
Nayla menghela napas panjang sambil merapikan jilbab syar’inya, memastikan tidak ada helai rambut yang terlihat. Dari jendela asramanya, ia bisa melihat motor maticnya yang terparkir di halaman, siap mengantarkannya ke sebuah tempat yang belum pernah ia kunjungi sebelumnya. Tangannya meraih tas perawat yang sudah ia siapkan semalam—berisi obat-obatan, peralatan medis sederhana, dan beberapa formulir yang harus diisi.
“Bismillahirrahmanirrahim,” bisiknya pelan, jemarinya otomatis mengusap tasbih kecil di saku seragamnya—hadiah terakhir dari ayahnya sebelum nyawanya direnggut oleh pasien skizofrenia yang ayahnya tangani selama bertahun-tahun di Rumah Sakit Jiwa Menteng Husada.
Genggamannya pada tasbih itu mengerat. Enam tahun berlalu, tapi bayangan itu masih segar dalam ingatannya—ayahnya yang bersimbah darah di lantai ruang terapi, gunting bedah tertancap di lehernya, sementara pasiennya meracau tentang malaikat yang memerintahkan pembunuhan itu. Nayla, yang saat itu masih mahasiswi keperawatan tahun pertama, menyaksikan semuanya dari balik jendela kaca ruangan—terlambat untuk menolong, terlalu traumatis untuk dilupakan.
“Hari ini berbeda,” tekadnya dalam hati. “Aku akan membuktikan bahwa metode ayah tidak sepenuhnya salah. Aku akan berhasil dimana beliau gagal.”
Pagi itu, langit terlihat cerah dengan semburat jingga yang menciptakan pemandangan indah di ufuk timur. Nayla mengenakan seragam perawatnya yang putih bersih dipadukan dengan jilbab biru muda yang senada dengan rok panjangnya. Wajahnya yang ayu hanya dipoles tipis dengan bedak dan lipstik nude, menyempurnakan penampilannya yang sederhana namun menawan.
Nayla menyalakan mesin motornya dan mulai melaju meninggalkan asrama perawat. Hari ini adalah hari pertamanya menuju Desa Cilepeh, sebuah desa terpencil yang membutuhkan pelayanan kesehatan. Atasannya telah memberikan tugas untuk menangani tiga pasien dengan gangguan jiwa di sana. Rutinitas ini akan ia lakukan tiga kali dalam seminggu—Senin, Rabu, dan Jum’at.
Sepanjang perjalanan, Nayla merenungkan perkataan Dr. Widodo, psikiater senior yang membimbingnya selama ini. “Kamu punya potensi besar, Nayla. Tapi jangan biarkan luka masa lalumu mendistorsi judgement profesionalmu. Perawat jiwa harus bisa membedakan antara membantu pasien dan menyembuhkan luka pribadi.”
Nayla tahu bahwa permintaan untuk ditugaskan di program outreach pedesaan ini sebagian didorong oleh keinginannya membuktikan sesuatu—pada diri sendiri, pada memori ayahnya, dan pada dunia bahwa pasien dengan gangguan jiwa berat bisa ditangani tanpa kekerasan atau pengekangan berlebihan, pendekatan yang ironisnya selalu diperjuangkan ayahnya hingga detik terakhir hidupnya.
Jalanan menuju Desa Cilepeh bukanlah jalanan mulus beraspal. Nayla harus melewati jalan berbatu dan berliku yang cukup menantang. Beberapa kali motornya hampir oleng saat melewati lubang atau bebatuan besar. Hembusan angin pagi yang sejuk menerpa wajahnya, membuat perjalanan satu jam itu terasa lebih nyaman.
Memasuki gerbang desa yang ditandai dengan papan kayu bertuliskan “Selamat Datang di Desa Cilepeh”, Nayla memperlambat laju motornya. Matanya menyapu pemandangan desa yang asri dengan rumah-rumah sederhana dan kebun-kebun kecil di sekitarnya. Beberapa penduduk yang sedang beraktivitas di halaman rumah menatapnya dengan penasaran—wajah baru selalu menarik perhatian di desa kecil seperti ini.
Di ujung jalan utama desa, Nayla bisa melihat seorang pria paruh baya berdiri tegap dengan postur yang mengingatkannya pada tentara. Pria itu memiliki tubuh atletis dan tatapan mata yang tajam namun berwibawa. Ia mengenakan kemeja kotak-kotak yang rapi dengan celana kain hitam. Nayla menurunkan kecepatan motornya dan berhenti tepat di depan pria tersebut.
“Assalamualaikum,” sapa Nayla sopan sambil turun dari motornya.
“Waalaikumsalam,” jawab pria itu dengan suara tegas namun ramah. “Neng Nayla dari Puskesmas nya? Kumaha damang? Saya Hendra, Kepala Desa Cilepeh.”
Nayla mengangguk dan mengulurkan tangannya. “Iya, Pak. Saya Nayla, perawat yang ditugaskan untuk menangani pasien gangguan jiwa di desa ini.”
Pak Hendra menjabat tangan Nayla dengan hormat. “Alhamdulillah, terima kasih banyak. Kami sudah lama menunggu bantuan medis untuk warga kami. Sok atuh, mari, saya antar berkeliling.”
Nayla mengikuti Pak Hendra yang berjalan dengan langkah pasti. Pria itu mulai menjelaskan kondisi desa dan ketiga pasien yang akan ditangani Nayla. Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang membelah desa, melewati beberapa rumah penduduk yang sebagian berupa rumah panggung dengan cat yang sudah memudar.
“Desa urang ini sederhana, Neng. Urang sadayana kebanyakan bekerja sebagai petani. Fasilitas kesehatan masih minim. Janten kedatangan Neng sangat berarti bagi urang sadayana,” jelas Pak Hendra, gaya bicaranya lebih formal sebagai kepala desa.
Nayla mengangguk sambil mencermati sekelilingnya. Di tengah desa, ia melihat sebuah pendopo besar yang tampaknya menjadi pusat kegiatan warga. Tak jauh dari sana, ada pos ronda kecil tempat beberapa bapak-bapak sedang berkumpul.
“Mangga atuh, kita akan mengunjungi pasien pertama dulu. Namanya Pak Ujang,” kata Pak Hendra. “Rumahnya—atau lebih tepatnya gubuknya—ada di ujung desa. Saya harus memperingatkan Neng, Pak Ujang ini… kondisinya paling parah di antara yang lain. Dia menunjukkan gejala skizofrenia dengan delusi paranoid yang cukup parah. Sudah lima tahun tidak mendapatkan pengobatan yang konsisten. Kadang halusinasinya membuatnya agresif.”
Nayla merasakan jantungnya berdegup lebih cepat. Deskripsi ini terlalu mirip dengan profil pasien yang telah merenggut nyawa ayahnya. Ia menarik napas dalam, mengingatkan diri sendiri bahwa ini berbeda—ia sudah lebih terlatih sekarang, dan situasinya terkendali.
“Apa pernah ada episode kekerasan sebelumnya, Pak?” tanya Nayla, suaranya tetap profesional meski kecemasannya mulai muncul.
Pak Hendra mengangguk perlahan. “Pernah, dua tahun lalu. Dia menyerang tetangganya dengan cangkul, mengira orang itu adalah agen rahasia yang ingin mencuri otaknya. Untungnya tidak ada yang terluka parah. Sejak itu, warga menjaga jarak.”
Nayla mencatat informasi ini dalam benaknya. Skizofrenia paranoid dengan riwayat kekerasan membutuhkan pendekatan yang sangat hati-hati.
“Saya mengerti, Pak. Saya akan berhati-hati,” jawab Nayla dengan suara mantap, meskipun dalam hatinya ada setitik kekhawatiran.
Mereka terus berjalan melewati pemukiman penduduk, hingga rumah-rumah mulai jarang dan pepohonan semakin lebat. Jalanan setapak yang mereka lalui kini diapit oleh semak-semak tinggi dan pohon-pohon rindang. Setelah berjalan sekitar sepuluh menit dari pusat desa, Pak Hendra menunjuk ke arah sebuah gubuk kecil yang berdiri menyendiri di antara pepohonan.
“Tah eta gubuk Pak Ujang,” ujarnya.
Nayla mengamati gubuk tersebut. Atapnya terbuat dari daun kelapa yang sudah bolong di beberapa bagian. Dindingnya dari anyaman bambu yang sudah lapuk dimakan usia. Halaman di sekitar gubuk dipenuhi rumput liar setinggi lutut. Bahkan dari jarak beberapa meter, Nayla bisa mencium bau tidak sedap yang berasal dari gubuk tersebut.
“Pak Ujang tinggal sendiri?” tanya Nayla.
Pak Hendra mengangguk. “Sumuhun. Keluarganya sudah teu kersa mengurus. Kondisinya memburuk sejak beberapa tahun lalu. Awalnya dia mengalami stres berat karena hutang yang menumpuk setelah gagal panen, lalu mulai menunjukkan gejala-gejala psikotik. Beberapa warga percaya ini karena teluh, tapi menurut dokter yang pernah memeriksanya dulu, ini murni gangguan jiwa yang dipicu stres berkepanjangan. Kadang warga bergantian mengantarkan makanan untuknya, tapi tidak ada yang berani berlama-lama.”
Ketika mereka mendekati gubuk, Nayla merasakan instingnya sebagai perawat mulai bekerja. Ia memperhatikan kondisi lingkungan yang sangat tidak higienis dan potensi bahaya yang bisa mengancam kesehatan Pak Ujang.
“Pak Ujang?” panggil Pak Hendra dengan suara keras. “Ada tamu dari Puskesmas yang mau memeriksa Bapa.”
Tidak ada jawaban dari dalam gubuk. Pak Hendra memberi isyarat pada Nayla untuk mendekat dengan hati-hati. Mereka melangkah perlahan mendekati pintu gubuk yang hanya berupa kain lusuh yang digantung sebagai penutup.
“Permisi, Pak Ujang. Saya Nayla, perawat dari Puskesmas. Saya datang untuk memeriksa kondisi Bapak,” ucap Nayla dengan suara lembut namun jelas.
Terdengar suara gerakan dari dalam gubuk, diikuti dengan gumaman tidak jelas. Pak Hendra dengan hati-hati menyibakkan kain yang menutupi pintu, mempersilakan Nayla untuk masuk terlebih dahulu.
Saat melangkah masuk, Nayla harus membiasakan matanya dengan kegelapan di dalam gubuk tersebut. Bau pesing dan apak langsung menyerang indera penciumannya, membuat perutnya sedikit mual. Namun, ia berusaha mengendalikan ekspresinya, tidak ingin menunjukkan ketidaknyamanan yang bisa membuat pasiennya merasa terhina.
Di sudut ruangan, duduk seorang pria paruh baya dengan rambut panjang acak-acakan dan wajah yang tidak terawat. Janggutnya tumbuh tidak beraturan dan matanya menatap kosong ke arah dinding. Pakaiannya compang-camping dan kotor, seperti sudah berminggu-minggu tidak diganti.
“Pak Ujang, ieu Neng Nayla. Anjeunna perawat yang akan merawat Bapa mulai sekarang,” kata Pak Hendra dengan nada tenang.
Pak Ujang perlahan mengalihkan pandangannya ke arah Nayla. Tatapannya tajam dan menyelidik, membuat Nayla sedikit gugup. Nayla mengenali tatapan itu—tatapan yang sama yang ia lihat pada pasien-pasien paranoid di Rumah Sakit Jiwa tempatnya magang dulu. Campuran antara kecurigaan, ketakutan, dan kebingungan yang mendalam.
Ia mengingat pelatihan klinisnya. Pendekatan untuk pasien dengan paranoia berat: jaga jarak yang nyaman, hindari gerakan mendadak, jelaskan semua tindakan sebelum melakukannya, jangan tunjukkan rasa takut.
“Selamat pagi, Pak Ujang. Saya Nayla,” sapa Nayla ramah sambil berlutut agar sejajar dengan Pak Ujang yang sedang duduk. Ia menjaga jarak yang cukup, tidak terlalu dekat untuk menghormati ruang pribadi pasien, tapi tidak terlalu jauh untuk menunjukkan bahwa ia tidak takut atau jijik. “Saya akan datang tiga kali seminggu untuk memeriksa kondisi Bapak dan membantu Bapak minum obat.”
Pak Ujang masih terdiam, matanya tak lepas dari Nayla. Ada kesan liar sekaligus kosong dalam tatapannya.
“Boleh ya saya cek tensi Bapak?” tanya Nayla sambil perlahan mengeluarkan tensi meter dari tasnya.
Pak Ujang tiba-tiba bergerak mundur, tubuhnya tegang. “Jangan… jangan dekat-dekat! Mereka mau nyuri pikiran abdi!” serunya dengan suara serak.
