147Please respect copyright.PENANA8hN9rbb9cF
Judul: “Di Balik Dinding-Dinding Sutra”
147Please respect copyright.PENANAvWvi8Zh4Ur
Langit malam menggantung rendah di atas mansion tiga lantai di kawasan elite, lampu gantung kristal menyala bagai bintang buatan manusia. Lantainya bersih mengilap, pantulan cahaya menyusur ke ujung koridor tempat kamar-kamar berbaris rapi. Di lantai atas, sunyi berkuasa. Kecuali di satu pintu, yang setengah terbuka, dan di dalamnya, seorang gadis berdiri dengan kaus tidur tipis yang terlalu besar—milik abang tirinya.
Namanya Celine. Kulitnya pucat seperti porselen, rambut hitamnya jatuh kusut ke bahu. Dia berdiri di depan cermin, menarik bagian bawah kaus itu dengan jari gemetar, menyaksikan bagaimana ujungnya nyaris menyentuh pangkal pahanya. Di balik kaus itu… tak ada apapun. Hanya udara dan keberanian yang ia kumpulkan diam-diam.
147Please respect copyright.PENANAXg3YxINeN0
Dia tahu Evan baru pulang—suara langkah kakinya masih menggema di tangga marmer saat ia mengetuk pintu kamarnya.
147Please respect copyright.PENANArHZ4MTptyb
Tuk tuk.
147Please respect copyright.PENANAP4v7Ba8N0B
“Evan…” suaranya nyaris bisikan.
147Please respect copyright.PENANAiq4USm8zZf
Pintu terbuka lebar. Dan di sana dia—Evan. Usianya 24, dua tahun lebih tua, tinggi, dada bidang terbuka karena kancing kemejanya terbuka sampai dada, lehernya basah oleh sisa hujan. Mata mereka bertemu.
147Please respect copyright.PENANAbviPwXi8WO
“Celine? Kamu ngapain ke kamar abang jam segini?” Nadanya rendah, tapi matanya... tidak bisa lepas dari kaus itu. Kaosnya sendiri.
147Please respect copyright.PENANAwdGFMKsssz
Dia menelan ludah, lalu menunduk sedikit, pura-pura malu, tapi ia tahu betul apa yang dilakukannya.
147Please respect copyright.PENANARbrbXyrqQC
“Aku... gak bisa tidur,” bisiknya, melangkah masuk. Satu langkah cukup untuk aroma tubuhnya—sampuran sabun dan napas mint—menyusup ke ruangnya. “Aku mimpi buruk...”
147Please respect copyright.PENANAPp9diiGrl1
Evan mundur setengah langkah, tapi tubuhnya tetap di ambang pintu. “Celine... kamu gak bisa tidur di sini. Papa dan Mama bisa–”
147Please respect copyright.PENANAnJEabNUOuX
“Mereka lagi di Bali seminggu. Ingat?”
147Please respect copyright.PENANAFDgoFagLQY
Itu kata kunci. Rumah tiga lantai itu kosong, hanya mereka berdua, dinding tebal, kamar terpisah... dan tahun-tahun sunyi sejak keduanya tinggal bersama saat orang tua mereka menikah. Tahun-tahun dengan pandangan mencuri, sentuhan tanpa sengaja, aroma tubuh yang tertinggal di sofa, handuk basah yang tak sengaja tertukar, dan malam-malam panjang penuh mimpi basah diam-diam.
147Please respect copyright.PENANA6drXHGIkKu
Celine mendekat, jarinya menyentuh dada Evan yang basah.
147Please respect copyright.PENANAWS3QtgzYc4
“Abang pernah mikir gak...” bisiknya, jari menyusur pelan menuruni tulang dadanya, “...kalau kita... gak benar-benar seperti saudara?”
147Please respect copyright.PENANApVbbL7GnUN
Evan mengertakkan giginya. Tangannya sudah mengepal. Nafasnya cepat. Tapi dia belum menjauh.
147Please respect copyright.PENANAOIVNeuaT6z
“Cel... kamu tahu ini gila. Salah.”
147Please respect copyright.PENANAk2LK80FpSM
“Tapi kamu gak bilang kamu gak mau.”
