Johan, seorang remaja enam belas tahun, kurus, dengan rambut gondrong yang selalu menutupi sebagian wajahnya, duduk bersandar di kursi kayu reyot di kamarnya yang sempit. Laptop butut di hadapannya menyala, layarnya memancarkan cahaya biru dingin yang menerangi folder "Arum" yang ia curi dari ponsel sang guru. Di sana, tersimpan rapi, foto-foto telanjangArum—payudaranya yang penuh dan menggoda, putingnya yang cokelat tua, memeknya yang mulus dengan bulu-bulu halus yang basah—semuanya memicu desiran panas, membuat kontolnya menegang di dalam celana.Siang tadi, di kelas bahasa yang pengap,Arum membentaknya, juga Andre, Yusuf, dan Budi, karena keributan mereka tentang permainan daring. "Kalian kira kelas ini pasar?!" teriakArum, suaranya menusuk, membuat Johan merasa dihina, diludahi di depan teman-temannya. Hukuman menulis esai di perpustakaan hanya menambah bara dendam di dadanya. "Lo bakal nyesel, Bu," gumamnya, matanya menyipit, dipenuhi kebencian yang mendalam.Tepat ketika Arum berlari menuju toilet guru, wajahnya pucat pasi seperti melihat hantu, ponselnya tertinggal begitu saja di meja ruang guru, layarnya menyala tanpa kode pengaman.Johan, yang kebetulan sedang berbicara dengan Andre di koridor, melihat peluang emas itu. "Tunggu di luar, bro," bisiknya pada Andre, lalu menyelinap masuk ke ruang guru seperti tikus yang mengendap-endap. Tangannya bergerak cepat, menyambungkan kabel data ke laptop, menyedot semua isinya: foto, video, pesan WhatsApp. Saat membuka folder galeri, ia menemukan permata tersembunyi—foto-fotoArum telanjang, berpose menantang di kamar mandi, memeknya basah, payudara yang besar dengan tetesan air yang menggoda. "Bu Guru, ternyata lopelacur kotor," katanya, sebuah seringai lebar mengembang di bibirnya, dan kontolnya seketika menegang. Dalam waktu sepuluh menit, ia menyalin semuanya, mengembalikan ponsel ke tempatnya semula, lalu melarikan diri sebelum Arum kembali.Malam itu, di dalam kamarnya yang remang, Johan membuka kembali foto-foto Arum. Ia mulai mengocok kontolnya, membayangkan Arum merangkak memohon ampun di hadapannya. Kebenciannya pada Arum begitu dalam—caranya berbicara yang angkuh, tatapannya yang selalu membuatnya merasa tak lebih dari seekor cacing. Ia membuka aplikasi pesan anonim, menggunakan nomor sekali pakai yang tak bisa dilacak, lalu mengirim foto-foto telanjangArum disertai ancaman dingin: "Ikuti perintahku, atau foto-foto ini nyebar ke sekolah dan keluargamu.".Arum membalas dengan cepat, "Aku nggak takut!" namun Johan segera mengirim foto lain, sebuah close-up memek Arum, dan mengetik, "Kalau nggak nurut, Andre kena akibatnya.". Ia tahu, demi anaknya,Arum pasti akan luluh.Arum menyerah, pesannya dipenuhi kepanikan yang jelas.Johan mengetik perintah berikutnya: "Besok ngajar, jangan pake bra dan celana dalam. Pake rok cokelat pendek. Salah gerak, foto-foto ini ke grup WhatsApp sekolah.". Ia bersandar di kursinya,kontolnya masih keras, membayangkan Arum di kelas, memeknya telanjang di balik rok, payudaranya membayang jelas di balik kemeja tipis, wajahnya pucat pasi karena ketakutan. "Lo budak gue sekarang, Bu," gumamnya, tawa pelan yang serak keluar dari bibirnya, terdengar seperti geraman anjing.
ns216.73.216.79da2