
******
Chapter 3 :
Calm and Deep Ocean
******
15Please respect copyright.PENANA3XvXSBkWoH
MATA Mei melebar.
Pada momen itu, debaran jantung Mei terdengar sangat aneh. Debarannya kencang sekali. Di hadapannya, dia melihat Akashi Roan Kaiser—dengan seluruh pesona dan kekuasaannya—tengah duduk bersantai sambil menatapnya dengan lekat. Memenjarakannya di dalam dunia yang dikelilingi dengan warna merah.
‘Pemandangannya juga bagus’?
Tidak, bukannya Mei mau percaya diri atau bagaimana, tetapi mengapa saat mengatakan itu, Akashi menatap Mei? Dia ingin meminum kopinya—gelas kopi itu hampir menempel ke bibir seksinya—tetapi dia justru menatap Mei dengan intens seraya tersenyum miring.Tatapannya seakan bisa menembus jiwa Mei.
Yes, he outright smirked then and there.
Selain itu, lengan kemeja Akashi digulung hingga ke siku; Mei bisa memandang lengan Akashi yang berotot, berurat, dan menarik itu. Ada urat-urat nadi yang menonjol dari lengan bawahnya.
Mei tahu semuanya. Bukan karena Mei memperhatikan setiap gerakan pria itu (sekali lagi, tentu saja tidak), tetapi karena...pesona pria itu sudah di luar nalar.
Sial. Sepertinya, pipi Mei merona. Ada bisikan di belakang kepala Mei yang hampir menyuruhnya untuk mendekati Akashi sekarang juga dan menyentuh otot—
Oke, tidak. Tidak. Tahan dulu. Akashi mungkin tidak bermaksud seperti itu; Mei mungkin hanya salah paham.
Iya, hanya salah paham.
Akashi kini sedang meminum kopi, tetapi matanya konsisten menatap Mei dengan sangat lekat. Sangat dalam. Penuh dengan misteriyang sukar untuk Mei pecahkan.
Dia sedang mengawasi Mei.
Seolah-olah dia ingin memberitahu Mei bahwa Mei ada di dalam radarnya. Memastikanbahwa Mei ada di dalam daftar pantauannya; bahwa dia menyadari keberadaan Mei danakan mengawasinya.
Kou pernah bilang pada Mei bahwa terkadang imajinasi Mei itu terlalu aktif dan Mei menyetujuinya. Itu cukup luar biasa mengingat dia bisa berpikiran aneh saat ekspresi wajahnya benar-benar blank.
Akan tetapi, seluruh tindakan yang Akashi lakukan itu betul-betul obvious. Betul-betul mudah untuk disadari. Itu jelas-jelas bukan imajinasi Mei belaka. Pria berambut merah itu seolah sengaja memberi tahu Mei bahwa dia sedang memperhatikan Mei dengan motif tersembunyi. Dia seolah sengaja menatap Mei dengan lekat, berbicara soal ‘pemandangan’, dan tersenyum miring.
Karena tak ingin terlihat sangat terpengaruh dengan semua gerakan Akashi, Mei pun mulai berdeham—dan berharap suaranya tidak serak—sebelum mengatakan, “O—Oh, begitu. That’s kinda strange, but okay. Good for you, then.”
Akashi tertawa kecil. “Anehnya bagaimana?”
Masih dengan ekspresi datar, Mei pun menjawab, “Kau kelihatan kaya. Café ini, kan, bukan tempat yang mewah. Agak aneh saja melihat orang dengan penampilan sepertimu ada di sini.”
Kali ini, suara tawa Akashi bisa Mei dengar dengan jelas. Oh, lord. Rasanya seperti para malaikat berkumpul dan melemparkan suara-suara indah mereka untuk membuat tawa milik Akashi. It was so heavenly. “Itu terdengar seperti kau mau mengusirku, Mei.”
Kalau saja Mei bisa merekam suara tawa itu untuk alarmnya.
Okay, that was borderline creepy, Mei.
Sebentar. Nanti dulu kagumnya. Respons dulu!
Mata Mei melebar. “Tidak, maksudku bukan—"
“It’s okay, Mei,” ujar Akashi seraya memiringkan kepalanya. Lagi-lagi, pria itu tersenyum miring. “I like feisty.”
Was—was he flirting with Mei just now?
Tidak, pipi Mei tidak memerah karena kalimat itu. Sama sekali tidak.
