Bagian 1:
Desa Randumulyo yang Sepi dan Tertutup Kabut
Pagi di Randumulyo selalu dimulai dengan kokok ayam yang bersahut-sahutan dari rumah warga.Udara masih terasa dingin, embun menetes perlahan dari ujung dedaunan pohon jaranan yang tumbuh di pelataran halaman rumah warga.Jalan-jalan setapak di desa masih basah oleh sisa hujan semalam, membuat penduduknya enggan keluar rumah.
Dulu, pagi di desa itu selalu diiringi kicauan burung yang hinggap di dahan-dahan pepohonan, namun kini suara itu semakin jarang terdengar. Hanya ada suara motor yang lalu lalang di jalan penghubung antar desa, atau sesekali deru mobil milik warga desa sebelah yang sedang melintas. Entah sejak kapan burung-burung itu menghilang, tapi kini Randumulyo terasa lebih ramai dan hidup.
Mayoritas penduduk Randumulyo adalah petani, buruh tani,buruh nelayan dan kuli bangunan..Menjelang musim panen,warga desa yang berprofesi petani sudah bersiap sejak subuh, menyiapkan cangkul dan sabit mereka, sementara para wanita lebih banyak di rumah, mengurus anak, memasak, atau berkumpul dengan tetangga-tetangganya.Kehidupan berjalan dalam ritme yang sama setiap harinya, tanpa banyak perubahan. Namun, di balik ketenangan itu, ada sesuatu yang tak terlihat oleh mata orang-orang desa—sebuah kisah yang tumbuh diam-diam di antara batasan moral dan godaan yang tak bisa ditolak.
Salah satu sosok yang paling dihormati di Randumulyo adalah Satrio, seorang perangkat desa yang tampan dan berwibawa. Tubuhnya tegap berotot,telah beristri, tapi pesonanya tetap sulit diabaikan oleh wanita-wanita setengah baya di desa itu. Tatapan matanya tajam, senyumnya menawan, dan tutur katanya selalu terdengar tegas namun lembut. Tak heran, ada dua wanita yang diam-diam menyimpan perasaan lebih kepadanya.
Dua wanita itu, yang juga telah bersuami, awalnya hanya memandang Satrio sebagai seorang pemimpin yang baik. Namun, tanpa mereka sadari, ada sesuatu yang perlahan tumbuh dalam hati mereka—sebuah gejolak yang tak semestinya ada. Dan di tengah kesibukan warga desa Randumulyo, dalam mempersiapkan masa panen, kisah terlarang itu bersemi.
Bagian 2:
Sripah dan Rumah Tangga yang Renggang
Di sudut desa Randumulyo, di sebuah rumah kayu berdinding bata putih, tinggal seorang wanita bernama Sripah. Usianya baru menginjak 35 tahun, namun garis-garis halus di wajahnya membuatnya tampak lebih tua dari seharusnya. Hari-harinya diisi dengan mengurus dua anaknya yang masih sekolah, memasak, mencuci, dan sesekali menjadi kuli tandur di ladang tetangga untuk membantu perekonomian keluarga.
Suaminya, Norman, bekerja serabutan. Kadang ia menjadi buruh tani, membantu membajak sawah atau memanen padi milik orang lain. Di lain waktu, ia ikut melaut bersama nelayan dari desa seberangg.Pekerjaan yang tak menentu itu membuat ekonomi rumah tangga mereka selalu goyah. Ada hari-hari ketika dapur mereka berisi cukup , tetapi lebih banyak hari mereka kekurangan. Di saat-saat seperti itu,Sripah pusing setiap kali anak-anaknya meminta jajan ,ia memutar otak agar anak-anaknya tetap bisa beli jajan.
Kesulitan ekonomi itu menambah panas suasana di rumah mereka. Percekcokan antara Sripah dan Norman menjadi hal yang biasa. Awalnya, hanya persoalan kecil—entah karena masakan yang dianggap kurang enak, anak-anak yang bermain terlalu berisik, atau Norman yang luntang-luntung tanpa penghasilan sepeser pun..Norman merupakan pria yang mudah tersinggung. Kata-kata Sripah yang seharusnya hanya keluhan biasa sering kali disalahartikan sebagai sindiran.
“Cari-cari kerjaan dimana kek,masak cuma diam di rumah” ucap Sripah suatu hari, saat melihat suaminya duduk di kursi ruang tamu dengan wajah lesu.
Norman mendongak, tatapannya langsung tajam. “Kamu pikir aku tidak berusaha?! Aku sudah keliling ke mana-mana cari kerja!” suaranya meninggi.
“Aku pusing setiap kali anak-anak kita meminta uang jajan,sedang di rumah tak ada uang sepeserpun....”
“Kamu itu perempuan, nggak usah nyuruh-nyuruh laki-laki!” Norman membanting gelas ke lantai kemudian ke luar rumah,membuat anak-anak mereka yang sedang duduk di sudut ruangan meringkuk ketakutan.
Sripah diam, menahan kesal. Ia sudah terlalu sering mengalami ini. Perdebatan yang sama, kemarahan yang sama. Hatinya semakin lelah. Di saat-saat seperti inilah kondisi jiwanya labil.Ia iri dengan kehidupan tetangga-tetangganya yang terlihat cukup.
Pikirannya melayang kemana-mana dan berandai-andai.