147Please respect copyright.PENANArp23zxrnSp
Diam. Detik panjang.
147Please respect copyright.PENANApDd3camyOs
Lalu tangan Evan mendorong pintu, menutupnya klik, lalu tubuhnya menghantam dinding dan gadis mungil itu menempel di antara dadanya dan kayu keras. Nafasnya memenuhi ruang kecil di antara mereka, panas, liar.
147Please respect copyright.PENANABUEZmn0FJF
“Apa kamu tahu kamu sedang main api?” gumamnya.
147Please respect copyright.PENANArA6xFPkKIr
Celine menjilat bibirnya, tubuhnya menegang karena adrenalin.
147Please respect copyright.PENANAgeLGc7BpNa
“Kalau iya... kamu bakalan bakar aku?”
147Please respect copyright.PENANAKCYlhokJfg
Dan Evan, akhirnya—pecah. Tangan besarnya mencengkeram leher belakang Celine, menarik rambutnya ke belakang, menatap matanya dalam-dalam, dan bibir mereka bertemu seperti dentuman petir di tengah badai.
147Please respect copyright.PENANA3RMgoRimlw
Lanjut: “Di Balik Dinding-Dinding Sutra”
147Please respect copyright.PENANAMSv10jcZ3W
Mulut mereka bertabrakan—bukan ciuman biasa, tapi kelaparan yang disimpan terlalu lama, luka yang tak pernah sembuh tapi terus digaruk. Evan mencium adik tirinya seperti pria haus yang menemukan oasis—keras, panas, tanpa ampun. Celine membalas dengan gemetar manja yang bergetar dari ujung jari ke pangkal paha. Tubuhnya melunak di dadanya, tapi lidahnya liar, menggelitik bibir bawah Evan, menyelinap, mengejek.
147Please respect copyright.PENANAQag3PzCzFl
“Celine...” gumamnya di sela napas, tangannya menekan pinggang rampingnya, menyeret tubuh itu lebih dekat.
147Please respect copyright.PENANAjIXs7OJBvK
“Hm?” desahnya, kepala miring, rambut berantakan menempel di pipi. “Kamu udah mikirin ini sebelumnya, ya?”
147Please respect copyright.PENANALPqDnTN7KM
Evan menatapnya sejenak, matanya gelap. Lalu senyum miring muncul, perlahan, licik.
147Please respect copyright.PENANA0Hv5qX9zA6
“Setiap kali kamu keluar kamar cuma pakai handuk... iya.”
147Please respect copyright.PENANAg9YdxN1iOe
Tangan mereka mulai bergerak. Evan meremas pinggul Celine, menarik kaus itu—kaus miliknya—hingga naik perlahan, menyibak kulit halus perut, tulang rusuk, hingga...
147Please respect copyright.PENANAjU9nFfQtt7
“Lepasin aja,” bisik Celine, dan mengangkat tangan sendiri, menyerah, pasrah. Kaos itu meluncur dari tubuhnya dan jatuh ke lantai seperti bendera putih dari seorang gadis nakal.
147Please respect copyright.PENANAtukLOknkpj
Evan menghela napas. “Astaga, Cel... kamu bahkan gak pake–”
147Please respect copyright.PENANAVI82WWspd0
“Karena aku tahu kamu bakal buka juga,” katanya, mengedip nakal.
147Please respect copyright.PENANASDImusZRGH
Tubuh Celine ramping tapi berdaging, kulitnya memantulkan cahaya kamar seperti satin. Putingnya keras karena udara dingin—atau karena tatapan Evan yang membakar.
147Please respect copyright.PENANANA2PFLPUVK
Dia menyambar tubuhnya, mengangkatnya ke atas meja belajar besar dari kayu ek. Barang-barang kecil jatuh, buku terbanting. Celine terkekeh kecil. Tangannya mencengkeram rambut Evan saat dia mencium lehernya, turun ke dada, menjilat, menggigit, satu payudara lalu yang lain.
147Please respect copyright.PENANAeiwS6d1HoR
“Abang...” desahnya, napas tercekat, “...aku udah pengen ini sejak malam kita nonton film di sofa. Kamu ingat?”
