13Please respect copyright.PENANA8EwnSmxzVR
Malam itu, setelah percakapan dengan Lord Lucius dan menyaksikan gerobak tawanan di pagi hari, amarah Rowan membakar. Dendamnya terhadap Vortigern kini berkobar, mendorongnya ke menara Malakor. Namun, ia tak bisa menyerbu dengan seragam pengawal. Ia butuh penyamaran sempurna, yang akan didapatkannya di pasar gelap Oakhaven.
Rowan menyelinap melalui gang-gang sempit kota menuju area kumuh pasar gelap. Di sana, ia menemukan toko kecil remang-remang yang menjual barang-barang "istimewa". Seorang pria tua licik menyambutnya. Rowan langsung meminta jubah hitam bertudung dalam dan topeng kulit yang menyembunyi kan wajah sepenuhnya.
Pria tua itu, dengan seringai, menyerahkan barang-barang itu seharga lima koin emas, meminta janji Rowan akan kembali. Rowan mengenakan jubah dan topeng itu. Ia merasakan identitasnya memudar, menjadi bayangan anonim. Dengan amarah yang terkontrol, ia siap berburu Malakor di rawa-rawa.
Rowan bergerak cepat menuju rawa-rawa, jubah hitam dan topengnya menyatu dengan bayangan. Udara lembab dan bau busuk rawa semakin pekat seiring ia melangkah lebih dalam. Ki-nya berdenyut kuat, merasakan energi sihir yang intens dari menara Malakor. Ia menembus mantra pelindung yang mencoba membingungkan indranya, mengandalkan Ki untuk menemukan celah.
Siluet menara batu hitam itu menjulang di atas pepohonan bakau, puncaknya runcing menembus langit malam. Cahaya redup dan siluet gagak bermata merah terlihat di sekitarnya. Rowan tahu ia harus menemukan kelemahan Malakor (kalung) dan menghindari penjaga tak terlihat serta jebakan sihir. Ia mengamati pola patroli gagak dan penjaga, menemukan celah di perisai sihir menara.
Memasuki Sarang Penyihir
Dengan rencana di benaknya, Rowan menyusup melalui semak belukar menuju menara. Ia melewati jebakan sihir yang tersembunyi dengan Ki-nya, merasakan energi dingin dan aroma sulfur. Kemudian, ia menghadapi penjaga tak terlihat—entitas sihir berbentuk bayangan dengan mata merah samar. Rowan menggunakan Ki untuk melihat pola gerakan mereka dan menyelinap, menyatu dengan bayangan.
Akhirnya, ia mencapai dinding menara. Batu hitam itu memancarkan energi sihir yang kuat. Rowan menemukan titik lemah di perisai, sebuah area dengan konsentrasi sihir yang lebih rendah. Dengan hati-hati, ia mulai menekan area itu dengan Ki-nya, mencoba menciptakan retakan pada mantra pelindung. Ini akan butuh waktu, dan ia harus tetap berhati-hati agar tidak menarik perhatian Malakor.
Rowan berhasil menyusup ke menara, menelusuri tiap ruang dan hanya menemukan kengerian menebas kepala para penjaga yang dilewatinya. Setiap langkahnya di koridor gelap menara diiringi oleh suara krek tulang dan cepluk daging yang terpisah. Darah kental membasahi lantai batu, membentuk genangan hitam yang mengilap di bawah cahaya redup. Kepala-kepala yang terpenggal menggelinding dengan bunyi tumpul, mata mereka masih melotot kosong, sementara tubuh-tubuh tanpa kepala ambruk ke tanah, kejang-kejang sesaat sebelum diam tak bergerak. Aroma anyir darah segar memenuhi udara, bercampur dengan bau apak debu dan sihir yang pekat. Rowan bergerak tanpa ragu, bilah Kage-Tsurugi miliknya bagai bayangan yang tak terlihat, memisahkan nyawa dari raga dengan presisi mengerikan. Ia adalah mesin kematian, dan setiap penjaga yang menghalangi jalannya hanya menambah tumpukan mayat di belakangnya. Semakin tragis saat Rowan melihat ruang-ruang yang sepertinya bekas penelitian dengan tumpukan mayat yang sudah tidak bisa dikenali, tubuh yang terpotong. Dinding-dindingnya berlumuran noda cokelat kehitaman yang mengering, bercampur dengan bercak merah segar yang baru. Di atas meja-meja batu, tergeletak organ-organ yang telah dikeluarkan, beberapa masih berdenyut samar, sementara yang lain telah mengering dan menghitam. Bau busuk yang memualkan menusuk hidungnya, campuran bau darah, cairan tubuh, dan daging yang membusuk, begitu pekat hingga terasa seperti mencekik. Potongan-potongan tubuh berserakan di lantai, beberapa masih terhubung dengan usus yang menjuntai, yang lain hanya berupa gumpalan daging dan tulang yang hancur. Mata-mata yang kosong menatap ke atas, seolah memohon belas kasihan terakhir, sementara beberapa wajah yang masih bisa dikenali memancarkan kengerian dan rasa sakit yang abadi. Ini bukan hanya pembantaian, ini adalah kekejian, sebuah altar pengorbanan yang mengerikan, dan setiap langkah Rowan di antara sisa-sisa itu hanya memperkuat tekadnya untuk menghancurkan Malakor dan Vortigern.
