Saya mulai menjelajahi toko. Ada mainan mobil dari kayu, cermin kaca tua, gelas keramik, sampai kaset pita Linkin Park. Tapi mataku tertuju pada sebuah buku berdebu berwarna cokelat. Di sampulnya tertulis, “Semua yang kamu tulis akan terjadi.” Aku nyaris tertawa membaca kalimat itu, mengira bercanda. Tapi dalam hati, aku membayangkan sesuatu: kalau buku ini benar-benar ajaib, aku bisa membuat skenario untuk sekolahku, SMA Jaya—khususnya untuk Bu Indah, kepala sekolah yang angkuh itu.
“Kek, aku mau ini,” kataku sambil meletakkan buku di meja kasir.
“Oh, itu cuma 15 ribu, Nak,” ucap kakek itu sambil tersenyum.
“Makasih, Kek.” Aku menyerahkan uang dan berpamitan, meninggalkan toko antik itu.
Dalam perjalanan, saya melewati warung nasi Padang sederhana bertuliskan “Padang Harum.” Pelayannya seorang perempuan muda yang cantik dan menawan. Saya tahu dari diskusi sekitar bahwa ia tidak dapat melanjutkan kuliah karena keterbatasan ekonomi. Saya memutuskan untuk mampir dan memesan nasi rendang dengan sambal hijau. Seorang gadis muda, sepertinya masih SMA, mendekatiku dengan seragam putih dan celana pendek.
“Mau es teh manis satu ya,” pesanku.
Rasa penasaran membuatku membuka buku cokelat itu. Dengan ragu, aku mengambil pulpen dan menulis, “Mbak-mbak di warung nasi Padang sungguh menakjubkan dan memberi makan gratis untukku.” Aku menulis kalimat itu, tapi tak ada reaksi apa-apa. Aku hanya menunggu, agak skeptis.
Tak lama kemudian, nasi rendang dan es teh manis pesananku datang. Warung itu memang sepi, tapi yang mengejutkan, mbak pelayan tadi duduk di sebelahku.
"Makan yang banyak ya. Kamu lagi tumbuh, jadi harus makan banyak," katanya dengan nada semangat yang terdengar agak aneh di tempatnya.
“Iya, Mbak,” jawabku polos.
Apa buku ini benar-benar berhasil? Sepertinya iya.
"Kamu aku gratisin aja ya. Tadi aku lihat kamu jalan sendirian, kasihan. Kalau laper, mampir ke sini aja, gak usah bayar," ujar mbak itu sambil tersenyum.
Aku terkejut. Kalimat di buku itu benar-benar berfungsi! Setelah selesai makan, aku mencuci tangan dan berterima kasih pada mbak pelayan. Dalam hati, aku sudah merencanakan sesuatu untuk hari ini: membalas dendam pada Bu Indah.
Keesokan harinya di sekolah, teman sebangkuku yang agak culun tapi mau menemaniku bertanya, “Eh, lu gak jajan?”
“Enggak, gua lagi gak laper,” tolakku. Waktu istirahat adalah saat yang tepat untuk melancarkan rencanaku.
Aku membuka buku cokelat itu perlahan dan menulis, “Bu Indah, Kepala Sekolah SMA Jaya, memanggilku ke ruangannya dan mengizinkanku untuk tidak mengikuti pelajaran hari ini.”
Selesai menulis, aku menutup buku. Beberapa menit kemudian, temanku tiba-tiba memanggil, “Eh, lu disuruh ke ruangan kepala sekolah!”
“Hahaha, udah gak dipanggil BK, sekarang kepala sekolah langsung!” ejeknya sambil terkekeh. Aku kesal dengan sifat yang manipulatif dan suka nyinyir, tapi aku diam saja. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya akan terjadi.
Aku berjalan menuju ruang kepala sekolah, dengan buku cokelat itu terselip di tas. Apa yang kutulis akan segera terbukti.
Aku mengetuk pintu ruang kepala sekolah, jantungku sedikit karena buku ajaib itu kugenggam erat. Bu Indah, dengan pesonanya yang tegas, duduk di kursi sambil menatap layar laptop. Aku menutup pintu perlahan, suasana tiba-tiba terasa intim.
“Duduk, Yan,” perintahnya dengan suara yang dingin tapi menggoda, khas Bu Indah yang selalu punya aura berwibawa.
“Baik, Bu.Ibu memanggilku untuk apa?” tanyaku, pura-pura polos sambil mencuri pandang ke wajahnya yang cantik.
"Nilai kamu jelek. Guru BK sudah angkat tangan, makanya kamu saya panggil. Ini sudah kelewat batas, Yan. Mau tidak mau, kamu harus mengulang," ucapnya tegas, matanya memandang tajam, seolah menantang.
“Gak ada jalan lain, Bu?” tanyaku, sengaja memainkan nada memelas.
“Tidak ada. Sudah terlambat,” jawabnya tanpa ampun, sikapnya kaku seperti biasa.
Aku membuka buku cokelat itu, membayangkan-pura mencatat sesuatu. “Bolehkah saya menulis catatan untuk memperbaiki diri, Bu?” kataku, tersenyum licik.
(Bu Indah merasa kegerahan meski AC menyala, dan badannya pegal-pegal.)
Bu Indah memang punya daya tarik yang sulit diabaikan. Tubuhnya yang proporsional, dengan lekuk pinggul yang menggoda dan payudara yang pas dengan tinggi badannya, membuatnya terlihat seksi. Kulitnya putih mulus, mahkotanya melengkung sempurna, dan wajahnya begitu menawan. Bayangan dia kepanasan justru membuatku semakin tertarik.
“Jadi bagaimana, Bu?” tanyaku lagi, sengaja memancing.
