560Please respect copyright.PENANAlTMOsFFyIH
POV Author560Please respect copyright.PENANAOPnQeKK86T
560Please respect copyright.PENANAgRFRJ0533n
Ketika Imron sedang tertawa terbahak-bahak, tiba-tiba sistem jaringan di ruang kerjanya diserang malware.
"Siyal, apa-apaan ini?" Dan anehnya, tiba-tiba sistem jaringan yang terserang malware pulih kembali dengan sendirinya.
"Loh, kok bisa begini?" Tiba-tiba muncul seseorang di layar PCnya. "Siapa kamu?"
"Aku Liu, mamanya Icha..."
"Mamanya Icha?" Imron mengernyitkan dahinya.
"Ya... Aku tau, apa yang kamu lakuin ke anakku..."
"Ma... maksud Anda?" Suara Imron bergetar.
"Kamu mau yang lebih parah dari tadi? Aku yang menyebar malware ke sistem jaringanmu."
"Anda jangan macem-macem ya!"
"Kenapa kalo aku macem-macem anak muda? Kamu udah neror anakku. Apa yang kamu inginkan?"
"Em... a... aku..."
"Aku tau, apa yang dilakuin anakku. Tapi apa sepadan sama yang kamu lakuin ke anakku? Kamu tau? Anakku penderita depresi." Liu mengembuskan nafasnya. "Sebenarnya aku sedih, melihat yang anakku alami. Tapi aku terpaksa..."
"Maksud Anda?" Imron memandang Liu dengan beribu pertanyaan.
"Maksudku? Itu bukan urusanmu. Yang aku mau, kamu berhenti meretas anakku... lihat pertunjukan yang bakal aku tunjukin ke kamu!"
Satu sampai dua PC Imron meledak. "Apa yang Anda lakuin?"
"Haha, ini belum seberapa. Aku bisa lebih daripada ini!"
"Cik, udah Cik! Jangan lakuin ini ke saya. Saya minta maaf."
"Nggak semudah itu."
PC milik Imron yang satu lagi sudah mulai mengepul. "Siyal..." Imron berlari, keluar dari ruangan. Ruang kerja Imron terbakar. Sekarang ia meringkuk, di luar rumah sambil terisak sambil memukul-mukul tembok.
Ponsel Imron pun berdering. Imron mengangkat telepon itu. "Halo?"
"Aku bisa pulihin semua kerugianmu... Lihat akun m bankingmu!" Mata Imron terbelalak, tiba-tiba saldo banknya bertambah.
"Anggap aja itu DP, aku bakal ganti semua kerugian kamu, asal..."
"Asal apa Cik?"
"Kamu jaga Icha!"
"Jaga Icha?"
"Maaf, Cik. Saya menolak!"
"Kamu masih belum kapok juga!" Imron menatap tiga drone kecil yang sekilas berbentuk seperti elang menukik. Drone itu jatuh menghantam jalan di depan rumahnya. Ia berlari, kemudian menggeser gerbang. Betapa shocknya ia, ketika melihat jalan berlubang cukup dalam. "Kamu mau, rumah kamu terbakar?"
"Anda mengancam saya?" Imron mengepalkan tangannya.
"Haha, kayaknya kamu emang nggak bisa diancam Mron... Ardian maksudku."
"Saya akan menuntut Anda, karena tindak kriminal yang Anda lakukan."
"Aku? haha. Sayang sekali anak muda, aku bukan warga negara RI. Dan tentu saja aku kebal hukum."
"Siapa sebenarnya Anda?"
"Aku bagian dari yang masyarakat awam sering sebut sebagai 9 naga. Jadi gimana supaya kamu mau nurutin aku Ar?"
Ardian menghela nafas berat. "Saya cuma mau ganti rugi. Dan saya, janji nggak akan ganggu anak Anda lagi."
