Arman pulang lebih awal hari itu. Langit Jakarta kelabu, gerimis tipis membasahi jaketnya saat ia turun dari angkot. Rumah kecil mereka di gang sempit itu tampak sepi, hanya lampu teras yang menyala redup. Ia melepas sepatu di depan pintu, mencium aroma masakan yang sudah dingin di meja makan—sayur kolplay dan ikan tongkol goreng, menu sederhana yang selalu Zahra hidangkan dengan penuh perhatian. Tapi malam ini, piring-piring itu masih utuh, tak tersentuh. Arman mengerutkan kening. Zahra biasanya menunggunya, setidaknya untuk makan malam bersama, meski akhir-akhir ini obrolan mereka semakin pendiam.
“Zahra?” panggilnya pelan, suaranya menggema di ruang tamu yang sempit. Tidak ada jawaban. Ia melangkah ke kamar tidur, pintunya setengah terbuka. Cahaya lampu malam berwarna kuning lembut menyelinap dari celah, dan Arman mendengar suara samar—gumaman pelan, seperti doa atau dzikir. Ia mendorong pintu perlahan, berharap tidak mengagetkan istrinya.
Zahra duduk di atas sajadah hijau tua, menghadap kiblat. Jilbab lebar warna krem menutupi rambutnya, hanya menyisakan wajahnya yang pucat namun tenang. Matanya terpejam, tangannya memegang tasbih kayu yang melingkar di jemari rampingnya. Bibirnya bergerak pelan, mengucap kalimat-kalimat yang Arman tidak bisa dengar dengan jelas. Ia berdiri di ambang pintu, tak ingin mengganggu, tapi ada sesuatu di dadanya yang terasa berat. Zahra tak pernah begitu khusyuk sebelumnya, tidak seperti ini—seolah-olah dunia di sekitarnya lenyap, termasuk kehadiran Arman.
“Zahra,” panggilnya lagi, kali ini lebih lembut, hampir seperti bisik. Zahra membuka mata perlahan, namun tatapannya tidak langsung tertuju pada Arman. Ia menoleh ke samping, seolah masih terpaku pada sesuatu yang tak terlihat. “Kamu nggak dengar aku pulang?” tanya Arman, berusaha menjaga nada suaranya tetap hangat.
“Oh, Mas,” Zahra tersenyum kecil, tapi senyum itu terasa asing, seperti senyum yang dipaksakan untuk menutupi sesuatu. “Maaf, aku lagi dzikir tadi. Tadi malam habis ikut majelis, jadi aku coba hafal beberapa doa baru.”
Arman mengangguk, meski ada sedikit rasa cemburu yang menggelitik di hatinya. Majelis. Kata itu mulai sering muncul di mulut Zahra belakangan ini. Ia tahu istrinya baru saja bergabung dengan kelompok taklim ibu-ibu di masjid dekat rumah, tapi frekuensinya—hampir setiap malam—membuat Arman bertanya-tanya. “Kamu nggak capek, tiap malam ke sana?” tanyanya sambil duduk di tepi ranjang, melepas kaus kaki yang sedikit basah karena gerimis.
Zahra menggeleng, masih memainkan tasbih di tangannya. “Nggak, Mas. Justru aku merasa tenang. Banyak ilmu yang aku dapat di sana. Habib Albar itu… ceramahnya dalam banget, bikin hati ini sejuk.” Matanya berbinar saat menyebut nama itu, dan Arman merasakan sesuatu yang tak bisa ia jelaskan—seperti jarum kecil yang menusuk dadanya.
“Habib Albar itu siapa sih?” tanya Arman, berusaha terdengar santai. Ia berdiri, membuka kancing kemeja kerjanya yang sudah kusut, lalu melemparnya ke keranjang cucian di sudut kamar. “Kamu cerita tentang dia tiap hari, kayaknya hebat banget orangnya.”
Zahra menunduk, jari-jarinya berhenti memainkan tasbih. “Dia… ustadz di majelis. Orangnya lembut, tapi ilmunya luas. Banyak ibu-ibu yang bilang, dengerin ceramahnya kayak dibawa ke dunia lain. Bikin kita sadar betapa kecilnya kita di hadapan Allah.” Suaranya penuh kekaguman, tapi ada nada ragu di ujung kalimatnya, seolah ia tahu kata-katanya terdengar berlebihan.