Rowan menyusuri setiap ruang tersebut, entah berapa kepala penjaga yang sudah lepas dari tubuhnya. Koridor-koridor sempit dan berliku itu menjadi labirin kematian, di mana setiap belokan menyajikan pemandangan yang lebih mengerikan dari sebelumnya. Darah membasahi sepatu botnya, dan suara cipratan kecil mengiringi setiap langkahnya. Dinding-dindingnya dihiasi dengan coretan-coretan aneh yang terbuat dari darah kering, membentuk simbol-simbol sihir yang menjijikkan. Bau busuk yang memualkan semakin pekat, seolah menara itu sendiri adalah organ yang membusuk. Ia melewati sel-sel kecil yang berisi kerangka manusia yang terikat rantai, beberapa masih dalam posisi menyedihkan seolah baru saja meninggal, sementara yang lain telah menjadi debu. Di sudut-sudut, tumpukan organ-organ yang membusuk dan sisa-sisa eksperimen mengerikan terlihat jelas, beberapa masih berdenyut samar dengan cahaya sihir yang redup. Rowan bergerak tanpa ekspresi, topengnya menyembunyikan jijiknya yang mendalam, namun Ki-nya bergejolak hebat, memicu amarah yang nyaris tak terkendali. Ia adalah bayangan di tengah kekejian ini, sebuah pisau yang bergerak dalam kegelapan, memisahkan nyawa dari raga tanpa ampun.
Akhirnya, setelah menelusuri labirin kengerian itu, Rowan merasakan konsentrasi Ki yang luar biasa kuat dari sebuah ruangan di ujung koridor. Energi itu begitu pekat hingga terasa seperti dinding tak terlihat yang memancar keluar. Tanpa ragu, ia menghantam pintu ruangan itu dengan pedangnya, Kage-Tsurugi. Bilah hitam itu memotong kayu tebal dan engsel besi dengan suara krak yang memekakkan, dan pintu itu ambruk ke dalam dengan debu dan serpihan. Di dalamnya, pemandangan yang menanti Rowan adalah puncak dari kengerian yang telah ia saksikan. Ruangan itu luas, diterangi oleh cahaya hijau keunguan yang berdenyut dari kristal-kristal aneh yang tertanam di dinding. Di tengah ruangan, berdiri seorang penyihir, Malakor, dengan jubah hitam dan kalung batu permata hitam yang memancarkan aura gelap. Di sampingnya, terikat pada sebuah altar batu, adalah makhluk hasil percobaan yang mengerikan, tubuhnya cacat dan menyimpang, namun memancarkan energi Ki yang luar biasa, berdenyut dengan kekuatan yang menakutkan, sebuah kombinasi dari daging yang rusak dan sihir yang tak terkendali. Aroma darah dan ozon yang menyengat memenuhi ruangan, bercampur dengan bau busuk yang lebih pekat dari sebelumnya. Malakor menoleh, matanya yang dingin dan penuh kegilaan menatap Rowan, senyum tipis terukir di bibirnya. "Selamat datang, Tuan Pengawal," katanya, suaranya serak dan penuh kekuatan. "Aku sudah menunggumu."
Seolah tahu kedatangan Rowan dan telah mempersiapkannya, makhluk mengerikan di samping Malakor itu tiba-tiba menggeram, sebuah suara yang bukan berasal dari tenggorokan makhluk hidup, melainkan resonansi dari daging yang rusak dan sihir yang terkunci. Dengan kekuatan yang tak terduga, makhluk itu melepaskan diri dari rantai yang mengikatnya ke altar, dan melesat ke arah Rowan bagai bayangan yang haus darah. Gerakannya cepat, cakar-cakarnya yang panjang dan tajam berkilat di cahaya hijau keunguan, mengincar leher Rowan. Rowan, dengan refleks yang diasah oleh pelatihan bertahun-tahun, berhasil menghindarinya dengan gerakan Kage-Ayumi yang nyaris tak terlihat, bilah Kage-Tsurugi berdesing di udara saat ia memblokir serangan berikutnya. Namun, kekuatan hantaman makhluk itu begitu besar hingga Rowan merasakan getaran keras di lengannya, dan sebuah cakaran tipis berhasil menggores bahunya, meninggalkan luka dangkal yang mengeluarkan darah segar. Rowan mundur selangkah, merasakan nyeri yang membakar, namun matanya tetap tajam, menilai lawannya. Ia merasakan kuatnya makhluk itu, sebuah kombinasi mengerikan dari kekuatan fisik yang brutal dan energi sihir yang gelap, jauh melampaui penjaga biasa yang telah ia tebas. Ini adalah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih berbahaya. Malakor hanya berdiri di samping altar, senyumnya semakin lebar, matanya yang dingin memancarkan kegilaan. "Ah, aku lupa memperkenalkan," katanya, suaranya serak dan penuh kepuasan, seolah menikmati pertunjukan. "Ini adalah ciptaanku yang paling sempurna, Tuan Pengawal. Sebuah mahkluk tak berakal, yang hanya mengenal rasa sakit dan kehancuran. Aku menyebutnya... Nihil." Malakor mengangkat tangannya, dan Nihil menggeram lagi, bersiap untuk serangan berikutnya, matanya yang kosong kini hanya fokus pada Rowan.
