POV Author 669Please respect copyright.PENANArdZQ94sdfT
669Please respect copyright.PENANADnW0V2a9xz
Ardian sedang onani sambil menatap photo Nissa. Sedang asyik-asyiknya, muncul tampilan webcam dengan Liu yang tersenyum sambil merapikan rambutnya yang berwarna hitam legam di layar PCnya.
Ia tersentak kaget, sampai lupa memasukkan batangnya yang menegang. "Astaga, ngagetin aja, Cik."
"Gimana kamu bisa jaga anakku, kalo kamu malah jadiin dia objek fantasymu?"
"Eh, hehe. Maaf Cik." Ardian salah tingkah, karena ketahuan onani.
"Aku ada tugas buat kamu!"
"Tugas?" Ardian merasa beban, mendengar kata tugas. Ia pun mengembuskan nafasnya.
"Mau kan? Aku pengen kamu mengawasi Nissa lewat CCTV di rumahku. Lebih tepatnya, proteksi. Karena aku merasa Nissa nggak aman di rumah..." Liu berhenti sejenak. "Aku nggak percaya sama pegawaiku..."
"Mata-matain gitu ya Cik?" Ardian tersenyum. Ia merasa, itulah kesempatannya agar lebih dekat dengan Nissa.
"Ya, tapi aku punya syarat yang harus kamu patuhi. Selama kamu belum menikahi Nissa, kamu dilarang berbuat lebih. Tugas kamu cuma proteksi, jangan sampai Nissa dalam bahaya. Kamu sanggup?"
Ardian tersenyum, karena syaratnya mudah. Dan ia berpikir, tak mungkin ia sampai berbuat lebih. Di dalam pikirannya, berbuat lebih ia tafsirkan sebagai having sex.
"Sanggup Cik."
Liu menatap Ardian sambil tersenyum. "Masukin dulu itumu!"
"Maksudnya Cik?"
"Masak nggak paham Ar? Kamu mau menggodaku?"
"Oh, ini ya Cik?" Tanpa merasa berdosa Ardian memegang batangnya yang masih menegang.
"Bener-bener nggak waras ni anak." Liu menggelengkan kepalanya.
"Hehe, maaf Cik." Sekarang Ardian memasukkan batangnya ke dalam celana.
"Oke, sekarang ke topik utama obrolan kita. Aku dan suamiku memberimu akses nggak terbatas ke CCTV di rumahku. Ini, kamu akses web, "Eyes In The Sky."
Ardian membuka web, "Eye In The Sky." Setelah ia membuka web itu, ia perlu password untuk masuk ke homepage. "Passwordnya?"
"Ketik aja, Zoran!"
Zoran? Siapa itu Zoran? Ah, tak penting. Sekarang ia berhasil mengakses seluruh ruangan rumah megah itu yang dua kali lipat lebih megah dari rumahnya.
"Udah, Cik..."
"Bagus. Aku pengen memberimu hadiah Ar! Kamu turun ke bawah!"
Ardian berlari ke lantai bawah. Drone turun dari atas membawa box yang tak begitu besar. Ketika Ardian membukanya, ternyata isinya VR. Dan ia pun kembali naik ke lantai atas, ke ruang kerjanya.
"VR itu buat kamu. Kamu tau? VR itu lebih advance daripada Oculus. Mau coba?"
"Boleh..." Ardian memakainya. Ia melihat sosok Liu secara real time. Jantungnya berdetak kencang menatap Liu yang wajahnya serupa Nissa, namun versi setengah baya. Liu mendekat ke arah Ardian, kemudian mengecup bibirnya. Deg, deg...
Liu tertawa terbahak-bahak, karena ia tahu batang Ardian menegang. "Buka celanamu Ar!" Dengan tangan bergetar, Ardian melepas celananya. "Ini hadiah buat kamu dari calon mertuamu." Liu berbisik, sambil mendesah di telinga Ardian.
Batang Ardian yang sudah menegang seakan membelah lubang senggama calon mertuanya.