"Oh, nggak bisa Ar. Kamu udah masuk ke lingkaran keluargaku. Jadi, kamu nggak bisa seenaknya keluar begitu saja. Aku mau, kamu menikahi Nissa. Gimana? Nggak tertarik?"
"Bukan, bukan itu..."
"Trus apa?"
"Beri saya waktu untuk berpikir! Saya nggak bisa menikahi perempuan tanpa cinta."
"Oh, jadi kamu perlu cinta? Aku yakin, cepat atau lambat kamu bakal cinta mati dengan anakku."
"Kenapa Anda pengen saya menikahi anak Anda?"
"Saya tau latarbelakangmu Ar, kamu bekerja di bawah BIN kan? Aku tau, anakku sebentar lagi bakal berurusan dengan gembong perdagangan organ di ASEAN. Cuma kamu yang bisa menolong anakku. Sebentar, biar aku kirim, konten anakku yang nggak sengaja merekam aktivitas mereka."
Ardian menatap layar ponselnya dengan terbelalak. "Mengerikan!"
"Kamu, mau kan melindungi anakku?"
"Sa... Saya."
Setelah Liu menutup teleponnya, Ardian terduduk lesu di atas lantai teras rumahnya. Pegawai Ardian yang berjumlah belasan berlarian, masuk ke dalam ruang kerjanya untuk memadamkan api.
"Ko..." Salah satu pegawainya memanggilnya.
"Bereskan! Aku nggak mau tau. Dalam satu jam, api itu harus padam!"
Pegawainya menatap Ardian dengan mengernyitkan dahinya. "Baik, Ko." Ia pun kembali masuk ke dalam rumah.
"Siyal banget, padahal aku pengen bermain-main sama Icha. Minimal bisa melihat dia bugil. Sekarang aku dipaksa menikah? Dan itu berarti komitmen."
Box kecil jatuh di depan Ardian, ia membuka box itu. Ia termangu ketika membukanya. Drone berbentuk lebah, berukuran mini. Kemudian membaca siapa pengirimnya, disitu tertulis. "Liana Liu."
*****
POV orang pertama560Please respect copyright.PENANA6DBdM9c10f
560Please respect copyright.PENANA2l4L3S9HnA
Setelah kejadian kemarin, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kenapa aku tak bisa berjalan, seusai aku mengejang karena mengintip persetubuhan pegawaiku?
Meski aku penasaran, ingin mendengar diagnosis dokter. Namun, ketika aku ingin pergi ke dokter, aku urungkan niatku karena selang satu jam, aku kembali pulih. Dan kembali bisa berjalan seperti sediakala.
Aneh memang, sebelumnya aku tak pernah mengalami kelumpuhan sementara seperti ini. Bahkan, ketika aku mengintip pegawaiku pertamakali. Aku hanya mengalami perasaan aneh yang tak aku mengerti. Berbeda dengan kemarin, semakin aku tenggelam ke dalamnya justru tubuhku tak berdaya. Kakiku lemas, sampai aku hanya bisa menyeretnya.
Perasaan yang aku rasakan pun tak seperti sebelumnya. Seperti gelombang rasa sakit karena traumaku ketika aku dilecehkan kembali muncul. Yang membuat perasaan aneh tak lagi meninggalkan bekas, lega. Namun, rapuh, lumpuh.
Sekarang aku dengan sisa-sisa luka mentalku yang belum sepenuhnya pulih ingin segera bangkit. Yang aku awali dengan merealisasikan janjiku pada Pak Ahmad. Pertama, aku ingin bertemu tukang kebunku untuk meminta tolong agar membantuku, mencari tukang dan kuli. Meskipun, setelah kejadian paska aku mengintip dan hampir ketahuan kemarin, sempat membuatku kurang nyaman bertemu tukang kebunku. Namun, karena renovasi rumah Pak Ahmad begitu penting bagiku. Aku pun berusaha mengalihkan perasaanku.
