Di malam itu terpaksa Inspektur Duncan harus kembali untuk mengerjakan beberapa laporan. Termasuk kecerobohannya menggunakan satu peluru. Namun lebih daripada itu, Monkey seperti digantungkan oleh pernyataannya sendiri barusan. Ia duduk sendiri di antara kursi – kursi kosong ruang meja makan, bersama teman informasinya sebuah catatan hitam kecil dan laporan forensik dan bukti kasus. Matanya seharusnya sudah agak berat menandakan hari agak malam. Selain terpaksa memanfaatkan kafein dari kopi, jantungnya semakin berdebar – debar. Semakin rumit kasusnya, maka rasa penasaran ikut membuatnya terjaga. Ia kemudian memasukan semua data tersebut pada sakunya.
Saat hendak mencari udara di sekitar teras, matanya tidak sengaja memandang sesuatu dari tangga sekejap. Salah satu alisnya agak terangkat, senyumnya perlahan terbuka.
Setelah itu ia berbalik arah dan menuju dapur. Monkey teringat sesuatu bila perut kosong maka pikirannya tidak akan berkembang jauh, dengan kata lain pekerjaannya tidak akan efektif. Ia sedikit terkejut bahwa seseorang masih ada di dapur.
“Tuan Halberd? Anda masih di dapur?”
Pria rambut cepak itu agak sedih.
“Tidak bisakah anda menebak? Saya sedang mempersiapkan untuk besok. Termasuk cemilan, saya ingin sekali menghibur sedikit.”
Monkey menghampiri pria itu.
“Awalnya sih begitu, tapi malah kepala saya sendiri sudah penuh.” Ia menggeleng.
“Saya pikir hari ini memang cukup melelahkan. Saya bahkan tak menduga.” Kata Monkey menaruh simpati.
“Sebenarnya saya bisa menanyakan hal yang sama.”
“Ah, benar juga.”
Monkey menjelaskan niatnya ke dapur.
“Kalau begitu mengapa tidak bilang? Saya bisa membuatkan anda beberapa kue.”
“Tidak, tidak. Saya tidak bisa menyuruh orang yang habis dari klinik. Lagipula ada hal lain dan ini juga kebutuhan yang memang semestinya harus saya siapkan sendiri. Ngomong – ngomong, bagaimana hasil kesehatan anda?”
Pria itu memutar – memutar pundaknya.
“Untungnya gula darah dan kolestrol saya aman. Tapi sedari dulu saya tak pernah berdamai dengan asam urat. Itulah kenapa beberapa hari selalu terasa nyeri.”
“Anda memang tidak muda lagi.”
Wajahnya kemudian kembali tersenyum.
“Hey tentu tidak mungkin, kan? Halberd pria yang sehat, kuat dan bugar! Hahaha!” Nadanya penuh kebanggaan.
Setelah menerima izin dari koki dapur, Monkey telah menuntaskan karyanya yang lain. Tentu saja pria yang katanya habis dari klinik tak tahu namanya pelajaran, mengingat kue kopi klasik milik Monkey ditaburi sisa kacang kemarin. Setidaknya itulah yang dipikirkan.
Waktu berjalan tidak lambat, begitu pula ia dengan pintar memilih sesuatu yang murah dan mudah untuk dibuat. Tanpa mengabaikan rasa dan kualitas, tentu saja Monkey selalu punya cara – cara sendiri. Tidak hanya mengobrol, bernegosiasi, bisa jadi memanfaatkan sesuatu sehingga salah satu alasan dalam dirinya ia mengaku sebagai manusia yang bermoral rendah.
Pria yang dipanggil Tuan Halberd itu segera kembali ke kamar, sedangkan ia membawa cloche untuk seseorang. Ia sangat sadar bahwa hari sudah malam, tapi bukan berarti tengah malam. Paling tidak niatnya bukan untuk hal yang aneh – aneh, walaupun pria itu sebenarnya sudah lelah.
Pintu diketuk dengan sopan.
“Tu—tuan Monkey? Ada apa malam – malam begini?” Kata wanita berambut pendek itu.
“Entah saya bermimpi atau apa, tapi sekejap—setidaknya saya yakin dua orang insan—mengendap – endap. Terus terang itu agak menganggu.” Nadanya halus namun menyiratkan maksud tetentu.
Wanita itu tertawa agak dipaksakan. Namun salah seorang menjelaskan sambil membuka pintu agak lebar.
“Maafkan, kami tidak bermaksud.”
Kedua wanita itu memasang wajah bersalah yang boleh jadi pria yang seolah – olah tua itu mempergunakan akalnya pada sudut yang tidak diperkirakan. Perasaan manusia lebih mudah dimintai pertolongan saat dalam keadaan bersalah, pikirnya.
Monkey menghela nafas.
“Berkat anda berdua konsentrasi saya agak buyar,” tambahnya agak dramatis. “Uhuk! Anda tahukan pria tua selalu rapuh?”
“Se—setidaknya a—da yang bisa kami bantu? Ba—bagaimana dengan cloche itu?”
“Anda sungguh ingin membantu?”
Mereka sesaat menoleh satu sama lain, lalu mengangguk.
“Uh huh, tentu saja.”
“Mari ikut saya.”
Kini mereka tepat di teras. Ia membagikan empat cangkir teh. Lalu saat cloche itu dibuka, wajah kedua wanita muda tadi langsung bersamangat.
“Ah, benar juga! Ini untuk yang saat itu!” Kata wanita yang rambut hitamnya sebahu.
Monkey mengangguk.
“Anda dapat poinnya.”
Kue itu diiris menyisakan lima per delapan. Kemudian ia mempersilahkan.
“Saya sebelumnya kurang menyukai rasa kopi, tapi ini hal yang berbeda,” tambah wanita rambut pendek itu. “Rasanya lembut, terutama krimnya yang dibuat sama. Rasa pahitnya secara mengagetkan tidak terlalu dominan. Justru semakin digigit semakin manis lalu berkembang sedikit gurih.”
ns52.14.17.231da2