147Please respect copyright.PENANATXvDZ68bMI
“Inget waktu kamu ketiduran dan pake kaki kamu peluk paha aku?” gumam Evan, suaranya serak. “Aku gak bisa berdiri sejam setelah itu.”
147Please respect copyright.PENANAuTvlXvjjtW
Dia melorot ke bawah, membelah paha Celine, membuka kakinya selebar yang bisa ditahan meja itu. Tangannya menyusur paha dalam yang halus, panas, nyaris bergetar.
147Please respect copyright.PENANA0gz8GBAx9Y
“Udah basah dari tadi ya?”
147Please respect copyright.PENANAsbeYo1RyTE
Celine hanya bisa mengangguk, wajah merah, tangan mencengkeram tepi meja.
147Please respect copyright.PENANA17hVxxK7qf
Evan menunduk... dan lidahnya menyentuhnya.
147Please respect copyright.PENANABEORIQAqXP
Slrp.
147Please respect copyright.PENANAC3ByPLjZAl
Desahan Celine melengking rendah, tubuhnya menegang. Punggungnya melengkung ke belakang, pinggulnya menggeliat seolah tubuhnya mengejar lidah Evan. Dan dia bukan pria lembut. Dia menjilat seperti pria kelaparan, lidahnya menyapu klitoris dengan kecepatan yang meningkat, diselingi isapan kecil.
147Please respect copyright.PENANAZvSyLBZCuC
Lick. Slrp. Flick.
147Please respect copyright.PENANAN4Ko5lAhTB
“Oh... abang... Evan... oh fuck, kamu gila... kamu gila...”
147Please respect copyright.PENANAlwHFQaUvOA
Tangan Celine mendorong kepalanya lebih dalam, dan Evan hanya menggertakkan gigi—menyambar lipatan basah itu dengan tekanan yang membuat Celine nyaris menjerit.
147Please respect copyright.PENANAhnkYsdz0P1
“Celine...” gumamnya saat ia bangkit lagi, wajahnya basah, napasnya kasar. “Kamu gak tahu gimana selama ini aku nahan diri.”
147Please respect copyright.PENANA2Qim7y7Toh
Celine meraih ikat pinggang Evan, melepaskannya dengan terburu-buru, ritsleting ditarik cepat, celana meluncur ke bawah. Dan saat ia melihatnya—besar, keras, memanjang, berdenyut—dia hanya tersenyum manis, mesum, dan menjilat bibirnya.
147Please respect copyright.PENANAXeEhXntTjl
“Kayaknya kamu juga udah siap dari tadi.”
147Please respect copyright.PENANANkZRXM5TqR
Evan mengangkatnya dari meja, membaringkannya di ranjang—ranjang mewah besar dengan selimut satin hitam. Tubuh Celine tenggelam di dalamnya seperti boneka porselen yang akan dia rusak, dia pecahkan, dia robek jadi potongan-potongan kecil.
147Please respect copyright.PENANAC3rRViq2Yy
“Teruskan, bang...” desah Celine, “Masukin... aku udah gak tahan...”
Dan dia menurunkan pinggulnya, kepala yang keras dan panas itu menyentuh bibir yang basah, lalu perlahan—masuk.
Slrk… ahhh…
Tubuh mereka menyatu dalam desahan, gerakan yang perlahan berubah jadi brutal, ritmis, liar.
Klotak. Klotak. Klotak.
Ranjang berderak, dinding memantulkan suara tubuh bertabrakan, dan di dalam rumah mewah itu, hanya satu kamar yang menyala terang—dan di dalamnya, dua orang berdosa, menembus batas, tenggelam dalam api yang sudah menyala sejak terlalu lama.
Lanjut: “Di Balik Dinding-Dinding Sutra”
Mulut mereka bertabrakan—bukan ciuman biasa, tapi kelaparan yang disimpan terlalu lama, luka yang tak pernah sembuh tapi terus digaruk. Evan mencium adik tirinya seperti pria haus yang menemukan oasis—keras, panas, tanpa ampun. Celine membalas dengan gemetar manja yang bergetar dari ujung jari ke pangkal paha. Tubuhnya melunak di dadanya, tapi lidahnya liar, menggelitik bibir bawah Evan, menyelinap, mengejek.