Nayla menghentikan gerakannya, menarik napas pelan. Reaksi ini familiar—delusi persekusi klasik pada skizofrenia paranoid. Ia telah menghadapi reaksi serupa sebelumnya selama pelatihan klinisnya. Situasi ini perlu penanganan dengan pendekatan non-konfrontatif.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya tidak akan memaksa. Saya hanya ingin membantu Bapak merasa lebih baik.”
Ia mengeluarkan bungkusan obat dari tasnya dan meletakkannya di lantai di dekat Pak Ujang. “Ini obat risperidon, obat anti-psikotik yang bisa membantu mengurangi halusinasi dan pikiran-pikiran yang mengganggu Bapak,” jelasnya dengan bahasa sederhana. “Akan membantu Bapak tidur lebih nyenyak dan mengurangi suara-suara di kepala Bapak.”
Pak Ujang melirik obat tersebut dengan curiga. “Racun… mereka mau racunin abdi…”
Nayla mengenali dilema khas dalam penanganan pasien paranoid—bagaimana memberi pengobatan pada seseorang yang yakin obat itu akan membahayakannya. Di rumah sakit, dokter biasanya akan merekomendasikan injeksi depot untuk kasus seperti ini, tapi di lingkungan desa tanpa fasilitas memadai, pilihan itu tidak tersedia.
Hati Nayla terenyuh melihat ketakutan yang nyata di mata pria itu. Di balik penampilan kasarnya, Nayla bisa melihat seorang manusia yang sedang menderita. Inilah saat-saat yang mengingatkannya pada tujuannya menjadi perawat—untuk membantu mereka yang dianggap tidak tertolong oleh sebagian orang.
“Bukan racun, Pak. Ini obat untuk membantu Bapak. Saya janji,” kata Nayla lembut. Ia lalu mengeluarkan sebotol air mineral dari tasnya. “Bapak bisa minum obatnya dengan air ini.”
Pak Ujang masih ragu. Tatapannya berpindah antara obat, air, dan wajah Nayla. Kesan pertama Nayla saat bertemu Pak Ujang adalah campuran rasa iba dan kasihan. Meskipun perangainya kasar dan terlihat berbahaya, Nayla bisa merasakan penderitaan di balik mata kosong itu.
“Pak Ujang, kalau boleh, obat ini diminum sekarang ya,” bujuk Nayla dengan sabar. Ia mengambil obat dan membukanya, lalu menyodorkan pada Pak Ujang bersama dengan botol air.
Tiba-tiba, wajah Pak Ujang berubah. Matanya melebar dan tangannya mulai gemetar. “PERGI! KALIAN SEMUA MAU BUNUH ABDI!” teriaknya sambil melemparkan botol air ke arah Nayla.
Botol tersebut mengenai bahu Nayla, membuatnya terkesiap kaget. Pak Ujang kemudian berdiri dengan gerakan tiba-tiba, tangannya menggapai-gapai ke arah Nayla seolah ingin mencengkeramnya.
“Neng, mundur!” seru Pak Hendra cepat, menarik Nayla ke belakangnya. “Pak Ujang, tenang dulu…”
Tapi Pak Ujang sudah dalam kondisi tantrum. Ia melemparkan barang-barang di sekitarnya, berteriak dengan kata-kata tidak koheren. Matanya merah dan liar, tubuhnya bergetar hebat.
Nayla hampir saja terkena lemparan kayu yang diayunkan Pak Ujang kalau saja Pak Hendra tidak cepat menariknya keluar dari gubuk. Jantung Nayla berdebar kencang, napasnya pendek-pendek karena kaget.
Bayangan ayahnya yang bersimbah darah sekilas melintas dalam benaknya. Nayla memejamkan mata sejenak, menepis memori traumatis itu. “Ini berbeda,” ia mengingatkan dirinya sendiri. “Aku masih aman, kita masih punya kendali atas situasi.”
“Hapunten pisan, Neng,” kata Pak Hendra setelah mereka berada di luar, suara gaduh masih terdengar dari dalam gubuk. “Pak Ujang memang kitu kalau lagi kumat. Jigana kita perlu waktu untuk dia terbiasa dengan Neng.”
Nayla menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Tidak apa-apa, Pak. Ini memang risiko pekerjaan saya. Kasus skizofrenia paranoid memang memerlukan pendekatan bertahap—saya terlalu terburu-buru tadi. Saya akan mencoba membangun rapport terlebih dahulu sebelum menawarkan obat.”
“Apa Pak Ujang pernah mengonsumsi obat sebelumnya?” tanya Nayla sambil membuat catatan mental.
“Pernah, sekitar tiga tahun lalu. Ada dokter dari kecamatan yang memberikan obat, dan untuk beberapa bulan kondisinya membaik. Dia bahkan mulai membersihkan gubuknya dan kadang membantu tetangga. Tapi kemudian obatnya habis, dokternya tidak datang lagi, dan Pak Ujang kembali seperti semula,” jelas Pak Hendra.
Informasi ini penting. Nayla mencatatnya dalam buku kecil yang selalu ia bawa. Jika Pak Ujang pernah menunjukkan respons positif terhadap pengobatan, ada harapan ia bisa kembali stabil dengan terapi yang konsisten.
Dalam hatinya, Nayla mengingat kembali pasien-pasien sulit yang pernah ia tangani. Pak Ujang bukan yang pertama dan tidak akan menjadi yang terakhir. Ketulusan dan kesabarannya akan diuji di tempat ini.
“Sae atuh, sebaiknya kita lanjutkan ke pasien berikutnya. Kondisi Pak Ujang sedang tidak kondusif,” usul Pak Hendra.
Mereka berjalan meninggalkan gubuk Pak Ujang, suara teriakan dan bantingan masih terdengar samar-samar di belakang mereka. Nayla merasakan jantungnya masih berdebar. Ia mengusap tasbih kecil di sakunya, kebiasaan yang selalu ia lakukan saat merasa cemas.
“Pasien selanjutnya namanya Mongol,” kata Pak Hendra, membuyarkan lamunan Nayla. “Dia memiliki disabilitas intelektual, kondisinya berbeda dengan Pak Ujang. Dokter di kabupaten mendiagnosisnya dengan retardasi mental sedang dan gangguan perilaku. Usianya 18 tahun, tapi perkembangan kognitifnya setara anak 5-6 tahun.”
Mereka berjalan menyusuri jalan setapak yang berbeda dari sebelumnya. Kali ini mereka menuju ke arah yang lebih dekat dengan pemukiman penduduk. Matahari semakin tinggi, membuat Nayla sedikit berkeringat dalam balutan seragam dan jilbabnya. Ia mengeluarkan saputangan kecil untuk mengusap peluh di dahinya.
“Mongol tinggal dengan bibinya, Bu Darmi, yang sudah berusia 67 tahun. Orangtuanya meninggal dalam kecelakaan saat dia berusia 9 tahun, dan sejak itu Bu Darmi yang merawatnya seorang diri. Beliau semakin kesulitan mengurus Mongol karena usia dan masalah kesehatan,” jelas Pak Hendra sambil terus berjalan. “Mongol biasanya cukup penurut, tapi kadang menunjukkan perilaku impulsif dan kesulitan memahami batasan sosial. Ini perlu diperhatikan karena dia memasuki usia pubertas dengan dorongan seksual yang normal, tapi tanpa kapasitas untuk memahami norma sosial sepenuhnya.”
Nayla mengangguk, mencerna informasi ini dengan serius. “Apakah ada perilaku agresif atau tidak pantas yang perlu saya waspadai?” tanyanya, mengingat pentingnya antisipasi dalam penanganan pasien dengan gangguan perilaku.
“Kadang dia terlalu terang-terangan menunjukkan ketertarikan pada perempuan,” jawab Pak Hendra dengan hati-hati. “Tidak sampai menyerang, tapi bisa membuat tidak nyaman dengan tatapan atau komentar. Bibinya biasanya bisa mengontrol, tapi semakin sulit seiring dia bertambah besar.”
Nayla mencatat dalam benaknya untuk menjaga profesionalisme dan batas yang jelas saat berinteraksi dengan Mongol, serta memastikan selalu ada orang ketiga saat melakukan pemeriksaan.
Tak lama kemudian, mereka tiba di sebuah rumah sederhana dengan teras kecil. Di teras tersebut, seorang pemuda sedang duduk bermain dengan batu-batu kecil yang disusun seperti menara. Penampilannya sangat mencolok—kepalanya berbentuk seperti telur dengan hidung bulat dan bibir teramat tebal. Rambutnya gondrong namun pitak-pitak di beberapa tempat, terlihat seperti dicukur dengan asal. Ia mengenakan kaos bola lusuh dan celana pendek. Kulitnya gelap terbakar matahari, dan punggungnya sedikit bungkuk meski tubuhnya tampak kekar. Yang paling mencolok adalah mata yang menyorot tajam namun terkesan kosong, dan mulutnya yang setengah terbuka dengan sedikit air liur menetes di sudutnya.
“Mongol, ada tamu,” panggil Pak Hendra.
Pemuda itu mengangkat wajahnya, menatap ke arah mereka dengan penasaran. Ketika melihat Nayla, matanya melebar dan senyum lebar terkembang di wajahnya, memperlihatkan deretan giginya yang tidak rata.
“Tamu… cantik…” ucapnya terbata-bata, terdengar cadel, memperlihatkan kesulitannya berbicara.
Nayla tersenyum hangat. “Halo, Mongol. Saya Nayla, perawat yang akan memeriksamu mulai sekarang.”
Mongol berdiri dengan antusias, bertepuk tangan seperti anak kecil yang gembira. “Na… Nayla! Nayla!” serunya, air liur semakin banyak menetes dari sudut bibirnya.
Dari dalam rumah, seorang wanita tua keluar. Wajahnya menunjukkan kelelahan hidup, namun senyumnya masih hangat. “Selamat pagi, Neng. Abdi Darmi, bibinya Mongol.”
Nayla mengangguk hormat. “Salam kenal, Bu. Saya Nayla, perawat dari Puskesmas.”
“Alhamdulillah, nuhun pisan. Ti baheula susah sekali mengurus obatnya Mongol, harus ke kecamatan dulu,” ucap Bu Darmi dengan nada lega. “Mongol mah kitu, susah diatur pisan. Kadang suka ngamuk kalau tidak dapat yang dia mau. Tapi hatinya baik.”
“Bu Darmi, saya perlu tahu lebih detail tentang kondisi Mongol,” kata Nayla profesional. “Obat apa yang biasa dia konsumsi, dan bagaimana responnya terhadap obat tersebut?”
Bu Darmi mengambil sebuah bungkusan kecil dari saku bajunya. “Ini obatnya, Neng. Dokter bilang untuk menenangkannya. Saya tidak hafal namanya.”
Nayla memeriksa obat tersebut—risperidone, dosis rendah, tipikal untuk menangani gangguan perilaku pada disabilitas intelektual. “Berapa kali sehari Mongol meminumnya, Bu?”
“Dua kali, pagi dan malam. Kalau tidak minum, dia suka tidak bisa tidur dan lebih sulit diatur,” jelas Bu Darmi.
Nayla mengeluarkan beberapa obat dari tasnya. “Ini obat yang sama, Bu. Dosis dan jadwalnya tetap seperti biasa—dua kali sehari setelah makan. Saya akan datang tiga kali seminggu untuk memantau perkembangannya.”
Sementara Nayla menjelaskan dosis obat kepada Bu Darmi, ia merasakan tatapan Mongol yang tak lepas darinya. Mencuri pandang, Nayla mendapati mata Mongol terpaku pada bagian dada Nayla yang tertutupi jilbab syar’inya. Tatapannya bukan tatapan polos seorang yang keterbelakangan mental, tapi sorot mata yang membuat Nayla merasa seperti sedang ditelanjangi. Nayla menarik napas pelan, berusaha tetap profesional meski rasa tidak nyaman mulai merayap di kulitnya.
Nayla mengingat pelatihan profesionalnya tentang penanganan pasien dengan disabilitas intelektual yang menunjukkan perilaku seksual tidak pantas. Ini bukan karena Mongol “mesum” atau “jahat”, melainkan karena keterbatasan kognitifnya dalam memahami norma sosial dan mengontrol impuls.
“Mongol, ayo minum obatnya dulu,” Nayla mengalihkan perhatian, menyodorkan pil dan segelas air yang diberikan Bu Darmi.
Mongol menggeleng, bibirnya mengerucut seperti anak kecil merajuk. “Pe…permen dulu,” pintanya dengan suara cadel.
“Aduh, maaf Neng,” Bu Darmi menghela napas panjang. “Dia tidak akan mau minum obat kalau tidak diberi imbalan. Dulu dokter di kecamatan selalu bawa permen. Sebentar, abdi ambilkan.”
Bu Darmi berjalan masuk ke rumah, meninggalkan Nayla berdua dengan Mongol. Dalam sekejap, tatapan Mongol kembali ke dada Nayla, kali ini lebih berani. Ia bahkan menjilat bibirnya yang tebal, membuat Nayla harus menahan diri untuk tidak menunjukkan ketidaknyamanannya.
