
2 Tahun lalu...
Dunia runtuh. Hanya pikiran itu yang berkecamuk di hatiku bahkan mengobrak-abrik isi kepalaku. ‘Pak Ahmad tabrakan, bu .. eh.. ditabrak.. !!’ ... begitu kata suara ditelfon sana. Irfan, karyawan suamiku yang memberikan kabar itu. “Kejadiannya cepet banget, bu.” Lanjutnya.
Saat itu suamiku sedang mengeluarkan motornya dari halaman parkir ruko tempat suamiku menjalankan usaha agen berasnya, ketika ada mobil dengan kecepatan agak tinggi, melintas dan menabraknya. Namun yang gak aku duga, si pengendara mobil berhenti dan langsung membawa suamiku ke rumah sakit. Irfan menemani mereka sampai di IGD RSUD Pasar Minggu. Penanganannya cukup cepat, kata Irfan. “Ini Bapak mau langsung di operasi Bu..” Aku dan Zidan sampai di rumah sakit sesaat sebelum suamiku dibawa ke ruang Operasi.
454Please respect copyright.PENANALBEv5yJqzU
Si penabrak ternyata bertanggung jawab, mulai dari ganti rugi motor suamiku, pembiayaan perawatan RS sampai pemanggilan polisi, dia hadapi semua dengan respon yang cukup baik. Ketika aku tanya gimana kejadiannya hingga akhirnya bisa menabrak Mas Ahmad, lelaki yang akhirnya aku tahu namanya Bram itu, menjelaskan di depan Polisi, aku dan keluarga dengan detail dan jujur, bahkan Irfan pun membenarkan cerita tersebut.
Rupanya, Bram sudah mengklakson mobilnya beberapa kali, bahkan dia sempat menurunkan laju kecepatan mobilnya. Dan Irfan mengkonfirmasi kalau suamiku memang meleng dan tidak berhati-hati ketika keluar dari parkiran. Dan dengan penjelasan tersebut, aku dan keluarga bersepakat untuk menyelesaikan persoalan ini dengan damai dan secara kekeluargaan. Keluarganya Bram bahkan berinisiatif untuk membantu pembiayaan suamiku hingga keluar dari Rumah Sakit. Dan sejak saat itulah terjadi semacam kesepakatan antara keluargaku dan keluarganya Bram untuk saling menjaga dan merawat keadaan serta kondisi suamiku. Kalau kata ibuku, ‘Itung-itung, kita kayak semacam punya keluarga baru.’
454Please respect copyright.PENANAndW1Spwh7D
Tapi memang, selama proses pemulihan keadaan suamiku, Keluarganya Bram sering berkunjung dan menanyakan kondisi Mas Ahmad. Aku jadi dekat dengan ibunya Bram, yang ternyata baik sekali. Bahkan Brampun jadi dekat dengan Zidan.. seperti Abang dan Adik.
Di saat suamiku sudah keluar dari RS, keluarganya Bram juga menjemput dan mengantarkan Suamiku ke rumah. Suamiku dinyatakan lumpuh permanen, karena tulang belakangnya patah di beberapa bagian, bahkan kemampuan penglihatan dan bicaranya juga terkena. Mengetahui hal ini, Papanya Bram menyampaikan penyesalannya lagi dan entah gimana mulainya, Papanya Bram menyatakan akan membantu menjadi investor untuk usaha Agen Beras suamiku. Akulah yang sekarang meng-handle semuanya.. tentu saja dengan Papanya Bram sebagai back-up ku untuk soal keuangan. “Gak usah mikir dikembalikan Bu Fatia.” Begitu katanya, “Kita sudah jadi saudara, dan jangan anggap ini sebagai bantuan.. anggap saja ini memang rezeki Pak Ahmad..” Aaahhh... terharu sekali aku mendengarnya. Zidanpun juga sudah dianggap seperti adiknya Bram. Biaya sekolahnya benar-benar ditanggung oleh Keluarga besar Pattinasarani.
454Please respect copyright.PENANAf9cq46JPFK
Namun sayang, setahun kemudian Papanya Bram meninggal. Aku sempat bingung dan gamang tentang kelanjutan usaha kami. Mamanya Bram akhirnya berbincang denganku tepat sesudah Ibadah penghiburan di rumahnya yang besar itu. Saat itu, aku dan Zidan diundang datang. Dan sepertinya cuma aku yang mengenakan hijab. “Fatia..” kata Mamanya Bram. “Aku sudah berbincang dengan Bram dan keluarga.. kita akan tetap melanjutkan usaha Beras itu dengan kamu. Toh sekarang, kamu sudah punya beberapa cabang. Dan usaha kita lancar-lancar aja kan..” Aku mengangguk sambil sedikit tersenyum. “Tapi ada yang berubah sekarang. Mulai hari ini, yang membantu kamu ngurusin usaha adalah Bram yaa..”
“Dia sudah lulus kuliah.. dia mengerti bisnis ini, dan dia harus terus bertanggung jawab atas ulahnya dulu..” Mamanya Bram mengatakan itu sambil menggenggam tanganku.
“Iya Bu..” jawabku. “Saya benar-benar terbantu dengan usaha ini, juga dengan keluarga Pattinasarani.. saya tidak keberatan dengan Bram yang sekarang membantu meng-handle usaha kita. Saya setuju Bu...”
454Please respect copyright.PENANAgqVggEhAYC
Itulah awal dari kedekatanku dengan Bram. Dia sekarang yang bergerak menghubungi agen-agen besar, dia yang memantau proses pengiriman hingga distribusi ke cabang-cabang agenku. Dia benar-benar bertanggung jawab. Walaupun dia sekarang sibuk dengan bisnis berasku, dia juga tak lupa mengurusi ibunya yang memang sudah tua. Aku secara naluriah juga menyadari kalau Ibunya Bram sudah aku anggap sebagai keluargaku sendiri, dan Bram sudah aku anggap sebagai adikku. Sampai akhirnya, Ibunya Bram memutuskan untuk menghabiskan sisa masa tuanya untuk kembali ke Ambon.
Sebagai anak tunggal, Bramlah yang mewariskan beberapa perusahaan Papanya. Setahun ini, dia makin sibuk, walaupun begitu, dia masih sanggup mengurusi usaha berasku, dia juga tidak pernah absen mengunjungi kami ke rumah dan mengurusi suamiku yang makin lama makin menurun kondisinya. Bahkan dia pernah beberapa kali menginap di rumah karena dia mengakui, rumahku jauh lebih nyaman dibanding dia tidur di rumahnya yang besar sendirian. Jujur, Aku dan Zidan sangat senang ditemani oleh Bram yang pada dasarnya juga orang yang lucu dan menyenangkan. Bahkan kalau mau lebih jujur, aku mulai nyaman kalau lagi dekat dengan Bram, dan merasa sedikit gelisah kalau dia sedang keluar kota atau tidak datang ke rumah. Entah ada apa dengan perubahan diri dan perasaanku ini, tapi aku mengakui kalau Bram mendatangkan situasi yang membuat aku seperti tidak mau kehilangan dirinya.. Aaahhh...
ns216.73.216.176da2