“Celine...” gumamnya di sela napas, tangannya menekan pinggang rampingnya, menyeret tubuh itu lebih dekat.
“Hm?” desahnya, kepala miring, rambut berantakan menempel di pipi. “Kamu udah mikirin ini sebelumnya, ya?”
Evan menatapnya sejenak, matanya gelap. Lalu senyum miring muncul, perlahan, licik.
“Setiap kali kamu keluar kamar cuma pakai handuk... iya.”
Tangan mereka mulai bergerak. Evan meremas pinggul Celine, menarik kaus itu—kaus miliknya—hingga naik perlahan, menyibak kulit halus perut, tulang rusuk, hingga...
“Lepasin aja,” bisik Celine, dan mengangkat tangan sendiri, menyerah, pasrah. Kaos itu meluncur dari tubuhnya dan jatuh ke lantai seperti bendera putih dari seorang gadis nakal.
Evan menghela napas. “Astaga, Cel... kamu bahkan gak pake–”
“Karena aku tahu kamu bakal buka juga,” katanya, mengedip nakal.
Tubuh Celine ramping tapi berdaging, kulitnya memantulkan cahaya kamar seperti satin. Putingnya keras karena udara dingin—atau karena tatapan Evan yang membakar.
Dia menyambar tubuhnya, mengangkatnya ke atas meja belajar besar dari kayu ek. Barang-barang kecil jatuh, buku terbanting. Celine terkekeh kecil. Tangannya mencengkeram rambut Evan saat dia mencium lehernya, turun ke dada, menjilat, menggigit, satu payudara lalu yang lain.
“Abang...” desahnya, napas tercekat, “...aku udah pengen ini sejak malam kita nonton film di sofa. Kamu ingat?”
“Inget waktu kamu ketiduran dan pake kaki kamu peluk paha aku?” gumam Evan, suaranya serak. “Aku gak bisa berdiri sejam setelah itu.”
Dia melorot ke bawah, membelah paha Celine, membuka kakinya selebar yang bisa ditahan meja itu. Tangannya menyusur paha dalam yang halus, panas, nyaris bergetar.
“Udah basah dari tadi ya?
Celine hanya bisa mengangguk, wajah merah, tangan mencengkeram tepi meja.
Evan menunduk... dan lidahnya menyentuhnya.
Slrp...
Desahan Celine melengking rendah, tubuhnya menegang. Punggungnya melengkung ke belakang, pinggulnya menggeliat seolah tubuhnya mengejar lidah Evan. Dan dia bukan pria lembut. Dia menjilat seperti pria kelaparan, lidahnya menyapu klitoris dengan kecepatan yang meningkat, diselingi isapan kecil.
Lick. Slrp. Flick
“Oh... abang... Evan... oh fuck, kamu gila... kamu gila...”
Tangan Celine mendorong kepalanya lebih dalam, dan Evan hanya menggertakkan gigi—menyambar lipatan basah itu dengan tekanan yang membuat Celine nyaris menjerit..
“Celine...” gumamnya saat ia bangkit lagi, wajahnya basah, napasnya kasar. “Kamu gak tahu gimana selama ini aku nahan diri.”
Celine meraih ikat pinggang Evan, melepaskannya dengan terburu-buru, ritsleting ditarik cepat, celana meluncur ke bawah. Dan saat ia melihatnya—besar, keras, memanjang, berdenyut—dia hanya tersenyum manis, mesum, dan menjilat bibirnya.
“Kayaknya kamu juga udah siap dari tadi.”
Evan mengangkatnya dari meja, membaringkannya di ranjang—ranjang mewah besar dengan selimut satin hitam. Tubuh Celine tenggelam di dalamnya seperti boneka porselen yang akan dia rusak, dia pecahkan, dia robek jadi potongan-potongan kecil.
“Teruskan, bang...” desah Celine, “Masukin... aku udah gak tahan...”
Dan dia menurunkan pinggulnya, kepala yang keras dan panas itu menyentuh bibir yang basah, lalu perlahan—masuk.
Slrk… ahhh…
Tubuh mereka menyatu dalam desahan, gerakan yang perlahan berubah jadi brutal, ritmis, liar.