“Seleramu agak aneh, kalau begitu,” komentar Mei. Betul-betul tak mengizinkan dirinya untuk kalah dengan pesona Akashi. Dia harus melawan spesimen sempurna di depannya ini kalau dia tak mau jatuh cinta. “Kupikir, pria sepertimu akan menyukai sifat yang lembut dan elegan.”
Tiba-tiba tubuh Akashi yang seksi dan maskulin itu bergerak. Pria itu kembali memajukan tubuhnya…lalu menumpukan kedua sikunya di atas meja. Tatapannya terus fokus pada Mei. Dia menyatukan jemari tangannya—di depan wajahnya—lalu tersenyum miring saat berkata, “Pria…sepertiku? Memangnya aku seperti apa, Mei?”
Sial. Sial. This fucking ikemen looking ass bitch—
Akashi pasti tahu bahwa Mei sedang malu, ‘kan? He definitely knew it and was basking in it!
Mei sudah menutupi rasa malunya sebisa mungkin. Apa masih ketahuan? Soalnya, pria itu terlihat sangat terhibur dan sangat menikmatinya!
Kali ini, pipi Mei betul-betul memerah dan Mei tak mampu menahannya lagi tatkala berkata, “Kau mau menggodaku, ya?”
Akashi spontan tertawa.
Dia tertawa lepas.
“Forgive me. I just enjoyed talking with you. Couldn’t help myself,” ujar Akashi. Tawanya kini sudah berhenti dan hanya menyisakan senyuman di wajahnya. “tetapi serius, aku sedikit penasaran.”
Kau itu sempurna.
Oke, tak mungkin Mei bilang begitu, ‘kan?
“Well…” Mei berhenti sebentar, memilih kata-kata yang harus ia ucapkan. Setelah itu, dengan ekspresi datarnya, ia berkata, “Kau terlihat seperti pria yang sukses di segala bidang. Mungkin statusmu tinggi atau sesuatu seperti itu. Wajahmu juga…”
Akashi memiringkan kepala, lalu menumpukan pipinya di kepalan tangan kanannya. Sial, entah mengapa Mei mendadak melihat ada bunga-bunga dan kupu-kupu imajiner yang jadi latar belakang sosok Akashi. Jika Akashi berada di dalam dunia komik, dia jelas merupakan karakter utama prianya.
“Wajahku…?” Akashi bertanya, dalam posisi itu, seraya tersenyum miring. Dia menunggu lanjutan kalimat Mei.
Oke, ini tidak bisa ditoleransi lagi.
Mei langsung mendengkus. Matanya menyipit. “Kau menikmati ini, bukan? Aku tidak akan melanjutkannya, kalau begitu.”
Akashi tertawa lagi. “Okay, Princess. I won’t do it again. Please continue.”
15Please respect copyright.PENANA54RYlGeJJ1
Wait.
15Please respect copyright.PENANA4spX7GEGkw
Prin…cess?
15Please respect copyright.PENANApGybHd2p9t
Pria tampan ini agaknya benar-benar sedang menggoda Mei.
15Please respect copyright.PENANADfP1KFA25B
Pipi Mei lagi-lagi merona, but of course, pride was always a sin.
“Sisanya kau cari tahu saja sendiri,” ujar Mei. “Apa kau tidak pernah berkaca, Akashi-kun? Kau mau kupinjamkan kaca?”
Akashi menegakkan kepalanya, lalu kedua alisnya terangkat; dia merasa geli dengan respons yang Mei berikan. He was amused. “Baru kali ini ada yang memanggilku dengan akhiran -kun. Ternyata, aku cukup menyukainya.”
Oke, dasar orang tampan yang (sepertinya) kaya raya.
Namun, serius. Akashi tak pernah mendapatkan reaksi seperti itu. Reaksi dari Mei, kata-kata Mei, tergolong selalu to the point. Omongan gadis itu sangat tajam, sadis, berani, dan terus terang. Ditambah lagi, dia mengatakan semua itu denganekspresi datar.
Akhiran -kun di belakang nama Akashi? Terdengar seperti teman sepermainan saja. Hal itu membuat Akashi jadi kaget, hampir tak menyangka, sekaligus terhibur. Ternyata, Mei tak begitu menganggapnya sebagai orang asing lagi.
Interesting.
“Apakah kau selalu datang ke café ini sendirian, Mei?” tanya Akashi. Matanya masih menatap Mei tanpa berpaling dan ia tersenyum.