Rowan mencoba menyerang, bilah Kage-Tsurugi melesat bagai kilat hitam, mengincar titik vital Nihil. Namun, makhluk itu bereaksi dengan kecepatan yang mengejutkan, mengimbangi setiap ayunan pedang Rowan dengan cakar dan tubuhnya yang menyimpang. Suara dentang logam beradu dengan ceplak daging yang keras memenuhi ruangan, menciptakan simfoni brutal. Terkadang, Rowan yang terdesak, harus mundur selangkah atau dua, merasakan hembusan napas busuk Nihil yang panas di wajahnya. Cakar-cakarnya Nihil yang tajam menggores udara di dekatnya, meninggalkan jejak energi sihir yang berdenyut. Pertarungan itu begitu sengit, sebuah tarian kematian antara presisi mematikan Rowan dan kekuatan brutal Nihil. Setiap gerakan adalah pertaruhan nyawa, setiap serangan adalah upaya untuk menemukan celah dalam pertahanan lawan yang tak wajar. Percikan Ki hitam Rowan beradu dengan aura hijau keunguan Nihil, menciptakan kilatan-kilatan cahaya yang menerangi ruangan, menyingkap bayangan-bayangan mengerikan di dinding. Malakor hanya berdiri di samping, mengamati dengan senyum puas, seolah ia sedang menikmati pertunjukan yang telah lama ia nantikan. Rowan memusatkan Ki-nya, mengalirkannya ke seluruh tubuh, dan melaju cepat bagai bayangan yang dipercepat, bilah Kage-Tsurugi berdesing membelah udara. Dengan satu tebasan yang presisi dan mematikan, ia mengincar kepala Nihil yang bentuknya menjijikkan, memisahkan tengkorak dari leher dengan suara ceplak yang basah dan mengerikan. Kepala itu terpelanting, memercikkan cairan hijau keunguan dan gumpalan daging busuk ke dinding. Namun, kengerian itu belum berakhir. Seketika, dari leher Nihil yang terpenggal, serat-serat daging mulai menggeliat dan berpilin, memancarkan cahaya sihir yang intens, membentuk kembali tulang dan otot dengan kecepatan yang mengerikan. Dalam hitungan detik, sebuah kepala baru, sama menjijikannya dengan yang sebelumnya, telah beregenerasi sepenuhnya. Nihil menggeram, matanya yang kosong kini memancarkan amarah yang lebih besar, dan tanpa jeda, makhluk itu melesat kembali ke arah Rowan dengan kecepatan yang lebih buas, cakar-cakarnya mengoyak udara. Rowan harus mengambil jarak, melompat mundur dengan gerakan Kage-Ayumi untuk menghindari serangan balasan yang mematikan, merasakan hembusan angin dari cakar Nihil yang nyaris mengenainya.
Rowan melirik Malakor, yang kini menggerakkan tangannya dalam gerakan rumit, jarinya menari di udara seolah melukis simbol tak kasat mata. Kalung permata hitam di leher penyihir itu berdenyut dengan cahaya gelap, memancarkan gelombang energi sihir yang jelas-jelas mengalir ke arah Nihil, seolah menyalurkan kekuatan hidup. Asumsi Rowan menguat: makhluk mengerikan ini adalah boneka sihir Malakor, sebuah perpanjangan dari kehendak penyihir itu, dan kekuatannya berasal dari mantra yang terus-menerus dirapal Malakor. Senyum puas Malakor semakin lebar, bibirnya melengkung dalam seringai kejam. "Kau cukup lincah, Tuan Pengawal," katanya, suaranya serak dan penuh ejekan, menggema di ruangan itu. "Tapi bisakah kau mengalahkan sesuatu yang tidak bisa mati? Bisakah kau mengalahkan kehampaan itu sendiri? Nihil akan menghancurkanmu, sepotong demi sepotong, hingga kau hanya menjadi debu di kakiku!" Ia tertawa, tawa yang dingin dan gila, seolah menikmati setiap detik penderitaan Rowan. Rowan bersiap menunjukan teknik tertinggi yang ia kuasai, menyerang dengan cepat ke arah Malakor, namun serangannya berhasil ditepis Nihil. Dengan konsentrasi tinggi, sambil terus bertarung sengit dengan Nihil, Rowan memusatkan Ki-nya ke pedang. Aura hitam pekat menyelimuti bilah Kage-Tsurugi, membuatnya berdenyut dengan kekuatan yang menakutkan. Ia mengambil jarak, melompat mundur dengan gerakan Kage-Ayumi yang cepat, menciptakan ruang di antara dirinya dan makhluk itu. Dengan satu tebasan horizontal yang presisi dan mematikan, bilah Kage-Tsurugi membelah udara, bukan dengan suara desingan pedang biasa, melainkan dengan suara robekan yang aneh, seolah kain ruang itu sendiri terkoyak. Sebuah retakan hitam tipis, seperti celah di realitas, muncul di udara, melesat lurus ke arah Nihil. Ini adalah Dimension Slash, teknik tertinggi yang diajarkan Silas, yang mampu memanipulasi ruang untuk memotong target, mengabaikan pertahanan fisik.