"Enak Ar?" Liu terlihat di kaca mata VR yang Ardian kenakan sedang naik turun di atas pangkuannya. Ia tak pernah berpikir mengalami pengalaman semacam ini. Meski tak nyata, Ardian tak kecewa. Karena bisa bersetubuh dengan Liana Liu, yang secara jujur di benak Ardian. Liana lebih cantik daripada Nissa. Kulit Liana lebih putih bak pualam, dengan wajah yang awet muda.
"Kamu pengen tau, bau parfumku Ar?" Ardian hanya mengangguk saja. "Bukan indera perabamu saja yang bisa merasakan sentuhanku. Indera penciumanmu, juga bisa mencium bau tubuhku. Bahkan keringatku, kamu suka Sayang?"
"Ah, ah, ah, iya Cik. Saya suka."
"Cantik mana aku sama Nissa, Ar?"
"Sama, aaaah..." Ardian ejakulasi untuk yang pertamakalinya.
"Puas?" tanya Liu, sambil naik turun dari pangkuan Ardian. Kemudian merapikan blazer dan celana panjang yang ia kenakan.
"Sangat puas." Nafas Ardian masih tersengal, ia pun membersihkan bekas spermanya dengan tissue.
"Sebentar lagi, aku akan ke Jakarta. Tapi kamu jaga rahasia ini ke Nissa. Bisa?"
"Bisa Cik..."
"Bagus... aku ada hadiah lagi buat kamu. Coba kamu balik masuk ke web "Eyes In The Sky!"
"Udah Cik."
"Buka di menu, pilih, "Watching Eyes!"
"Apa ini Cik?"
"Kamu bisa mengawasi seluruh Jakarta secara real time. Teknologi AR yang lebih advance dari VR Oculus yang dijual di pasaran bakal manjain kamu, Ar. Tapi suamiku memberimu batas akses selama satu jam." Liana memberi jeda, kemudian melanjutkan..."Ya, suamiku cuma memberimu waktu satu jam aja. Sampai kamu secara penuh masuk ke lingkaran keluargaku!"
Tanpa mendengar instruksi Liana, Ardian mulai berselancar. Ia sangat kegirangan, karena ia sedang masuk ke dalam kamar mandi.
"Heh, hidung belang? Kamu nggak dengerin aku?"
Ketika Ardian ingin meremas pantat seorang perempuan yang sedang mandi di bawah guyuran air, tiba-tiba Liana muncul di depannya. Ardian tersentak kaget melihat Liana yang sudah telanjang berdiri di depannya.
"Aku kurang cantik ya?" tanya Liana sambil memegang dada Ardian.
"Eh, ca... cantik!"
"Hihi, jangan takut napa! Sabar Ar, nanti kamu juga bisa ngerasain yang nyata saat aku ke Jakarta."
Dalam hati Ardian bergumam, "Astaga keluarga macam apa ini? Padahal aku dipaksa menikahi anaknya. Tapi sekarang? Ah sudahlah."
Ardian buru-buru melepas kacamata VRnya sambil mengusap keringat di dahinya.
"Aku cuma bercanda Ar, jangan dimasukin hati!" ucap Liana, sambil matanya mengedip, menggoda. "Oh, iya. Suamiku baru bilang, kamu diberi waktu menikmati watching eyes selama 24 jam. Gimana? Aku nggak bakal ganggu deh."
Tubuh Ardian masih membeku, rasanya seperti bermimpi. Meski ia hanya bisa menatap Nissa lewat monitor tanpa melakukan apa-apa. Sekarang ia melakukan hal gila dengan mamanya, meski tak nyata.
"Heh, orang gila!"
Liu memanggilnya orang gila, tak membuatnya marah. Karena ia melihat inner child dalam diri Liu, yang sama seperti Nissa.
"Hehe, iya Cik. Maaf."
"Kamu mau lihat pertunjukan lain nggak? Coba kamu ke balkon! Trus lihat ke atas!"
Ardian melangkah ke balkon, kemudian menatap ke langit. Satelit raksasa turun ke bawah. Cuaca berubah, angin bertiup kencang sampai mencabut akar pohon palm.
"Gila..." teriak Ardian. Kemudian satelit yang yang keluar dari orbit stationer kembali ke orbitnya semula.