“Cantik… Nayla cantik…” ucap Mongol, tangannya bergerak seolah ingin menyentuh lengan Nayla.
Nayla melangkah mundur sedikit, menjaga jarak. “Mongol,” katanya dengan suara tegas namun lembut, menggunakan nada yang biasa digunakan untuk memberikan batasan pada anak-anak, “tangannya dijaga, ya. Kita harus menghormati batas pribadi orang lain.”
Ia mengambil posisi sedikit bergeser, memastikan ada jarak yang cukup antara dirinya dan Mongol tanpa terlihat menghindar—teknik yang dipelajarinya untuk menjaga profesionalisme sambil tetap menghormati pasien.
“Mongol, tunggu dulu ya. Nanti kita minum obat, oke?”
Bu Darmi kembali dengan sebungkus permen. “Ini Neng, kasihkan setelah dia minum obatnya.”
Nayla menyodorkan obat dan air, sementara menunjukkan permen sebagai imbalan. “Mongol, minum obat dulu, baru dapat permen,” ujarnya dengan nada tegas namun lembut.
Mongol akhirnya mengambil obat tersebut, memasukkannya ke mulut dan menelan dengan bantuan air. Setelah memastikan obat tertelan, Nayla memberikan permen yang langsung disambut Mongol dengan tepukan tangan gembira. Air liurnya menetes saat ia membuka bungkus permen dengan tidak sabar.
“Pintar sekali, Mongol,” puji Nayla, membuat pemuda itu semakin senang.
“Atuh da puguh, kalau sama Neng geulis mah, Mongol nurut wae” komentar Bu Darmi dengan senyum penuh arti. “Biasana mah susah nyuruh dia minum obat.”
“Dub… dub… dub…” tiba-tiba Mongol menirukan suara detak jantung sambil menatap dan menunjuk ke arah dada Nayla. Tangannya membuat gerakan meremas di udara.
“Mongol!” Bu Darmi dengan cepat memarahi, wajahnya merah karena malu. “Ampun Neng, dia kadang suka aneh-aneh. Mongol, duduk!”
Mongol tertawa dengan mulut terbuka lebar, memperlihatkan permen merah di lidahnya yang bergerak-gerak. Ia duduk kembali, tapi matanya tidak lepas dari Nayla, terutama bagian yang tadi ia tunjuk.
“Bu Darmi,” kata Nayla dengan suara pelan namun jelas, “perilaku seperti ini umum terjadi pada remaja dengan kondisi seperti Mongol. Ini bukan kesalahan siapa-siapa, tapi kita perlu memberikan batasan yang jelas. Untuk kunjungan berikutnya, mungkin kita perlu selalu memastikan ada pendamping saat saya memeriksa Mongol, dan mengajarkan padanya tentang batasan tubuh secara konsisten.”
Bu Darmi mengangguk, tampak lega Nayla memahami situasi ini. “Nuhun pisan, Neng. Saya kadang bingung menghadapinya sejak dia mulai dewasa. Tidak tahu cara yang tepat.”
Nayla tersenyum pengertian. “Kita akan cari solusinya bersama, Bu. Penting untuk memberikan batasan, tapi juga harus memahami bahwa ini bagian dari perkembangannya.”
Selesai memberi obat dan memeriksa kondisi Mongol, Nayla dan Pak Hendra berpamitan untuk melanjutkan kunjungan ke pasien berikutnya.
Saat berjalan keluar, Nayla bisa merasakan tatapan Mongol mengikuti setiap langkahnya dari belakang. Ada sesuatu yang mengganggu dari tatapan itu—sesuatu yang tersembunyi di balik wajah polosnya.
“Mongol termasuk pasien yang unik” komentar Pak Hendra saat mereka berjalan meninggalkan rumah Mongol. “Tidak seperti Pak Ujang yang sering ngamuk, Mongol bisa diatur dengan iming-iming hadiah. Tapi hati-hati, Neng. Di balik kelakuannya yang seperti anak kecil itu… dia tetap pria dewasa dengan hasrat pria dewasa. Tadi saya perhatikan cara dia memandang Neng.”
Nayla mengangguk, merasa sedikit lega akhirnya bisa menjauh dari tatapan Mongol. “Saya mengerti, Pak. Ini tantangan umum dalam penanganan pasien dengan disabilitas intelektual yang memasuki usia pubertas. Mereka memiliki dorongan seksual yang normal, tapi tidak memiliki kapasitas kognitif untuk memahami batasan sosial dan mengekspresikannya dengan cara yang sesuai. Pendekatan terbaik adalah dengan batasan yang jelas dan konsisten, bukan menghukum atau memarahi. Saya akan lebih berhati-hati. Mungkin di kunjungan berikutnya saya perlu mengajak Pak Hendra atau meminta Bu Darmi selalu ada di ruangan yang sama.”
Pak Hendra mengangguk setuju. “Sae atuh. Mongol memang tidak berbahaya seperti Pak Ujang, tapi kita tetap harus waspada. Bi Darmi sudah tua, kadang tidak bisa mengontrol Mongol sepenuhnya.”
Pak Hendra mengarahkan Nayla ke sebuah rumah yang lebih rapi dibandingkan dengan rumah-rumah lain yang telah mereka kunjungi. Halaman rumah tersebut bersih dan tertata, menunjukkan kepedulian penghuninya terhadap kebersihan.
“Ieu rumah Santo, pasien ketiga kita,” jelas Pak Hendra. “Santo berbeda lagi. Dia mengalami PTSD—Post-Traumatic Stress Disorder—dan mutisme selektif setelah menyaksikan pembunuhan kedua orangtuanya saat berusia 15 tahun. Kejadiannya tujuh tahun lalu, berarti sekarang dia berusia sekitar 22 tahun. Dia memahami semua yang kita katakan, kognitifnya normal, bahkan cenderung di atas rata-rata, tapi dia berhenti berbicara sejak tragedi itu.”
Nayla merasakan sesuatu berdesir di dadanya—sebuah kesamaan dengan pengalaman traumatisnya sendiri. Meskipun berbeda peristiwanya, ia dapat memahami bagaimana trauma bisa mengubah seseorang sedemikian rupa.
“Apakah dia pernah menjalani terapi khusus untuk trauma?” tanya Nayla, mengingat standar penanganan PTSD yang diketahuinya.
“Pernah, beberapa bulan setelah kejadian,” jawab Pak Hendra. “Tapi kemudian dia menolak melanjutkan. Dia tidak agresif seperti Pak Ujang, tidak juga seperti Mongol. Dia justru terlalu… tenang. Seperti kehilangan semangat hidupnya, meski tetap bisa merawat diri dan rumahnya dengan baik.”
Mereka mengetuk pintu dan disambut oleh seorang pemuda berusia sekitar 22 tahun. Penampilannya rapi dan bersih, tidak seperti kedua pasien sebelumnya. Matanya teduh namun menyimpan kesedihan mendalam. Ia hanya mengangguk saat Pak Hendra memperkenalkan Nayla.
“Santo, ieu Neng Nayla, perawat yang akan merawatmu mulai sekarang,” kata Pak Hendra.
Santo hanya menatap Nayla sejenak, lalu memberi isyarat agar mereka masuk. Berbeda dengan Mongol dan Pak Ujang, rumah Santo tertata rapi dengan interior yang bersih. Di sudut ruangan, ada sebuah meja kecil dengan buku tulis di atasnya.
“Santo biasa berkomunikasi melalui tulisan,” jelas Pak Hendra. “Anjeunna bisa mengerti apa yang kita bicarakan, tapi tidak mau atau tidak bisa berbicara.”
Nayla mengangguk paham. Ia mendekati Santo dengan hati-hati. “Halo, Santo. Saya Nayla, perawat yang akan membantumu. Boleh saya lihat kondisimu?”
Santo mengangguk pelan. Ia membiarkan Nayla memeriksa tekanan darah dan denyut nadinya. Semuanya normal. Nayla kemudian mengeluarkan obat dan menjelaskan dosisnya.
“Ini fluoxetine, obat anti-depresan yang harus diminum tiga kali sehari setelah makan,” jelas Nayla. “Santo bisa minum sendiri, kan?”
Santo mengambil pena dan buku tulisnya, lalu menulis: “Ya, bisa.”
Tulisannya rapi dan teratur, menunjukkan bahwa meskipun mengalami trauma mental, kemampuan kognitifnya tidak terganggu.
Santo kemudian menulis lagi: “Obat ini membuat saya mengantuk dan sulit berkonsentrasi. Dosisnya bisa dikurangi?”
Nayla membaca catatan itu dengan seksama. “Efek samping seperti itu memang bisa terjadi pada awal penggunaan,” jawabnya. “Tapi biasanya akan berkurang setelah tubuh beradaptasi. Saya akan mencatat keluhan ini dan mendiskusikannya dengan dokter. Untuk sementara, mungkin akan membantu jika Santo minum obatnya malam hari saja, sehingga rasa kantuknya tidak terlalu mengganggu aktivitas.”
Santo mengangguk, tampak menghargai Nayla mendengarkan keluhannya dengan serius.
“Bagus. Teteh akan datang tiga kali seminggu untuk pantau perkembanganmu,” kata Nayla dengan senyum hangat.
Santo hanya mengangguk, matanya masih menyiratkan kesedihan. Nayla merasakan dorongan untuk membantu pemuda ini lebih dari sekadar memberikan obat. Mungkin suatu saat nanti, saat kepercayaan sudah terbangun, Santo akan mau berbicara lagi.
Setelah selesai dengan kunjungan ke tiga pasien, Pak Hendra mengajak Nayla ke rumahnya untuk makan siang dan berbincang lebih lanjut. “Neng pasti lelah dan lapar setelah berkeliling. Mangga atuh ke rumah abdi dulu. Istri abdi sudah menyiapkan makan siang.”
“Terima kasih banyak, Pak. Tidak perlu repot-repot,” jawab Nayla sopan, meskipun perutnya memang sudah mulai keroncongan.
Dalam perjalanan menuju rumah Pak Hendra, mereka melewati sebuah pos ronda di mana beberapa bapak-bapak sedang berkumpul. Ketika melihat Nayla, mereka langsung berbisik-bisik dan tersenyum penuh arti.
“Aduh, saha eta, Pak Hendra?” tanya salah seorang dari mereka, seorang pria gemuk dengan rambut keriting. “Perawat baru nya? Geulis pisan.”
Pak Hendra menghela napas, terlihat tidak nyaman dengan komentar tersebut. “Ieu Neng Nayla, perawat baru yang akan menangani Pak Ujang, Mongol, dan Santo.”
“Kenalin atuh, Neng. Abdi Johan,” kata pria gemuk itu, mengulurkan tangan dengan antusias.
Nayla menjabat tangannya dengan sopan tapi singkat. “Salam kenal, Pak.”
Dua pria lainnya juga ikut memperkenalkan diri. “Abdi Karyo,” kata seorang pria kurus tinggi dengan senyum yang sedikit terlalu lebar. “Kalau butuh apa-apa, bilang wae ka abdi, Neng.”
“Abdi Manto,” tambah pria ketiga, yang perawakannya juga kurus tinggi. Matanya tak lepas memandangi Nayla dari atas ke bawah, membuat Nayla merasa tidak nyaman. “Neng sudah makan siang? Hayu urang tuang di warung langganan urang, neng.”
“Hayu atuh, Neng, kita lanjut,” kata Pak Hendra, menyadari ketidaknyamanan Nayla. “Mereka ini bapak-bapak yang suka nongkrong di pos ronda,” jelasnya setelah mereka berjalan agak jauh. “Hapunten, mereka memang agak… kitu. Tapi sebenarnya tidak berbahaya.”
Nayla hanya tersenyum kecil, meski dalam hati merasa sedikit terganggu. Sebagai perempuan profesional di bidang kesehatan, ia sering menghadapi situasi di mana profesionalismenya diremehkan karena penampilannya. Ini mengingatkannya pada perkataan mentor perempuannya di rumah sakit dulu: “Sebagai perawat perempuan, kita harus bekerja dua kali lebih keras untuk mendapatkan respek yang sama.”
Tapi Nayla juga menyadari realitas sosial di desa kecil seperti ini. Membangun kepercayaan dengan masyarakat berarti harus sabar menghadapi berbagai sikap, termasuk yang kurang menyenangkan, selama tidak membahayakan.
Mereka tiba di rumah Pak Hendra, sebuah rumah yang lebih besar dan kokoh dibandingkan rumah-rumah lain di desa itu. Di teras, seorang wanita paruh baya menyambut dengan senyum hangat.
“Ieu istri abdi, Bu Siti,” Pak Hendra memperkenalkan. “Bu, ieu teh Neng Nayla, perawat baru yang saya ceritakan kemarin.”
“Wilujeng sumping, Neng,” sambut Bu Siti ramah. “Mangga, lebet. Makan siang sudah siap. Abdi masak sangu tumpeng jeung lauk seuseurian, mudah-mudahan Neng suka.”