Retakan dimensi itu menghantam Nihil dengan kekuatan tak terduga. Makhluk itu tidak hanya terbelah menjadi dua, tetapi belahannya begitu bersih dan sempurna, seolah ia terpotong oleh pisau bedah tak kasat mata yang menembus dimensi. Tidak ada suara ceplak atau krek tulang, hanya keheningan yang aneh saat dua bagian tubuh Nihil meluncur terpisah, memperlihatkan organ-organ yang menyimpang dan serat-serat sihir yang berdenyut di dalamnya. Cairan hijau keunguan yang kental memercik ke lantai dan dinding, mengeluarkan bau busuk yang lebih tajam. Namun, kali ini, tidak ada regenerasi. Retakan dimensi itu telah mengganggu inti sihir Nihil, membuatnya tidak bisa menyatukan kembali dirinya. Tubuh Nihil yang terbelah itu ambruk ke lantai dengan suara gedebuk yang tumpul, kejang-kejang sesaat, lalu diam tak bergerak, membusuk dengan cepat menjadi gumpalan daging dan sihir yang mati. Aroma busuk yang memualkan semakin pekat, seolah kematian Nihil melepaskan segala kekotoran yang tersembunyi di dalamnya.
Tanpa membuang waktu sedetik pun, bahkan sebelum Nihil sepenuhnya roboh, Rowan sudah melesat. Gerakannya adalah kilatan bayangan, sebuah garis hitam yang tak terhentikan, langsung mengincar Malakor. Pedang Kage-Tsurugi di tangannya berdesing, bilahnya kini memancarkan aura hitam yang lebih pekat, seolah menyerap energi dari kematian Nihil. Malakor, yang terkejut melihat ciptaannya hancur begitu cepat, tidak sempat bereaksi sepenuhnya. Rowan menghantamnya dengan kecepatan yang mematikan, bilah Kage-Tsurugi menusuk tepat ke dada penyihir itu, menembus jubah hitam dan kulitnya dengan suara desir yang mengerikan. Pada saat yang sama, ujung pedang itu menghantam kalung permata hitam di leher Malakor. Dengan suara krak yang memekakkan, kalung itu pecah berkeping-keping, permata-permatanya hancur menjadi debu hitam yang bertebaran di udara. Energi gelap yang memancar dari kalung itu tiba-tiba meledak, sebuah gelombang kejut sihir yang menghantam Rowan, membuatnya terpental ke belakang, namun ia berhasil mempertahankan pedangnya tetap tertancap di dada Malakor.
Malakor terkesiap, matanya membelalak tak percaya. Mulutnya terbuka, mencoba mengucapkan mantra, namun hanya darah yang keluar. Kekuatan sihirnya tiba-tiba menghilang, seolah semua energinya telah terkuras habis bersama hancurnya kalung itu. Tubuhnya kejang-kejang, matanya yang penuh kegilaan kini memancarkan keputusasaan yang nyata. Ia mencengkeram bilah pedang di dadanya, mencoba menariknya keluar, namun cengkeramannya lemah. Dengan erangan terakhir yang serak, Malakor ambruk ke lantai, tubuhnya kejang-kejang sesaat, lalu diam tak bergerak, darah mengalir dari mulut dan luka di dadanya, membentuk genangan merah di lantai batu.
Rowan, meskipun lelah dan sedikit terguncang oleh ledakan energi terakhir Malakor, tahu ini belum berakhir. Ia tidak boleh gegabah. Dengan langkah tenang dan terukur, ia mendekati tubuh Malakor yang tergeletak tak bernyawa. Aroma darah dan sihir yang membusuk memenuhi hidung, namun Rowan mengabaikannya. Ia menarik pedangnya dari dada penyihir itu dengan suara desir yang basah, lalu tanpa ragu, ia mengayunkan Kage-Tsurugi sekali lagi. Bilah hitam itu membelah leher Malakor dengan suara ceplak yang mengerikan, memisahkan kepala dari tubuhnya. Darah hitam kental menyembur, membasahi lantai dan sedikit mengenai jubah Rowan, namun ia tak bergeming. Ia mencengkeram rambut Malakor yang kotor, mengangkat kepala yang terpenggal itu tinggi-tinggi. Mata penyihir itu masih melotot kosong, sebuah ekspresi kengerian yang membeku di wajahnya.