"Nggak menarik ya? Coba kamu pakai VRmu lagi!"
Dengan mengembuskan nafas, berat. Ardian memakai kacamata VRnya lagi.
"Astaga?" Batang Ardian langsung berdiri ketika melihat akhwat bercadar sedang menari striptis di depan pria yang mengenakan jubah.
"Dia ustadzah dan itu suaminya! Kayaknya kamu suka yang agamis ya? Padahal aku tau, kamu itu ateis Ar."
"Hehe, bikin kepo sih, Cik."
"Nggak salah, kalo Nissa penampilannya agamis, hihi. Ya udah deh, kalo nanti aku ke Jakarta bakal pakai outfit kayak gitu."
"Buat apa Cik?"
"Lihat aja nanti." Liana pun log out.
****
POV Orang Pertama 669Please respect copyright.PENANA4htVyqBOHi
669Please respect copyright.PENANAHrJZXEQ54A
Meski kemarin aku berjanji untuk konsultasi penyakitku ke dokter. Namun, perasaan malasku terasa menggerogotiku. Aku tahu, depresiku kembali kambuh. Sekarang aku hanya sibuk rebahan tanpa melakukan apa pun. Namun aku teringat janjiku pada Pak Ahmad. Dan aku pun harus segera mencari kuli dan tukang untuk merenovasi rumahnya.
Sekarang aku turun ke lantai bawah, hanya dengan mengenakan satu set pakaian tidur, hijab bergo dan cadar.
"Siang Mbok?" sapaku.
"Siang juga, Ci."
"Mbok tolong panggilin Pak Hadi sama Pak Slamet dong! Icha tunggu di ruang keluarga ya!"
"Baik, Ci!"
Setelah asisten rumah tanggaku pergi, aku melangkah ke ruang keluarga sembari menunggu tukang kebunku dan satpamku.
Tukang kebunku berlari ke arahku, kemudian satpamku menyusul dengan tergesa-gesa.
"Iya, Ci?" tanya tukang kebunku.
"Duduk aja Pak!" Tukang kebunku dan satpamku duduk di sofa, menghadap ke arahku.
"Begini Pak, saya mau minta tolong buat cariin tukang sama kuli, kira-kira bisa nggak Pak?"
Satpamku berulangkali menoleh ke arah tukang kebunku. "Kamu ada kenalan nggak Had?"
"Nggak perlu kontraktor Pak! Buat renovasi rumah kenalan saya. Ya, cuma sepetak kira-kira. Paling cuma butuh 4 oranglah Pak. Gimana Pak?" tanyaku.
"Oh, kalo begitu biar saya carikan kenalan saya aja, Ci," jawab tukang kebunku.
"Boleh Pak. Bapak cari 4 orang aja nanti, 2 tukang, 2 kuli. Nanti tambah satu orang lagi, saya yang cariin."
Tukang kebunku menatap satpam, sambil berbisik. "4 aja cukup, Ci. Kan cuma sepetak kan?"
"Iya sih Pak. Tapi saya mau nambah satu lagi Pak, bagian kuli nggak apa-apa deh."
"Siap, Ci. Nanti kalo udah, Cici saya kabarin!" jawab tukang kebunku.
"Ya udah, gitu aja ya Pak. Makasih ya!"
"Sama-sama, Ci," jawab tukang kebunku dan satpamku bersamaan.
Selesei membahas kuli dan tukang dengan tukang kebun dan satpamku. Aku ingin mengabari Pak Ahmad. Sekarang aku naik ke lantai atas.
"Halo Pak, assalamualaikum."
"Halo, Cha. Wa'alaikum salam."
"Icha mau ngabarin aja. Kalo Icha udah minta tolong pegawai Icha buat cariin tukang sama kuli."
"Syukurlah. Gimana sama Rijal, Cha? Dia jadi diajak kan?"
