Intan berdiri di hadapan cermin, matanya merenung wajah yang semakin kusam. Hujan masih turun di luar, namun di hatinya, badai yang lebih hebat sedang mengamuk. Telefon di tangan bergetar sekali lagi, kali ini dengan mesej ringkas.
86Please respect copyright.PENANAUNdNGk4in9
“Boleh kita jumpa? Saya perlu bercakap dengan awak.” — Fazli.
86Please respect copyright.PENANA9FRTwsdI3d
Tanpa fikir panjang, Intan membalas, hatinya berkecamuk antara keraguan dan keinginan. Dia memilih sebuah kafe kecil yang terpencil, jauh dari hiruk-pikuk kota, tempat yang sering mereka kunjungi dulu.
86Please respect copyright.PENANA2t4Ee8fZ0H
Ketika Intan tiba, Fazli sudah menunggu, wajahnya kelihatan sama seperti dulu—tapi ada sesuatu yang berbeza, lebih matang, tapi juga penuh dengan kesedihan.
86Please respect copyright.PENANAuj8iojn289
Mereka duduk berdepan, kata-kata sulit mula mengalir, menyentuh luka lama yang belum sembuh. Percakapan yang menghangatkan, namun juga menusuk ke dalam hati Intan.
86Please respect copyright.PENANA1KuFQ4FteO
“Kenapa kau datang kembali, Fazli? Kau tahu aku sudah bergelar isteri,” suara Intan sedikit bergetar.
86Please respect copyright.PENANA64pFh7KFsB
Fazli memandang dalam matanya, “Aku tahu, Intan. Tapi aku tak pernah lupakan kita... dan aku tak nak terus hidup dengan penyesalan.”
86Please respect copyright.PENANAUrp6rjR1CK
Intan menunduk, air mata hampir mengalir. Dia tahu, apa yang mereka lakukan salah, tapi perasaan yang lama terpendam itu seperti api yang menyala kembali.
86Please respect copyright.PENANA0UQ4SUTN6g
Pertemuan itu menjadi titik mula yang membawa mereka ke jalan penuh ranjau dan pilihan sukar.
86Please respect copyright.PENANAKH6Nk8Niye