Ekspresi Mei betul-betul datar saat mengatakan,“Aku tak mau mendengar itu dari seseorang yang juga datang ke sini sendirian, Akashi-kun.”
Akashi lagi-lagi tertawa.
“Forgive me, Mei. That’s not what I meant. Maksudku, apakah kau tidak memiliki seseorang? Teman…atau…” Akashi menatap Mei dengan saksama. Dia lalu tersenyum miring; suaranya sengaja diturunkan dengan menggoda. “pacar?”
Mata Mei melebar.
Oh, Tuhan. Mei cukup tahu apa maksud pertanyaan itu; dia sudah dewasa.
Akashi was definitely enjoying this. He asked in a very, very seductive way. Goddammit.
“Kadang-kadang, aku ke sini bersama rekan kerjaku. Teman sekantor,” jawab Mei.
Akashi memiringkan kepalanya. “Bagaimana dengan pacar?”
15Please respect copyright.PENANAREkgE10C82
Boleh tidak kalau Akashi saja yang jadi pacar Mei?
Oke, bukan. Bukan begitu. Please restrain yourself, Mei.
15Please respect copyright.PENANAKG8OUWwBrR
Mei mulai berpikir. Apakah Mei harus memberitahukan soal ‘pacar’ kepada Akashi? Soalnya, status Mei saat ini adalah: dia baru putus karena diselingkuhi. Rasanya…masalah itu agak personal. Seperti…too much information.
Akashi doesn’t need to know that.
Namun, jika Mei tanya lagi kepada dirinya sendiri, sepertinya akan aman-aman saja apabila dia memberitahu hal itu kepada Akashi. Tidak ada ruginya juga untuk mereka berdua, ‘kan? Soalnya, memang seperti itu kenyataannya. Untuk apa juga berbohong?
Lagi pula, Akashi memang ‘bertanya’.
Baiklah, sepertinya tidak masalah.
“Aku tidak punya pacar, Akashi,” jawab Mei. Dia menatap balik ke kedua mata Akashi.
Namun, Akashi tiba-tiba mengerutkan dahinya. “Mengapa? Tidakkah kau terlalu cantik untuk menjadi single?”
Pipi Mei. Benar-benar. Tidak. Merona.
Itu pujiannya sungguhan atau sekadar mau merayu Mei saja?
Terkutuklah Akashi dan seluruh kesempurnaannya.
“Tidakkah kau terlalu tampan untuk menanyakan hal itu pada gadis biasa sepertiku? I don’t believe that’s any of your business, Akashi-kun,” ujar Mei dengan mata menyipit.
Biasanya, mulut Mei hanya akan menimbulkan masalah. Namun, Akashi hanya tertawa. Dia agaknya jadi banyak tertawa hari ini.
“I can honestly say that evading any kind of flirting whatsoever seems to be a skill of yours, Mei,” ujar Akashi. “Kau selalu bisa membalasku.”
Mei akhirnya mendengkus.
“Aku memang single, soalnya aku baru putus dengan kekasihku beberapa hari yang lalu.”
Mendengar jawaban Mei, Akashi lantas sedikit mengerutkan dahinya. “Kok bisa?”
Mei meminum vanilla milkshake-nya sejenak—dia hampir lupa dengan minumannya sendiri—lalu menatap Akashi lagi dan berkata, “Dia selingkuh dengan perempuan lain.”
Akashi kontan mengangkat kedua alisnya. Pria itu tampak terkejut. “Seriously? Your boyfriend is one hell of a stupid person.”
Mata Mei melebar. Rasa gugupnya sontak naik ke permukaan; pipinya mulai memanas. Sial, ini sudah sore, ‘kan? Iya, ini sudah sore. Mei harus pulang sekarang juga. Dia harus pulang ke rumah sebelum dia membanting dirinya sendiri ke pelukan Akashi secara impulsif.
Is he serious or just smooth talking?
Well, Haruki memang bodoh, sih, tetapi bukan bodoh di bagian sana. Soalnya, Mei memang punya kekurangan juga.
Walaupun pipinya merona, Mei tetap berusaha untuk tenang. Dia berdeham, lalu meminum vanilla milkshake-nya lagi.
Ya, dia harus pulang sekarang.
