Hening dalam kebekuan gelap, paras ayu tampak kukuh menebar binar. Keanggunan paripurna, temaram pun tersipu malu untuk menenangkannya. Jangat putih nan halus bak kapas, direngkuh nyaman sang buana. Seutas kemolekan memperdaya bayu mengelus tiada henti. Segenggam anugerah indah titipan Sang Khalik. Namun, sanubari tiada seelok paras.
Dipan usang dalam rengkuhan bilik seadanya, sesosok raga termenung menyingkap kekeruhan isi kepala. Saban malam ia menyandarkan tubuh moleknya pada dipan usang sembari menatap isi awang awang. Sesekali menghitung ribuan gemintang, sesekali ia menghitung peruntungan nasib.
Baru saja ia menengok buah hati yang tengah menghadap bunga tidur dalam lelap. Sosok laki laki yang ia besarkan seorang diri. Ia selalu nya mendapati putranya ketiduran selepas ia kembali dari tempat kerjanya. Ia mengerutkan wajah polosnya, mengecup kening sambil berbisik dalam lirih menggumamkan selamat tidur pada putranya. Hal yang telah menjadi rutinitas sekembalinya ia dari tempat kerja.
Dikala garis jingga di kaki langit tengah memudar temaram memeluk buana, ia meninggalkan rumah kemudian mengarahkan langkanya pada suatu bangunan di pinggiran pusat kota. Di sanalah ia bekerja saban malam. Mengabdikan diri untuk memuaskan birahi para laki-laki (laki-laki kesepian, laki-laki yang diburu keganasan nafsu, laki-laki yang mengabdi pada keperkasaan birahi, dan/atau laki-laki yang hanya lari dari kepahitan hidup). Paras anggunnya adalah sasaran para lelaki untuk dijilati saban malam. Dikala Mentari bertengger di atas ubun-ubun, ia mengurus rumahtangga (jika layak disebut rumahtangga oleh orang kebanyakan. Rumahtangga yang isinya hanya dia dan anaknya saja). Lalu tatkala gelap menyandra semesta, ia kembali meloloskan tubuhnya dari utas benang untuk kembali dijilati oleh lelaki mana saja yang ingin mampir.
Pelacur, sebutan orang pada dirinya. Orang-orang mengira ia momok mengerikan. Namun, dengan diam-diam mereka menyambangi peraduannya.
Hina dina ialah hujatan yang kian ramah menyambangi sepasang telinganya. Pandangan sebelah mata merupakan perlakuan rutin yang ia jumpai tatkala melintasi di kerumunan orang (tetapi ada pula yang memandangnya dangan penuh birahi). Per Olok-olok ialah hal yang lazim menghujam dirinya. Kadang kala ia menjadi topik pembicaraan tatkala para ibu-ibu kehabisan bahan gosip. Para orang tua dengan mudahnya mencopot namanya sebagai contoh tatkala menasehati anak mereka tentang moralitas (khususnya moral yang “anggapan picik mereka” buruk). Pemuka agama dalam jubah kebesaran mereka (tanpa merasa berdosa) seringkali menyeret-nyeret nama wanita itu dalam khotbahnya. Secara tersirat bahkan kadang-kadang kala dengan terang terangan, para kaum “sok” suci itu berteriak dari takhta megah mereka dengan nada menghujat, menajiskan, menuding, menghakimi dengan berbagai dalih “dia” suci dan lain sebagainya (walaupun ada dari mereka yang malu malu mengagumi dalam hati dan ada pula yang sembunyi-sembunyi ikutan untuk jajan).
Kenyataan demikianlah yang menjadikan hatinya gundah gulana. Hatinya kusut seolah mengambil jalan berlawanan dengan keindahan parasnya. Paras Anggun memancarkan keteduhan namun hatinya tak sedikit pun memiliki keteduhan. Ahh!!! Sungguh malang. Ingin rasanya ia pamit dari kehidupan.
Di sisi lain, ia kembali bergelora melanjutkan hidup tatkala ia teringat pada buah hatinya. Ingin hati, ia mengarak anaknya pada peraduan kedamaian hidup. Tiada sanggup ia membayangkan putra satu satunya harus puas hidup dalam kekalutan macam dirinya. Sebuah landasan moril yang menyulut api semangat dalam dirinya untuk melakukan apapun untuk putra sebatang karang.
Menjadi pelacur tiada pernah menjadi cita-citanya di masa lalu. Ia tiada bedanya dengan anak-anak sezamannya, ia juga memiliki cita-cita yang tiada kalah hebatnya. Dokter, merupakan mimpi terbesarnya dikala ia kecil dulu. Namun, sang semesta tiada pernah mengamini kerinduannya.