Dengan kepala Malakor di tangan, Rowan berbalik dari pemandangan mengerikan di ruangan itu. Ia melangkah keluar, melewati mayat-mayat penjaga yang berserakan dan sisa-sisa Nihil yang membusuk. Koridor-koridor yang tadinya gelap dan penuh jebakan kini terasa sunyi, hanya diisi oleh suara langkahnya sendiri dan tetesan darah dari kepala yang ia genggam. Ia bergerak cepat, menyusuri jalan yang sama yang ia gunakan untuk menyusup, keluar dari menara Malakor dan kembali ke rawa-rawa yang gelap.
Di tengah rawa, di bawah langit yang mulai menunjukkan semburat fajar, Rowan berhenti sejenak. Ia menatap kepala Malakor di tangannya, sebuah simbol kemenangan yang pahit. Namun, alih-alih membuangnya ke rawa, Rowan memutuskan untuk membawa kepala itu sebagai pesan. Dengan langkah cepat, ia menyusuri jalan kembali menuju Oakhaven, menuju Kediaman Bangsawan Vortigern. Ia melangkah tanpa suara, bayangan di antara pepohonan yang masih diselimuti kabut pagi. Saat ia tiba di luar gerbang utama Kediaman Vortigern, di bawah cahaya fajar yang samar, Rowan berhenti. Dengan gerakan kuat dan penuh amarah, ia melemparkan kepala Malakor itu jauh ke dalam halaman depan kediaman Vortigern, membiarkannya tergeletak di tengah-tengah, sebuah deklarasi tanpa kata bagi para bangsawan di dalamnya. Ia tidak ingin ada jejak yang tertinggal, kecuali pesan yang jelas.
Setelah menyampaikan pesannya, Rowan melanjutkan perjalanannya menuju Kediaman Aldric. Saat ia mendekati pinggir kota, jauh dari mata yang mengawasi, ia berhenti di sebuah semak belukar tebal. Tanpa ragu, ia melepas jubah hitam dan topeng kulitnya, menyembunyikannya di antara dedaunan. Ia tidak ingin ada yang mengaitkan penyamaran pemburu bayangan itu dengan dirinya. Ia kembali menjadi Rowan, pengawal baru di Kediaman Aldric.
Dengan tubuh yang lelah namun pikiran yang puas, Rowan akhirnya melangkah menuju Kediaman Aldric. Fajar kini telah sepenuhnya menyingsing, mewarnai langit dengan cahaya keemasan. Ia menyelinap masuk melalui pintu belakang, kembali ke kamarnya tanpa menarik perhatian siapa pun. Begitu di dalam, ia ambruk ke ranjang, membiarkan kelelahan merayapi setiap inci tubuhnya. Dendamnya telah terbalaskan, setidaknya untuk Malakor. Namun, ia tahu ini hanyalah awal. Vortigern masih berdiri, dan 'Jantung Dunia yang Tertidur' masih menjadi ancaman. Rowan menutup mata, membiarkan tidur mengambil alih, namun dalam benaknya, rencana-rencana baru mulai terbentuk, siap untuk pertarungan berikutnya.
Rowan terbangun jauh lebih siang dari biasanya. Sinar matahari sudah menembus celah tirai kamarnya, membanjiri ruangan dengan cahaya yang terang. Ia menggeliat, merasakan setiap ototnya protes setelah malam yang panjang dan penuh aksi. Ada sedikit nyeri di bahunya akibat cakaran Nihil, dan rasa lelah yang mendalam merayapi tubuhnya. Pikirannya masih sedikit berkabut, dan ia butuh beberapa saat untuk sepenuhnya menyadari di mana ia berada. Ia bangkit dari ranjang, merasakan sprei yang kusut dan sedikit aroma melati yang samar, pengingat akan "kompensasi" dari Seraphina. Seketika, ia teringat janjinya pada Lord Lucius untuk bertemu di pagi hari. Seringai tipis muncul di bibirnya. "Sial," gumamnya, "aku pasti ketiduran. Lucius pasti sudah menungguku." Ia tahu ia telah melanggar janjinya, tetapi ia tidak terlalu khawatir. Ia akan memikirkan cara lain untuk menemui Lucius, mungkin dengan dalih patroli atau tugas lain yang bisa membawanya keluar kediaman. Bagaimanapun, ia punya kepala Malakor sebagai bukti keberhasilannya, dan itu akan menjadi alat yang sangat efektif untuk meyakinkan Lucius.
