
******
Chapter 11 :
That Kind of Marriage Proposal17Please respect copyright.PENANAhIikx2juR7
******
17Please respect copyright.PENANAp6fHkAnjw1
Author:
MATA Violette membelalak; tubuhnya menegang dan napasnya seolah tersekat.
‘Menjadi istriku’? ‘Dalam jangka waktu dekat’?
Apa Justin sudah gila?!
Locardo—paman Justin—terlihat sama terkejutnya dengan Violette. Sementara itu, tatapan mata Justin semakin tajam; dia tetap bersikap seperti biasanya seolah tak terganggu sama sekali.
“Apa katamu? Menikah?!!” teriak Locardo sembari mengernyitkan dahinya.
Justin hanya menatap Locardo dengan tajam.
“Ya.”
“Dengan gadis ini? KAU SUDAH GILA?!!! APA TIDAK ADA GADIS LAIN YANG LEBIH BAIK?! Tuhan, kau—aku bisa mencarikan gadis yang lebih baik untukmu, jadi kau tak perlu menikahi—"
Mata Justin menyipit.
“Who do you think you are?” tanya Justin dengan sarkastis. Mendengar pertanyaan Justin itu, Locardo sontak merasa seperti tersambar petir; mata Locardo membeliak.
Setelah itu, Justin melanjutkan, “Kau pikir berapa banyak hal yang kulakukan untuk perusahaanmu? Selama kau pimpin, perusahaan itu bahkan nyaris bangkrut; perusahaan itu memiliki banyak utang.” ujar Justin. Locardo kontan memelototi Justin. Perkataan Justin yang tajam itu begitu menusuknya.
“Alexander Enterprises bisa menjadi sebesar ini karena aku melakukan berbagai hal untuk memperbaikinya.” Justin bernapas samar. “Jadi, kau pikir aku tak bisa memilih calon istriku sendiri? Ini hidupku, Locardo, dan aku mau dia. Aku tak ingin berdebat lebih jauh soal ini.”
Locardo mengepalkan tangannya. Rahangnya mengeras; dia menggertakkan giginya. Dia menatap Justin dengan penuh amarah. Dia betul-betul tak tahu apa gerangan yang masuk ke pikiran Justin hingga Justin memutuskan masa depannya seceroboh ini.
Locardo tampak berang tatkala berkata, “Kau perlu diberi pelajaran.”
Justin hanya diam. Ekspresi wajahnya tampak datar.
“Kau dengar aku,” ujar Locardo. “Akulah founder Alexander Enterprises. Aku tahu seluk beluknya. Aku bisa menghancurkannya kapan saja, jadi sebaiknya kau jangan macam-macam.”
Justin mengangkat sebelah alisnya.
“Alexander Enterprises sudah banyak mengalami perubahan. Itu tak akan hancur dalam sekejap mata. Lagi pula, kau pikir aku akan diam saja?” jawab Justin tajam. “Tidak lama lagi, aku akan menikah dengannya. Dia adalah executive assistant-ku. Aku sudah mengenalnya dari kecil.”
Mata Locardo membelalak. Jadi, selama ini...
Locardo meneguk ludahnya; ia mencoba untuk kembali tenang.
“Sebentar. Kau…sudah mengenalnya sejak kecil?” tanya Locardo, mencoba untuk memastikan pendengarannya.
Justin mendengkus. “Yes. She’s been my friend since I was young.”
Mata Locardo kontan memelotot. “Oh Tuhan. Mengapa kau tak memberitahuku lebih awal? Aku telah memarahi kalian berdua tanpa tahu kebenarannya! Sebentar—apa kau bisa fokus bekerja bila istrimu adalah executive assistant-mu sendiri?”
“Hm,” deham Justin.
Kini, tubuh Locardo tidak terasa tegang lagi; rasa marahnya telah menghilang. Dugaannya selama ini salah. Ternyata, gadis itu bukanlah gadis jalang seperti yang ada di pikirannya. Gadis itu adalah teman Justin dari kecil sekaligus executive assistant Justin yang sekarang. Locardo akhirnya menundukkan kepalanya. Diam-diam, ia merasa sangat lega.
Saat menatap Justin kembali, Locardo pun menghela napas.
“Baiklah. Kapan kau akan menikah?” tanya Locardo dengan ekspresi serius. Violette langsung membulatkan matanya. Sebentar, sebentar!!! Mengapa jadi seperti ini? Ini—ini seriuskah? Mereka akan menikah?!!
“Aku masih banyak pekerjaan bulan ini. Mungkin bulan depan,” jawab Justin dengan suara rendahnya.
Jantung Violette serasa jatuh ke perut. BULAN DEPAN?! JUSTIN INI BICARA APA, SIH?!
“Jaga kesehatanmu dan selesaikan pekerjaanmu secepat mungkin,” ujar Locardo. “Aku akan membantu persiapan pernikahan kalian. Namun, apa kau yakin mau melaksanakannya secepat ini?”
“Hm.” Justin hanya berdeham. Namun, dehamnya itu justru membuat Violette menggeram di belakangnya. Justin pasti sudah gila!
Locardo mengangguk pasrah.
“Ya sudah. Aku pergi dulu,” ujar Locardo. Pria tua itu berbalik, ingin pergi dari sana. Namun, mendadak ia berhenti melangkah seolah teringat akan sesuatu. Ia lantas menoleh kepada Violette, lalu berjalan mendekati Violette.
“Ah, aku lupa. Siapa namamu?” ujarnya seraya mengulurkan tangannya di depan Violette.
Melihat itu, Justin bergeser sedikit agar Violette bisa sedikit maju ke depan.
Lagi-lagi mata Violette membulat. Dengan cepat, Violette menoleh kepada Justin, ingin meminta sebuah ‘petunjuk’. Namun, Justin hanya mengangguk padanya; Justin menyuruhnya untuk menjabat tangan Locardo. Violette spontan meneguk ludahnya.
Dengan geragap, Violette pun mulai menoleh kepada Locardo dan menjabat tangan Locardo.
“Violette Morgan,” jawab Violette.
Locardo memperhatikan Violette dari atas hingga ke bawah, lalu kembali ke wajahnya. Locardo pun mengangguk.
“Baiklah. Senang bertemu denganmu. Jaga Justin baik-baik,” ujar Locardo. “Kau sebagai perempuan juga tidak boleh ke luar rumah tanpa izinnya dan tidak boleh pergi ke mana pun tanpa dia, kau dengar itu?”