Setelah meletakkan kembali cup vanilla milkshake-nya di atas meja, Mei pun mulai meraih tasnya dan berdiri. Gadis itu lantas menatap Akashi dari atas dan berkata, “Baiklah, Akashi. Aku pulang dulu, ya.Ini sudah sore.”
Akashi lantas menegakkan tubuhnya—dia duduk tegap—dan matanya melebar. “Oh, sudah mau pulang, ya?”
“Matahari sudah mau terbenam. I need to take a shower. Doesn't that apply to you as well, Akashi-kun?” tanya Mei.
Akashi tertawa kecil. “Suit yourself, my lady. May I offer you a ride?”
Mei tertegun. Matanya melebar samar.
Ini…aneh. Meskipun Mei tahu bahwa dia harus segera pulang untuk menghindari Akashi, meskipun Mei tahu bahwa rumahnya tidak jauh sampai harus diantar pulang oleh Akashi, meskipun Mei tahu bahwa berduaan saja dengan Akashi justru akan lebih mendebarkan untuknya, saat mendengar tawaran dari Akashi…
…entah mengapa Mei tidak bisa menolaknya.
Ternyata, Mei belum benar-benar bisa menahan dirinya dari godaan duniawi seperti ini.
Sial.
15Please respect copyright.PENANAMXFO6sQ2GE
******
15Please respect copyright.PENANAlVP780Wi0P
Jadi, saat ini Mei sedang berada di dalam mobil Akashi. Mei, out of nowhere, mengenal seorang pria asing yang luar biasa, lalu mereka bertemu dalam dua hari berturut-turut dan akhirnya Mei diantar pulang oleh pria itu.
Great. Itu mulai terdengar seperti Mei memberikan dirinya kepada pria asing dengan sangat mudah, semudah membalikkan telapak tangan.
Perjalanan dengan mobil itu sebenarnya cukup menyenangkan meskipun Mei tahu bahwa itu takkan lama. Mei duduk di jok penumpang depan, di sebelah Akashi, dengan nyaman. Mobil Akashi sangat sejuk dan wangi. Sebenarnya, wangi tubuh Akashi tersebar di dalam mobil itu dan tidak, Mei tidak bermaksud untuk mengirupnya lebih dalam. Namun, ekhem, dia pasti betah kalau berada di dalam mobil itu sampai malam.
Masuk ke mobil Akashi berarti juga masuk ke teritorial pria itu. Teritorialnya dipenuhi dengan wangi tubuhnya. Begitu kau masukke teritorial itu, kau akan merasa seperti dipeluk olehnya karena wangi tubuhnya tersebar di sana.
Mei betul-betul tidak akan mencari tahu merk parfum apa yang Akashi pakai.
Namun, kalau Mei cari di Google, mungkin akan ada sedikit infor—
15Please respect copyright.PENANAwAXFcBiPMK
Ekhem.
15Please respect copyright.PENANAzyHumon0Xb
Mei mulai menoleh kepada Akashi yang duduk di sampingnya. Memperhatikan seluruh gerakan tubuh Akashi yang sangat menggoda; lengan Akashi yang berurat saat memegang roda kemudi, mata merahnya yang tajam, tubuhnya yang berotot, rambutnya yang disisir ke belakang, tulang pipinya yang tinggi, rahangnya yang tegas…
…and not to mention his incredibly chiseled face.
Ya ampun. Ayo singkirkan pikiran-pikiran yang tidak senonoh, Mei.
Akashi menggantung jasnya di jok yang ia duduki. Pria itu hanya mengenakan vest di luar kemeja dan dasinya. Bentuk tubuhnya tercetak jelas dengan pakaian seperti itu.
Mei betul-betul menahan dirinya untuk tidak memperhatikan tubuh kekar Akashi secara detail. Akashi bisa memergokinya dan menikmati situasi di antara mereka seperti tadi.
Akan tetapi, diam-diam…Mei sesekali menoleh kepada Akashi. Menatap Akashi dengan intens; memperhatikan wajah Akashi seolah ingin membaca sesuatu.
Namun, Mei tidak bisa membaca apa pun, kecuali apa yang sudah ia ketahui dalam dua hari belakangan. Membaca seseorang seperti Akashi tentunya merupakan tugas yang sulit. Makanya, kesan yang Mei dapatkan selama dua hari ini tentu merupakan informasi yang luar biasa.