Nayla mengikuti mereka masuk ke dalam rumah yang bersih dan tertata. Di meja makan sudah tersaji beberapa hidangan sederhana namun menggiurkan—nasi putih, ikan goreng, tempe orek, sayur asem, dan sambal terasi.
Selama makan siang, Pak Hendra dan Bu Siti bercerita banyak tentang Desa Cilepeh. Mereka menceritakan tentang tradisi desa, kehidupan sehari-hari penduduk, dan juga lebih banyak informasi tentang ketiga pasien yang akan ditangani Nayla.
“Mongol teh sebenarnya anak yang baik,” kata Bu Siti. “Bibinya sudah tua dan semakin kesulitan mengurusnya. Kondisinya sudah ada sejak lahir, tapi memburuk setelah kecelakaan jatuh dari pohon saat berusia 7 tahun. Dokter di kabupaten menjelaskan bahwa trauma kepala itu mungkin memperburuk kondisi yang sudah ada. Kadang saya yang membantu memberikan makanan.”
“Santo juga kasihan,” tambah Pak Hendra. “Kehilangan kedua orangtua dengan cara yang tragis pasti sangat berat baginya. Mereka dibunuh oleh perampok yang masuk ke rumah saat Santo sedang tidur. Dia terbangun mendengar teriakan ibunya dan menyaksikan saat perampok itu menikam kedua orangtuanya. Dia bersembunyi di bawah tempat tidur, menyaksikan semuanya tanpa bisa berbuat apa-apa. Kejadianana pas abdi baru jadi Kepala Desa. Abdi masih ingat bagaimana anak itu menangis di depan mayat orangtuanya. Tapi manehna masih bisa merawat dirinya dan rumahnya dengan baik.”
“Kalau Pak Ujang…” Bu Siti menghela napas. “Anjeunna dulu tidak seperti itu. Dulu dia orang yang normal, bekerja sebagai tukang kayu. Pagaweanana alus pisan. Banyak dinding di rumah-rumah kampung ini dibangun olehnya. Tapi kemudian dia mulai menunjukkan perilaku aneh sekitar enam tahun lalu. Awalnya hanya bicara sendiri dan tertawa tanpa sebab. Lama-kelamaan, dia mulai menuduh orang-orang ingin mencuri pikirannya dan menyakitinya. Tapi sejak terlilit hutang dan kehilangan pekerjaannya, anjeunna mulai menunjukkan gejala-gejala gangguan jiwa. Beberapa warga percaya dia kena teluh, tapi dokter yang pernah memeriksanya mengatakan itu skizofrenia. Keluarganya sudah tidak sanggup mengurus, jadi dia tinggal sendiri di gubuk itu.”
Nayla mencerna semua informasi ini dengan seksama. “Jadi semua pasien ini sebenarnya pernah mendapatkan pengobatan medis, tapi terhenti karena berbagai alasan?” tanyanya.
Pak Hendra mengangguk. “Betul, Neng. Desa kami terlalu jauh dari fasilitas kesehatan. Dokter dari kabupaten datang tidak teratur, kadang enam bulan sekali, kadang setahun. Obat-obatan sering habis sebelum dokter datang lagi. Itulah mengapa kedatangan Neng sangat berarti bagi kami.”
“Ini menjelaskan banyak hal,” kata Nayla, mulai memahami situasi yang dihadapinya. “Konsistensi adalah kunci dalam penanganan gangguan jiwa. Pengobatan yang terputus-putus bisa menyebabkan kekambuhan dan kadang memperburuk kondisi.”
Nayla mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat dalam hati informasi-informasi penting tersebut. Informasi ini akan sangat berguna untuk pendekatan yang akan ia lakukan pada kunjungan-kunjungan berikutnya.
Setelah makan siang dan berbincang cukup lama, Nayla pamit untuk kembali ke asrama. Hari sudah semakin sore, dan ia masih harus menempuh perjalanan satu jam untuk sampai ke asrama.
“Terima kasih banyak atas makan siangnya, Pak, Bu. Sangat lezat,” ucap Nayla tulus.
“Sami-sami, Neng. Mangga kapan-kapan mampir lagi atuh,” jawab Bu Siti ramah. “Engke abdi masak ikan lagi, neng. Sok kadieu wae, jangan sungkan.”
“Rabu depan saya akan datang lagi, Pak,” kata Nayla pada Pak Hendra. “Semoga kondisi Pak Ujang lebih tenang.”
Pak Hendra mengangguk. “Muhun, Neng. Nanti abdi tunggu di tempat yang sama seperti tadi pagi.”
Nayla mengendarai motornya meninggalkan Desa Cilepeh, pikiran dan hatinya dipenuhi oleh kesan-kesan dari hari pertamanya. Terutama Pak Ujang, yang mengingatkannya pada pasien yang pernah merenggut nyawa ayahnya. Ada ketakutan yang timbul, tapi juga tekad yang semakin kuat untuk membantu orang-orang seperti Pak Ujang.
“Dulu aku tidak bisa menyelamatkan ayah,” bisiknya pada diri sendiri saat melaju di jalan berbatu. “Tapi sekarang aku bisa menggunakan ilmunya untuk membantu orang lain. Ayah selalu percaya bahwa pendekatan kemanusiaan dan pengobatan yang konsisten adalah kunci penyembuhan gangguan jiwa, bukan pengekangan atau isolasi seperti yang banyak dilakukan saat itu. Aku akan membuktikan bahwa metodenya benar.”
Malam itu, setelah kembali dari Desa Cilepeh, Nayla duduk di tepi ranjang asramanya yang sempit. Lampu belajar kecil di meja samping tempat tidur memancarkan cahaya kuning redup, menciptakan lingkaran hangat dalam kegelapan kamar. Ia mengeluarkan buku jurnal bersampul kulit coklat dari laci—hadiah dari ibunya saat kelulusan.
“Bismillahirrahmanirrahim,” bisiknya pelan, kebiasaan yang tak pernah ia lewatkan sebelum menulis.
Jemarinya yang lentik membuka halaman baru, kemudian meraih pulpen bertinta biru dari tempat pensil bermotif bunga. Nayla memejamkan mata sejenak, mengatur napas, sebelum mulai mencurahkan pengalaman hariannya.
Senin, 17 Maret
Hari pertamaku di Desa Cilepeh. Bismillah untuk tugas baru ini. Ya Allah, berikan aku kekuatan dan kesabaran…
Tangannya bergerak lancar di atas kertas, sesekali berhenti untuk menimbang kata-kata. Wajahnya berubah-ubah seiring tulisannya—kadang mengernyit, kadang tersenyum tipis, bahkan sesekali matanya berkaca-kaca.
…Pak Ujang, pasien pertamaku, menunjukkan gejala skizofrenia paranoid yang cukup parah. Dia menolak obat dengan keras, bahkan melempar botol air ke arahku. Tatapan matanya mengingatkanku pada… pasien yang melukai Ayah dulu. Aku takut, tapi aku tak boleh menyerah. Ayah selalu mengajarkan bahwa di balik perilaku paling menakutkan sekalipun, ada manusia yang menderita dan membutuhkan bantuan.
Nayla menggigit bibir bawahnya, pulpen berhenti sejenak di udara. Bayangan ayahnya yang bersimbah darah di lantai ruang rawat muncul sekilas, membuat tangannya sedikit gemetar. Ia menarik napas dalam-dalam, mengusir ingatan itu.
Enam tahun berlalu, tapi kenangan itu masih terasa segar. Aku masih ingat perkataan terakhir Ayah sebelum kejadian itu, “Nayla, keterpurukan terbesar bukanlah saat kita gagal membantu seseorang, tapi saat kita berhenti mencoba.” Ironis bahwa ucapan itu datang hanya beberapa jam sebelum pasien yang ia rawat selama bertahun-tahun menyerangnya dengan gunting bedah.
_Apa yang membuatnya gagal? Apakah pendekatan humanisnya yang salah? Atau justru karena sistem yang tidak mendukung—pengobatan yang tidak konsisten, stigma yang terus dilanggengkan? Prof. Widodo selalu mengatakan bahwa kegagalan terbesar dalam psikiatri adalah ketidakkonsistenan—obat yang terputus-putus, dukungan sosial yang tidak memadai.
_
Mongol lebih mudah ditangani, meski tatapannya kadang membuatku tidak nyaman. Tantangan dengan Mongol berbeda—ini tentang menjaga batasan profesional sambil tetap memberikan perawatan yang empatik. Dr. Sarah pernah mengingatkan di kelas etika keperawatan bahwa kita harus membedakan antara perilaku yang disengaja dan yang muncul dari ketidakmampuan memahami norma sosial. Santo—pasien bisu traumatis—memiliki kesedihan mendalam di matanya yang entah bagaimana… terasa familiar.
Suara pintu berderit mengalihkan perhatian Nayla. Diana, teman sekamarnya, masuk dengan handuk melilit rambut basahnya.
“Masih menulis jurnal?” tanya Diana, melempar senyum sambil berjalan ke lemari pakaian.
Nayla mengangguk singkat. “Hm, seperti biasa.”
“Kalau sudah selesai matikan lampunya ya. Aku mau tidur duluan,” pinta Diana sambil merebahkan tubuhnya di ranjang seberang.
“Oke, sebentar lagi,” jawab Nayla, kembali menunduk ke jurnalnya.
Aku harus menemukan cara membuat Pak Ujang mau minum obatnya. Pendekatan langsung jelas tidak berhasil—kecurigaannya terlalu kuat. Mungkin aku perlu mundur selangkah, fokus membangun rapport terlebih dulu. Prof. Gunawan selalu menekankan bahwa dengan pasien paranoid, kepercayaan harus dibangun sebelum pengobatan bisa dimulai. Mungkin dengan biskuit atau makanan lain? Aku belum tahu apa yang dia sukai. Mungkin Rabu nanti aku akan membawa beberapa pilihan hadiah. Ya Allah, bantu aku menjalankan amanah ini dengan baik.
Nayla menutup jurnalnya, jarinya mengusap lembut sampul kulitnya sebelum mengembalikannya ke laci. Setelah mematikan lampu, ia berbaring sambil menghadap dinding, tangannya meraih tasbih kecil di bawah bantal—kebiasaan yang selalu membuatnya tenang sebelum tidur.
Dalam gelap, bisikannya nyaris tak terdengar, “Ayah, doakan aku bisa menerapkan apa yang kau ajarkan. Bahwa kita bisa membantu mereka sembuh tanpa kehilangan kemanusiaan kita sendiri.”
Di hari-hari lainnya—Selasa, Kamis, dan Sabtu—Nayla menghabiskan waktunya di Puskesmas Sukamanah.
Rabu pun tiba, dan Nayla kembali ke Desa Cilepeh sesuai jadwal. Kali ini, ia sudah lebih familiar dengan jalan dan lingkungan desa. Pak Hendra sudah menunggu di tempat yang sama seperti pertemuan pertama mereka.
“Selamat pagi, Pak,” sapa Nayla ramah.
“Selamat pagi, Neng. Kumaha damang? Siap untuk hari kedua?” tanya Pak Hendra.
Nayla mengangguk mantap. “Siap, Pak. Hari ini saya membawa pendekatan yang sedikit berbeda untuk Pak Ujang.”
“Saya sudah mempelajari beberapa kasus serupa dan berkonsultasi dengan dokter di Puskesmas,” Nayla menjelaskan. “Untuk pasien paranoid seperti Pak Ujang, pendekatan langsung dengan obat justru bisa kontraproduktif. Saya akan fokus membangun hubungan terlebih dahulu—memenuhi kebutuhan dasarnya dan membangun kepercayaan.”
Nayla telah memikirkan strategi baru sepanjang malam. Pengalaman pertamanya dengan Pak Ujang menunjukkan bahwa pendekatan langsung justru memicu ketakutan dan agresi. Kali ini, ia membawa beberapa barang yang mungkin bisa menarik perhatian Pak Ujang—biskuit, sebuah majalah bergambar, dan sarung tangan latex baru dalam kemasan yang selalu ia bawa.
“Sae pisan, Neng. Abdi setuju. Memang Pak Ujang butuh pendekatan khusus,” Pak Hendra mengangguk setuju. “Hari ini pun abdi akan menemani Neng. Kasalametan mah utami.”
Setiap kali melintasi jalan setapak menuju gubuk Ujang, Nayla merasakan jantungnya berdebar. Bukan hanya karena kecemasan menghadapi pasien yang sulit, tetapi karena tempat ini mengingatkannya pada fasilitas mental tempat ayahnya bekerja dulu. Kadang suara-suara Pak Ujang yang tidak koheren terdengar seperti suara pasien yang telah merenggut nyawa ayahnya. Nayla mengusap tasbih kecil di saku seragamnya saat perasaan itu muncul—sebuah tasbih pemberian ayahnya yang selalu ia bawa.