Violette meneguk ludah. Buset, kejamnya...
“A—Ahh...ya, sir.” Violette tersenyum, tetapi mulai ada keringat dingin yang muncul di pelipisnya. Ia mengangguk dengan kaku.
Jabatan tangan itu pun terlepas.
Locardo mulai menatap Justin. “Kalau begitu, aku pergi dulu.” Ia menepuk pundak Justin dan pergi dari sana.
Setelah Locardo pergi, Violette langsung menghadap ke arah Justin.
“Kau gila?! Bagaimana mungkin kau bilang kita akan menikah? Kita bahkan belum lama bekerja bersama, sir! Lagi pula, mengapa kau memutuskan hal ini sendirian? Kau pikir menikah itu mudah? Aku belum siap!! Nathan belum ada dan aku tak mungkin menikah begitu saja tanpanya! Kita baru berpacaran, bagaimana bisa kau yakin untuk menikahiku? Kau mau mempermainkanku, ya? Atau mungkin kau kasihan padaku karena keadaanku seperti ini?! Jangan bercanda!” teriak Violette, dia mengoceh tanpa henti.
Menyadari banyaknya kejanggalan yang sedang ia hadapi, Violette tiba-tiba menangis. Ia langsung mendorong bahu Justin, lalu berlari ke kamar Justin.
“Violette!”
Violette hanya menangis; ia tak mengacuhkan panggilan itu. Ketika sampai di dalam kamar Justin, ia langsung mengambil tas beserta baju kerjanya—yang sebelumnya ia pakai—lalu ia memasukkan baju kerjanya itu ke tasnya. Ujung matanya menangkap tubuh maskulin Justin yang kini telah bersandar di ambang pintu kamar.
“Kau mau ke mana?” tanya Justin seraya menatap Violette dengan mata menyipit.
Violette berhenti, dia menatap Justin sejenak.
“Pulang,” jawab Violette dengan tegas, lalu ia keluar dari kamar Justin—melewati tubuh Justin begitu saja—dan pergi dari unit apartemen itu.
Violette turun ke lantai bawah melalui lift. Selama di lift, ia masih menangis. Ia menyeka air matanya berkali-kali.
Tanpa Violette sadari, lift itu sudah sampai di lobby. Violette langsung keluar dari lift itu, lalu menyeberangi area lobby…dan akhirnya melewati pintu gedung apartemen itu. Sesampainya di luar, ponselnya berbunyi.
Dengan agak malas, Violette pun mengambil ponsel itu dari dalam tasnya dan ia melihat ada sebuah pesan masuk.
Itu adalah pesan dari nomor yang tak dikenal.
17Please respect copyright.PENANAk0PjpRRvcu
From: +1-646-564-2477
Pamanmu semakin tersiksa, lho. Wah, aku bahkan tak tahu di mana dia sekarang. Oh, wait, aku bukan penculiknya, aku hanya berteman dengannya. Namun, ternyata dia pindah. Ah, tidak mengasyikkan, bukan? Aku jadi tidak tahu juga pamanmu ada di mana.
17Please respect copyright.PENANAjmQeJ9yaOp
Melihat pesan ini, mendadak Violette melupakan permasalahannya dengan Justin tadi. Tanpa memikirkan apa pun, ia langsung mengetikkan sebuah balasan untuk nomor itu dengan mata yang memelotot. Rahangnya mengeras.
17Please respect copyright.PENANAA3rChLNzbw
To: +1-646-564-2477
Siapa kau.
17Please respect copyright.PENANAezEmKYhM9d
Sent.
17Please respect copyright.PENANAvyjp5slpXM
Violette menunggu balasan pesan itu seraya menahan emosinya. Ia saat ini masih berada di trotoar. Namun, ternyata pesan itu dibalas dengan cepat.
Violette langsung membuka pesan itu.
17Please respect copyright.PENANAMS15fMp9V9
From: +1-646-564-2477
Elika.
17Please respect copyright.PENANABctTrdEavp
Jantung Violette mendadak seolah berhenti berdegup. Ia lupa bernapas; matanya membelalak dan dadanya sesak. Rasanya seperti ada orang yang sedang mencekiknya hingga ia tak bisa berkata apa pun. Tubuhnya gemetar.
Elika…?
Mengapa Elika? Apa yang salah dengan Elika dan apa hubungan perempuan itu dengan semua ini?
Violette menggeleng, ia sama sekali tak percaya. Ia memijat keningnya, merasa frustrasi. Bahkan, ponselnya nyaris saja terjatuh dari genggamannya.
Dua menit kemudian, akhirnya Violette mulai sedikit bisa menguasai dirinya. Ia mulai berjalan di trotoar itu, bermaksud untuk pulang. Namun, ia terus kepikiran soal isi pesan itu. Nama Elika terus terngiang di telinganya, berulang-ulang bagai bisikan setan yang mampu merusak mentalnya.
Jujur saja, di sepanjang jalan, kedua mata Violete terus melebar karena tak menyangka. Tubuhnya sedikit oleng; ia hampir menabrak orang lain beberapa kali. Pikirannya melayang ke mana-mana dan air matanya jatuh begitu saja tatkala memikirkan bagaimana keadaan Nathan sekarang. Nathan agaknya terus dipindahkan. Apakah tubuh Nathan luka-luka? Apakah Nathan disiksa? Ya Tuhan...!
Violette berteriak kencang; berkali-kali ia berjongkok karena merasa frustrasi.
Namun, apa biang masalahnya sehingga Nathan yang diambil? Violette sebenarnya salah apa? Selain itu, apa hubungannya dengan Elika?
Apa masalah Elika sebenarnya? Violette cuma tahu kalau Elika itu ‘mungkin’ memiliki hubungan spesial dengan Justin...
Tiba-tiba, ada sebuah mobil yang berhenti di dekat Violette. Namun, sayangnya…Violette sedang tak memedulikan apa pun saat ini. Ia hanya terus berjalan sembari menangis; isi kepalanya dipenuhi dengan kekhawatiran terhadap Nathan.
Justin keluar dari mobil itu dengan baju kaus putih polos dan celana training yang tadi dia pakai di apartemennya.
Justin mulai bersuara, “Violette.”
Violette berhenti melangkah. Gadis itu mengusap air matanya, lalu menoleh ke belakang. Tak ayal, matanya membeliak.
“Ju—stin...? Mengapa kau ada di sini?”
Justin menyipitkan matanya, lalu mendekati Violette. Sementara itu, Violette masih bisa kelihatan terkejut, padahal gadis itu baru saja menangis.