"Jadi Pak." Dalam hati, memang itu tujuanku. Bukan berarti aku memanfaatkan Pak Ahmad untuk mendekati Rijal. Karena ketika aku pertamakali berkunjung ke rumah Pak Ahmad, sama sekali tak mengira akan bertemu dengannya. Dan tanpa bertemu Rijal pun, perasaanku kepada Pak Ahmad tak seperti awal bertemu. Apalagi ketika Pak Ahmad menceritakan keluh kesahnya, kesedihannya karena jauh dari anak-anaknya. Yang membuatku bercermin pada diriku sendiri. Jauh dari orang tuaku, dan hanya setahun sekali bertemu. Itu pun hanya beberapa jam. Membuatku merana, karena orang tuaku meninggalkanku sejak aku masih kecil.
Di saat aku masih membutuhkan pelukan hangat kedua orang tuaku. Mereka tak berada di sisiku, membuatku kesepian. Hampa, sampai menyesakkan dadaku. Dan aku pun meringkuk di bawah hujan, dengan air mata yang terus mengalir. Sambil memanggil-manggil nama kedua orang tuaku. Namun semuanya sia-sia, tubuhku semakin menggigil kedinginan. Dan pada akhirnya, perasaan sepiku yang menyiksa berubah menjadi keputusasaan. Terpuruk ke dalam depresi yang menyesakkan. Dengan hadirnya Pak Ahmad, hatiku sedikit menghangat karena kerinduanku pada papaku terobati.
"Cha, halo Cha!" Aku tersentak, karena lupa sedang mengobrol dengan Pak Ahmad.
"Oh iya, Pak?" Mataku terasa pedih, sampai aku terisak. Ada apa denganku? Kenapa dadaku begitu sakit.
"Loh, Icha nangis?"
"Hehe, nggak kok Pak. Nggak tau nih, kayaknya Icha lupa abis makan sambel, trus Icha kucek mata Icha. Jadinya kek gini deh."
"Hehe, ada-ada aja Icha cari alasannya."
"Hihi, Icha nggak apa-apa kok Pak!"
"Beneran nggak bo'ong? Kalo ada apa-apa, jangan dipendem sendiri ya, Cha! Bapak siap dengerin keluh kesah Icha!"
Entah kenapa aku terharu mendengar ucapan Pak Ahmad. "Iya, Pak pasti. Terima kasih ya, udah mau peduli sama Icha."
"Udah sewajarnya Cha, karena Bapak sekarang kan orang tua Icha."
Rasanya ingin kembali terisak karena kepedulian Pak Ahmad padaku, yang tak aku peroleh dari kedua orang tuaku. Namun, aku menahannya sekuat tenaga agar aku tak menangis. Karena aku tak ingin berbagi kesedihan.
"Terima kasih, Pak! hiks, hiks." Meski aku sudah berusaha menahan tangisku, pada akhirnya meledak juga.
"Nah kan nangis. Ya udah, Bapak kesana aja ya?"
"Hiks, hiks, Icha cuma terharu kok Pak."
Pak Ahmad mengembuskan napasnya. "Udah cup, cup! Bapak nggak mau anak Bapak yang cantik sedih!"
"Hihi, iya Pak," ucapku sambil mengusap air mataku.
"Icha kapan main ke rumah Bapak?"
"Insha Allah nanti sore, Pak!"
"Bapak tunggu ya!"
"Iya, Pak. Em, Bapak sekarang dimana?"
"Masih mulung sih Cha."
"Ya udah, selamat bekerja ya Pak."
"Iya, Cha."
Setelah aku mematikan teleponku, perasaanku kembali gelap. Depresiku menyeruak, mengambil alih kebahagiaanku yang sesaat. Dan aku pun terduduk, terisak di atas lantai.
Karena nafasku semakin berat, membuatku susah bernafas. Sekarang aku berjalan menuju balkonku dengan menggeser pintu kacaku.
Udara dingin menyergapku, menyentuh kulitku yang masih berbalut pakaian tidur-celana panjang, cadar dan hijab panjangku. Mendung hitam berarak, hujan pun turun dengan derasnya. Dengan memejamkan mata, air mataku jatuh.
Dan aku pun berlari ke lantai bawah, dengan isakan yang tersamarkan oleh bunyi hujan. Tanpa mempedulikan orang di sekitarku, aku berdiri di bawah hujan.