“Nayla,” Pak Hendra tiba-tiba berkata saat mereka hampir mencapai gubuk Pak Ujang, “jangan terlalu keras pada diri sendiri. Penyembuhan butuh waktu, dan kadang kita harus menerima bahwa kemajuan kecil pun adalah pencapaian. Saya melihat kegigihan di mata Neng, tapi kadang itu bisa menjadi pedang bermata dua.”
Kata-kata itu menohok Nayla. Apakah keinginannya untuk berhasil dengan Pak Ujang terlalu didorong oleh trauma masa lalunya? Apakah ia mencari penebusan dan validasi, bukan semata-mata kesembuhan pasiennya? Ia menarik napas dalam, mengingatkan dirinya untuk tetap objektif dan profesional.
“Pak Ujang?” Pak Hendra memanggil saat mereka mencapai gubuk. “Neng Nayla datang lagi untuk memeriksa Bapa.”
Terdengar gerakan dari dalam gubuk. Pak Ujang muncul di ambang pintu, matanya masih memancarkan kecurigaan. Namun, hari ini ia tampak lebih tenang dibanding kunjungan sebelumnya.
“Selamat pagi, Pak Ujang,” sapa Nayla dengan suara lembut. Ia menjaga jarak, tidak terlalu dekat untuk menghindari memicu kecemasan Pak Ujang. “Saya bawa sesuatu untuk Bapak.”
Nayla mengeluarkan biskuit dari tasnya dan membukanya. Aroma manis dari biskuit tersebut menarik perhatian Pak Ujang. Matanya yang biasanya kosong kini menunjukkan sedikit ketertarikan.
“Ini untuk Bapak,” kata Nayla, meletakkan biskuit di atas sebuah sapu tangan bersih, lalu menyodorkannya perlahan ke arah Pak Ujang.
Pak Ujang menatap biskuit itu dengan ragu sebelum akhirnya mengambilnya dengan tangan yang sedikit gemetar. Ia mengendus biskuit itu, lalu perlahan memakannya.
“Enak kan, Pak?” tanya Nayla dengan senyum. “Ada lagi kalau Bapak mau.”
Pak Ujang tidak menjawab, tapi tatapannya pada kotak biskuit menunjukkan bahwa ia menginginkan lebih. Nayla mengambil kesempatan ini untuk membangun kepercayaan.
“Bapak boleh makan lebih banyak, tapi sebaiknya minum obat dulu ya,” kata Nayla hati-hati sambil mengeluarkan obat dari tasnya. “Obat ini akan membantu Bapak merasa lebih baik.”
Namun, mendengar kata “obat”, sikap Pak Ujang langsung berubah. Ia menggelengkan kepala dengan keras dan mundur beberapa langkah. “Nggak… nggak mau racun!”
Meskipun masih trauma dengan kejadian kemarin, Nayla memberanikan diri untuk meminta Pak Ujang meminum obat. “Bukan racun, Pak. Ini obat yang akan membantu Bapak tidur lebih nyenyak dan mengurangi suara-suara yang mengganggu.”
Pak Ujang terus menggeleng, wajahnya menunjukkan ketakutan yang nyata. Nayla menghela napas, tahu bahwa ia tidak bisa memaksakan. Di belakangnya, Pak Hendra siap siaga, mengawasi situasi dengan cermat demi keselamatan Nayla.
Nayla mengingat pembicaraannya dengan Dr. Rahmat. Membangun kepercayaan harus menjadi prioritas utama sebelum memperkenalkan pengobatan. Ia mengubah pendekatannya dengan cepat.
“Baiklah, tidak apa-apa, Pak. Mungkin lain waktu,” kata Nayla akhirnya, menyerah. “Bapak boleh makan biskuitnya.”
“Pak Ujang, saya lihat gubuk Bapak butuh sedikit dibersihkan,” tambah Nayla, mengalihkan topik pembicaraan. “Boleh saya bantu membereskan sedikit? Mungkin kita bisa membuat tempat ini lebih nyaman untuk Bapak tinggal.”
Pak Ujang menatapnya dengan campuran kebingungan dan kecurigaan, tapi tidak menunjukkan penolakan. Nayla mengambil ini sebagai tanda persetujuan.
Ia memberikan sisa biskuit kepada Pak Ujang, yang diterima dengan tangan gemetar. Kemudian, dengan gerakan perlahan dan hati-hati agar tidak memicu kecemasan Pak Ujang, Nayla mulai mengumpulkan sampah-sampah di lantai gubuk. Pak Hendra ikut membantu, mengangkat beberapa barang yang lebih berat.
“Dulu Bapak tukang kayu ya?” tanya Nayla sambil bekerja, mencoba membangun percakapan ringan. “Saya dengar karya Bapak bagus sekali, banyak rumah di desa ini yang dibuat oleh Bapak.”
Pak Ujang tidak menjawab, tapi tatapannya mengikuti gerakan Nayla. Ada sesuatu yang berubah di matanya—kecurigaan masih ada, tapi ada juga percikan ketertarikan.
Sisa kunjungan itu dihabiskan Nayla dengan membersihkan sedikit area gubuk dan mencatat kondisi Pak Ujang untuk laporannya nanti. Ia tidak lagi menawarkan obat, memutuskan bahwa membangun kepercayaan adalah langkah pertama yang lebih penting.
Setelah mereka keluar dari gubuk Pak Ujang, Nayla menghela napas panjang. “Masih belum berhasil, tapi setidaknya dia tidak tantrum seperti kemarin.”
“Sabar, Neng,” hibur Pak Hendra. “Kedah sabar atuh. Sing butuh waktu mah untuk membangun kepercayaan dengan pasien seperti Pak Ujang. Tidak bisa terburu-buru.”
“Saya rasa pendekatan Neng sudah tepat,” tambah Pak Hendra. “Membangun kepercayaan dulu, baru pengobatan. Tadi saya lihat Pak Ujang mulai sedikit membuka diri. Dia bahkan mengizinkan Neng membersihkan gubuknya—sesuatu yang tidak pernah diizinkannya sebelumnya.”
Nayla mengangguk, merasakan sedikit harapan. “Setiap kemajuan kecil adalah langkah maju. Kalau dikaitkan dengan teori alliance building yang saya pelajari, kita harus fokus pada kebutuhan yang dirasakan pasien terlebih dahulu sebelum menawarkan apa yang kita anggap mereka butuhkan.”
Mereka melanjutkan kunjungan ke rumah Mongol. Kali ini, Mongol sendirian di rumah. Bu Darmi, bibinya, sedang pergi ke ladang.
“Nayla… datang!” seru Mongol gembira saat melihat Nayla. Ia bertepuk tangan dengan antusias, seperti anak kecil menyambut mainan baru.
“Halo, Mongol. Bagaimana kabarmu hari ini?” tanya Nayla ramah.
“Baik… Mongol baik!” jawabnya terbata-bata, senyum lebar tak lepas dari wajahnya.
Nayla menyadari bahwa tanpa kehadiran Bu Darmi, interaksinya dengan Mongol perlu lebih berhati-hati. “Pak Hendra, bisa tolong tinggal di sini selama saya memeriksa Mongol?” pintanya dengan suara pelan.
Pak Hendra mengangguk paham. “Tentu, Neng.”
Nayla memeriksa kondisi Mongol dan memberinya obat yang langsung diminum tanpa penolakan. Berbeda dengan Pak Ujang, Mongol sangat kooperatif dengan pengobatannya.
Setelah Mongol menelan obatnya, ia kembali menatap Nayla dengan cara yang membuat Nayla tidak nyaman. Nayla dengan sengaja menjaga jarak, mengambil posisi di mana Pak Hendra berada di antara mereka.
“Mongol,” kata Nayla dengan suara jelas dan tegas, “ingat apa yang kita bicarakan kemarin? Tentang menjaga tangan sendiri dan menghormati orang lain?”
Mongol mengangguk meski tampak tidak sepenuhnya paham. “Mongol… baik,” gumamnya.
“Iya, Mongol memang baik,” puji Nayla. “Dan orang baik selalu menghormati orang lain.”
Setelah memeriksa Mongol, Nayla dan Pak Hendra melanjutkan ke rumah Santo. Seperti sebelumnya, Santo menyambut mereka dengan anggukan tanpa kata. Ia membiarkan Nayla memeriksanya dan meminum obat yang diberikan tanpa protes.
“Santo, bagaimana perasaanmu hari ini?” tanya Nayla sambil mencatat di buku catatannya.
Santo mengambil buku tulisnya dan menulis: “Sama seperti kemarin.”
Nayla memperhatikan bahwa Santo, meski pendiam, sangat teratur dan disiplin dalam perawatan diri dan rumahnya. Ini menunjukkan bahwa meskipun mengalami trauma berat, fungsi kognitif dan kemampuannya menjalani rutinitas sehari-hari tidak terganggu.
“Apakah obatnya masih membuatmu mengantuk?” tanya Nayla, mengingat keluhan Santo sebelumnya.
Santo menulis: “Sedikit berkurang. Saya minum sebelum tidur seperti saran Teteh.”
“Bagus,” Nayla tersenyum. “Jika masih mengganggu, kita bisa mempertimbangkan penyesuaian dosis atau bahkan penggantian obat. Tapi perlu konsultasi dengan dokter spesialis dulu.”
Santo mengangguk, lalu menulis lagi: “Terima kasih.”
Tulisan sederhana itu membuat Nayla tertegun. Seringkali, pasien dengan gangguan mental hanya ingin didengarkan dan dilibatkan dalam keputusan pengobatan mereka, bukan hanya menjadi penerima pasif dari tindakan medis.
Nayla tersenyum. Meskipun Santo tidak berbicara, ia bisa merasakan ada sesuatu dalam dirinya—sebuah ketenangan yang menyimpan badai, seperti yang pernah ia rasakan sendiri setelah kehilangan ayahnya.
Selesai dengan ketiga pasien, Nayla tidak langsung pulang. Pak Hendra mengajaknya ke pendopo desa, di mana ia telah mengatur pertemuan dengan beberapa warga dan keluarga pasien untuk mendapatkan edukasi kesehatan.
Pendopo desa adalah bangunan tradisional Jawa yang terletak di area sentral Desa Cilepeh. Strukturnya dari kayu tua dengan atap joglo klasik. Tanpa dinding, pendopo ini memiliki area terbuka yang luas dengan bangku-bangku kayu panjang yang disusun mengelilingi area tengah.
Beberapa warga sudah berkumpul saat Nayla dan Pak Hendra tiba. Ada Bu Darmi, bibi Mongol, beberapa tetangga Santo, dan warga lain yang penasaran. Para bapak hidung belang yang Nayla temui sebelumnya—Johan, Karyo, dan Manto—juga hadir, duduk di sudut dengan senyum yang membuat Nayla tidak nyaman.
“Selamat siang, Bapak-Ibu semuanya,” Nayla memulai presentasi edukasinya dengan suara jelas. “Hari ini saya ingin berbagi sedikit pengetahuan tentang gangguan jiwa dan bagaimana kita semua bisa membantu mereka yang mengalami kondisi tersebut.”
Nayla menyadari bahwa edukasi masyarakat adalah elemen krusial dalam penanganan kesehatan mental di daerah pedesaan. Stigma dan miskonsepsi seringkali menjadi hambatan terbesar bagi penderita gangguan jiwa untuk mendapatkan perawatan yang layak dan dukungan sosial yang diperlukan.
Selama satu jam, Nayla menjelaskan dengan bahasa sederhana tentang berbagai jenis gangguan jiwa, tanda-tandanya, dan cara penanganan dasar. Ia menekankan pentingnya dukungan keluarga dan masyarakat, serta menghilangkan stigma terhadap penderita gangguan jiwa.
“Mereka bukan orang gila yang harus dijauhi,” tegas Nayla. “Mereka adalah anggota masyarakat yang sedang sakit dan membutuhkan pengobatan, sama seperti penyakit fisik lainnya.”
“Penyakit mental seperti skizofrenia atau gangguan bipolar adalah gangguan biologis otak, sama seperti diabetes adalah gangguan pankreas,” Nayla menjelaskan dengan analogi sederhana. “Dan seperti diabetes butuh insulin, gangguan jiwa butuh obat-obatan tertentu untuk membantu mengatur kimia otak. Ini bukan soal kerasukan atau kutukan, tapi ketidakseimbangan kimia yang bisa diobati dengan pendekatan medis.”
Beberapa warga terlihat mengangguk paham, sementara lainnya masih tampak ragu. Nayla tahu mengubah kepercayaan yang sudah mengakar bukanlah proses sekali jadi.
Warga mendengarkan dengan seksama, beberapa mengajukan pertanyaan yang dijawab Nayla dengan sabar. Bu Darmi bahkan menceritakan kesulitannya merawat Mongol, yang dijawab Nayla dengan beberapa saran praktis.
“Kumaha atuh, Neng,” tanya Bu Darmi dengan suara bergetar. “Abdi mah tos sepuh. Siapa yang akan mengurus Mongol nanti kalau saya meninggal?”
Pertanyaan itu membuat pendopo hening sejenak. Nayla menelan ludah, merasakan beban tanggung jawab yang dipikul wanita tua itu.