“Aduh, kenapa gerah banget, padahal AC nyala,” keluhnya, mengipasi diri dengan buku di tangannya, wajahnya mulai memerah.
“Saya gak gerah, Bu. Mungkinkah Ibu habis makan pedasnya?” Godaku, sengaja melontarkan senyum nakal.
“Jangan sok tahu, urus nilai kamu!” bentaknya, tapi keringat mulai bermunculan di dahi, membuatnya terlihat semakin menarik.
“Aduh, leherku pegal,” menambahkan, memijat sendiri dengan gerakan yang entah kenapa terlihat mengundang.
Aku buru-buru menulis lagi di buku. (Setiap aku memijatnya, Bu Indah merasa nyaman dan gelisah kalau aku pergi.)
Aku bangkit dari kursi, mendekatinya dengan percaya diri. “Bolehkah saya bantu pijat, Bu?” tawarku, puas sudah menyentuhnya dengan lembut. Anehnya, dia tidak menolak sama sekali.
“Bu, kayaknya Ibu kecapekan,” kataku, jari-jari ku mulai memijat dengan penuh perhitungan.
“Hmm, enak sekali pijatanmu, Yan,” ucapnya, suaranya tiba-tiba lembut, hampir seperti bisikan yang menggoda.
“Kalau Ibu pegal, panggil aku aja. Saya siap bantu kapanpun,” kataku, sengaja menatap mata dalam-dalam.
“Iya, nanti kalau pegal lagi, aku panggil kamu,” jawabnya, suaranya kini terdengar manja.
Sambil mengisyaratkan, mataku tak bisa lepas dari dada yang penuh, terlihat menonjol di balik seragamnya. Rasa ingin disentuhnya begitu kuat, tapi aku harus sabar. Aku menulis lagi di buku.
(Bu Indah menyuruhku tetap di sini, dan tubuhnya bebas ku sentuh dalam keadaan sadar.)
Bel masuk berbunyi, dan aku pura-pura hendak pergi. “Bu, saya harus masuk kelas. Pak Adi bakal marah kalau saya bolos pelajaran matematika,” kataku, menguji reaksinya.
“Tunggu, Yan. Gak usah masuk dulu,” ucapnya cepat, lalu mengambil telepon dan menghubungi Pak Adi. “Pak, maaf, Riyan ada keperluan dengan saya, jadi dia tidak bisa masuk kelas dulu.”
Aku tersenyum dalam hati. “Gak apa-apa, Bu?” tanyaku, pura-pura khawatir.
Bu Indah bangkit, mengunci pintu ruangannya, dan tiba-tiba suasana berubah. Ia mendekatiku, gerakannya seolah sengaja menggoda. Kami duduk di sofa, begitu dekat hingga aromanya memenuhi indraku.
“Badanku pegal banget, Yan. Beberapa hari ini banyak acara,” ceritanya, suaranya kini lembut, hampir seperti merayu.
"Boleh saya pegang bagian lain ya Bu? Biar lebih rileks," kataku, mulai meraba lengan dengan lembut, lalu perlahan ke payudaranya. Aku menahan nafas, tapi dia hanya tersenyum, seolah menikmati sentuhanku.
“Jangan teriak Bu. Anggap ini bagian dari pijatan ya,” kataku, mulai meremas payudaranya dengan penuh percaya diri, bahkan mencubit secara perlahan.
“Hmm, pertama kali aku lihat pijatan begini,” ucapnya, suaranya penuh godaan meski ada nada genit di dalamnya.
“Ini bagus untuk peredaran darah, Bu,” bohongku, menikmati setiap detik.
Aku menulis lagi di buku. (Bu Indah akan menurutku dan memanggilku 'Beb'.)
“Tetekku sakit, Yan. Sudah, ganti pijatannya,” pintanya, tapi nadanya tetap lembut.
“Beb, ini mungkin bagus untuk kamu,” kataku, sengaja bertemu dengan panggilan baru.
“Oh iya, Beb. Maaf, aku salah tadi,” jawabnya, tiba-tiba manja, seolah aku adalah kekasihnya.
“Beb, kalau gerah, ganti baju seksi aja di ruangan ini, kayak di film-film. Gak usah pakai hijab lagi ya,” godaku, sengaja mendorong batas.
“Iya, Beb. Nanti aku minta suamiku beli baju seksi, bilangnya untuk dia, padahal buat aku pakai di sekolah ketemu kamu,” jawabnya, nadanya penuh kelucuan yang menggoda.
Aku melepas hijabnya perlahan, meletakkannya di meja. Rambut hitamnya yang tergerai membuatnya terlihat seperti wanita yang jauh lebih muda, penuh pesona. “Beb, aku gak suka kalau kamu nyindir aku di pidato. Kamu kan sayang sama aku, kenapa gitu?” kataku, sengaja memainkan peran.
“Maaf, Beb. Aku janji gak gitu lagi,” jawabnya, suaranya penuh penyesalan yang manis.
“Izin buka bajumu ya, Beb,” kataku, mulai membuka kancing bajunya. Bra putih besar terlihat, menutupi payudaranya yang menggoda. Aku letakkan kemejanya di meja, di bawah hijabnya.
“Ih, aku malu, Beb. Tetekku kelihatannya sama murid,” katan
2275Please respect copyright.PENANAe8wBbSPaMp
ya sambil menutupi dada, tapi penampilannya seolah mengundang.
EPISODE LENGKAP BISA DILIHAT DIKARYA KARSA
https://karyakarsa.com/netorarey/buku-ajaib-1055620
2275Please respect copyright.PENANAHJOw3jrWV5
ATAU BELI FULL LEWAT TELE @carlcawho
ns216.73.216.251da2