"Mamaaa... Paaa... Icha rindu...!
Derasnya hujan membasahi hijabku, merembes ke dalam piyamaku. Dingin, namun hatiku lebih membeku. Meringkuk, sambil memeluk lututku.
"Icha... nggak kuaaaat, hiks, hiks!"
"Ci..." Teriakan asisten rumah tanggaku tak aku hiraukan, karena tubuhku tak lagi berdaya. "Mas Had, tolooong!"
"Iya, Rum?"
Ketika aku menoleh ke arah mereka, pandanganku menjadi kabur. Memutih, bayang-bayang kedua orang tuaku datang menghampiriku. Aku melihat papa menggendongku, membawaku masuk ke dalam rumah.
Mamaku menghampiriku, menghanduki tubuhku. Dengan isakan yang masih tersisa, aku menghambur memeluknya.
"Mamaaa... Icha kangen!" Mamaku melepas hijabku, kemudian cadar taliku. Setelah terbuka, ia melepas ciput yang menutupi rambutku.
Aku menoleh ke samping, "Papa? hiks, hiks." Sekarang aku memeluk papaku, dengan tangis yang tersentak-sentak. Ia mengusap rambutku yang basah. Kadang mengecup kepalaku.
"Mas, Had. Jangan macem-macem ya!"
"Mbok Rumini?" Kemudian aku menatap papaku yang memelukku. "Pak Hadi? Maaf Pak."
"Jangan cari kesempatan!" Asisten rumah tanggaku menyingkirkan tangan tukang kebunku yang melingkar ke tubuhku. Kemudian ia menghanduki rambutku yang basah. "Mbok lepas ya Ci, bajunya?" Ketika ia akan melepas kancing atasan baju tidurku, aku menepisnya. Sambil menggelengkan kepalaku.
"Mas sana gih! Bikinin wedang jahe buat Cici!" Tukang kebunku menurut, ia pun berlari ke dapur. Setelah tukang kebunku ke dapur, asisten rumah tanggaku melepas kancing piyamaku sampai sebatas perut. Jantungku berdetak kencang, saat ia mengangkat tanganku untuk melepas atasan baju tidurku. Kemudian aku menyilangkan tanganku ke dadaku yang masih tertutup bra.
Tukang kebunku berlari, tergopoh-gopoh. "Ini Rum!"
"Makasih ya, Mas. Oh iya, bisa ambilin baju buat Cici nggak Mas?"
"Aku?" Ia menatap asisten rumah tanggaku, kemudian ke arahku.
"Kamu aja deh Rum!"
Mata asisten rumah tanggaku melotot, menatap tukang kebunku. "Hehe, ya udah deh." Ia pun berlari, naik ke lantai atas. Tak begitu lama, ia kembali, berlari menuruni tangga dengan nafas memburu.
"Ini Rum!"
"Mas ini apa? Ini kain hijab. Udah Mas tunggu disini! Tapi jangan macem-macem ya!"
"Hehe... " Tukang kebunku duduk di sampingku. "Dingin ya Ci?" Ia memeluk tubuhku sambil mengendus-endus kepalaku. Saat aku ingin menepisnya, tubuhku membeku, karena depresi, membuatku terjebak.
Dan sekarang ia menjilat telingaku, menelusurinya. Ujung lidahnya mengorek-ngorek lubang telingaku, sampai aku menggigit bibir bawahku karena geli yang membuatku terangsang. 669Please respect copyright.PENANAJKyMjT3zXA
"P...Pak, jangan!" Setelah ia menyibak rambutku yang merah, basah. Kemudian ia membenamkan wajahnya ke samping leherku. Mengisap, menjilatnya.
"Pak De, sayang Icha!"
Pak De? Ingatanku melompat ke belakang, teringat masa kecilku. Ketika ia merawatku, menjagaku, yang membuat mataku berkaca-kaca. Di saat aku membutuhkan kedua orang tuaku. Tukang kebunku selalu ada di sisiku. Memelukku, ketika aku menangis memanggil nama kedua orang tuaku. Dan ia menenangkanku, mengusap air mataku yang menetes.