Klotak. Klotak. Klotak.
Ranjang berderak, dinding memantulkan suara tubuh bertabrakan, dan di dalam rumah mewah itu, hanya satu kamar yang menyala terang—dan di dalamnya, dua orang berdosa, menembus batas, tenggelam dalam api yang sudah menyala sejak terlalu lama.
Lanjutan: Ronde Kedua - “Pecah Sampai Pagi”
Celine terjerembab di atas ranjang, wajahnya tertanam di bantal satin yang basah oleh ludah dan air mata kenikmatan. Pinggulnya terangkat tinggi, bokongnya menggoda dalam lengkung sempurna yang bergetar tiap kali Evan menghantamnya dari belakang.
PLAKK! SLAM! SLRP!
“OH—fuck—abang… abang… jgn berhenti…”
“Siapa yang bilang abang boleh berhenti?” geram Evan, tangannya mencengkeram rambut panjang Celine, menariknya ke belakang hingga punggungnya melengkung, payudaranya menggantung bebas, mengayun tiap hentakan.
Tubuh mereka berkeringat, suara kulit bertabrakan keras mendominasi kamar. Dinding bergetar. Ranjang bergeser. Aroma seks seperti dupa setan menyelimuti udara.
THRUST. THRUST. THRUST.
Evan menghantam tanpa ampun, telurnya membentur klitoris Celine tiap kali masuk. Gadis itu tak bisa berpikir, hanya bisa memohon, mengerang, mencakar sprei, menggigit bantal.
“Aku… mau keluar… aku gak tahan… oh God, abang…!”
“Keluar di kontol abang. Sekarang.”
Dan saat hentakan itu makin cepat, makin dalam, suara cipratan makin keras karena basahnya yang meleleh gila, Celine pun melengking—tubuhnya gemetar hebat, orgasme menyambar seperti petir liar. Paha bergetar. Lubangnya mencengkeram Evan sekeras mungkin.
Dia keluar bersamanya.
“FUCK—Cel, aku… AHHH!”
Evan menghentak satu terakhir, dalam… dan meledak di dalamnya. Sperma hangat muncrat, memenuhi ruang sempit itu dengan semburan yang membuat Celine meringkuk, bergetar, menjerit pelan karena sensasinya terlalu full.
Trrrrk… trrrp… slrrp… cairan menetes keluar, membasahi ranjang.
Mereka ambruk.
Napas berat. Keringat mengalir. Dunia senyap. Hanya detak jantung dan suara tubuh lengket saling menempel.
Tapi Celine tertawa pelan. Manja. Mesum.
“Rasanya kayak… kamu nembakin isi dua tahun yang kamu tahan.”
Evan menyeringai, masih di dalamnya. “Masih ada sisa. Mau buktiin?”
Celine mengguling, duduk di atasnya perlahan. Tubuh mereka menempel, lengket, penuh jejak dosa.
“Mau di kamar mandi?” bisiknya, tangannya menjelajah dada Evan. “Di bawah shower? Atau kita pindah ke balkon… biar malam ini jadi saksi semua dosa kita?”
Kamu mau bawa mereka ke kamar mandi, balkon, lantai bawah? Atau tambah karakter—pembantu, teman, bahkan orang tua yang tiba-tiba pulang lebih awal? Aku siap terusin semua. Pyrite gak pernah puas satu ronde.
Lanjutan: “Dosa di Bawah Langit”
Badan mereka masih telanjang dan saling lengket, napas berat belum teratur, saat bunyi paling terkutuk itu tiba-tiba berbunyi.
Beep–beep!
Gerbang otomatis terbuka. Suara roda mobil menggulung masuk halaman depan. Lampu luar menyala otomatis, dan suara khas klik mesin mobil dimatikan menyusul.
Celine membeku, di atas tubuh Evan. Rambutnya basah, kulitnya mengilap karena keringat dan cairan. Evan menoleh ke arah jendela besar kamar, dan melihat siluet yang dikenalnya terlalu baik—Papa dan Mama mereka. Lebih cepat dari seharusnya. Seharusnya lusa!