“Ini kekhawatiran yang sangat valid, Bu,” jawab Nayla dengan empati. “Sistem dukungan jangka panjang untuk penyandang disabilitas intelektual memang masih sangat terbatas di daerah kita. Tapi ada beberapa jalur yang bisa kita coba.”
Nayla menjelaskan tentang program pemerintah untuk penyandang disabilitas, meskipun terbatas, dan kemungkinan melatih anggota keluarga lain atau bahkan tetangga untuk membantu mengurus Mongol secara bergantian.
“Kita akan cari solusinya bersama-sama, Bu,” jawab Nayla lembut. “Mungkin ada program pemerintah yang bisa membantu, atau anggota keluarga lain. Yang penting sekarang, Ibu jaga kesehatan dan kita bersama-sama merawat Mongol.”
Bu Darmi mengangguk, matanya berkaca-kaca. “Nuhun pisan, Neng. Mugi Gusti Allah membalas kebaikan Neng.”
Setelah sesi edukasi selesai, Nayla berpamitan dengan Pak Hendra. “Terima kasih banyak, Pak, untuk hari ini. Saya akan datang lagi hari Jum’at.”
“Sami-sami, Neng. Hatur nuhun oge,” balas Pak Hendra. “Mangga mulih, sing ati-ati di jalan.”
Dalam perjalanan pulang, pikiran Nayla dipenuhi oleh kondisi Pak Ujang. Meski belum ada kemajuan signifikan, ia bertekad untuk tidak menyerah. Nayla menyadari bahwa pendekatan kemanusiaan yang diajarkan ayahnya—melihat pasien sebagai individu utuh dengan harga diri dan martabat, bukan sekadar kumpulan gejala—memang membutuhkan kesabaran dan konsistensi. Tidak ada jalan pintas dalam membangun kepercayaan dan hubungan terapeutik yang bermakna.
Hari Jum’at pun tiba, dan Nayla sudah kembali di Desa Cilepeh. Seperti biasa, Pak Hendra menemaninya mengunjungi Pak Ujang. Kali ini, Nayla membawa pendekatan yang sedikit berbeda.
Sebelum berangkat, Nayla telah merefleksikan pendekatan terapeutiknya. Ia mengingat diskusi dengan Prof. Widodo selama pelatihannya: “Untuk pasien dengan paranoia berat, kadang pengobatan bukanlah prioritas pertama. Membangun kepercayaan dan memenuhi kebutuhan dasar mereka terlebih dahulu bisa membuka jalan untuk penerimaan pengobatan nantinya.”
“Pak Ujang, selamat pagi,” sapa Nayla saat mereka tiba di gubuk. “Saya bawa makanan untuk Bapak.”
Nayla mengeluarkan bungkusan nasi dengan lauk sederhana yang ia beli di jalan. Aroma makanan langsung menarik perhatian Pak Ujang, yang pelan-pelan mendekati Nayla.
“Ini untuk Bapak,” kata Nayla, menyodorkan bungkusan tersebut.
Pak Ujang menerima makanan itu dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia membuka bungkusan dan mulai makan dengan lahap, menunjukkan bahwa ia mungkin sudah beberapa hari tidak makan dengan baik.
Nayla mengamati Pak Ujang dengan seksama, memperhatikan bagaimana tangannya sedikit gemetar saat memegang sendok—mungkin gejala ekstrapiramidal ringan akibat penggunaan antipsikotik sebelumnya, atau bisa juga karena kekurangan nutrisi. Ia juga memperhatikan kondisi fisik Pak Ujang secara keseluruhan: tanda-tanda dehidrasi, kekurangan gizi, dan kemungkinan infeksi kulit akibat kurangnya kebersihan.
Melihat kesempatan ini, Nayla kembali mencoba memberikan obat. “Pak, setelah makan, minum obat ini ya.”
Namun, seperti sebelumnya, Pak Ujang langsung menggeleng keras. “Tidak… tidak mau!”
Nayla menghela napas. Ia menyadari bahwa pendekatannya masih terlalu langsung. Ada tahapan psikologis yang harus dilalui sebelum pasien paranoid seperti Pak Ujang bisa menerima pengobatan—membangun kepercayaan, meminimalkan ancaman yang dirasakan, dan memberikan rasa kontrol pada pasien.
“Tidak apa-apa, Pak,” Nayla mengubah strateginya. “Bapak yang memutuskan kapan ingin minum obatnya. Saya tidak akan memaksa.”
Pernyataan ini membuat Pak Ujang sedikit rileks. Memberikan rasa kontrol pada pasien mental sering menjadi langkah penting dalam membangun kepercayaan.
“Saya lihat gubuk Bapak sudah lebih bersih,” komentar Nayla, mencoba mengalihkan percakapan ke hal positif. “Bapak yang membersihkannya?”
Pak Ujang mengangguk samar, masih fokus pada makanannya. Ini adalah interaksi paling normal yang pernah mereka lakukan—sebuah kemajuan kecil namun signifikan.
Lagi-lagi ia harus menyerah kali ini. Mungkin butuh waktu lebih lama untuk membangun kepercayaan. Nayla tidak bisa memaksa Pak Ujang untuk minum obat karena masih belum darurat dan belum dibutuhkan pemaksaan.
Setelah dari Pak Ujang, Nayla kembali mengunjungi Mongol dan Santo, memberikan pengobatan rutin dan memeriksa kondisi mereka. Kedua pasien ini tidak memberikan tantangan berarti, tidak seperti Pak Ujang.
Dalam kunjungannya ke Mongol, kali ini Bu Darmi hadir sepanjang pemeriksaan, memberikan rasa aman bagi Nayla. Nayla menggunakan kesempatan ini untuk mendiskusikan strategi jangka panjang untuk perawatan Mongol.
“Bu Darmi, saya telah mendiskusikan kasus Mongol dengan dokter di Puskesmas,” Nayla menjelaskan. “Ada program rehabilitasi berbasis komunitas yang mungkin bisa membantu Mongol mengembangkan keterampilan dasar dan sosialisasi yang lebih baik. Program ini melibatkan pelatihan untuk keluarga dan sukarelawan dari masyarakat.”
Bu Darmi mendengarkan dengan penuh harap. “Benarkah ada program seperti itu, Neng? Abdi sudah terlalu tua untuk mengajari Mongol hal-hal baru.”
“Program ini masih dalam pengembangan di kabupaten, tapi saya akan berusaha agar Desa Cilepeh menjadi salah satu desa percontohan,” jelas Nayla. “Tujuannya agar penyandang disabilitas intelektual seperti Mongol bisa lebih mandiri dan terintegrasi dalam masyarakat.”
Diskusi ini menawarkan harapan baru bagi Bu Darmi, yang selama ini merasa berjuang sendiri dalam merawat Mongol.
Rutinitas ini terus dilakukan selama tiga minggu, dengan Pak Ujang yang masih konsisten menolak obat apapun yang ditawarkan Nayla. Kesabaran Nayla mulai teruji. Ia hampir saja menyerah dengan teknik pendekatan dan mempertimbangkan teknik pemaksaan agar Pak Ujang mau minum obat.
Namun, refleksi mendalam dan diskusi dengan Dr. Rahmat membawanya pada perspektif berbeda. “Dalam psikiatri komunitas modern, pemaksaan adalah pilihan terakhir, bukan pertama,” Dr. Rahmat mengingatkannya. “Pengobatan yang dipaksakan mungkin berhasil jangka pendek, tapi sering gagal jangka panjang karena merusak kepercayaan. Bahkan di negara maju dengan fasilitas lengkap, mereka mengutamakan pendekatan sukarela kecuali dalam situasi darurat.”
Nayla memahami bahwa kesabaran dan konsistensi adalah kunci. Ia melanjutkan kunjungannya dengan membawa makanan, membersihkan gubuk, dan secara bertahap membangun kepercayaan Pak Ujang, tanpa pernah memaksakan pengobatan.
Namun, pada kunjungan ke-10 pada hari Senin, Nayla mendapatkan sebuah kemajuan.
Hari itu, Nayla membawa beberapa barang berbeda—biskuit seperti biasa, sarung tangan latex baru, stetoskop, dan beberapa obat. Saat mengeluarkan barang-barang tersebut, ia memperhatikan bahwa mata Pak Ujang tertuju pada sarung tangan latex yang mengkilap.
“Pak Ujang suka ini?” tanya Nayla, mengangkat sarung tangan tersebut.
Pak Ujang mengangguk pelan, matanya tidak lepas dari sarung tangan itu.
Nayla mengingat catatan dari Bu Siti bahwa Pak Ujang dulunya tukang kayu yang terampil. Mungkin ada hubungan antara ketertarikannya pada sarung tangan dan masa lalunya sebagai pekerja terampil yang menggunakan tangan.
Sebuah ide muncul di benak Nayla. “Kalau Bapak minum obatnya, sarung tangan ini buat Bapak.”
Terdiam sejenak, Pak Ujang tampak berpikir. Ia menatap obat di tangan Nayla, lalu sarung tangan latex, kemudian kembali ke obat. Dengan gerakan ragu, ia mengambil obat tersebut dan menelannya dengan air yang disediakan Nayla.
Nayla hampir tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Pak Ujang akhirnya mau minum obat—setelah tiga minggu penolakan keras!
Dalam pelatihan klinisnya, Nayla telah mempelajari tentang “behavioral activation” dan “token economy” sebagai teknik terapi perilaku—memberikan insentif untuk perilaku yang diinginkan. Namun, ia juga menyadari kompleksitas etis dari pendekatan ini, terutama dengan pasien yang kapasitas pengambilan keputusannya terganggu.
“Bagus, Pak! Ini sarung tangannya, sesuai janji,” kata Nayla gembira, menyerahkan sarung tangan latex yang langsung diterima Pak Ujang dengan wajah puas.
Sejak penemuan itu, Pak Ujang menjadi lebih mudah diatur. Setiap kali Nayla datang, ia membawa “hadiah” berbeda—kadang makanan, kadang barang-barang sederhana seperti jam tangan bekas atau sarung tangan latex. Pak Ujang selalu menerima obatnya dengan patuh asalkan ada hadiah yang menanti.
Meski berhasil, Nayla merasakan dilema etis dalam pendekatannya. Ia mendiskusikannya dengan Dr. Rahmat di Puskesmas.
“Saya berhasil membuat Pak Ujang minum obatnya dengan sistem hadiah,” jelasnya. “Tapi saya khawatir, apakah ini manipulatif? Apakah saya memanfaatkan kerentanannya?”
“Pertanyaan yang bagus,” jawab Dr. Rahmat serius. “Ini sebenarnya area abu-abu dalam etika psikiatri. Di satu sisi, pasien dengan gangguan jiwa berat memang sering tidak memiliki insight untuk menyadari kebutuhan pengobatan mereka. Di sisi lain, otonomi pasien tetap harus dihormati.”
“Jadi bagaimana kita menyeimbangkannya?” tanya Nayla.
“Pertimbangkan beberapa hal,” saran Dr. Rahmat. “Pertama, apakah pengobatan jelas bermanfaat bagi pasien? Kedua, apakah ‘hadiah’ yang kau berikan bersifat eksploitatif atau justru memenuhi kebutuhan legitimnya? Dan ketiga, apakah pendekatan ini sementara—sebagai jembatan hingga pasien memiliki insight lebih baik?”
Nayla merenungkan pertanyaan-pertanyaan ini sepanjang perjalanan pulang. Pengobatan jelas bermanfaat untuk Pak Ujang, dan hadiah-hadiah sederhana seperti sarung tangan latex atau makanan sulit dianggap eksploitatif. Tapi pertanyaan ketiga lebih sulit dijawab—akankah Pak Ujang akhirnya memahami pentingnya pengobatan tanpa sistem hadiah?
Selama seminggu berikutnya, pekerjaan Nayla menjadi jauh lebih lancar. Ketiga pasiennya minum obat secara teratur, dan ia mulai melihat perbaikan kecil pada kondisi mereka, terutama Pak Ujang yang mulai lebih tenang dan tidak terlalu paranoid.
Meski demikian, Nayla tetap harus menghadapi tantangan saat mengunjungi Mongol. Pada kunjungan berikutnya ke rumah Mongol, Nayla merasa lebih waspada dari biasanya.
“Kumaha damang, Bi Darmi?” sapa Nayla saat tiba di rumah Mongol.
Bi Darmi tersenyum lelah. “Alhamdulillah, Neng. Mongol dari tadi sudah menunggu. Seperti biasa, kalau hari kunjungan Neng Nayla, dia tidak mau mandi dulu.”
Mongol sedang duduk di teras, kali ini bermain dengan potongan-potongan kertas majalah yang ia sobek-sobek. Begitu melihat Nayla, ia langsung berdiri, bertepuk tangan dengan gembira hingga potongan kertas berhamburan.
“Nayla! Nayla datang!” serunya dengan cadel, air liur menetes dari mulutnya yang terbuka lebar.