Dua detik setelah itu, Justin pun mulai membuka suara.
17Please respect copyright.PENANA6p5i8M97Cd
“Aku mengkhawatirkanmu...”
17Please respect copyright.PENANAOWYqTB6zfo
Mendengar kalimat itu, Violette malah membalikkan tubuhnya. Dia berencana untuk kembali berjalan. Tidak, dia tidak percaya Justin mengkhawatirkannya. Kalau Justin memang memikirkannya, niscaya Justin takkan merencanakan pernikahan mereka secepat ini.
Namun, tiba-tiba saja ada sebuah tangan yang mencekal lengan Violette. Tangan Justin yang lebih besar dan kuat darinya, yang akhir-akhir ini sering menyentuhnya, kini mencengkeram lengannya dengan kuat. Tangan itu kemudian menarik lengannya hingga ia berbalik.
Violette terkejut ketika sepasang bola mata berwarna lelehan emas itu menyergapnya, menguncinya di dalam sebuah penjara yang tak bisa dihancurkan.
“Jangan menangis lagi,” perintah Justin dingin. “Aku tak suka melihatmu menangis sendirian sembari berjalan. Ayo kita bicara.”
Violette jadi melongo. Namun, satu detik setelah itu, Justin langsung menarik Violette agar masuk ke mobilnya. Pria itu lalu membukakan pintu mobilnya untuk Violette, lalu mendorong tubuh Violette dengan pelan agar gadis itu duduk di jok penumpang depan. Violette hanya memandangi seluruh pergerakan Justin hingga Justin masuk ke mobil dan menghidupkan mesin mobil itu.
Saat mobil itu sudah berjalan, Violette pun mulai menghadap ke arah Justin.
“Justin...”
“Hm?” Justin hanya menjawab Violette tanpa menoleh. Violette menggigit bibirnya.
“Kau...serius dengan pernikahan? Maksudku, aku—”
Justin mengembuskan napasnya samar. “Kau mau melakukan apa bila aku tak serius? Menusukku dengan pisau? Atau...”
Mata Violette kontan membulat. “TIDAK! Ya Tuhan, itu mengerikan!”
Justin tersenyum miring.
“Aku serius,” jawab Justin. “Makanya, ayo kita bicarakan ini. Jangan kabur begitu saja seperti tadi.”
Pipi Violette langsung memerah. Gadis itu refleks menunduk. Ergh...malunya!
“Oh ya. Ceritakan padaku tentang orang yang menerormu itu,” lanjut Justin.
Violette terkesiap. Dia serta-merta kembali menoleh kepada Justin. Waduh. Mengapa Justin tiba-tiba mau membahas soal ini? Apa karena Violette tadi marah? Atau…
Violette kini menatap wajah Justin dengan lekat. Menatap hidung mancung pria itu dari samping, bibirnya yang tampak lembut, wajahnya yang terukir dengan sempurna...
Violette menghela napas.
Mungkin, dia memang harus menanyakan hal itu pada Justin.
Violette pun menunduk. Gadis itu menggigit bibirnya sejenak, merasa gelisah.
“Justin...” panggilnya kemudian.
“Hm?”
“Kau...sebenarnya ada hubungan apa...dengan Elika?”
Justin hanya diam. Hal ini membuat Violette jadi menggigit bibirnya; Violette takut salah bicara.
Namun, akhirnya Justin menjawab.
“Aku ada masalah waktu itu. Dia partner seksku saat itu.”
“Masalah tentang Hillda, ya?” tanya Violette.
Justin menghela napas, tidak menoleh pada Violette sama sekali.
“Ya,” jawab Justin. Violette mengangguk-angguk. Setelah itu, Justin melanjutkan, “Aku sedang kacau saat itu karena masalah pemusnahan Red Lion dan juga masalah Hillda. Jadi, aku melakukan beberapa hal yang mungkin takkan kau sukai. Apa kau pernah mendengar rumor bahwa aku adalah seorang bajingan?”
Violette meneguk ludahnya. Gadis itu menunduk...lalu mengangguk pelan.
“Iya.”
“Jadi, apa kau menolak untuk bersama dengan seorang bajingan, Nona?” tanya Justin.
Violette terperanjat. Dia langsung menggeleng saat ia menatap Justin kembali.
“T—Tidak—tidak, sir, bukan begitu,” jawab Violette panik. “Lagi pula, aku tahu bahwa kau sedang ada masalah saat itu.”
Menyadari siapa Elika sebenarnya, Violette pun jadi goyah. Ia meruntuhkan niatnya untuk memberitahu Justin bahwa Elika mungkin terlibat perkara penculikan Nathan. Justin mungkin akan sangat marah meski Elika kini sudah tak tahu di mana si pelaku itu.
Namun, apakah Justin benar-benar tidak tahu? Masalahnya, Justin itu orang yang sangat...jenius. Di mata Violette, Justin itu selalu cerdas. Tebakan pria itu tak pernah meleset.
Violette mengerjap ketika suara berat dan rendah Justin kembali terdengar di telinganya.
“Mulai sekarang, kau harus latihan.”
Violette sontak mengerutkan dahi. Gadis itu memiringkan kepalanya karena heran mendengar perkataan Justin.
“Latihan? Latihan apa, sir?”
“Masih tak tahu?” ujar Justin, sukses membuat dahi Violette semakin berkerut. Justin bernapas samar, lalu melanjutkan, “Berlatih untuk menjadi seorang istri yang bisa melayani suaminya dengan baik dan bisa tahu waktu jika di kantor.”
HAH? Tahu waktu?! Apa-apaan??!
Pipi Violette mendadak merona—dunianya serasa berputar—tatkala memikirkan betapa genitnya dia di dalam kata-kata Justin tadi. Betapa Justin sangat…OH SIAL.
“HEI! Apa maksudmu tahu waktu?!! Memangnya apa yang akan kulakukan di kantor?!” teriak Violette tak terima.
“Kau selalu pandai melakukan apa pun di dalam kantor, melebihiku. Jadi, kuharap kau bisa tahu waktu. Jika tidak, pekerjaanku tidak akan selesai karena terus meladenimu, Mrs. Alexander yang Terhormat.”
Pipi Violette semakin merona. Gadis itu meneguk ludahnya; napasnya tersekat di tenggorokan. Jantungnya berdetak kencang.
Mrs. Alexander...?