Sulit memang, apalagi setelah aku mengalami pelecehan. Kondisi mentalku tak seperti sebelumnya. Yang sering mengalami putusasa, kesepian dan hampa. Sekarang tubuhku pun tak berdaya ketika perasaanku yang menyiksa kembali muncul. Seperti yang aku alami kemarin, kakiku terasa lumpuh karena teringat pelecehan di rumah Pak Ahmad, bersamaan dengan tubuhku yang mengejang ketika aku terangsang hebat.
Entah, aku begitu penasaran dengan apa yang aku alami. Seharusnya aku mencari tahu lebih awal. Aku buka mesin pencari, kemudian aku ketik keyword "Mengejang saat terangsang."
Orgasme? Oh jadi itu bukan pipis. Dan yang membuatku terkejut kedua kalinya setelah aku baru memahami. Pada saat terangsang, bagian sensitif perempuan ikut menegang. Rasa penasaranku tak berhenti disitu, aku mengetik keyword "Anatomi Kewanitaan."
Karena tak ingin sekedar teori, sekarang aku menyingkap kimonoku sebatas selangkanganku. Oh, ternyata yang sering aku rangsang itu G Spot? Yang letaknya di atas bibir vagina. Dan di bawah uretra, lubang pipisku disebut U Spot. Dan ini? Kenapa bisa menonjol?
Kenapa bisa seenak ini? Padahal aku hanya menekan klitorisku saja.
Aaaah, aaaah, Ya Tuhan. Kenapa begini? Cairan yang aku tahu adalah cairan lubrikasi menyembur-nyembur membasahi sprei ranjangku. Nafasku tersengal-sengal karena aku baru saja mengalami orgasme. Namun ketika aku turun dari ranjangku, kakiku tak lagi bisa menapak. Aduh... sakit... Hiks, hiks, kok gini lagi?
Tampilan webcam muncul di layar PCku. "Aku baru ngeh, kenapa kamu nggak bisa jalan, Cha..."
"Sejak kapan kamu muncul disitu? Log out nggak! Aku teriak ya, kalo kamu nggak log out! hiks, hiks."
"Teriak aja kalo pengen teriak! Emang pegawaimu bisa nolongin kamu? Nggak kan?"
"Bang, madep sana dong! Jangan lihat aku, aku malu!"
"Oke deh. Eit kamu mau kemana? Kamu kan nggak bisa jalan?"
"Bodo, aku nggak mau ya setengah telanjang di depan Abang." Sekarang aku merambat sambil memegang tepi ranjangku.
"Udahlah, jangan dipaksain!"
"Nggak! Enak aja Abang ngelihat mukaku."
"Haha, nggak usah ditutup. Lagian kamu nggak cantik juga. Aku nggak bakal tertarik!"
"Kok gitu? Abang kan pernah panggil aku nona cantik? hiks, hiks.
"Lah, dibilang jelek kok nangis?"
"Huaaa, aku nggak mau jelek Bang."
"Haha, ngegemesin banget. Tuh masker kamu di meja deket ranjang. Ngapain jalan ke lemari?"
"Ambil hijab lah... malu tau..."
"Halah, kemarin aja pamer selangkangan, haha."
"Jangan diungkit lagi dong! hiks, hiks." Sekarang aku meringkuk di atas lantai sambil menutup wajahku dengan telapak tanganku.
"Hehe, udah cup, cup, calon istriku jangan nangis!"
"Calon istri? Enak aja, ogah banget."
"Kenapa ogah? Bukannya aku ganteng Cha?"
"Ge'er!" Aku menoleh sambil tersenyum.
"Halah, pakai senyum-senyum gitu. Aku tau kamu naksir aku."
Ponselku berdering. "Bang ambilin hpku dong! Ish susah banget buat berdiri. Kaki nggak guna."
"Haha, gimana ngambilnya dong Dek? Ada-ada aja. Nggak boleh bilang gitu, itu kakimu sendiri, masak bilang gitu?"