“Halo, Mongol,” sapa Nayla, sengaja menjaga jarak lebih jauh dari biasanya. “Hari ini kita periksa kesehatan dan minum obat ya.”
Mongol hampir tidak mendengarkan. Matanya langsung terpaku pada Nayla, atau lebih tepatnya, pada dada Nayla yang tertutupi jilbab syar’inya.
“Dub-dub… dub-dub…” Mongol menirukan suara detak jantung lagi, tangannya membuat gerakan aneh di udara.
“Mongol, jangan begitu,” tegur Bi Darmi, wajahnya memerah malu. “Maaf, Neng. Dia memang suka begitu sejak Neng datang kemarin.”
Nayla menghadapi dilema profesional yang kompleks. Di satu sisi, sebagai perawat, ia memahami bahwa perilaku Mongol adalah manifestasi dari ketidakmampuannya memahami norma sosial, bukan niat jahat. Di sisi lain, sebagai perempuan, ia merasa tidak nyaman dan berhak menetapkan batasan.
“Bi Darmi,” kata Nayla dengan suara tenang namun tegas, “saya mengerti Mongol tidak sepenuhnya memahami perbuatannya. Tapi kita tetap perlu mengajarkan batasan yang jelas. Ini bukan hanya untuk kenyamanan saya, tapi juga untuk kebaikan Mongol sendiri dalam berinteraksi dengan orang lain.”
Bu Darmi mengangguk setuju. “Bener pisan, Neng. Abdi kadang terlalu memanjakan dia karena kasihan. Tapi memang harus diajari batasan.”
Nayla mengeluarkan obat dan sebungkus permen dari tasnya, berusaha mengabaikan ketidaknyamanan yang ia rasakan. “Hari ini kita minum obat ya, Mongol? Lihat, ada permen kesukaanmu.”
Mata Mongol beralih ke permen, tapi hanya sejenak sebelum kembali ke dada Nayla. “Mau… pegang…” gumamnya pelan, tangannya terulur ke arah Nayla.
Nayla otomatis melangkah mundur, jantungnya berdegup kencang. “Mongol, kalau mau permen, harus minum obat dulu,” katanya dengan nada tegas, berusaha mengalihkan perhatian.
“Dan ingat, Mongol,” tambah Nayla dengan nada yang tegas namun tidak menghakimi, “kita tidak boleh menyentuh tubuh orang lain tanpa izin. Itu tidak sopan.”
Pendekatan ini—tegas menetapkan batasan namun tetap menghormati martabat Mongol—adalah keseimbangan yang sulit namun penting dalam perawatan pasien dengan disabilitas intelektual.
Mongol cemberut, bibirnya mengerucut seperti anak kecil yang merajuk. “Tidak mau…” protesnya, matanya masih menatap bagian atas tubuh Nayla dengan tatapan yang membuat Nayla merinding.
“Mongol!” Bi Darmi menegur dengan suara keras. “Kalau tidak nurut, Neng Nayla tidak akan datang lagi.”
Ancaman itu tampaknya berhasil. “Jangan!” Mongol berseru panik. “Minum… minum obat.”
Dengan enggan, Mongol akhirnya menelan obatnya. Setelah menerima permen, ia kembali menatap Nayla dengan tatapan yang membuat Nayla ingin segera pergi dari situ.
“Saya rasa sudah cukup untuk hari ini,” kata Nayla kepada Bi Darmi, berusaha menjaga suaranya tetap profesional meskipun dalam hati ia sangat tidak nyaman. “Mongol sudah minum obatnya dengan baik.”
Saat Nayla berpamitan, Mongol terus mengikutinya hingga ke pagar, mata tidak lepas dari tubuh Nayla, membuat Nayla mempercepat langkahnya.
“Bi, tolong jaga Mongol,” kata Nayla sebelum pergi. “Mungkin Bi Darmi bisa selalu ada di ruangan yang sama saat saya berkunjung ke depannya.”
Bi Darmi mengangguk paham, tampak khawatir. “Muhun, Neng. Hapunten, Mongol memang seperti ini. Tapi dia sebenarnya tidak berbahaya.”
“Saya tahu Mongol tidak bermaksud jahat,” jawab Nayla diplomatis. “Tapi tetap penting baginya untuk belajar batasan sosial, meski dengan cara yang sesuai kemampuannya. Kita semua punya tanggung jawab untuk membimbingnya.”
Nayla hanya tersenyum tipis, tidak yakin apakah ia setuju dengan penilaian itu.
Setiap malam setelah kembali dari Desa Cilepeh, Nayla menulis di jurnalnya, mencatat perkembangan pasien dan perasaannya sendiri.
“Kemajuan dengan Pak Ujang memberikan harapan,” tulisnya dalam jurnal pada malam itu. “Pendekatan yang diajarkan Ayah—membangun hubungan terapeutik dan kepercayaan sebelum pengobatan—memang membutuhkan waktu, tapi hasilnya mulai terlihat. Mungkin ini bukan tentang ‘berhasil di mana Ayah gagal’ tapi melanjutkan apa yang telah ia mulai.”
Nayla menyadari bahwa motivasinya telah bergeser selama beberapa minggu terakhir. Dari keinginan membuktikan diri dan menebus rasa bersalah, menjadi komitmen profesional yang lebih murni untuk membantu pasiennya. Meskipun bayangan kematian ayahnya masih menghantuinya, ia mulai melihat pekerjaannya bukan sebagai misi penebusan pribadi, tapi sebagai panggilan profesional dan kemanusiaan.
Sistem hadiah ini memberikan Nayla perasaan kontrol yang tidak pernah ia miliki saat melihat ayahnya diserang. Setiap keberhasilan membuat Pak Ujang minum obatnya terasa seperti kemenangan kecil, sebuah bukti bahwa ia mampu mengendalikan situasi yang ayahnya tidak bisa. Tapi Nayla juga semakin memahami kompleksitas dari situasi ayahnya dulu. Mungkin kegagalan itu bukan karena pendekatan ayahnya salah, tapi karena banyak faktor sistemik di luar kendalinya—kurangnya sumber daya, pengobatan yang tidak konsisten, atau tekanan dari atasan untuk hasil cepat tanpa memperhatikan proses terapeutik.
Namun di belakang semua itu, ada ketakutan yang mengintai—bagaimana jika suatu hari ia gagal? Bagaimana jika Pak Ujang menjadi kekerasan seperti pasien yang membunuh ayahnya?
Nayla mengakui kekhawatiran ini dalam jurnalnya: “Ada momen-momen ketika tatapan Pak Ujang mengingatkanku pada pasien yang menyerang Ayah. Ketakutan itu masih ada. Tapi Dr. Rahmat benar—ketakutan tidak boleh mendikte tindakan profesional kita. Aku harus tetap waspada tapi tidak paranoid. Menjaga batasan tapi tidak membangun tembok. Ini keseimbangan yang sulit.”
Di sisi lain, perilaku Mongol juga mulai mengkhawatirkan Nayla. Malam itu, ia menambahkan catatan baru di jurnalnya:
“Mongol berbeda dari Pak Ujang. Tapi dengan caranya sendiri, dia juga menakutkan. Tatapannya membuatku merasa… terancam. Bu Darmi bilang dia tidak berbahaya, tapi instingku berkata lain. Sebagai profesional kesehatan, aku memahami bahwa perilakunya adalah manifestasi dari ketidakmampuan kognitifnya memahami norma sosial, bukan niat jahat. Tapi sebagai perempuan, aku juga berhak merasa aman dalam lingkungan kerjaku. Ini dilema yang belum sepenuhnya kutemukan jawabannya. Ada nafsu di matanya yang tidak seharusnya ada pada seseorang dengan kondisi mental sepertinya. Aku harus lebih berhati-hati. Mungkin aku bisa meminta Pak Hendra selalu ada di dekat saat aku memeriksa Mongol.”
Nayla menutup jurnalnya, merasa sedikit lega setelah menuliskan kekhawatirannya. Ia bertanya-tanya apakah ketakutannya berlebihan. Bagaimanapun, Mongol hanyalah seorang pemuda dengan keterbelakangan mental yang tidak mampu mengontrol perilakunya dengan baik. Tapi sebagai perempuan, Nayla tahu kapan harus mempercayai instingnya.
Pada mulanya semua barang yang ditunjuk Pak Ujang adalah hal yang sepele—biskuit, makanan, sarung tangan, atau barang-barang sederhana lainnya. Namun seiring waktu, permintaan Pak Ujang mulai berubah. Pada kunjungan berikutnya, saat Nayla menunjukkan hadiah-hadiah potensial untuk Pak Ujang, pria itu tidak menunjuk ke barang-barang seperti biasanya. Alih-alih, ia menunjuk ke arah tangan Nayla.
Nayla terdiam, tidak yakin apa yang diminta Pak Ujang. “Apa yang Bapak inginkan? Jam tangan saya?”
Pak Ujang menggeleng. Ia terus menunjuk ke tangan Nayla, lalu ke arah obat yang harus diminumnya.
“Bapak… mau pegang tangan saya?” tanya Nayla ragu-ragu.
Pak Ujang mengangguk pelan, matanya menatap Nayla dengan tatapan penuh harap.
Nayla merasakan konflik profesional yang intens. Di satu sisi, membangun hubungan terapeutik dengan pasien skizofrenia adalah langkah penting dalam pengobatan. Di sisi lain, sentuhan fisik dengan pasien berisiko melanggar batasan profesional. Batasan ini ada bukan tanpa alasan—untuk melindungi baik pasien maupun petugas kesehatan dari kesalahpahaman, ketergantungan emosional, atau bahkan potensi eksploitasi.
Nayla merasakan gelombang keraguan. Sebagai perawat profesional, ia tahu menjaga batas dengan pasien adalah hal penting. Namun, jika ini yang dibutuhkan agar Pak Ujang mau minum obat…
Nayla teringat diskusi etika keperawatan dari masa kuliahnya. Profesor mereka membahas “prinsip proporsionalitas” dalam etika kesehatan—apakah manfaat dari tindakan tertentu secara signifikan melebihi risikonya? Dalam kasus ini, manfaatnya adalah Pak Ujang mau minum obat yang sangat ia butuhkan. Risikonya adalah potensi pelanggaran batas profesional dan kemungkinan menciptakan ketergantungan yang tidak sehat.
Nayla juga mempertimbangkan konteks budaya. Di komunitas desa Indonesia, sentuhan tangan tidak selalu memiliki konotasi intim seperti di beberapa budaya lain. Ini bisa jadi bentuk kontak manusiawi sederhana yang dibutuhkan seseorang yang telah lama hidup terisolasi.
“Ya udah,” kata Nayla akhirnya. “Bapak boleh pegang tangan saya sebentar, tapi Bapak minum obatnya dulu ya.”
Pak Ujang langsung menerima obat tersebut dan menelannya dengan patuh, lebih cepat dari biasanya. Setelah memastikan obat tertelan, Nayla perlahan mengulurkan tangannya.
Pak Hendra yang berdiri tidak jauh dari mereka mengawasi dengan waspada. “Neng, ati-ati atuh,” peringatnya.
Pak Ujang menyentuh tangan Nayla dengan jari-jarinya yang kasar dan kering. Sentuhannya tidak kasar, justru terkesan hati-hati, seolah takut merusak sesuatu yang berharga. Ia menggenggam tangan Nayla beberapa detik, lalu melepaskannya perlahan.
Sentuhan itu singkat dan tidak invasif, tapi Nayla tetap merasakan kompleksitas dari interaksi tersebut. Ada elemen terapeutik di sana—kontak manusiawi dengan seseorang yang mungkin sudah bertahun-tahun tidak mengalaminya. Tapi juga ada potensi risiko jika ini menciptakan harapan atau ketergantungan yang tidak tepat.
Sentuhan tangan Pak Ujang membuat Nayla terhenyak. Ada sensasi aneh yang muncul—tidak sepenuhnya takut, tapi juga tidak nyaman.
Keesokan harinya, Nayla kembali ke Desa Cilepeh. Rutinitas yang biasa ia jalani dengan Mongol dan Santo berjalan lancar. Namun, saat mengunjungi Pak Ujang, Nayla merasa ada yang berbeda. Pak Ujang menyambutnya dengan tatapan yang lebih fokus, seolah kehadiran Nayla adalah sesuatu yang ia tunggu-tunggu.
“Selamat pagi, Pak Ujang,” sapa Nayla seperti biasa, berusaha menjaga profesionalisme meski hatinya sedikit gelisah.
Pak Ujang membalas dengan anggukan, matanya tidak lepas dari Nayla. Ketika Nayla mengeluarkan obat dan beberapa “hadiah” potensial—biskuit, sarung tangan baru, bahkan sebuah syal tua—Pak Ujang tidak menunjukkan ketertarikan pada benda-benda tersebut. Seperti kemarin, ia menunjuk ke arah tangan Nayla.
“Bapak mau pegang tangan saya lagi?” tanya Nayla memastikan.