Saat Rowan mengenakan kembali seragam pengawalnya, sebuah keramaian yang tidak biasa terdengar dari luar kediaman. Suara-suara panik, teriakan terkejut, dan derap kaki yang tergesa-gesa memenuhi udara. Rowan mengernyitkan dahi. Ini bukan suara keramaian pasar atau patroli biasa. Ini adalah suara kekacauan. Rasa penasaran menguasai dirinya, dan Ki-nya berdenyut samar, merasakan gelombang emosi yang kuat dari luar. Ia segera menyelesaikan pakaiannya, menyarungkan Kage-Tsurugi, dan melangkah keluar dari kamarnya.
Koridor-koridor Kediaman Aldric yang biasanya tenang kini dipenuhi oleh pelayan dan pengawal yang berlarian panik. Wajah-wajah mereka pucat, mata mereka membelalak ketakutan. "Ada apa ini?" Rowan bertanya pada seorang pelayan yang nyaris menabraknya. Pelayan itu tersentak, menatap Rowan dengan mata ketakutan. "Tuan Pengawal! Ada... ada kepala! Kepala penyihir itu! Ditemukan di halaman Kediaman Vortigern! Kekacauan besar!" Pelayan itu tergagap, lalu berlari pergi, terlalu panik untuk menjelaskan lebih lanjut.
Rowan menyeringai. Jadi, pesannya sudah sampai. Ia melangkah cepat menuju pintu utama, membiarkan keramaian itu terpecah di sekitarnya. Ia ingin melihat reaksi para bangsawan dan penguasa kota. Ia ingin melihat bagaimana mereka akan bereaksi terhadap deklarasi perang tanpa kata-kata ini.
Melihat kekacauan yang melanda kediaman Aldric, Rowan segera berasumsi bahwa berita tentang kepala Malakor yang dilemparkan ke halaman Kediaman Vortigern telah memicu reaksi berantai. Ia menduga keluarga Vortigern, yang kini merasa terancam dan dipermalukan, pasti akan segera mengumpulkan semua bangsawan dan sekutu yang terkoneksi dengannya untuk menghadapi ancaman tak terlihat ini. Asumsi ini terkonfirmasi dengan cepat. Rowan, dengan sigap, mendekati beberapa pelayan yang masih terlihat panik di koridor. Ia menanyakan perihal keberadaan Lord Aldric dan Lady Seraphina. Dari jawaban tergagap mereka, Rowan mendapatkan konfirmasi bahwa Adric dan Seraphina, meskipun terkejut dan sedikit ketakutan, telah pergi memenuhi panggilan mendesak dari Kediaman Vortigern. Ini adalah kesempatan emas. Dengan para penguasa kediaman pergi, Rowan memiliki kebebasan bergerak yang lebih besar untuk melanjutkan rencana-rencananya, baik itu mencari informasi lebih lanjut atau mempersiapkan langkah berikutnya dalam misi balas dendamnya.
Rowan menyelinap keluar dari Kediaman Aldric, bergerak bagai bayangan di tengah hiruk pikuk pagi yang mulai mereda. Langkahnya nyaris tanpa suara di atas batu paving yang basah oleh embun. Ia memanfaatkan setiap celah dan bayangan, menyusuri gang-gang sempit yang jarang dilewati, menghindari tatapan mata yang ingin tahu dari para pedagang yang baru membuka toko atau pelayan yang sibuk. Udara pagi yang dingin terasa menyegarkan di wajahnya, namun pikiran Rowan tetap fokus pada tujuannya. Ia tidak menuju pasar gelap atau rawa-rawa kali ini. Tujuannya adalah Sarang Merak, tempat Nyonya Vivian, sang Ratu Malam. Ia butuh informasi, dan Vivian adalah kuncinya. Rowan tahu Vivian akan terkejut dengan berita kematian Malakor, dan ia ingin melihat reaksi wanita itu secara langsung. Ia juga ingin memastikan bahwa Vivian akan terus menjadi sekutunya, terutama setelah pesan yang ia sampaikan di Kediaman Vortigern. Dengan setiap langkah, ia semakin mendekati pusat informasi Oakhaven, Rowan tiba di Sarang Merak, suasana di sana masih tenang, belum terusik oleh berita yang mengguncang Oakhaven. Ia melangkah langsung menuju ruang pribadi Nyonya Vivian, tanpa ragu. Pintu itu sedikit terbuka, mengundang. Rowan mendorongnya perlahan, dan di dalamnya, ia menemukan Vivian sedang duduk di meja kerjanya, meninjau beberapa dokumen, wajahnya terlihat serius. Aroma teh herbal dan sedikit wangi kertas tua memenuhi ruangan. Vivian mengangkat kepalanya, matanya yang tajam menatap Rowan, sedikit terkejut dengan kedatangannya yang tak terduga.
"Tuan Rowan," sapa Vivian, nadanya masih tenang, namun ada sedikit kebingungan di matanya. "Ada apa? Aku tidak menyangka kau akan datang sepagi ini. Apakah ada masalah di Kediaman Aldric?"