"Icha inget?" Ketika tukang kebunku menanyakan itu, aku menatapnya, terisak. Rasanya ingin kembali ke masa kanak-kanakku. Kemudian aku mengangguk.
"Icha sayang nggak sama Pak De?" Karena teringat masa kecilku, akhirnya aku kembali mengangguk.
"Udah jangan nangis! Madep sini sayang!" Ketika aku menoleh, tukang kebunku mengusap pipiku. Setelah itu berpindah ke telingaku. Sensasi aneh mulai merambat ke seluruh tubuhku. Tak hanya rasa gatal di selangkanganku. Namun, dadaku pun mulai mengencang.
Karena sensasi yang melenakan, aku mendesah lirih sambil memejamkan mataku. Dan aku merasakan sesuatu yang basah menyentuh bibirku. Ketika membuka mataku, aku tersentak karena tukang kebunku sedang mengecup bibirku.
"Suka?" Aku bingung harus menjawab apa, yang jelas tubuhku mulai terhanyut. Menghangat, menyebar sampai keringatku mengucur. Sesekali aku membuka mulutku, karena aku benar-benar kehausan. Panas di tubuhku mulai menderaku. "Haus ya Sayang?" Tukang kebunku mengusap pipiku, kemudian kembali mengecup bibirku.
"Muach, muach..." Tubuhku tak mampu aku kendalikan. Yang mendorongku agar membalas kecupan tukang kebunku dengan mengisap bibirnya.
"Enak?" Aku menjawabnya dengan mengangguk, kemudian menunduk, malu.
Tukang kebunku menarik daguku agar aku menoleh, menatapnya. Ia mengusap pipiku, merambat ke bibirku. Saat ia sedang menyentuh bibirku dengan jari telunjuknya, aku memejamkan mataku.
"Icha udah gede ya sekarang. Tumbuh menjadi gadis secantik ini..."
"Ssssh, aaaaah... Elm..." Sekarang aku mengulum jari telunjuk tukang kebunku.
"Enak Sayang?" Tukang kebunku menarik jari telunjuknya dari mulutku.
"Pak De..." Aku kesal karena tukang kebunku menarik jari telunjuknya.
"Sini Sayang! Duduk di pangkuan Pak De!" Sekarang aku duduk di pangkuan tukang kebunku sambil melingkarkan tanganku ke lehernya.
Sedangkan ia mengisap leherku, sampai aku mendongak dengan mata terpejam. "Ssss, aaaaah..."
"Mas..." Aku tersentak karena mendengar suara asisten rumah tanggaku di belakangku. Tukang kebunku seketika melepas pagutan bibirnya di leherku. Kemudian ia sedikit mengangkat tubuhku dari pangkuannya ke samping agar aku kembali duduk di sampingnya.
"Eh... i... iya Rum?"
Ketika aku menoleh, menatap asisten rumah tanggaku. Sepertinya ia tak tahu, apa yang sedang terjadi.
"Maaf ya Ci, kalo nunggu lama!" Ia membawa satu set pakaianku. "Madep sana Mas! Awas ya kalo lihat!" Asisten rumah tanggaku melepas braku yang basah, kemudian membantuku mengenakan braku yang kering. Selanjutnya, ia melepas celana panjangku. Setelah itu, menarik celana dalamku ke bawah. Ketika ia menariknya, aku melihat celana dalamku begitu basah oleh cairan lubrikasiku. Yang lengket, membentuk tali bening yang terulur, mengikat dengan celana dalamku. Begitu celana dalamku merosot ke bawah, tali bening itu terputus. Ia sempat terkejut, namun wajahnya kembali normal. Berbeda denganku yang merasa khawatir, seandainya aku benar-benar mengalami orgasme.
Dan benar saja, ketika aku berdiri untuk mengenakan celana dalamku. Kakiku kembali tak bisa menapak dan aku pun terjatuh ke lantai.
"Ci... Cici nggak apa-apa?"
"Hiks, hiks..." Tangisku meledak seketika, karena aku kembali lumpuh. Dan tukang kebunku, menatapku dengan wajah bingung.
Bersambung.
ns216.73.216.208da2