Pak Ujang mengangguk, matanya memancarkan harapan.
Nayla menghadapi dilema etis yang semakin kompleks. Meski sentuhan tangan mungkin tampak sederhana, ia menyadari bahwa ini potensial menjadi dinamika yang problematik. Dalam pelatihan klinisnya, ia diajari untuk selalu merefleksikan setiap tindakan: Apakah ini untuk kebaikan pasien atau untuk kemudahan perawat? Apakah ada alternatif lain yang belum dicoba? Apakah ini menciptakan ekspektasi yang tidak dapat dipenuhi dalam jangka panjang?
Nayla menarik napas dalam-dalam. “Pak Ujang,” katanya dengan lembut tapi jelas, “saya akan memberi Bapak pilihan. Bapak bisa minum obat dan mendapat biskuit ini, atau minum obat dan boleh memegang tangan saya sebentar. Bapak yang memilih.”
Memberikan pilihan kepada pasien adalah strategi untuk menyeimbangkan kebutuhan terapeutik dengan kemandirian pasien. Ini memberikan Pak Ujang rasa kontrol dalam proses pengobatannya, sekaligus mempertahankan kerangka profesional dari interaksi mereka.
“Oke, tapi Bapak minum obatnya dulu ya.”
Seperti kemarin, Pak Ujang menelan obatnya dengan patuh. Nayla lalu mengulurkan tangannya, yang langsung disambut Pak Ujang. Kali ini, genggamannya sedikit lebih lama dari kemarin. Nayla bisa merasakan kehangatan dan kekasaran telapak tangan Pak Ujang—tangan yang mungkin dulu pernah bekerja keras sebelum penyakitnya mengambil alih.
“Ini kemajuan yang baik,” kata Nayla pada Pak Hendra setelah mereka keluar dari gubuk Pak Ujang. “Dia minum obatnya dengan patuh sekarang.”
Pak Hendra mengangguk, meski raut wajahnya menunjukkan sedikit kekhawatiran. “Memang bagus, Neng. Tapi kudu ati-ati nya. Jangan sampai Pak Ujang terlalu bergantung pada Neng dengan cara yang tidak sehat.”
“Saya setuju, Pak,” jawab Nayla serius. “Ini dilema yang saya hadapi. Di satu sisi, pendekatan ini berhasil membuatnya minum obat yang sangat ia butuhkan. Di sisi lain, saya khawatir ini menciptakan dinamika ketergantungan yang tidak sehat. Mungkin saya perlu mendiskusikan strategi jangka panjangnya dengan dokter di Puskesmas.”
Peringatan Pak Hendra terus terngiang di telinga Nayla sepanjang hari. Namun, sebagai perawat yang berkomitmen untuk kesembuhan pasiennya, Nayla merasa ini adalah risiko yang harus ia ambil. Lagipula, apa salahnya memberikan sedikit kehangatan manusiawi pada seseorang yang telah lama terisolasi dari masyarakat?
Minggu-minggu berikutnya, pola ini berlanjut. Pak Ujang selalu mau minum obatnya dengan imbalan genggaman tangan Nayla. Kadang, ia bahkan tersenyum—sesuatu yang tidak pernah Nayla lihat sebelumnya. Kondisinya menunjukkan perbaikan; ia lebih tenang, lebih rapi, dan halusinasinya tampak berkurang.
Setiap minggu, Nayla mencatat perubahan-perubahan ini dengan teliti dalam laporan medisnya. Dosis obat yang konsisten mulai menunjukkan efek terapeutiknya—bicara Pak Ujang lebih teratur, paranoia mulai berkurang, dan ia bahkan mulai memperhatikan kebersihan dirinya. Di mata profesional, ini adalah kemajuan klinis yang signifikan.
Namun, di setiap kemajuan, ada harga yang harus dibayar. Permintaan Pak Ujang perlahan bergeser. Dari sekadar memegang tangan, ia mulai ingin menggenggam lengan Nayla, lalu bahunya. Setiap kali, Nayla menekan kekhawatirannya, meyakinkan diri bahwa semua ini demi kesembuhan pasien.
“Saya tidak yakin ini pendekatan yang berkelanjutan,” Nayla membagikan kekhawatirannya pada Dr. Rahmat. “Pak Ujang semakin bergantung pada kontak fisik denganku sebagai syarat meminum obat. Ini memang efektif, tapi apakah etis? Dan apa yang terjadi jika suatu hari saya tidak bisa lagi menanganinya?”
“Ini memang dilema klasik,” jawab Dr. Rahmat. “Di satu sisi, kau berhasil membuat pasien dengan paranoia berat secara konsisten minum obatnya—sebuah pencapaian luar biasa. Di sisi lain, pendekatan ini menciptakan ketergantungan yang problematik dalam hubungan terapeutik.”
Dr. Rahmat mengusulkan rencana transisi bertahap: “Mungkin kau bisa mulai memperkenalkan alternatif secara perlahan. Misalnya, kadang genggaman tangan, kadang hadiah lain. Secara bertahap mengurangi intensitas kontak fisik sambil mempertahankan kepatuhan pengobatan.”
Namun, di sudut hatinya yang terdalam, Nayla tahu ia sedang berjalan di tepian jurang. Setiap sentuhan, setiap kedekatan, adalah langkah yang membawanya semakin dekat ke batas yang tak seharusnya ia lewati. Batasan profesional ada bukan tanpa alasan—bukan hanya untuk melindungi pasien dari potensi eksploitasi, tapi juga untuk melindungi petugas kesehatan dari burnout emosional dan keterlibatan yang terlalu mendalam. Tapi bayangan keberhasilan, bayangan membuktikan bahwa metodenya benar, terlalu menggoda untuk diabaikan.
Sementara itu, di luar pengetahuan Nayla, mata-mata lain mengawasi perkembangan ini dengan penuh minat. Di pos ronda, Johan, Karyo, dan Manto sering membicarakan “perawat cantik” yang rela memberikan sentuhan pada pasien gangguan jiwa. Gosip mulai beredar di desa, meski belum sampai ke telinga Nayla atau Pak Hendra.
“Aing yakin dia bukan hanya memberi sentuhan biasa,” bisik Johan suatu sore, diikuti tawa rendah dari kedua temannya. “Ngga percaya aing mah.”
“Kalau sama Pak Ujang saja dia mau, apalagi sama urang yang masih normal,” tambah Manto dengan senyum licik. “Jadi ingin mencoba juga, euy.”
Pak Harja, pemilik toko kelontong yang mendengar percakapan itu, hanya menggelengkan kepala. “Ulah ngawur atuh. Neng Nayla mah perawat profesional. Manehna cuma menjalankan tugasnya. Sia mah sok hayang wae.”
“Ah, enya kitu? Tugas perawat termasuk pegangan tangan sama pasien?” bantah Karyo. “Ada yang teu beres tuh. Aing yakin Neng Nayla teh naksir ka Pak Ujang. Teu percaya aing mah kalau ieu teh soal hanya mengobati” lanjut Karyo dengan suara rendah.
Gosip-gosip ini mencerminkan ketidakpahaman mendalam tentang kompleksitas pekerjaan kesehatan mental. Apa yang dilihat sebagai “pelanggaran norma” oleh orang awam seringkali adalah dilema etis yang harus dihadapi para profesional kesehatan dalam mencari keseimbangan antara pendekatan terapeutik dan batasan-batasan profesional.
Lebih jauh lagi, komentar-komentar tersebut merefleksikan tantangan yang dihadapi perempuan profesional di bidang kesehatan—di mana tindakan profesional mereka sering kali disalahartikan melalui lensa seksualisasi dan prasangka gender. Sentuhan terapeutik yang dilakukan perawat laki-laki mungkin tidak akan memancing gosip serupa.
Gosip tetaplah gosip, tapi di desa kecil seperti Cilepeh, sebuah rumor bisa berkembang menjadi “kebenaran” dengan sangat cepat. Tanpa disadari Nayla, reputasinya mulai dipertanyakan oleh beberapa warga, meski sebagian besar masih menghormatinya sebagai tenaga kesehatan yang berdedikasi.
Di tengah semua itu, Nayla terus berjuang dengan konflik batinnya sendiri. Setiap malam setelah kembali dari Desa Cilepeh, ia terjaga di tempat tidurnya, bertanya-tanya apakah ia telah melangkah terlalu jauh, atau justru belum cukup berani untuk melakukan apa yang diperlukan.
Ia teringat diskusi dengan mentornya di rumah sakit dulu, Dr. Aisyah, tentang kompleksitas etis dalam perawatan kesehatan mental. “Tidak ada jawaban hitam putih dalam psikiatri,” kata Dr. Aisyah. “Keberhasilan terapeutik dan batasan etis selalu berada dalam keseimbangan dinamis. Yang penting adalah kita terus bertanya pada diri sendiri: ‘Apakah tindakan ini membantu pasien menuju kemandirian, atau justru menciptakan ketergantungan?’”
Pertanyaan inilah yang terus bergema dalam benak Nayla. Meski Pak Ujang menunjukkan perbaikan klinis yang nyata, apakah pendekatan ini benar-benar membantu jangka panjang? Atau ia hanya menciptakan ilusi kemajuan yang bergantung pada kehadirannya?
Malam itu, Nayla bermimpi tentang ayahnya lagi. Tapi kali ini berbeda. Dalam mimpi itu, ayahnya tersenyum, mengangguk seolah menyetujui apa yang Nayla lakukan.
“Apakah ini benar, Yah?” bisiknya dalam gelap kamar asramanya. “Apakah pengorbanan kecil ini memang diperlukan untuk kesembuhannya? Seperti yang selalu kau katakan—’untuk menyembuhkan jiwa yang terluka, kadang kita harus membuka luka kita sendiri’?”
Frasa ini—yang sering diucapkan ayahnya—kini memperoleh makna baru bagi Nayla. Dulu ia mengartikannya secara harfiah, bahwa penyembuhan pasien membutuhkan pengorbanan pribadi dari perawat. Tapi kini ia mulai memahami nuansa yang lebih dalam—bahwa untuk benar-benar membantu seseorang dengan trauma psikologis, kita harus berani menghadapi kerentanan kita sendiri, mengakui keterbatasan kita, dan kadang melepaskan kontrol yang kita anggap kita miliki.
Bimbang, Nayla menyentuh tasbihnya, sebuah ritual yang selalu ia lakukan saat konflik batin muncul. Di satu sisi pelatihan profesionalnya dan nilai-nilai religiusnya meneriakkan peringatan. Di sisi lain, keinginan untuk berhasil di mana ayahnya gagal mendorong Nayla untuk terus melangkah di jalur berbahaya ini.
“Ayah selalu bilang, ‘jangan takut kotor untuk membersihkan yang kotor’,” bisiknya pada diri sendiri. “Tapi sampai mana batasku? Dan apakah aku melakukan ini untuk Pak Ujang… atau untuk diriku sendiri?”
Petanyaan terakhir ini mengusik Nayla lebih dari yang lainnya. Motivasinya yang awalnya murni—ingin membantu pasien seperti yang ayahnya ajarkan—mungkinkah telah terkontaminasi oleh keinginan pribadinya untuk membuktikan diri? Untuk menebus kegagalannya menyelamatkan sang ayah? Jika demikian, apakah keputusan-keputusan klinisnya masih objektif, atau telah dipengaruhi oleh kebutuhan emosinya sendiri?
Para profesor etika kedokterannya dulu selalu menekankan pentingnya refleksi diri yang jujur dalam praktik klinis. “Saat motivasi pribadi mulai memengaruhi keputusan profesional,” kata mereka, “itulah saat kita harus mundur selangkah dan mengevaluasi kembali pendekatan kita.”
Pertanyaan-pertanyaan itu terus berputar dalam benaknya tanpa jawaban yang pasti. Yang ia tahu hanyalah bahwa Pak Ujang semakin membaik, dan untuk saat ini, itu adalah bukti yang cukup bahwa apa yang ia lakukan—apapun risikonya—adalah benar.
Namun, semakin dalam ia terlibat dalam dinamika kompleks ini, semakin Nayla memahami bahwa dalam perawatan kesehatan mental, jawaban “benar” dan “salah” jarang sekali sederhana. Setiap kasus adalah unik, setiap pasien memiliki kebutuhan berbeda, dan setiap situasi membutuhkan keseimbangan antara pedoman etis, bukti klinis, dan kebijaksanaan praktis.
Mungkin inilah pelajaran terpenting yang ditinggalkan ayahnya—bahwa penanganan gangguan jiwa bukan hanya soal protokol dan prosedur, tapi seni keseimbangan yang terus berevolusi, di mana kita harus terus bertanya, merefleksi, dan kadang berani mengambil jalan yang belum terpetakan demi kesembuhan yang sesungguhnya.
57Please respect copyright.PENANA1878Fh0P0e
check web kami untuk cerita versi premium dan cerita premium lainnya di https://ceritabramloser.my.id/story/57Please respect copyright.PENANA88dMk2imSt