×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
Kau Ingin Menjadi Seorang Seniman
G
0
0
0
429
0

swap_vert
Di kotaku, ada seorang seniman. Seniman tulis. Seniman kata-kata. Tapi aku selalu heran, kenapa dia juga tidak disebut seniman baca padahal dia tau caranya membaca dengan nyaman dan tak pernah lupa membawa satu buku puisi dan satu buku cerpen pada tas gandengnya setiap bepergian. Hal yang bisa kau pandang rapi darinya hanyalah perihal merawat buku, tidak penampilannya, tidak pola makan, dan tidak pula keuangan. Dia seniman besar. Bahkan orang-orang di luar kotaku, pasti akan mengenal jika ada yang menyebut namanya.


Dan sekarang, kau bilang ingin menjadi seorang seniman. Seniman tulis. Seniman kata-kata. Aku tau kau tak jauh berbeda dari seniman legendaris itu. Kau tidak akan melewati –paling tidak satu paragraf- di setiap harimu untuk kau baca. Kau tidak akan peduli dengan penampilanmu. Buku dan apa yang ada di dalamnya telah menjadi duniamu. Sekeliling adalah tempat orang asing dan benda-benda mati yang tak mungkin dapat peduli.

Kau ingin sekali menjadi seorang seniman, padahal duniamu hanyalah kampus, kos, dan aku (harusnya kau juga doyan menyusuri pantai atau sejenisnya denganku agar dapat menulis). “Aku tidak menemukan kenyamanan di luar, selain itu aku juga tak punya cukup uang,” demikian katamu jika aku memintamu sering-sering berkeliling.

Satu kali, kau pernah menulis sebuah surel kepadaku dengan bahasa yang tak dapat aku mengerti. Kau mengungkapkan majas sulit dengan diksi-diksi asing yang sudah pasti kau tahu aku tak akan dapat memahami, sebab aku seorang mahasiswi biologi. Jangankan untuk terpukau. Tapi aku tersenyum, sebab aku tahu bahasamu yang tak biasa itu pada intinya menyatakan kecintaanmu kepadaku.

Tadi, pagi-pagi sekali, kau mengajakku berolah raga. Sepanjang aku mengenalmu, aku satu-satunya yang dapat membangunkanmu lebih cepat dari angkot para pedagang pasar, lebih tergesa dari anak sekolahan yang mengejar bel pelajaran pertama. (Kau tak dapat bangun pagi, sesungguhnya. Bukan sebab tidurmu tak baik, tapi sebab kau tak biasa begitu). Kau katakan ingin serius menulis. Aku tersenyum, seperti biasa. Aku tak dapat mengatakan akan mendukung atau melarangmu. Aku hanya tahu tentang seniman legendaris itu. Aku tahu bagaimana hidupnya. Aku tahu seniman itu sering sekali berhutang pada tetangga untuk sekadar beli beras dan beberapa batang rokok.

“Aku merayakan tulisanku yang tersiar di koran, pagi ini.”

“Sebab itu kau mengajakku keluar sepagi ini.”

Kau menatapku kemudian. Memegang tanganku. Dan berkata, “Selan itu, aku merindukanmu.”

Kau selalu tahu bagaimana caranya meluluhkan aku. Sudah dua minggu aku dan kau tidak bertemu sebab seperti orang-orang, aku dan kau berkuliah. Sebuah cara yang orang-orang percayai untuk mempersiapkan masa depan anak-anak mereka. Cara yang juga membuat aku harus rela berpisah kota denganmu. Seharusnya perkuliahan dibuat tidak seperti ini. Kenapa menteri-menteri itu tidak memanfaatkan internet saja, sehingga percintaan bebera orang tidak harus berganti dengan begitu banyak kerinduan.

“Tenang, sayang. Kita hanya berpisah beberapa tahun saja. Selepas itu aku akan menikahimu. Kamu akan ada ketika aku menulis di rumah, membikinkan kopi, dan mengingatkan agar aku tidak telat makan,” katamu seperti membaca keluhan itu dari mataku. “Kamu benar-benar ingin jadi seorang seniman tulis?” tanyaku. “Iya, aku ingin.” Aku bertanya lagi, “Padahal kamu tahu bagaimana jadinya jika kau benar-benar seorang seniman?” Kau menjawab, “Iya, aku tahu. Tapi aku tetap ingin.”

Aku berhenti tersenyum. Melepas tanganku dari genggamanmu. “Kau harus mengerti betapa sulit kehidupan seorang seniman. Hidup bukan hanya soal kepuasanmu saja. Sekarang hidup semakin susah. Orang-orang hanya mementingkan diri sendiri. Kota ini terus berkembang, tuntutan hidup semakin banyak dan mahal. Bagaimana dengan anak-anak kita nanti. Mereka akan hidup di kota yang terus berjalan. Kota tidak mau mengenal kehidupan kita, seperti kita mengenalnya. Kota telah seperti rentenir rakus, meminjamkan kita rumah, teman, dan rekan hidup; dan kita harus melunasi hutang-hutang itu dengan terus mengikuti tuntutannya yang tidak mau tahu.”

“Terus? Kenapa?”

“Apakah kau tidak juga mengerti?”

“Aku hanya mengerti bahwa aku ingin menjadi seorang seniman.”

“Ayahku juga seniman, kau bahkan tahu, bahwa ayahku seorang seniman legendaris. Apakah kau akan merangkap kemiskinanku lagi dengan menjadi seorang seniman juga?”

Kota mulai sibuk.*



Selong, 2019
favorite
0 likes
Be the first to like this issue!
swap_vert

X