"Tapi nggak guna, Abaaang. Ini gimana sih? Aku mau naik ke kasur." Ponselku berhenti berdering.
"Tuh udah nggak dering. Nggak usah naik!"
"Lantainya dingin, Abang."
"Astaga udah 10 menit, belum bisa jalan?"
"Hiks, hiks, nggak bisa."
"Aduh, malah nangis. Pakai jauh lagi. Mau es krim nggak?"
"Maaau, mana?"
"Bisa kan merangkak ke pintu geser? Coba geser pintu kacamu!"
"Beneran?" Aku mengusap air mataku, kemudian menyeret tubuhku ke arah pintu geserku. "Udah, mana es krimnya?" Ketika menatap layar PC, tampilan webcam menghilang. Hiks, hiks, pembohong.
"Imron kemana sih? Aku nggak mau pas kayak gini, sendirian."
"Aku sekarang deket rumah kamu, Cha. Tunggu ya, box es krimnya sebentar lagi dateng!"
"Abang kirimnya pakai apa? Emang bisa Abang ngeretas pakai laptop biasa?"
"Pinter kamu, Cha. Nggak, aku bawa mobil vanku. Di dalamnya ada NOC kecil."
"Network Operation Center?"
"Iya, tuh droneku udah di atas balkonmu!"
Kamu kok keren sih, Mron? "Abang keren ya, tapi nama Abang kok Imron? hihi."
"Hehe, namaku bukan Imron sih, Cha."
"Oh, jadi Abang bo'ongin aku?"
"Hehe, maaf deh. Namaku Ardian."
Drone turun ke bawah. Dan aku pun dengan susah payah menyeret tubuhku sambil mengambil box berisi es krim. Ketika aku melihat Imron, eh Ardian. Ia mengusap air matanya.
"Nggak tega aku, lihat kamu kayak gini, Cha. Kalo deket udah aku peluk trus aku puk-puk."
"Eee, kok nangis? Sekarang bisa kok peluk aku, sebentar ya!" Aku merangkak ke atas ranjang, kemudian menarik boneka pandaku. "Abang jadi panda aja ya? Emm angetnya!"
"Aku juga lagi peluk guling."
"Hihi, Abang bawa guling? Pasti di dalem van, ada kasur juga ya?"
"Kok tau? Nanti deh, kalo kamu udah sembuh kita jalan-jalan pakai van... 20 menit?" Ardian menatap jam tangannya, kemudian ia mengembuskan nafasnya.
"Kenapa Bang?" tanyaku sambil menjilati es krim.
"Belum bisa jalan ya?"
"Nggak tau... coba ya... aduh, sakit." Ketika aku menatap layar PCku, Ardian menangis terisak. "Abang ngapain nangis? Aku aja yang nggak bisa jalan, biasa aja tuh!"
"Siapa juga yang nangis?" Ardian mengusap air matanya.
"Hihi, Icha tau kok, Abang nangis. Bang...?
"Iya, Cha?"
"Abang maafin kesalahan Icha kan?"
"Iya, udah aku maafin."
"Ih, makasih Abang. Muah, muah." Aku kecup pipi boneka pandaku.
"Nah, kan pipiku belepotan es krim."
"Hihi, apa sih Bang? Kan yang belepotan pipi boneka pandaku."
"Hehe, iya sih. Eh nanti kalo kamu udah bisa jalan, aku jemput ya! Aku antar ke rumah sakit!"
"Boleh Bang. Tapi jangan jahatin aku ya kalo ketemu?"
"Nggaklah, masak jahatin calon istri."
"Dari tadi bahasnya calon istri mulu, hihi. Abang jomblo kan? Kasian."
"Kamu kan juga jomblo. Aku lihat di profil akun medsosmu."
"Hehe, aku mah emang nggak pacaran Bang."