Bagian 3:
Hartini dan Kekosongan di Hatinya
Di rumahnya yang sederhana di tepi desa Randumulyo, Hartini duduk termenung di depan televisi yang masih menyala. Tangannya sibuk memencet hp, tapi pikirannya melayang ke tempat lain. Usianya hampir menginjak 40 tahun, tetapi justru di titik inilah ia merasakan gairah hidupnya semakin membara. Sayangnya, suaminya, Rusdi, tidak bisa memahami apa yang ia rasakan.
Rusdi adalah seorang petani penggarap. Setiap hari ia berangkat pagi ke sawah, membanting tulang di bawah terik matahari, dan baru pulang menjelang petang dengan tubuh penuh lumpur dan keringat. Hartini tahu suaminya bekerja keras demi keluarga, tetapi ada satu hal yang selalu membuatnya kesal—Rusdi terlalu cepat selesai ketika mereka tidur bersama.
Setiap kali mereka bercinta, semuanya selalu berakhir dalam hitungan menit. Kadang belum juga Hartini merasa benar-benar menikmati, suaminya sudah terkapar kelelahan. Ia mencoba menahan kekesalannya, berusaha memahami bahwa suaminya sudah letih bekerja seharian. Tapi semakin lama, semakin ia merasa kosong. Ada sesuatu dalam dirinya yang terus menuntut lebih, sesuatu yang tak bisa dipenuhi oleh Rusdi.
Malam itu, setelah anak-anak mereka tidur, Hartini mencoba membangkitkan gairah suaminya. Ia mendekat, menyentuh bahunya, membisikkan sesuatu yang manis. Tapi Rusdi hanya menghela napas panjang.
"Capek, Tin… Besok saja, ya," katanya sambil membalikkan badan.
Hartini diam, menatap punggung suaminya yang sudah tertidur dalam hitungan detik. Ia menahan rasa kecewa yang semakin hari semakin sulit ia bendung.
Di saat-saat seperti inilah, ia bekerja sendiri untuk memuaskan birahinya,membayangkan seseorang yang kuat,berotot dan tampan.
Bagian 4:
Rustini dan Kecemburuan yang Membara
Di rumah perangkat desa yang lebih besar dan lebih kokoh dibanding rumah-rumah lain di Randumulyo, Rustini tidur-tiduran di atas karpet sambil menonton televisi di ruang keluarga,menunggu suaminya pulang. Malam sudah larut, lampu-lampu rumah tetangga mulai redup, pertanda sebagian besar warga desa telah tidur. Tapi Satrio, suaminya, belum juga pulang dari kebiasaannya nongkrong di warung kopi.
Ini bukan pertama kalinya. Sudah beberapa bulan terakhir, Satrio sering pulang lebih larut dari biasanya. Rustini awalnya mencoba memahami, berpikir bahwa sebagai perangkat desa, suaminya pasti sering berbincang dengan warga, membicarakan urusan desa. Tapi hatinya mulai tidak tenang. Setiap kali ia bertanya, Satrio selalu menjawab dengan santai, seolah-olah keterlambatannya bukanlah sesuatu yang perlu diributkan.
Pintu depan akhirnya terbuka, dan Satrio masuk dengan wajah tenang, seolah tak terjadi apa-apa. Rustini segera berdiri, menatap suaminya dengan tatapan tajam.
"Kok pulangnya makin larut terus, Mas?" suaranya dingin, tapi ada kemarahan yang tersirat di sana.
Dengan santai Satrio berjalan ke dalam kamar tidur tanpa menoleh ke arah istrinya. "Tadi ngobrol sama warga di warung," jawabnya ringan.
Rustini mendengus. "Ngobrol apa, sih, sampai segini malam? Aku ini istrimu, Mas. Aku juga butuh sentuhan,butuh ngobrol bukan cuma wargamu saja
Satrio menatapnya sejenak, lalu menghela napas. Ia sudah sering menghadapi kecemburuan istrinya, dan semakin lama, semakin malas menanggapinya.
"Kamu ini curiga terus, Tin. Aku itu cuma ngopi, bukan keluyuran yang aneh-aneh," katanya sambil merebahkan badan di ranjang, melepas pecinya dan mengusap wajahnya yang lelah.
"Tapi, Mas! Mungkin ada sesuatu yang kamu sembunyikan!" Rustini mulai meninggikan suara. "Kamu sering pulang telat, kelihatan lebih rapi kalau berangkat, terus akhir-akhir ini sering senyum-senyum sendiri. Jangan bilang nggak ada apa-apa!"
Satrio tertawa kecil, bukan karena senang, tapi karena merasa percuma berdebat. "Ya ampun, Tin… Kamu itu terlalu banyak pikiran. Aku ini suamimu, percaya saja. Jangan kayak orang yang suka bikin gosip."
Rustini semakin geram. Sikap cuek suaminya justru membuat api cemburunya membesar. Ia tahu suaminya tampan, gagah, dan disegani di desa. Ia juga tahu banyak wanita yang diam-diam mengagumi Satrio. Dan sekarang, dengan kebiasaannya yang pulang larut malam, Rustini yakin ada sesuatu yang sedang terjadi.
"Kamu selingkuh, ya?" tuduhnya langsung.
Satrio mengangkat alis, lalu tersenyum kecil. "Kamu ini aneh-aneh saja, Tin. Sudahlah, aku capek. Mau tidur."
Bersambung