Zahra menarik napas dalam-dalam, menyesuaikan posisi jilbabnya yang sedikit miring di cermin kecil ruang tamu. Pagi itu cerah, sinar matahari menyeruak melalui celah-celah jendela kayu rumah sederhana mereka. Arman sudah berangkat ke kantor sejak subuh, meninggalkan secangkir teh hangat dan sepiring nasi goreng yang kini sudah dingin di meja makan. Zahra melirik ponselnya. Pesan dari tetangganya, Mba Nur, masih terbaca di layar: “Zah, ikut majelis taklim di rumah Bu Haji Siti yuk, jam 9. Ada Habib Albar, katanya bagus banget ceramahnya!”
Zahra ragu sejenak. Majelis taklim bukan hal baru baginya, tapi entah mengapa, undangan kali ini terasa berbeda. Mungkin karena nama Habib Albar yang belakangan sering disebut-sebut di grup WhatsApp ibu-ibu komplek. “Katanya suaranya lembut, bikin hati adem,” kata Mba Nur kemarin sore sambil tersenyum penuh semangat. Zahra mengangguk pelan pada bayangannya di cermin, mencoba meyakinkan diri bahwa ini hanya kegiatan biasa. Ia mengambil tas kecil, memasukkan Al-Qur’an mungil dan botol air minum, lalu mengunci pintu rumah.
Jalan menuju rumah Bu Haji Siti hanya sepuluh menit berjalan kaki. Udara pagi masih sejuk, bau rumput basah bercampur aroma gorengan dari warung di ujung gang. Zahra mempercepat langkah, jilbab cokelat mudanya berkibar pelan di tiupan angin. Di depan rumah Bu Haji Siti, puluhan sepatu dan sandal tersusun rapi di teras. Suara tahlil pelan terdengar dari dalam, diiringi aroma kopi dan kue basah yang disajikan untuk tamu. Zahra melepas sandal jepitnya, menyapa beberapa ibu yang dikenalnya, lalu melangkah masuk.
Ruang tamu Bu Haji Siti sudah penuh. Tikar-tikar digelar di lantai, dihiasi bantal-bantal kecil berwarna cerah. Sekitar dua puluh perempuan duduk bersila, beberapa mengobrol pelan, yang lain membaca wirid dengan tasbih di tangan. Zahra mencari Mba Nur, dan menemukannya di sudut ruangan, melambai kepadanya. “Zah, sini! Aku simpen tempat,” bisik Mba Nur, menepuk tikar di sebelahnya. Zahra tersenyum dan duduk, merapikan rok panjangnya.
“Habib Albar belum datang?” tanya Zahra pelan, matanya menyapu ruangan.
“Belum, katanya sebentar lagi. Tadi Bu Haji bilang dia dari pesantren di Bogor, tapi sering ke sini buat ngisi taklim,” jawab Mba Nur, matanya berbinar. “Keren, lho, orangnya. Muda, ganteng, tapi alim banget. Suaranya… ya Tuhan, kayak nyanyi.”
Zahra hanya mengangguk, sedikit risih dengan antusiasme Mba Nur. Ia membuka Al-Qur’an di pangkuannya, mencoba fokus pada ayat-ayat yang sudah akrab. Tapi pikirannya melayang ke Arman. Pagi tadi, suaminya tampak lelah, wajahnya kusut saat mencium tangannya sebelum berangkat. “Jangan lupa makan siang, ya,” pesan Arman dengan suara parau. Zahra merasa bersalah. Malam tadi, saat Arman mencoba memeluknya di ranjang, ia hanya diam, tubuhnya kaku. Bukan karena ia tak mencintai Arman, tapi ada sesuatu yang terasa… kosong. Ia tak tahu apa.
Tiba-tiba, ruangan menjadi hening. Pintu depan terbuka, dan seorang pria masuk dengan langkah tenang. Zahra menoleh, dan jantungnya seolah berhenti sejenak. Habib Albar tinggi, ramping, dengan jubah putih yang mengalir sempurna di tubuhnya. Sorban hijau tua melilit kepalanya, menyisakan sehelai kain yang jatuh di pundak. Wajahnya bersih, dengan rahang tegas dan sepasang mata yang dalam, seperti menyimpan rahasia. Ia tersenyum tipis ke arah para ibu, dan suaranya—lembut, dalam, hampir seperti bisikan—menggema saat ia mengucap salam.
“Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh,” katanya, tangannya merentang ringan seolah menyapa semua orang sekaligus. “Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya pada kita semua di pagi yang indah ini.”
“Wa’alaikumussalam,” jawab para ibu serentak, beberapa di antaranya tampak tersipu. Zahra menunduk, tiba-tiba merasa pipinya memanas. Ada sesuatu dalam suara pria itu, seperti getaran yang meresap ke dalam dada, membuat hatinya berdegup tak karuan.