Akashi adalah orang yang gentle, ramah, dan tenang. Reaksi serta ekspresinya tidak berlebihan, tidak juga kurang. Layaknya samudra, dia tenang dan indah, tetapi di sisi lain, dia tampak begitu dalam dan misterius.
Seperti ada sesuatu di dalam dirinya yang 99 persen masih tersembunyi di dasar.
Entah apa itu.
Meskipun Akashi sempat melontarkan beberapa rayuan kepada Mei, kesan Mei pada Akashi tetap tidak berubah. Mungkin, aksi-aksi rayuan yang seksi itu hanyalah nol koma sekian persen dari seluruh hal yang Akashi simpan.
Di balik mata berwarna merahnyaitu, seolah-olah ada kegelapan yangtak berujung. Kegelapan yang mungkin akan menenggelamkan Mei selamanya.
Namun, meski sudah mendapat kesan yang seperti itu, Mei belum ada niat untuk betul-betul menolak keberadaan Akashi.
Pria itu terlalu sempurna untuk dibiarkan.
15Please respect copyright.PENANAF49TRbwsML
Well, the dangerous and mysterious ones are always the most attractive.
15Please respect copyright.PENANAX5Qgy2l3wX
Setelah beberapa detik memperhatikan Akashi, Mei pun mulai bersuara.
“Akashi. Apakah kau merupakan anak seorang raja, bangsawan, atau sesuatu sejenis itu?”
Akashi sontak tertawa renyah. Perjalanan yang tadinya terasa tenang dan menyenangkan, kini jadi semakin menyenangkan karena suara tawa Akashi.
Iya, iya! Mei tahu kok kalau pertanyaannya sangat konyol. Mei tahu banget! Akan tetapi, melihat respons Akashi yang hanya tertawa dan tidak menjawab apa-apa, Mei jadi sangat malu. Dia merasa seperti orang idiot; pipinya kontan memanas.
Namun, berdeham satu kali, Mei pun langsung menormalkan ekspresinya lagi dan berkata, “K—Kalau begitu, apakah kau memimpin sesuatu? Apa saja, pokoknya memimpin sesuatu. Do you? Kau terlihat seperti salah satunya.”
Aura kebangsawanan serta kepemimpinanmu kuat sekali, soalnya. Itulah yang mau Mei sampaikan.
“Hmm… Pemimpin, ya?” Akashi menatap ke depan, lalu tertawa kecil. “Maksudmu seperti Power Rangers? Ranger Merah adalah pemimpinnya.”
Kontan saja ekspresi Mei jadi betul-betul datar karena merasa kesal. “Aku serius, Akashi-kun.”
Akashi lagi-lagi tertawa.
Kalau begini, Mei rekam sajalah suara tawanya itu. Biar dia tahu rasa.
Namun, sebelum Akashi sempat menjawab pertanyaan itu, ternyata mereka sudah sampai di samping apartemen Mei. Mei—yang kebetulan melihat ke luar jendela saat itu—kontan memberitahu Akashi, “Oh, ini apartemenku, Akashi. Kau bisa menurunkanku di sini.”
Akashi sedikit memiringkan kepalanya—melihat ke arah yang sama—lalu matanya sedikit melebar. “Ah, oke. Tunggu sebentar, biar aku berbelok sedikit.”
Mei menolak. “Tidak, tidak perlu. Aku bisa turun di si—”
“I will drop a woman off right in front of her house, my lady,” jawab Akashi. “to ensure her safe return.”
Sial. Mudah-mudahan warna merah di pipi Mei tersamarkan oleh sinar matahari yang sudah berwarna oranye.
He’s so damn perfect. That’s illegal.
15Please respect copyright.PENANAiMi95aAxtv
Tahan, Mei. Sebentar lagi kau akan turun.
15Please respect copyright.PENANA4lRfaZvmsk
Ketika sudah sampai tepat di depan apartemen Mei, Akashi pun menghentikan mobilnya. Pria itu baru saja ingin keluar—ingin membukakan pintu mobil untuk Mei—tetapi Mei langsung menghentikannya. “Tidak perlu, Akashi. Aku tidak ingin merepotkanmu lebih dari ini.”
“Kau tidak akan pernah merepotkanku, Mei.”
Stupid, heart, calm the fuck down.
Mei berdeham, menyembunyikan rona merah terkutuk yang tampaknya muncul dengan mudah di wajahnya hari ini. “Tidak usah, Akashi. Tetaplah di sini. Aku tidak apa-apa.”
