yah seperti ibu yang kutemui di halaman depan tadi ternyata duka itu sampai ke diriku juga. Malam semakin larut, hujan rintik – rintik membasahi halaman luar rumah sakit yang dapat kulihat dari jendela jalan lantai enam. Mughni memanggilku
“Qin ibumu memanggilmu “
Langsung aku datangi ibuku.
“ Qin mak ingin pulang kampung kalau sudah pulang dari rumah sakit”
“Mak dengar katanya mak boleh pulang besok”
Nafas ibuku tersendat – sendat.
“Yah Mak nanti pulang dari rumah sakit langsung ke kampung”
Matanya kembali terpejam sambil bernafas dengan tersendat – sendat, aku masih merasakan adanya kehidupan pada ibuku. Aku tak tahu apakah ini pembicaraan terakhir atau tidak, aku tidak peduli. Air mataku kembali menetes diiringi dengan tetesan air hujan. Aku menyandarkan mataku ke kaca jendela sebelah luar tetesan hujan dan sebelah dalam tetesan air mata duka. Alam sepertinya memahami apa yang kutangisi.
“Inilah kehidupan Qin”
“Kita tak bisa abadi dengan apa yang kita miliki”
“Benar Qin, semoga engkau tabah Qin”
Mughni seperti telah mendapat isyarat dari ibuku. Sampai shubuh mataku terjaga menunggu keadaan ibuku. Pagi telah tiba namun aku hanya meminta mughni pulang aku kasihan padanya mestinya dia bersama istrinya malam minggu. Dia mencoba membalas jasanya padaku. Aku sengaja tak pulang tetap di rumah sakit mengurus segala keperluan ibuku kecuali saat mengganti baju ibuku , perawat tidak mengizinkan aku ikut mengganti baju ibuku, dia minta kakakku untuk mengganti baju ibuku. Kakakku Tiah yang mengganti baju ibuku. Aku pulang sebentar ke rumah hanya untuk mandi dan makan sarapan tak lama kemudian balik lagi ke rumah sakit. Aku sudah kasi tahu kakakku Maya untuk segera mempersiapkan kedatangan ibu di rumah. Dia menangis saat mendengar Ibu akan pulang.
Tiba – tiba Rafidin datang ke rumah, dia dengan muka seramnya membentakku
“ Mengapa engkau menyetujui pernyataan melepas alat bantu pernafasan Mak?.Engkau tahu ini adalah pembunuhan.?”
“Di mana pembunuhannya kak?” Jaawabku
“ Mak sudah cukup menderita dengan segala peralatan medis, lagipula kita malu dengan teh Sita dia telah banyak membiayai mak”
“ Kakak sendiri pernah tidak jaga Mak?”
“Kakak seperti tidak perduli pada Mak”
“Kakak hanya perduli sama Mak saat ada butuhnya saja”
Pertengkaran antara kakak laki – laki dan adik laki – laki selesai saat datang teh Sita mereka menenangkan kami berdua. Teh Sita sebenarnya dalam keadaan kurang sehat. Darah tinggi dia kambuh. Makanya aku dan kakak – kakaku yang lain tak mengizinkan dia berlama – lama di rumah sakit. Mak Ani seorang dukun daerah kami dan juga sahabat dekat ibuku datang menanyakan keadaan ibuku. Dia menangis saat Teh Sita memberitahu kondisi ibuku.
“ Engkau harus tahu nak, ibumu adalah seorang yang baik hati. Aku tahu sejak masa muda dahulu ibumu seorang yang jujur. Susah mencari orang jujur seperti ibumu nak.”
“ Saat ini yang kita perlukan adalah orang jujur seperti ibumu. Orang pandai sudah banyak namun hasil kepandaiannya dari sekolah dia pakai untuk menipu sesamanya”
Kami semua terdiam mendengar kata – kata Mak Ani mengenai sifat ibuku. Aku tahu dari dulu ibuku selalu disukai orang. Ibuku memang orang yang pantang menyerah. Sejak aku kecil dia sering menasehatku bahwa belajar itu jangan gara – gara orang lain melainkan harus dari dalam diri sendiri. Ibuku sering menasehatiku agar hidup penuh dengan kejujuran dan harus bekerja, pantang rasanya hidup dikasihani orang lain. Ini dibuktikan saat aku bersekolah ibuku menolak pembebasan uang bulanan sekolah, karena bagi ibuku setiap orang harus membayar jasa untuk belajar.
2298Please respect copyright.PENANAg8Yw4YaBnz
VII
2298Please respect copyright.PENANAoCFnCPnd6P
Hari itu adalah hari senin, aku telah tiba di rumah sakit sejak semalam. Aku menyaksikan saat ibuku dilepas alat bantu penafasannya dan alat pacu jantungnya oleh tim dokter. Tak lama kemudian sesaat dilepas, nafas ibuku pun berhenti.
“Innalillahi Wa Innailaihi Rojiuun”
Ibuku meninggal dalam keadaan tersenyum, rasanya dia seperti merasakan bahwa dia akan pulang kampung.
“Mak sekarang bisa pulang kampung “ kata Kakakku Leha
Semua keluargaku menangisi kepergian Ibuku. Semua menyesali segala hal yang belum dilakukan kepada ibuku. Aku pun segera mengurusi keperluan ibuku mengurus segala administrasi. Urusannya sedikit rumit namun aku harus jalani supaya jenazah ibuku bisa segera pulang dan dikebumikan. Kakakku semua masuk ke dalam mobil jenazah, tinggal aku saja di rumah sakit untuk membawa sisa – sisa barang – barang ibuku. Aku bawa sajadah dan tasbih dia.
Sampai di rumah para kerabat dan tetangga berdatangan untuk melayat, diantaranya aku melihat seorang nenek tua Tionghoa langganan kue ibuku menangis terisak – isak. Pemakaman segera diurus malam itu juga, Ibuku dimandikan Ustadzah Uniyyah sesuai pesan dia kepada kakakku Tiah. Pada akhirnya yang tersisa hanya kenang – kenangan ibuku saja. Semuanya telah berakhir. Begitu dalam duka yang kurasakan, tapi kehidupan harus terus berjalan seperti sebuah pasar ada yang datang ada juga yang pergi kadang sendiri – sendiri atau berbondong – bondong.
ns216.73.216.238da2