Ya Tuhan—ya Tuhan!! Apakah doa yang Megan ucapkan waktu Violette sakit kemarin akan menjadi kenyataan? Selain itu, ini keluar dari mulut Justin sendiri, lho! Seorang CEO muda dan kaya yang terkenal dingin, tetapi sangat tampan dan misterius itu...betul-betul mau menikahi Violette?
Violette tak tahu bahwa panggilan Mrs. Alexander itu akan sangat berdampak besar baginya. Pikirannya menyeberang jauh hingga ke masa depan. Jika melahirkan anak Justin, lalu menua bersama Justin—oh Tuhan! Violette rasanya ingin membuang mukanya ke laut saja! Rencananya besok pagi, mungkin. Ini memalukan sekali!
“Memutuskan untuk diam, hm?” tanya Justin seraya tersenyum miring.
Violette membisu. Ia hanya terus menunduk dan bibirnya memutih karena terus ia gigit dengan kuat. Pikirannya berkelana jika mendengarkan satu kata sederhana itu.
Violette mulai bersandar pada jok dan menggeleng frustrasi. Ah, kalah lagi. Dia memang tak bisa menang melawan Justin...mungkin untuk selamanya.
Pada akhirnya, Justin hanya menatapnya sebentar, lalu kembali fokus ke jalanan hingga akhirnya mereka sampai di gedung apartemen tempat Justin tinggal.
Setelah turun dari mobil, Justin langsung menggandeng Violette. Pria itu seolah ingin melindungi Violette…atau mungkin tak ingin Violette kabur lagi darinya. Seperti biasa, banyak orang yang langsung terpesona dengan ketampanan CEO itu. He living there is a blessing, though.
Genggaman tangan Justin tak bisa Violette lepaskan; pria bertubuh tegap itu seperti sebuah eksistensi yang sangat teguh dalam melindungi sekaligus memegang tangan Violette. Saat Violette menatap ke depan, punggung Justin terlihat lebar dan kukuh.
Justin menggandeng Violette hingga mereka sampai di lantai atas. Tatkala mereka akhirnya sampai di dalam unit apartemen Justin, Justin langsung menutup pintunya kembali dan membawa Violette masuk ke kamarnya.
Justin melepaskan tangan Violette dan membiarkan Violette mengaduh kesakitan di tengah kamar, sementara dia menutup pintu kamar kembali.
Violette meneguk ludahnya dan menatap Justin. Gadis itu masih memegangi pergelangan tangannya.
“Mengapa terburu-buru sekali, sih?” tanya Violette. Justin mendekati Violette dan melempar asal kunci mobilnya di sofa yang ada di kamar itu.
Setelah itu, saat Violette tersadar, tiba-tiba Justin telah memegang kedua tangannya dengan erat. Kontan mata Violette membeliak; gadis itu langsung menatap tepat ke kedua mata Justin.
Namun, tatapan Justin yang intens itu untuk kesekian kalinya sukses mengunci tubuh Violette. Violette langsung mematung; keringat dingin mulai muncul di pelipisnya.
“Aku sangat khawatir kau tak mau menerimaku...” ujar Justin dengan suara rendahnya yang terdengar sangat seksi. Violette meneguk ludahnya dengan susah payah.
“Mene—rimamu?” tanya Violette dengan gugup.
“Jadilah istriku, Violette,” ujar Justin dengan lirih. Ia menatap Violete dengan sangat lekat. Sinar dari kedua matanya seakan sanggup melelehkan tubuh Violette. “Jadilah istriku dan jadilah wanita yang akan melahirkan beberapa Alexander Junior.”
Violette tercengang. Matanya tak berkedip sama sekali. Tangannya bergetar.
Be—beberapa Alexander Junior?!
“A—"
“Kumohon pikirkanlah. Aku mau kau yang mendampingiku.” Justin bernapas. “Menikahlah denganku, Violette.”
Mata Violette melebar. Ini adalah proposal pernikahan yang agak...unik.
“A—Aku... Justin, aku—kau melihat apa dariku? Kita berpacaran belum lama. Apa kau betul-betul percaya...padaku?” tanya Violette heran.
“Violette. Kau pikir aku sudah mengenalmu berapa lama? Kau adalah satu-satunya orang yang bersamaku sejak di Red Lion hingga saat ini. Kalaupun kita tidak menikah, kau adalah bagian yang terpenting dalam hidupku. Tidakkah itu berlaku sama untukmu? Selain itu, aku tak ingin mendengarmu bertanya seperti, ‘kau melihat apa dariku?’ atau sebagainya. Hargai dirimu,” jawab Justin dingin.
Violette mengerutkan dahi—berpikir—dan ia mengalihkan pandangannya dari Justin.
“T—Tapi…apa maksudmu tadi? Beberapa Alexander Junior?” tanya Violette kemudian.
“Hm,” deham Justin. “Kalau kau sanggup melahirkan sepuluh Alexander Junior.”
Violette kontan menganga. Pipinya merona, pikirannya melanglang buana. Ia sontak memelototi Justin walaupun kenyataannya pipinya semakin merona. “Justin!! Banyak sekali!!!”
Justin tersenyum miring. Pria itu malah mengangkat sebelah alisnya. “Tidak boleh?”
“Kau mau membuat tim sepak bola?!!” teriak Violette.
“Tim sepak bola ada sebelas orang, setahuku. Aku hanya minta sepuluh,” jawab Justin. “Nonaku ternyata nakal sekali.”
“HEI!!! Bukan begitu—" Violette menunduk dan mendadak ucapannya terputus. Akhirnya, karena merasa sangat malu, Violette pun memberontak; dia mencoba untuk melepaskan pegangan tangan Justin. Entah karena malu atau apa, tenaganya jadi besar dan akhirnya ia terlepas dari Justin. Ia pun berdiri membelakangi Justin.
Justin tetap memandangi Violette dengan lekat meski gadis itu kini membelakanginya. Violette menyatukan kedua tangannya dan meremas jemarinya. Pipi Violette terlihat semerah delima.
“Aku—aku belum siap, Justin,” ujar Violette, gadis itu menunduk dan memejamkan matanya. “Aku belum mau menikah, Justin.”
Violette bisa merasakan Justin yang mulai melangkah mendekatinya. Satu detik kemudian, ada sepasang tangan kekar yang memeluk pinggang Violette dari belakang.
“Please…” Napas Justin berembus dengan lembut di dekat telinga Violette. “You don’t want me?”
Pipi Violette semakin merona. Ia merasa telinganya panas sekali karena napas Justin bertiup dengan lembut di sana.