Rowan hanya menyeringai, senyum tipis yang penuh makna. Ia melangkah lebih dekat, mengabaikan pertanyaan Vivian. "Nyonya Vivian," katanya, suaranya rendah, penuh kepuasan. "Aku punya berita yang mungkin akan mengejutkanmu. Dan aku yakin, kau akan menyukainya."
Vivian menatapnya lekat, merasakan aura yang berbeda dari Rowan, sebuah energi yang lebih gelap dan lebih kuat dari biasanya. Ia bisa melihat kilatan kemenangan di mata Rowan. "Berita apa itu, Tuan Pengawal?" tanyanya, nada suaranya kini sedikit lebih waspada. "Jangan bilang kau sudah membuat keributan lagi di jalanan."
Rowan tertawa pelan, tawa yang dingin dan penuh kemenangan. "Lebih dari sekadar keributan, Nyonya. Aku baru saja pulang dari menara Malakor." Ia berhenti sejenak, membiarkan nama itu menggantung di udara, melihat reaksi Vivian. Mata Vivian membelalak, ekspresinya berubah menjadi tidak percaya, bahkan sedikit ketakutan. "Malakor? Kau... kau pergi ke sana? Tapi kenapa? Itu... itu gila!"
"Gila, memang," balas Rowan, senyumnya semakin lebar. "Tapi aku tidak suka meninggalkan pekerjaan yang belum selesai. Dan aku tidak suka jika ada penyihir yang bekerja untuk Vortigern, merencanakan kehancuran dunia kita." Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah, nyaris berbisik. "Aku membunuhnya, Nyonya Vivian. Aku membunuh Malakor. Bilah pedangku menembus dadanya, dan kepalanya... kini tergeletak di halaman Kediaman Vortigern, sebagai pesan."
Vivian terkesiap, tangannya menutup mulutnya, matanya membelalak tak percaya. Ia bangkit dari kursinya, mundur selangkah. "Kau... kau membunuhnya? Malakor? Tapi... bagaimana? Dia... dia adalah penyihir terkuat Vortigern! Dia punya Nihil! Dia punya mantra pelindung yang tak tertembus!" Suaranya bergetar, tidak ada lagi jejak ketenangan atau godaan, hanya keterkejutan dan rasa takut yang nyata. Ia telah mendengar tentang kekuatan Malakor, dan berita kematiannya adalah sesuatu yang nyaris tak bisa ia percaya.
Rowan hanya mengangkat bahu, senyumnya dingin. "Setiap orang punya kelemahan, Nyonya. Bahkan penyihir terkuat sekalipun. Dan aku tahu bagaimana cara menemukannya. Nihil sudah hancur, kalungnya pecah, dan kepalanya... yah, seperti yang kubilang, ada di halaman Vortigern. Aku ingin mereka tahu siapa yang melakukan ini. Aku ingin mereka tahu bahwa permainan telah berubah." Ia menatap Vivian, matanya berkilat penuh tekad. "Jadi, Nyonya Vivian, sekarang kau percaya padaku? Kau percaya pada kemampuanku? Dan kau percaya bahwa aku serius dengan dendamku?"
Vivian menatap Rowan, matanya yang tajam menembus topeng ketenangan pemuda itu, mencari kebenaran di balik kata-katanya. Ia melihat kilatan amarah yang membara, tekad yang tak tergoyahkan, dan kekuatan yang luar biasa. Ia adalah wanita yang pragmatis, dan ia tahu kapan harus mengakui kekalahan, atau lebih tepatnya, kapan harus bersekutu dengan kekuatan yang lebih besar. Kematian Malakor, penyihir terkuat Vortigern, adalah bukti nyata bahwa Rowan bukan sekadar orang biasa. Dia adalah kekuatan yang harus diperhitungkan.
Vivian menghela napas panjang, sebuah desahan yang penuh perhitungan, bukan keputusasaan. Ia duduk kembali di kursinya, matanya kini dipenuhi dengan campuran kekaguman, rasa hormat, dan strategi yang baru. "Aku... aku memang meremehkanmu, Tuan Rowan," katanya, suaranya kini lebih tenang, namun dengan nada yang lebih serius dan penuh pengakuan. "Aku tidak menyangka kau akan sejauh ini. Malakor adalah pilar penting bagi Vortigern. Kematiannya... ini akan mengguncang mereka hingga ke akarnya." Ia tersenyum tipis, senyum yang kini lebih licik daripada menggoda. "Dan ya, Tuan Rowan, aku percaya padamu. Aku percaya pada kemampuanmu. Dan aku percaya bahwa kau adalah orang yang akan membawa perubahan yang telah lama kudambakan di kota ini."
Vivian mencondongkan tubuh, matanya menatap Rowan dengan intensitas baru. "Kau ingin tahu apakah aku sekutumu atau musuhmu, bukan?" Ia tidak menunggu jawaban. "Mulai sekarang, Tuan Rowan, aku adalah sekutumu. Sepenuhnya. Sarang Merak ini, jaringanku, semua informasi yang kumiliki... semuanya akan berada di bawah perintahmu. Aku akan menjadi mata dan telingamu di Oakhaven, memberimu setiap detail tentang pergerakan Vortigern, setiap kelemahan mereka, setiap bisikan yang kudengar. Aku akan membantumu menghancurkan mereka, sepotong demi sepotong. Karena dendammu... kini adalah dendamku juga." Ada kilatan dingin di mata Vivian, sebuah janji balas dendam yang tersembunyi di balik senyumnya.