"Maunya ta'aruf ya?"
"Nggak juga. Aku nggak mikir ke situ aja sih."
"Tapi kalo ada yang nikahin kamu gimana?"
"Ya, nggak apa-apa, hihi."
"Nolak nggak?"
"Ya nggak dong. Masak dilamar orang nolak."
"Syukurlah."
"Emang kenapa? Abang mau..." Apa sih Cha, kamu mikir apaan sih?
"Enggak, siapa bilang?"
"Bagus deh. Lagian aku takut sama itunya Abang, hihi. Takut nanti nggak cuma lumpuh, tapi juga pingsan."
"Ya nggak gituan dong Dek. Paling cuma aku elus-elus doang. Nggak tega juga sama calon istri semanis kamu, hehe."
"Tadi bilang aku jelek, sekarang bilang aku manis. Mana yang bener?"
"Yang jelek, kayaknya."
"Aaaa, kok gitu sih?"
"Mauku gitu sih. Biar nggak ada yang ngelirik."
"Yee, egois dong!"
"Kok egois?"
"Ya masak nggak boleh ada yang ngelirik? Kasian banget kalo nggak ada cowok yang mau ngelirik cewek secantik aku, hihi."
"Pede banget. Ya nggak mungkinlah ada yang ngelirik. Kamu aja cadaran."
"Masak? Kalo Abang ngelihat mataku, masak Abang nggak ngelirik?" Aku kedip-kedipkan mataku.
"Haha, sakit perutku Cha. Becanda mulu."
"Minum obat pencahar sana!"
"Haha, ya makin beser dong, Cha."
Ardian menatap jam di tangannya lagi. "30 menit? Seharusnya kamu bisa jalan, nggak sampai 15 menit Cha."
"Abang tau keluhanku? Aku kenapa sih, Bang? hiks, hiks."
"Normal sih kalo kamu lemas sampai nggak bisa jalan, karena abis orgasme. Tapi kamu lebih dari 15 menit, kamu kudu ke dokter Cha."
Aku mengambil bantal untuk menutup wajahku. "Abang ish, vulgar banget. Aku kan malu."
"Udah jangan malu! Aku nggak lagi ngomong mesum, Sayang. Ini bahas penyakit kamu."
"Penyakit? hiks, hiks. Aku sakit apa?"
"Sebelum ke dokter, kita nggak bakal tau. Aku nggak bisa juga diagnosis kamu, karena aku bukan dokter."
"Kalo aku nggak bisa jalan selamanya gimana Bang?"
"Aku yang bakal kesana. Trus bakal aku bawa kamu ke rumah sakit."
"Huaaaa, Mamaaa."
"Lah, kok malah nangis?"
"Abang baik banget."
"Ah nggak, aku jahat kok Cha."
"Yeee, dipuji baik kok nggak mau."
"Cha?"
"Iya, Bang?"
"Coba lihat akun medsosmu, Cha! Aku mau tunjukin video ke kamu."
"Iya, Bang. Sebentar ya!" Aku naik ke atas ranjang, kemudian aku membuka akun medsosku. Mataku langsung terbelalak, ini di rumah Pak Ahmad kan? Siapa itu? Tangisku langsung meledak.
"Aku jadi malu, Cha. Nunjukin video itu."
"Kenapa?" tanyaku sambil mengusap air mataku.
"Ya, aku juga sama bejatnya kayak orang itu. Maaf ya, aku udah nunjukin anuku ke kamu." Ardian mengembuskan nafas, berat.
"Hiks, hiks, kita sama-sama orang nggak bener Bang. Icha nggak pantes ngehakimin Abang."
"Udah, cup, cup!"
"Bang, Abang bisa nggak perbesar muka orang ini?"
"Sayang banget, aku nggak bisa, Cha. Mungkin karena gelap. Trus aku cuma bisa ngerekam dari punggungnya, jadi aku nggak bisa ungkap identitas dia."