Astaga, siapa pun tolong selamatkan Violette!
“A—ku… Aku belum siap, Justin, aku—aku belum mau.” Violette tetap teguh pada pendiriannya.
“Aku mencintaimu...”
Violette terkesiap. Justin—Justin barusan—apa?
Oh, demi Tuhan, ungkapan cinta itu sungguh di luar prediksi Violette. Tubuh Violette mematung. Justin membuat Violette jadi tak bisa berpikir jernih.
Akhirnya, Violette menghela napasnya.
“Biarkan aku berpikir terlebih dahulu, Justin,” ujar Violette kemudian.
Setelah itu, Violette melepaskan kedua tangan Justin yang melingkar di pinggangnya. Gadis itu langsung berjalan mendekati ranjang dan terduduk di lengan ranjang itu. Pikirannya dipenuhi dengan rasa takut terhadap pernikahan. Violette selalu beranggapan bahwa pernikahan sakral; pernikahan itu tidak boleh main-main. Pernikahan harus dipikirkan dengan matang. Violette ingin masa depannya tetap terjamin saat ia menikah.
Pikiran Violette kalut.
Violette kemudian merasa bahwa Justin mulai ikut duduk di sampingnya. Tiba-tiba, karena posisi duduk Violette agak menyerong ke kanan, lagi-lagi Violette merasa pinggangnya dipeluk dari belakang. Itu adalah pelukan yang sangat nyaman, tetapi agak kontras dengan situasi yang sedang mereka hadapi.
Justin membenamkan wajahnya di antara helai rambut Violette.
“Kumohon...” ujar Justin, suaranya terdengar sangat lembut. “Hm?”
Tuhan. Astaga!!! Mengapa Justin jadi seperti ini?!!
“Pernikahan itu tidak boleh dilaksanakan sembarangan, Justin,” ujar Violette. “Kau harus merencanakannya matang-matang! Ini bukan hal sepele! Ini penentu masa depan kita—ya Tuhanku—ini akan menjadi masa depanku dan masa depanmu, Justin. Kumohon jangan membuat keputusan seenaknya!” teriak Violette.
Air mata Violette jatuh dan lagi-lagi ia melepaskan pelukan Justin. Ia kini berjalan ke dekat jendela kamar Justin, lalu berdiri di sana sembari menyilangkan tangannya di dada. Bagaimana bisa Justin bersikap seolah ini adalah hal yang sepele?
Untuk yang kesekian kalinya, langkah pelan Justin itu terdengar di telinga Violette. Violette memejamkan matanya, lalu kedua tangan yang berotot itu kembali melingkar di pinggangnya. Violette dapat mencium wangi maskulin Justin di sekelilingnya sejak pria itu kembali mendekapnya dengan hangat.
“Aku tak pernah melakukan hal yang tak berguna, Violette,” jawab Justin dengan suara beratnya. “apalagi membuat keputusan seenaknya. Jadi, jika aku bahkan sangat menginginkannya, apakah itu termasuk ‘seenaknya’?”
Mata Violette membulat.
Justin...memang tak pernah melakukan hal yang tak berguna. Justin takkan pernah melakukan hal yang tak perlu ia lakukan. Jadi, jika pernikahan ini adalah sesuatu yang Justin inginkan, berarti...
“Aku tak punya apa-apa, Justin. Apa kedepannya kau takkan menyesal bila memiliki istri sepertiku? Kau adalah pria yang memiliki kekuasaan. Banyak wanita yang menggilaimu. Selain itu, kau bilang aku tidak seksi, ‘kan?!! Jadi, bagaimana mungkin aku tidak khawatir bila menjadi istrimu?!!!” teriak Violette.
Justin tersenyum.
“Aku hanya ingin memiliki seorang istri yang kucintai, lalu keturunanku yang terlahir dari rahimnya.” Justin bernapas samar. Setelah itu, tiba-tiba dia berbicara dengan dingin, “Coba tebak apa yang akan kulakukan bila aku bekerja dengan gadis-gadis yang cantik dan seksi, tetapi aku selalu teringat dengan istriku yang bodoh—dan banyak bicara—yang kebetulan satu ruangan denganku?”
Violette tercengang. Pipinya langsung memerah padam.
“Kau masih ingin menolakku?” tanya Justin dengan lirih.
Aduh. Violette harus jawab bagaimana, coba?
Karena Justin terus mendesaknya, Violette pun akhirnya memejamkan matanya. Dia berpikir keras.
Sesaat kemudian, kelopak matanya kembali terbuka. Dia mulai menghela napas.
“Beri aku kesempatan untuk berpikir, Justin,” ujar Violette, lalu ia melepaskan pelukan Justin. Violette berjalan mendekati ranjang lagi, lalu berbaring menghadap ke dinding. Posisi itu membuatnya jadi membelakangi Justin hingga yang bisa Justin lihat sekarang hanyalah punggungnya.
Violette mencoba memejamkan matanya kuat-kuat; ia berusaha untuk tidur, tetapi nyatanya ia masih berpikir keras. Kalau ia tidur, mungkin esok pagi ia akan merasa sedikit lebih tenang.
Tak lama kemudian, Violette merasa bahwa kasur yang sedang ia tiduri itu mulai bergerak, pertanda kalau ada seseorang yang ikut naik ke ranjang dan berbaring di sebelahnya. Tiba-tiba, tubuhnya diselimuti dengan selimut tebal, lalu ada sepasang tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Pria yang sedari tadi telah berulang-ulang memeluknya itu kini kembali memeluknya dengan posesif.
Karena pelukan yang terasa sangat nyaman itulah, Violette akhirnya bisa tertidur sampai pagi.
17Please respect copyright.PENANAgU05qUS3LT
******
17Please respect copyright.PENANAbPfJt64Hmy
“Bagaimana?” Suara seorang perempuan terdengar dari telepon yang digenggam oleh seorang pria di dalam sebuah ruangan yang terlihat kusam dan berdebu.
“Kau mengaku kalau kau hanya berteman denganku? Sialan! Bukankah itu akan memperlambat pergerakan mereka?” protes pria itu.
“Bukankah akan lebih menarik bila waktunya kita ulur-ulur dengan kesalahpahaman? Kau juga harus terus berpindah tempat. Mereka akan kesulitan—walaupun mereka mengerahkan segala kekuatan polisi—bila kau terus berpindah tempat. Aku ingin ini menjadi menarik; aku juga tak akan berhenti sebelum aku mendapatkan priaku,” ujar si perempuan di seberang sana.