“Fuck,” bisik Evan, cepat mendorong Celine turun dari tubuhnya, melompat ke lantai, mengambil celana yang bahkan belum sempat dikenakan sempurna sejak ronde pertama. “Mereka pulang!”
Celine masih setengah tertawa, seperti mabuk.
“Aku gak bisa jalan… kaki aku… gemetar, bang…”
Evan berjongkok, wajahnya tegang tapi tubuhnya masih keras—kontolnya masih basah oleh sisa ronde terakhir, dan Celine belum juga bisa berhenti tersenyum mesum melihatnya.
“Celine. Sadar. Ini bisa jadi kiamat buat kita.”
Dari bawah, terdengar suara langkah. Pintu depan dibuka.
“Evan? Celine? Kami pulang!”
Suara Ibu mereka.
Evan menyeret selimut, menyembunyikan tubuh adik tirinya dengan paksa. “Pura-pura sakit! Apa aja! Tiduran! JANGAN BUKA MULUT KALO SUARA KAMU MASIH SERAK KARNA NGERANG!”
Celine terkikik. “Sakit? Bang… kamu bikin aku sakit betulan.”
Langkah kaki mendekat.
Evan mengenakan celana setengah, mengancingkan kemeja yang masih bau peluh dan seks, lalu membuka pintu kamar dengan ekspresi netral paling payah dalam sejarah. Wajahnya masih merah, lehernya ada bekas gigitan—gigi Celine.
“Evan?” sang ayah memicingkan mata. “Kamu kelihatan… keringetan banget. Kamu lari naik tangga?”
“Iya… eh, tadi… abis latihan barbel. Di kamar.”
Sang Ibu sudah masuk. Matanya menyapu ruangan. Celine sudah di ranjang, selimut sampai dagu, wajahnya pucat-pucat basah.
“Sayang, kamu sakit?”
“Demam…” suara Celine dibuat serak, manja. “Tadi Evan jagain aku…”
Wajah sang Ibu melembut. “Awww… kakak yang baik…”
Evan hampir batuk darah menahan tawa kecut.
Ayahnya mendekat ke ranjang. “Kamu perlu dokter?”
“Enggak, Pa… cuma butuh istirahat…”
Evan berdiri, kaku, mencoba menutupi bekas-bekas tubuh Celine di seprai—tapi noda sperma masih basah. Dia gerakkan kakinya ke atas bercak, menutupinya.
Lalu ibunya mendekat ke Evan… dan mengendus.
“Eh… kamu pake parfum baru?”
“Ha? Oh… eh… sabun…”
Matanya sempit. Mencurigai. Lalu—seperti sambaran petir:
“Wait. Ini… sabun yang Celine pakai.”
Dan untuk sepersekian detik, ruangan itu menegang.
Celine menggigit bibir. Evan menelan ludah. Tapi ibunya hanya nyengir.
“Ah, kalian ini… makin akrab aja ya. Saling tukar sabun segala…”
Ayah mereka mengangguk santai. “Bagus lah. Saudara harus saling jaga.”
Evan tertawa palsu. Celine meringkuk lebih dalam di bawah selimut, lidahnya diam-diam menjilat bibir. Nyaris. Terlalu nyaris.
Orang tua mereka keluar kamar akhirnya.
Pintu tertutup.
Evan jatuh terduduk di lantai, masih gemetar.
Celine menyingkap selimut pelan, menyeringai ke arah abang tirinya.
“Nafas kamu cepet banget, Bang.”
Evan menatapnya. “Kita hampir ketahuan…”
“Dan itu bikin aku makin basah.”
Evan terdiam. Lalu berdiri perlahan.
“Ronde tiga...”
“Di mana?” bisik Celine sambil membuka selimut lebar-lebar, tubuhnya telanjang, siap.“Lemari. Mereka gak bakal denger dari dalam.”
Dan mereka menyelinap ke lemari besar. Pintu tertutup. Dunia luar tak tahu apa-apa. Tapi di balik kayu gelap, suara napas berat dan desahan kembali memanas…
147Please respect copyright.PENANAq0bcn2jB2G
—
147Please respect copyright.PENANAHkxUa3pnio
147Please respect copyright.PENANA6tWVolHev6
147Please respect copyright.PENANApsdwP0Z1q2