"Ya udah, nggak apa-apa Bang. Makasih ya!"
"Aku masih punya rekaman video satu lagi. Ini video kontenmu. Lihat!"
"Ini apa Bang?" Serem, aku melihat seseorang dibedah hidup-hidup di atas rooftop. Ini kan gedung rumah sakit yang pernah aku lihat? Ada yang aneh, kenapa arsitekturnya normal?
"Itu rumah sakit fiktif. Sepertinya itu semacam sindikat perdagangan organ. Tapi nggak tau juga, kenapa bisa mereka punya gedung semegah itu? Setara dengan gedung di SCBD lagi."
"Kenapa Abang tunjukin ini ke Icha? Icha kan takut Bang!"
"Coba lihat kontenmu yang ini, di akunmu!"
"Sebentar ya!" Kontenku yang aku upload menghilang. "Nggak ada Bang!"
"Karena kontenmu udah kena take down. Sebenernya kontenmu belum sepenuhnya terhapus, coba lihat layar laptopmu!" Aku melihat kontenku yang sudah terhapus. Disitu banyak komen ancaman yang bertebaran.
"Apa yang harus Icha lakuin Bang?"
"Icha jangan khawatir, Abang selalu awasin Icha kok!" Ardian kembali melihat jam tangannya. "Udah satu jam, Cha. Coba kamu berdiri!"
"Nggak ah, Icha takut. Nanti Icha jatuh lagi!"
"Ayolah, jangan takut! Kalo Icha tetep nggak bisa jalan. Abang culik Icha malam ini!"
"Hihi, emang bisa?"
"Bisa, lagian satpammu cuma satu kan?"
"Iya juga sih. Sebentar ya Bang!" Saat aku berdiri, aku kembali bisa berdiri. Kemudian aku langkahkan kakiku. "Yeay, aku bisa jalan lagi. Kalo begitu kita nggak usah ke rumah sakit ya Bang?"
"Ya jangan dong. Abang perlu tau diagnosis dokter juga, biar bisa bantuin Icha... Kamu belum percaya sama aku ya, Cha?"
"Hehe, maafin Icha ya!"
"Nggak apa-apa, wajar kok."
"Biar Icha sendirian yang ke rumah sakit. Kalo udah, nanti Icha kabarin Abang."
"Gitu ya, oke deh." Ardian senyum-senyum menatapku.
"Kenapa senyum-senyum gitu?"
"Nggak aku sangka, bakal lihat muka kamu, lama kayak gini. Cantik banget."
Cantik? "Yeee, plin plan... dah ah, aku pakai masker." Sekarang aku memakai masker untuk menutupi sebagian wajahku.
"Yaah, nggak bisa lihat bidadari lagi dong?"
"Hihi, apaan sih? Udah ah, aku nggak percaya sama gombalan Abang. Tadi aja bilang aku jelek." Karena aku kembali bisa jalan, aku pun bersiap untuk mandi.
"Mau mandi ya Cha?"
"Iya, mau ikut? Wlee."
"Nggak ah, nanti aja kalo udah sah jadi suami."
"Hihihi, bahas itu lagi. Udah ah, daa calon sopirku!"
"Haha, siyal. Malah mau dijadiin sopir."
"Bercanda kok, Bang. Pindah hp bisa nggak Bang?" tanyaku berbisik.
"Bisa..." Suara Ardian bergetar.
Setelah di dalam kamar mandi, aku senderkan ponselku dengan kamera mengarah ke arahku.
"Awasi aku ya, Ar!" Sekarang aku melepas gaun tidurku. "Suka nggak?" tanyaku sambil menggigit bibir bawahku. Kemudian aku non aktifkan ponselku. "Cukup segitu aja ya Ar? hihi." Selesai melepas bra dan celana dalamku, aku berendam di dalam bathtub.
Bersambung.
ns216.73.216.175da2