Akhirnya, Akashi pun menurutinya.
Mei lantas melepaskan seat belt-nya, lalu menoleh kepada Akashi. “Terima kasih atas tumpangannya, Akashi.”
Akashi mengangguk. “Hmm. You’re welcome, Mei. It was a pleasure spending time with you today.”
The pleasure was all mine, you fucking sexy creature—
Mei meneguk ludahnya; dia mulai gugup. Namun, dia tetap berusaha untuk merespons Akashi dengan tenang dan normal. “Aku duluan, ya, Akashi. Hati-hati dalam perjalanan pulangmu.”
Akashi kembali mengangguk pelan, lalu tersenyum. “Thank you, Mei. Looking forward to meeting you next time.”
Oh, so there ‘is’ a next time.
Mei mengangguk. Tak menghiraukan rengekan di belakang kepalanya yang terus menyuruhnya untuk tetap berada di dekat Akashi.
“Hm. Well, then.” Respons Mei akhirnya sesingkat itu.
Mei pun beranjak keluar dari mobil Akashi. Dia menutup pintu mobil itu kembali, lalu melambaikan tangannya kepada Akashi dengan pelan.
Akashi tersenyum; pria itu ikut melambaikan tangannya kepada Mei. Ia lalu melihat Mei yang mulai berbalik dan berjalan ke arah tangga apartemennya.
Akashi memperhatikan apartemen itu dengan saksama. Lokasinya, gedungnya, suasananya; seluruh detailnya. Dilihatnya Mei yang sedang menaiki tangga menuju ke lantai dua apartemen itu.
Setelah sampai di lantai dua, Mei pun berjalan sejenak dan akhirnya sampai di depan salah satu pintu. Dia membuka kunci pintu itu, lalu masuk ke sana dan menutup pintunya kembali.
15Please respect copyright.PENANA9oVCuKu6zH
Oh.
Jadi, dia tinggal di unit nomor dua dari tangga.
15Please respect copyright.PENANAFdyFO15xfC
Akashi tersenyum miring.
Dia memang menunggu di sana. Memperhatikan dan mengawasi Mei dari dalam mobil. Setidaknya sampai dia melihat di mana unit apartemen Mei.
Saat telah melihat segala hal yang ingin dia ketahui, dia pun mengembuskan napasnya samar.
Dia lalu tertawa kecil. “Such a cute baby doll.”
15Please respect copyright.PENANAwTcXmsJK9T
******
15Please respect copyright.PENANA1b1TWmrDaM
Akashi turun dari mobil hitamnya. Setelah mengantar Mei pulang, pria itu langsung mengendarai mobilnya menuju ke suatu tempat. Kini, langit sudah gelap.
Mobil itu berhenti di depan sebuah hotel bintang lima.
Akashi tidak memakai jasnya. Jas itu menggantung di lengannya tatkala sepatu berwarna hitamnya menjejak tanah. Ia lalu berdiri dan menutup pintu mobilnya.
Saat ia turun, ada delapan orang pria yang sudah berbaris di depannya. Delapan pria itu menyambutnya dengan menunduk hormat; empat orang berbaris di kanan dan empat orang lagi berbaris di kiri. Mereka semua memakai pakaian serba hitam, dilengkapi dengan topi fedora.
Meski cuaca tampak baik-baik saja tadi sore, kini agaknya cuacanya mulai mendung. Ada beberapa kilat yang sudah muncul di langit sejak tadi. Suara gemuruh petir terdengar sesekali.
Kedelapan pria yang berbaris di depan Akashi itu mulai bersuara. Mereka berbicara dengan tegas.
15Please respect copyright.PENANAUuCL7zY18m
“Selamat datang, Boss.”
15Please respect copyright.PENANA0OoEi5sAOJ
Akashi hanya mengangguk singkat. “Hm.”
Setelah itu, salah satu dari kedelapan pria itu mulai maju ke depan dan menghadap ke Akashi. Dia masih menunduk hormat, tetapi kini ia meletakkan sebelah tangan kanannya di dada. Di atas jantung.
Lantas, dia pun mulai berbicara. Melaporkan sesuatu kepada Akashi dengan suara yang tergolong pelan, tetapi terdengar sangat jelas.
“Thank you for your hard work, Boss,” ujarnya. “Persiapan sudah selesai. Dia sudah ada di dalam. In the underground.” []
15Please respect copyright.PENANA89m0QbDwpb