×

Penana
search
Loginarrow_drop_down
Registerarrow_drop_down
Please use Chrome or Firefox for better user experience!
Pesan Terakhir Sang Sahabat
G
1.5K
0
0
102
0

“Dia datang sepagi ini, sungguh mengherankan” heranku saat melihat Melisa menyandarkan kepalanya di meja kelasku. Tidak seperti biasanya, dia selalu terlambat masuk kelas dan hukumanlah yang selalu diberikan pak guru padanya.

Melisa memang anak yang keras kepala, aku sebagai temannya selalu menasehatinya agar tidak terus menerus bermain gadget sampai larut malam. Cuek, cuek dan selalu saja aku yang dicueki olehnya. Karena omonganku selalu tidak digubris olehnya, aku memutuskan berhenti memberinya nasehat yang sebenarnya bermaksud untuk kebaikannya sendiri.

“Mel, mel, melisa” suaraku agak meninggi karena sudah tiga kali nihil respon.

“Oh kamu manggil aku ya Nggie, maaf maaf. Ada apa?” jawabnya seperti tidak punya rasa bersalah saja.

“Asik terus dengan gadget andalanmu itu, sebenarnya aku mau ngomong sama kamu. Tapi gara gara gadget itu. Aku nggak jadi.” Kesalku pada Melisa.

“Marah ni ye, ya deh aku minta maaf” bujuknya dengan sepatah kata manis bagai merayuku yang sedang marah.

Karena sifat kelucuan yang dimilikinya, aku tidak sampai hati terlalu lama marah dengannya. Tak berlangsung lama, akhirnya kami pun berbaikan kembali.

“Di mana Melisa ya, kenapa sampai sekarang dia belum juga masuk sekolah.” Cemasku akan keberadaan Melisa yang tanpa adanya kabar. Aku mencoba bertanya pada Bu Faulia, apa bu Faulia tau keberadaan Melisa atau tidak? Lalu dengan raut muka yang agak muram menatap tajam mataku.

“Apa kau tidak tahu Anggie, temanmu Melisa kan masuk rumah sakit” ungkap bu Faulia.

“Apa yang ibu katakan ini benar?” tanyaku ragu.

“Kemarin ibunya Melisa datang ke sini untuk memberikan izin, katanya sih Melisa sedang sakit.” Jelasnya sulit dipercaya.

“Saya benar benar tidak tau masalah ini bu.” Kagetku setelah mendengar itu.

“Kenapa dia tidak memberitahuku?” gerutuku dalam hati. Pagi ini sangat sepi tanpa Melisa, aku sebagai sahabatnya sangat shock mendengar itu. Kenapa juga ibunya tidak memberitahuku? Apa aku ini tidak penting untuk diberitahu? Stop dengan pemikiran munafik itu, teriakku dalam renungan. Aku berniat menjenguk sahabatku di rumah sakit.

Sesampainya aku di sana aku segera menemui suster dan menanyakan apakah benar perempuan bernama Melisa sedang dirawat di sini atau tidak? Dan ternyata benar ada, suster mengatakan ruang anggrek adalah ruang tempat Melisa dirawat.

Di ruang itulah aku sampai, banyak juga orang orang dekat Melisa yang turut serta menjenguknya, termasuk ibunya.

Perlahan aku mendekati ibunya dan “untuk apa kau ke sini?” tolak ibunya padaku dengan kata yang menyakitkan. Setelah beberapa kalimat telah kuucap untuk membujuk ibunya agar memperbolehkanku masuk menemui Melisa yang terkapar lemah di atas ranjang. Tidak sia sia aku menjelaskan semuanya pada ibunya, alhasil.. kata ya keluar dari mulutnya, tapi syaratnya hanya 5 menit saja waktuku bertemu Melisa. Aku menyanggupinya, lalu aku segera menemui Melisa.

“Mel, bagaimana keadaanmu. Apa kau sudah mendingan?” tanyaku iba dengan sedikit senyuman haru.

“Anggie kau datang, aku sangat merindukanmu.” Senyuman Melisa sambil menatap mataku.

“Cepatlah sembuh Mel, kembalilah sekolah bersamaku. Aku rindu dengan tingkah lucumu, aku rindu tawamu.” Kataku sambil menyilakan rambut yang menutupi pandangan Melisa.

Rasa ibaku pada Melisa muncul, aku tak tega melihat dirinya terbujur kaku di atas ranjang itu. Ketika air mataku mulai menetes, tiba tiba terdengar suara langkah kaki memasuki ruangan Melisa, itu ibunya ternyata. Sesuai janjiku, 5 menit telah berlalu dan aku bukan orang yang suka ingkar janji. Aku segera meninggalkan ruangan itu. Dan ketika aku masih berjalan 2 atau 3 langkah, tiba tiba ibunya memegang halus tanganku dan berkata “jangan pergi dan tetaplah berdiri di sini Anggie, temani Melisa.” Suara lembut ibunya menenangkan hatiku, berbeda saat di luar tadi. “Kau adalah sahabat setianya Melisa. Setiap saat dia selalu memanggil namamu. Sepertinya di pikiran Melisa hanya ada satu nama, yaitu kamu Anggie. Sakit yang dideritanya cukup parah, dokter memvonisnya mengidap penyakit Leukimia. Dia harus menjalani kemoterapi setiap dua kali dalam satu minggu. Ibu tidak tega dengan keadaannya sekarang.” Melihat air mata yang menetes di pipi ibunya Melisa, aku turut mengeluarkan setetes demi tetes air mata haru. Sesaat kemudian, Melisa siuman dan memanggil namaku.

“Anggie.” Panggilnya pelan.

“Syukurlah Mel, kamu sudah siuman.”

“Apa aku boleh minta satu permohonan, ketika aku telah tiada nanti.”

“Ya Mel katakan saja, tapi tolong jangan katakan hal itu lagi. Kamu pasti bisa sembuh.”

“Aku minta kamu untuk menulis sebuah diary kecil yang isinya adalah kenangan kenangan kita. Dan kamu harus letakkan gelang tanda persahabatan kita dahulu di dalamnya, agar gelang dan diary itu bisa kubawa selamanya walau persahabatan kita berbeda dunia. Apa kamu mau?” pintanya padaku.

“Baik Mel, akan kulakukan untukmu sahabatku” jawabku dengan menunduk menyembunyikan air mata yang keluar membasahi pipiku.

Tiba tiba tangan Melisa mencengkram erat tangan kananku dan seketika itu juga Melisa menghembuskan nafas terakhirnya di depan mataku. Reaksiku melihat itu adalah “Dokter… dokter” teriakku kencang sambil menggoyang goyangkan tubuh kaku Melisa. Dengan cepat dokter menghampiriku dan segera memeriksa denyut nadi Melisa. Dan seketika aku tergeletak pingsan ketika dokter mengatakan bahwa Melisa sudah tiada.


favorite
0 likes
Be the first to like this issue!

X