“Damn, Elika. Jadi, kau menyuruhku untuk berperan di dalam permainanmu? Dasar perempuan sinting!”Pria itu tertawa.
Perempuan yang ada di seberang sana juga tertawa. “Selicik apa pun kau, aku lebih licik darimu, Welton. I love games.”
“Sialan. Baiklah, akan kuikuti permainanmu. Jangan mengecewakanku, Elika.”
Gadis itu tertawa sinis. “Ya. Ini akan menyenangkan.”
Welton tersenyum miring. Ia melihat sekali lagi ke arah Jonathan yang tubuhnya tergantung tak berdaya di sudut ruangan, lalu tertawa sarkastis.
“Gadis Red Lion itu sangat lambat. Aku tak sabar hingga dia datang kemari!” teriaknya, lalu ia memutuskan sambungan telepon itu.
17Please respect copyright.PENANA0GSayY2Cgr
******
17Please respect copyright.PENANAxpY0YcCf1C
Bulu mata lentik milik Violette tampak bergerak samar. Dua detik kemudian, kelopak matanya terbuka…lalu menampilkan kedua matanya yang berwarna biru. Sinar matahari agaknya telah masuk melalui celah jendela kamar yang tak tertutupi gorden. Sinar itu membuat kedua mata Violette menyipit. Ia sedikit bergerak untuk meregangkan otot-ototnya, tetapi…ada sesuatu yang menahannya.
Di depannya, ada sebuah tubuh yang besar dan maskulin, yang tampak jauh lebih kuat darinya. Tubuh itu mengunci seluruh pergerakannya. Pinggangnya dipeluk erat.
Mata Violette membelalak ketika ia melihat apa yang ada di depannya. Di sana, ia melihat wajah damai Justin yang sedang tertidur. Wajah Justin berada tepat di depan wajahnya. Violette tertegun untuk beberapa saat. Wajah Justin itu...terlihat damai sekali. Violette meneguk ludahnya; gadis itu mulai berpikir.
Jadi, semalam mereka tidur berdua dengan posisi seperti ini?
Sontak pipi Violette merona.
Violette kembali meneguk ludahnya. Pelan-pelan, gadis itu mencoba untuk bangkit. Ia perlahan-lahan berusaha untuk melepaskan tangan Justin dari pinggangnya, lalu meletakkan tangan Justin di permukaan kasur. Setelah berhasil terlepas dari Justin tanpa mengeluarkan banyak bunyi, Violete pun menggigit bibirnya; ia mencoba untuk keluar dari selimut, lalu menurunkan kakinya. Dengan hati-hati, Violette pun berdiri…lalu berbalik dan membenarkan selimut di tubuh Justin.
Violette memandangi Justin—yang tertidur dengan damainya—dari atas. Ini adalah...pria yang ingin menikahi Violette? Ini adalah...calon suami Violette?
Pipi Violette lagi-lagi merona.
Setelah berhasil menguasai dirinya, Violette pun berjalan ke arah jendela dan mulai menyibak gorden. Sinar mentari pun masuk dengan leluasa ke kamar itu.
Violette pergi ke kamar mandi. Gadis itu mencuci mukanya sejenak, lalu berjalan ke luar kamar. Dia mau pergi ke dapur.
Dia memeriksa kulkas yang ada di dapur dan ya Tuhan, kulkas itu kosong. Apakah Justin selalu makan di luar? Hanya ada beberapa minuman, roti tawar, buah, dan selai kacang di dalam kulkas itu. Violette mengambil roti tawar dan selai kacang itu, lalu meletakkannya di piring. Ia kemudian menoleh ke atas dan membuka rak gantung dapur, memeriksa rak itu satu per satu dan akhirnya menemukan satu toples bubuk kopi. Violette mengembuskan napasnya lega. Ia mulai menyiapkan secangkir kopi untuk Justin, lalu roti dengan selai kacang untuk sarapan pagi mereka berdua. Selagi mempersiapkan segalanya, Violette mendengar ada suara langkah kaki yang menuju ke kamar mandi dapur dan ia pun menoleh. Ternyata, Justin baru saja masuk ke kamar mandi itu dan mencuci muka.
Mengapa Justin mencuci muka di kamar mandi dapur? Kan di kamarnya ada kamar mandi.
Violette kembali meneruskan kegiatannya sampai akhirnya ia merasakan keberadaan Justin di dekatnya. Justin berdiri di sebelahnya; kedua tangan pria itu bertumpu di kitchen counter. Matanya terus mengikuti seluruh pergerakan Violette.
“Calon istri yang ideal,” puji Justin tiba-tiba dan pipi Violette kontan memerah. Violette mendadak jadi tak fokus. Justin kemudian melanjutkan, “Bangun lebih dulu, hmm? Tadi malam tidurnya sampai menimpaku.”
Pergerakan Violette terhenti seketika; pipinya semakin memerah seperti kepiting rebus. Dia malu sekali!
Menghela napas, Violette pun mencoba untuk bersabar.
“Ayo sarapan,” ujar Violette, lalu gadis itu pergi ke meja makan. Justin mengikutinya.
Violette meletakkan semua yang telah ia siapkan itu di atas meja. Justin menatapnya, lalu memiringkan kepala. “Terima kasih, Sayang.”
SIALAN.
Walaupun jantungnya serasa nyaris tercelus ke perut, Violette tetap berusaha untuk duduk di seberang Justin dan mulai makan. Justin meminum kopinya sejenak, lalu menatap Violette lagi.
“Hari ini aku ada jadwal latihan di gym. Kau tidak apa-apa di rumah sendirian?” tanya Justin. Violette yang hampir menelan roti tawarnya itu langsung menoleh kepada Justin.
“Hm? Oh...ya,” jawab Violette. “Tidak apa-apa.”
Justin mengangguk. “Sehabis sarapan, aku akan mandi dan bersiap-siap. Maukah kau memilihkan bajuku dan menjatah rokok yang kubawa?”
Violette menelan rotinya, lalu mengerjap berkali-kali. Mengapa mendadak ia merasa aneh dengan perintah Justin ini?
Namun, pada akhirnya ia menjawab, “Ya, Justin.”
Justin tersenyum miring.
“Pintar sekali mengambil hati suaminya, hmm, Nona?”
Pipi Violette mendadak memerah lagi. Kali ini, ia kesal pada dirinya sendiri karena terus mengiyakan Justin tanpa sadar.