Tatkala usianya masih sangat belia, ia terpaksa hidup bergelanturan di jalan raya, pasar, emperan toko terminal, atau dimana pun ia dihadang gelap karena mengajak dirinya beristirahat. Dengan terpaksa ia kehilangan ibunya di usia 14 tahun. Ibunya lupa bernapas dan menghadapi sang khalik tatkala penyakit menggerogoti raga. Mungkin saja ibunya bisa sembuh andaikata ada biaya untuk mengantar ibunya ke rumah sakit ( dimana kesehata merupakan barang mahal di negerinya. Negerinya melarang orang miskin untuk sakit). Ia tak pernah mengenal sosok ayah dalam hidupnya. Ia lahir dari ibu yang mengandung tatkala ibunya menjadi korban pemerkosaan. Rimba Ayahnya entah berantah.
Hidup menjadi seorang tunawisma telah ia lakoni sejak dini. Ia tidak pernah mengenal suasana rumah. Yang ia kenal hanyalah emperan tokoh, trotoar, terminal, dan/atau pasar. Melakukan apa pun untuk bertahan hidup. Tiada sempat ia mengenal sekolah. Jangankan sekolah, mengenalkan aksara pun tidak. Kadang kala ia meringis dalam hati tatkala menyaksikan anak-anak sejawatnya menggendong tas menuju sekolah. Namun masuk ke sekolah harus punya duit. Minimal untuk biaya seragam dan alat tulis menulis. Belum lagi dana tambahan yang sering sekolah ciptakan dengan berbagai macam dali ( uang sukarela, uang arisan siswa, uang tabungan siswa, uang buku cetak, dan lain-lain).
Anaknya lahir setelah ia di perkosa oleh sekelompok preman pasar. Jangan bertanggungjawab, congor para kelompok preman itu, satu pun tiada tersingkap olehnya. sekelompok pria bejat itu berkelindan entah kemana selepas mereka merompak paksa selangkangan wanita tersebut.
Entah sebuah anugerah atau sebatas kebetulan, ia ditemukan dengan perempuan paru baya yang baik hati nan mulia. Lantaran karena (mungkin) rasa iba menilik sesosok wanita tunawisma dengan perut buncit. perempuan paru baya tersebut mengajaknya untuk menyertai sampai pada peraduan milik sang perempuan itu. Ia di ajak tinggal bersama perempuan itu sambil menunggu persalinan bayinya sebelum ia di pekerjakan.
Menyebut parasnya yang anggun tiada kepalang sebagai sebuah anugerah bukanlah suatu hal yang tanpa alasan. Melalui keindahan parasnya, maka ia dapat dijadikan aset untuk meraup keuntungan. Itulah alasan perempuan yang baik hati tersebut mau mengadopsinya.
Setelah ia melahirkan dan benar-benar siap untuk kembali memuaskan birahi laki-laki binal, ia dengan langkah berat mengikuti arahan perempuan paruh baya yang baik hati. Ia di arahkan untuk menuju sebuah bangunan yang menarik perhatian orang kebanyakan, namun sering mereka ramaikan. Mulai detik itulah ia dengan resmi memperoleh gelar yang dimusuhi masyarakat (sok suci) yaitu seorang pelacur. Dari titik itulah ia terlempar ke dalam kubangan momok mengerikan (anggapan manusia munafik).
Di balik paras ayu, terselip hati yang terus menerus menjumpai kegundahan. Pada satu sisi, ada sebuah kepala yang harus diberi makan dan sesosok jiwa yang ingin dibahagiakan. Namun, pada sisi lainnya hujat, tudingan dan makian khalayak menghujam jiwa. Merupakan dua sisi yang saban hari saban terjadi di balik paras anggunnya.
Lamunan di atas dipan saban malam disuguhi oleh hal serupa. Tiada bedanya dengan malam yang sudah-sudah. Sesekali hatinya lega tatkala menyingkapkan kenyataan bahwa ia telah menjadi pelacur secara terang terangan. Ia seorang pelacur yang jujur dibandingkan dengan orang kebanyakan yang menjadi pelacur di balik payung hukum dan agama. Pelacuran di balik dali pernikahan. Mereka bersenggama mempertaruhkan uang, status, kekuasaan, dan segalah kemewahan. Hal yang membedakan orang kebanyakan dan mereka yang disebut "pelacur" hanyalah terletak pada keberanian para mereka yang disebut “pelacur” . Mereka yang berani menampakkan diri mereka sebagai pelacur daripada manusia kebanyakan yang bersembunyi di bawah berbagai macam dali. Manusia kebanyakan lebih hina dalam kemunafikan seorang pecundang.
“Sebab kita semua adalah pelacur, caranya saja yang berbeda, kami pelacur yang berani dan tidak munafik!!!” serunya dalam hati dengan nada kemenangan.
Rembulan mendekat tiba-tiba mendekati kaki langit, mempertegas bahwa malam kian larut. Ia berangkat meninggalkan dipan dengan kelegahan pada sekujur kalbu. Ia menuju tempat pembaringannya untuk melepas penat sambil menjemput bunga tidur.
☺
shayap_patah