Rowan membalas senyumnya, senyum kemenangan yang kini lebih jelas terlihat. Ia tahu ia telah mendapatkan sekutu yang sangat berharga. Vivian bukan hanya sumber informasi, dia adalah Ratu Malam, penguasa dunia bawah Oakhaven, dan memiliki pengaruh yang tak ternilai. "Kesepakatan yang menarik, Nyonya Vivian," kata Rowan, suaranya rendah dan penuh kepuasan. "Aku yakin kita akan menjadi tim yang sangat... produktif."
Rowan menatap Vivian, matanya memancarkan otoritas yang tak terbantahkan. "Bagus, Nyonya Vivian," katanya, suaranya tenang namun penuh perintah. "Kalau begitu, tugas pertamamu sebagai sekutuku." Ia mencondongkan tubuh sedikit, suaranya merendah, memastikan tidak ada yang bisa mendengar. "Aku ingin kau mengirim pesan kepada Lord Lucius. Katakan padanya bahwa aku menunggunya di Sarang Merak ini. Malam hari, tiga hari dari sekarang." Rowan berhenti sejenak, menekankan setiap kata. "Pastikan tidak ada orang lain yang tahu tentang pertemuan ini. Tidak seorang pun. Gunakan caramu yang paling rahasia, Nyonya. Dan pastikan dia datang sendirian."
Vivian mengangguk, ekspresinya serius. "Pesan untuk Lord Lucius? Dan pertemuan rahasia di sini? Ini... ini berisiko, Tuan Rowan. Jika Vortigern tahu kau berkomunikasi dengan Lucius, itu bisa memicu perang terbuka."
"Justru itu yang kuinginkan, Nyonya," balas Rowan, senyum dingin terukir di bibirnya. "Perang terbuka. Tapi aku ingin memulainya dengan syaratku sendiri. Lucius adalah kunci. Dia akan membantuku mengungkap lebih banyak tentang Vortigern." Ia menatap Vivian dengan tatapan menuntut. "Kau bisa melakukannya, bukan? Aku percaya padamu, Nyonya Vivian. Atau apakah 'Ratu Malam' ini sudah kehilangan sentuhannya?"
Vivian tersenyum tipis, senyum yang kini penuh tantangan. "Jangan meremehkanku, Tuan Rowan. Aku akan memastikan pesan itu sampai. Dan Lucius akan datang. Aku akan menggunakan salah satu kurir terbaikku, seseorang yang bahkan bayangan pun tidak bisa melacaknya. Dan aku akan menyebarkan desas-desus palsu untuk mengalihkan perhatian Vortigern. Mereka tidak akan tahu apa yang terjadi." Ia menghela napas, "Tapi kau harus berhati-hati, Tuan Rowan. Pertemuan ini akan sangat berbahaya. Lucius mungkin datang dengan kecurigaan."
"Itu urusanku," jawab Rowan, mengangguk. "Pastikan saja pesannya sampai. Dan tidak ada yang tahu." Ia bangkit dari kursinya, melangkah menuju pintu. "Aku akan kembali ke Kediaman Aldric. Aku punya tugas sebagai penjaga yang harus kulanjutkan. Jangan sampai ada yang curiga."
Vivian mengangguk, menatap punggung Rowan yang menghilang di balik pintu. Ia tahu ia telah membuat kesepakatan dengan iblis, namun iblis ini adalah iblis yang bisa membawa perubahan yang ia inginkan. Ia segera memanggil salah satu pelayannya, memberikan instruksi rahasia untuk mengirim pesan kepada Lord Lucius.
Rowan menyelinap keluar dari Sarang Merak, kembali ke jalanan Oakhaven yang kini mulai ramai dengan aktivitas pagi. Ia bergerak cepat, menyusuri gang-gang sempit dan jalanan belakang, menghindari keramaian. Ia tidak ingin ada yang melihatnya keluar dari Sarang Merak. Setibanya di dekat Kediaman Aldric, ia memastikan tidak ada mata yang mengawasi, lalu menyelinap masuk melalui pintu belakang. Ia kembali ke kamarnya, merapikan seragam pengawalnya, dan melanjutkan tugasnya seolah tidak ada yang terjadi. Wajahnya kembali ke ekspresi datar dan tenang, menyembunyikan badai intrik dan rencana yang bergejolak di dalam dirinya. Ia adalah pengawal yang setia di siang hari, dan pemburu bayangan di malam hari. Pertemuan dengan Lord Lucius akan menjadi langkah besar berikutnya dalam permainannya.
13Please respect copyright.PENANAwKRgOMZhuY