“HEI!!” teriak Violette.
Justin tak menghiraukan teriakan Violette dan mulai memakan roti tawar.
Setelah sarapan, Justin pun mandi dan Violette mulai menyiapkan bajunya. Berkali-kali Violette ragu karena ia tak bisa memilihkan baju Justin. Ia tak tahu hari ini mau pakai baju apa. Namun, pada akhirnya ia mengambil pakaian Justin sesuai kemauannya saja. Hari ini, Violette ingin Justin membawa rokok dua batang saja. Itu untuk selama Justin pergi ke gym saja,‘kan? Dua itu sudah banyak!
Justin terus menggodanya sampai pria itu akhirnya pergi ke gym. Kali ini, pria itu membawa Ferrari-nya. Kalau dipikir-pikir, mobil Justin itu banyak sekali. Di mana ia memarkir semua mobil itu?
Violette menghela napas tatkala ia menutup pintu unit apartemen Justin kembali. Ia gugup bukan main karena terus kena sekakmat, terus dibuat malu, dan terus dibuat kesal.
Akhirnya, si perayu ulung itu pergi juga.
Violette menghabiskan waktu sekitar setengah jam untuk merapikan rumah itu; ia menyelesaikan pekerjaan rumah yang bisa ia kerjakan di sana, lalu mandi. Setelah mandi, ia memakai kembali baju Justin yang telah ia pakai sebelumnya, berhubung ia tak membawa pakaian.
Setelah selesai berpakaian, Violette pun duduk di ranjang Justin dan mendengar ponselnya berbunyi. Ia segera mengambil ponselnya, lalu kembali duduk di ranjang. Ternyata, itu adalah panggilan telepon dari Megan. Tanpa pikir panjang, Violette mengangkat panggilan telepon itu.
“Halo?”
“Yeaaaaaaaahhhhh, Violette! Kau di mana, eh? Ini hari libur! Aku main ke rumahmu, ya?”
Mata Violette kontan membulat.
“J—Jangan!!” teriak Violette panik.
“Eh?” Megan jadi bingung. Setelah itu, Megan melanjutkan, “Wait... Jangan-jangan CEO kita ada di rumahmu, ya? Wah...bahaya, nih! Pelan-pelan saja, Violette, jangan langsung tancap ga—"
Mata Violette memelotot dan pipinya benar-benar merona. Ia ingin memukul Megan dengan sapu sekarang juga.
“Megan! Itu tidak seperti yang kau pikirkan, astaga!!!” teriak Violette dengan frustrasi.
Megan tertawa kencang. “Jadi? By the way, kau ada di mana sekarang?”
Violette menghela napas. “Aku di rumah Justin.”
Mendadak, Megan terdengar sangat girang di seberang sana.
“WAAAAH, KAN BENAR KATAKU! RESEPMU APA, SIH, SAMPAI MEMBUAT CEO KITA SANGAT LENGKET PADAMU?”
Violette menganga. “Dia tidak lengket kepadaku, Meg!! Kau ini bicara apa, sih?! Demi Tuhan!”
Megan tertawa lagi.
“Iya, deh... Jadi, mengapa kau ada di rumahnya?”
Violette menggigit bibirnya. Mungkin lebih baik Megan diberitahu saja. Lagi pula, ia memang ingin meminta saran dari Megan.
Jantung Violette berdegup kencang. Violette lalu berbisik, “Meg... Kemarin, dia memintaku untuk menjadi istrinya...”
Megan terdiam. Violette tidak mendengar suara apa pun, padahal kenyataannya…di seberang sana mulut Megan menganga. Megan sendiri merasa seperti sedang dicekik. Napasnya tersekat di tenggorokan.
“HE WHAATTTT?!!!!!!!!!!” teriak Megan, kencang sekali, hingga membuat Violette refleks menjauhkan ponselnya dari telinganya.
“DIA INGIN MENIKAHIMU?! KAU SERIUS?!! BAGAIMANA CERITANYA?!! CERITAKAN PADAKU, VIOLETTE!!! ASTAGA, KAU BERUNTUNG SEKALI, EH?!!”
Violette mengernyitkan dahi sembari menjawab pertanyaan itu karena telinganya sepertinya jadi agak tuli akibat teriakan Megan.
“Tadi malam…kami bertemu dengan Mr. Locardo Alexander. Tiba-tiba, dia berkata pada Mr. Locardo bahwa dia ingin menikahiku bulan depan. Setelah itu, aku marah padanya, tetapi dia…terus memintaku untuk menikah dengannya. Aku benar-benar terkejut. Mungkin dia bermain-main saja,” kata Violette sembari mendengkus.
Megan berdecak.
“Violette? Dengar aku. Terima dia. Terima!!!”
Violette menyatukan alisnya. “Terima? Apa maksudmu? Mengapa kau—"
“SUDAH KUBILANG, TERIMA DIA!! Menurutku, tak mudah baginya untuk berbicara manis kepada perempuan. Sudah nyaris dua tahun aku bekerja di perusahaannya dan yang aku tahu, CEO kita itu selalu tertutup dan misterius. Dia itu orang yang disiplin dan sangat dingin, bahkan sebelumnya kukira dia itu sangat mengerikan. Namun, lihatlah. Dia sangat memercayaimu. Dia bahkan memohon padamu. Tidakkah kau sadar bahwa itu adalah keterbalikan dari sifatnya? Berarti, dia serius denganmu, Vio. Kau tahu? Sejak dia berpacaran denganmu, banyak karyawan yang akhirnya bisa melihat wajahnya. Biasanya, dulu dia nyaris tak terlihat. Banyak karyawan yang tak tahu wajahnya sama sekali.”
Violette tercengang.
Itu...benar juga.
Violette menunduk dan menggigit bibirnya. Dia terdiam sejenak.
“Aku akan memikirkannya, Megan,” ujar Violette kemudian.
Megan menghela napas. Gadis itu tersenyum di seberang sana.
“Baiklah, aku tahu itu sulit bagimu. Perempuan memang agak sensitif soal pernikahan.”
Violette hanya diam.
“Namun, Vio... Bagaimana dengan Nathan?” tanya Megan tiba-tiba.
Violette mendadak menghela napas berat. Ia langsung merasa lesu. “Belum ada kabar, Megan. Itulah mengapa aku jadi sulit menerima proposal pernikahan dari Justin. Nathan tidak ada, Meg...”
Mata Violette berkaca-kaca. Megan menghela napas.