Habib Albar duduk di kursi kecil yang disediakan di depan. Ia membuka ceramahnya dengan membaca ayat dari Surah An-Nur, suaranya mengalir seperti air, tenang namun penuh kuasa. “Cahaya Allah itu ada di hati yang bersih,” katanya, matanya menyapu ruangan, seolah menatap setiap jiwa yang hadir. “Tapi bagaimana kita menjaga cahaya itu, wahai saudariku, jika hati kita masih terikat pada dunia?”
Zahra mendengarkan, tangannya memainkan ujung jilbabnya tanpa sadar. Kata-kata Habib Albar terasa hidup, seperti menembus dinding-dinding hatinya yang selama ini ia tutup rapat. Ia teringat Arman, rumah kecil mereka, malam-malam yang kini terasa hampa. Apakah ini yang dimaksud Habib? Hati yang terikat pada dunia? Ia menelan ludah, mencoba fokus.
Ceramah berlangsung hampir satu jam. Habib Albar berbicara tentang cinta kepada Allah, tentang pengorbanan, tentang bagaimana tubuh dan jiwa harus selaras dalam ibadah. Ia sesekali tersenyum, gerakannya lembut namun penuh wibawa. Beberapa ibu tampak menitikkan air mata, yang lain mengangguk penuh khidmat. Zahra merasa dadanya sesak, campuran antara kagum dan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan. Saat ceramah selesai, para ibu berdesakan mendekati Habib Albar, meminta doa atau sekadar bersalaman. Zahra tetap di tempatnya, tak berani bergerak.
“Zah, ayo, salaman sama Habib,” ajak Mba Nur, menarik lengan Zahra.
“Eh, enggak usah, aku… malu,” jawab Zahra cepat, wajahnya memerah.
Mba Nur tertawa kecil. “Malu apaan, biasa aja. Orangnya ramah kok.”
Zahra akhirnya berdiri, mengikuti Mba Nur ke depan. Jantungnya berdegup kencang saat ia berdiri di hadapan Habib Albar. Pria itu menatapnya sekilas, matanya seolah menyelami. “Semoga Allah menjaga hatimu, ukhti,” katanya lembut, tangannya menggenggam tangan Zahra sebentar. Sentuhannya hangat, hampir terlalu lama untuk sekadar jabat tangan. Zahra menunduk, tak mampu menahan tatapan itu. Ia hanya mengangguk, lalu buru-buru mundur.
Di perjalanan pulang, Mba Nur tak henti-hentinya bercerita tentang Habib Albar. “Katanya dia belum nikah, lho. Banyak yang naksir, tapi dia bilang hatinya cuma buat Allah,” canda Mba Nur. Zahra hanya tersenyum kecil, pikirannya masih dipenuhi suara lembut Habib dan sentuhan tangannya tadi. Ia merasa bersalah karena merasakan sesuatu yang tak seharusnya, tapi ada bagian dalam dirinya yang tak bisa berhenti memikirkan pria itu.
Malam itu, setelah Arman pulang dan mereka makan malam dalam diam, Zahra duduk di tepi ranjang, menatap dinding kamar yang mulai mengelupas. Arman masuk, sudah berganti kaus oblong dan celana pendek. Ia duduk di samping Zahra, tangannya menyentuh pundak istrinya pelan. “Zah, tadi ke majelis taklim, ya? Gimana?” tanyanya, suaranya penuh perhatian.
Zahra mengangguk, tak menoleh. “Bagus. Ceramahnya… menyentuh,” jawabnya singkat, matanya masih tertuju ke dinding.
Arman mendesah pelan, tangannya merayap ke pinggang Zahra, menariknya perlahan ke arahnya. “Zah… aku kangen kamu,” bisiknya, suaranya serak. Ia mencium leher Zahra, napasnya hangat di kulit wanita itu. Zahra menutup mata, mencoba merespons, tapi pikirannya melayang ke ruang tamu Bu Haji Siti, ke suara Habib Albar, ke sentuhan tangannya tadi pagi.
“Mas, aku capek,” kata Zahra pelan, menarik diri dengan hati-hati. “Besok pagi aku harus bangun pagi, ada pengajian lagi.”
Arman menatapnya, wajahnya penuh kekecewaan tapi ia tak berkata apa-apa. Ia hanya mengangguk, lalu bangkit dan berjalan ke kamar mandi. Zahra menarik napas panjang, memeluk lututnya sendiri. Di dalam dadanya, ada pergolakan yang tak ia mengerti. Gambar wajah Habib Albar muncul di benaknya, dan untuk pertama kalinya, ia merasa jantungnya berdetak bukan karena Arman.
Malam semakin larut. Zahra terbangun dari tidur yang gelisah, tubuhnya basah oleh keringat. Ia bermimpi tentang Habib Albar, tentang suaranya yang membaca ayat-ayat suci, tentang matanya yang menatapnya dengan penuh makna. Dalam mimpi itu, tangan pria itu menyentuh pipinya, lembut, seperti membelai jiwa. Zahra menoleh ke samping, melihat Arman yang tertidur pulas, mendengkur pelan. Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. Tapi di antara degup jantungnya, ada sesuatu yang bergolak—sesuatu yang terasa asing, namun begitu hidup.
ns216.73.216.176da2