“Jika memang dalam waktu dekat kau akan menikah, Nathan diwakilkan saja. Kau tahu, Ayahku menganggapmu sebagai anaknya juga.”
Ya, Violette sudah sangat dekat dengan Megan, bahkan keluarga Megan terasa seperti keluarganya sendiri.
Namun, Violette hanya diam. Berat baginya untuk melakukan itu. Kalau dia menikah, dia ingin Nathan ada di sana.
Tak lama kemudian, Violette menghela napas. Tiba-tiba, ada sebuah panggilan masuk di ponselnya; panggilan itu membuatnya melebarkan mata.
Itu...panggilan telepon dari…
17Please respect copyright.PENANA4UEvRd7NGS
Justin?
17Please respect copyright.PENANAtkqouNGNXp
“Siapa itu? Sepertinya, ada panggilan yang menunggu,” ujar Megan. “Calon suami, yaaaaaa?”
Pipi Violette langsung merona. “Diamlah!!!”
Megan tertawa kencang.
“Ya sudah, nanti kita sambung lagi. Lebih baik kau angkat dulu telepon darinya,” ujar Megan. “Aku tutup dulu, ya, Vio? Aku turut berbahagia.”
Violette tersenyum lembut. Panggilan telepon dengan Megan pun terputus.
Setelah itu, Violette langsung menjawab panggilan telepon dari Justin.
“Halo, sir?”
“Masih memanggilku ‘sir’?” tanya Justin dengan suara seksinya di seberang sana.
“J—Jadi?”
“Panggil aku dengan panggilan yang lebih manis,” perintah Justin. “Sayang, misalnya.”
Pipi Violette kontan merona bukan main.
“Aku tak bisa!” teriak Violette. Terdengar Justin menghela napas di seberang sana.
17Please respect copyright.PENANAcMa9leme3N
Eh? Apa Justin…kecewa?
17Please respect copyright.PENANAmTiClLFpTT
“Kau sudah mandi?” tanya Justin kemudian.
“Sudah.” Rona merah di pipi Violette belum hilang.
“Kau ganti baju tidak? Jangan pakai baju yang sama lagi. Ambil saja kausku.”
Ya ampun, ketahuan. Violette memang tak bisa menyembunyikan apa pun dari pria itu.
Violette menggigit bibirnya. “I—Iya.”
Tiba-tiba, Violette mendengar suara tawa seorang perempuan dari seberang sana. Sepertinya, perempuan itu ada di samping Justin. Di dekat Justin.
Suara itu… Violette mengenalinya.
Alis Violette menyatu. Namun, begitu dia sadar, matanya kontan membeliak.
“Justin,” panggil Violette dengan tegas.
“Hm?”
“Pulang. Sekarang juga.”
“What’s wrong?”
“Kubilang pulang sekarang!!!” teriak Violette, lalu gadis itu langsung mematikan panggilan telepon itu. Violette mencengkeram ponselnya dan menunduk. Tiba-tiba, tubuhnya gemetar karena marah.
Itu...Elika.
17Please respect copyright.PENANAy0bi0NshCJ
******
17Please respect copyright.PENANAcpHy1jyZ39
Justin menaruh ponselnya di dalam saku celananya dan berdiri.
“Mau pergi ke mana, sir?”
“Kau menyembunyikan sesuatu, Elika,” ujar Justin dingin. “Untuk apa kau ke sini menemuiku?”
Elika tertawa renyah.
“Ah...memangnya aku bisa menyembunyikan apa darimu, sir?” Elika berdiri, berjalan mendekati Justin pelan-pelan...lalu memeluk Justin dari belakang. Otot yang ada di balik kaus Justin itu sangat terasa di lengan Elika.
“Tentu saja, aku kemari karena ingin menemuimu, sir,” bisik Elika dengan sensual. Perempuan itu lalu menggigit bibirnya dengan gerakan yang sangat seksi.
Justin hanya mendengkus. Dengan gerakan yang tak terlalu kuat, Justin pun melepaskan pelukan Elika dan pergi begitu saja.
Elika tersenyum.
“You just touched my hand, sir... God, I miss that touch,” ujar Elika dengan lirih ketika Justin sudah jauh darinya. Dia tersenyum seraya memegangi lengannya yang baru saja disentuh oleh Justin.
17Please respect copyright.PENANA9ExBssfLmS
******
17Please respect copyright.PENANATHYT5IDgph
Justin mengendarai mobilnya dengan cepat; dia sudah pergi dari gym.
Ia mengemudi dengan kecepatan tinggi. Selama di mobil, ekspresi wajahnya hanya datar. Dia terlihat bagai air yang tenang, tak ada ombak sedikit pun.
Elika meneleponnya berkali-kali, tetapi Justin tak mendengar panggilan telepon itu karena ponselnya sedang berada dalam silent mode. Setelah sampai di gedung apartemen yang ia tinggali—dan sudah memarkir mobilnya—Justin pun langsung masuk ke lobi, naik lift...dan akhirnya sampai di depan pintu unit apartemennya. Justin membuka pintu itu dengan password, lalu masuk.
Belum sempat Justin menutup pintu itu kembali, dahi pria itu tiba-tiba berkerut. Ia merasa ada sesuatu yang menyentuh bibirnya. Ia menyipitkan mata; ia tahu kalau itu adalah Violette. Gadis itu sedang mencium seraya memeluk lehernya.
17Please respect copyright.PENANAs2Lb32d8ZX
Ciuman Violette agaknya selalu bersifat tiba-tiba.
17Please respect copyright.PENANAIed7aHeqb2
Violette terus melumat bibir Justin dan Justin hanya diam; Justin menerima ciuman itu.
Tujuh detik kemudian, Violette pun melepaskan ciuman serta pelukan itu. Dia memandangi Justin dengan sepasang mata yang sudah mengeluarkan air mata.
Justin hanya mengernyitkan dahinya.
“Jangan menemuinya lagi,” ujar Violette. “Jangan pernah bertemu dengan Elika lagi!!! Kau bilang kau ingin menikah denganku, ‘kan?! Fine! Jadi, menurutmu bagaimana perasaan calon istrimu ketika mendengar suara tawa perempuan lain di sampingmu—sedang bersamamu—saat kau jauh dariku?”
Mata Justin melebar.
Dalam kata-kata itu, Violette secara tak langsung memberitahu Justin bahwa dia menerima Justin. Dia setuju menikah dengan Justin.
Justin pun tersenyum miring. []
17Please respect copyright.PENANAFPFNdiHbnj