Arman tidak menjawab langsung. Ia melangkah ke kamar mandi, mencuci muka dengan air dingin, berusaha menenangkan pikirannya. Ia bukan tipe suami yang suka curiga, tapi ada sesuatu di cara Zahra berbicara tentang Habib itu yang membuatnya tidak nyaman. Ia kembali ke kamar, mendapati Zahra sudah bangkit dari sajadah dan sedang melipatnya dengan rapi. Gaun tidur sederhana berwarna biru muda yang ia kenakan sedikit merosot di bahunya, memperlihatkan kulit putih yang lembut. Arman menelan ludah. Sudah lama mereka tidak benar-benar dekat, tidak seperti dulu, ketika Zahra masih suka mencuri ciuman di dapur atau tertawa saat Arman menggodanya di ranjang.
“Zahra,” panggil Arman, suaranya sedikit serak. Ia melangkah mendekat, berdiri di belakang istrinya yang sedang merapikan sajadah di atas meja kecil. “Kamu capek nggak? Aku kangen, tahu.” Ia meletakkan tangan di pinggang Zahra, jari-jarinya merasakan lekuk tubuh istrinya yang masih ramping meski mereka sudah menikah lima tahun.
Zahra menegang. Tubuhnya tak bergerak, tapi Arman bisa merasakan ketegangan di otot-ototnya. “Mas, aku… aku capek banget hari ini,” katanya pelan, tanpa menoleh. “Tadi di majelis lama, terus aku juga harus bantu-bantu bersihin ruangan sesudahnya.”
Arman tidak langsung melepaskan tangannya. Ia menarik napas dalam-dalam, mencium aroma sabun mandi yang masih melekat di kulit Zahra, bercampur dengan sedikit wangi minyak kayu putih yang biasa ia pakai setelah salat. “Zahra, kita udah lama nggak… kamu tahu, kan?” Suaranya lembut, tapi ada nada memohon di dalamnya. Ia memutar tubuh Zahra perlahan, ingin melihat wajah istrinya.
Zahra menatapnya, tapi matanya tidak sepenuhnya hadir. “Mas, aku cuma… aku lagi fokus sama ibadahku sekarang. Aku nggak mau kehilangan momen ini, momen di mana aku merasa dekat sama Allah.” Kata-katanya terdengar tulus, tapi ada sesuatu di nada suaranya yang membuat Arman merasa seperti orang asing.
“Zahra, aku suamimu,” kata Arman, suaranya sedikit lebih keras dari yang ia maksud. “Aku cuma pengin kita kayak dulu lagi. Apa salahnya kalau aku kangen sama kamu?” Ia menarik Zahra lebih dekat, tangannya meluncur ke punggung istrinya, merasakan tulang belakang yang tersembunyi di bawah kain tipis gaun tidur itu. Payudara Zahra terasa lembut saat tubuh mereka bersentuhan, dan Arman merasakan penisnya mulai mengeras, dorongan yang sudah lama ia tahan.
“Mas, please…” Zahra meletakkan tangan di dada Arman, bukan untuk memeluk, tapi untuk menahan. “Aku nggak mau kita lakuin ini cuma karena nafsu. Aku lagi belajar buat menjaga hati dan tubuhku supaya suci.” Suaranya lembut, tapi tegas, seperti seseorang yang sedang mengutip ajaran dari buku.
Arman menatapnya, bingung dan terluka. “Suci? Zahra, kita suami-istri. Apa yang kita lakuin di ranjang itu nggak najis. Itu ibadah juga, kalau kamu mau bilang gitu.” Ia mencoba tersenyum, berharap bisa mencairkan suasana, tapi wajah Zahra tetap kaku.
“Aku tahu, Mas,” kata Zahra, menunduk. “Tapi… aku lagi nggak siap. Aku butuh waktu. Aku mau fokus dulu sama majelis, sama doa-doa yang aku pelajari.” Ia melangkah mundur, melepaskan diri dari pelukan Arman, dan duduk di tepi ranjang, memeluk bantal seperti perisai.
Arman berdiri di tempatnya, tangannya masih menggantung di udara, merasakan kehampaan. Penisnya yang tadi mulai tegang kini terasa seperti pengkhianat, membuatnya malu pada dirinya sendiri. Ia ingin marah, ingin berteriak bahwa ia juga punya hak atas tubuh istrinya, tapi kata-kata itu terasa salah di kepalanya. Ia bukan lelaki seperti itu. Ia mencintai Zahra, dan melihatnya menjauh seperti ini membuat dadanya sesak.
“Zahra,” katanya akhirnya, suaranya hampir patah. “Aku cuma pengin kamu ingat, aku masih di sini. Aku suamimu. Kalau kamu butuh apa-apa, bilang sama aku, bukan sama… majelis atau siapa pun itu.” Ia tidak menyebut nama Habib Albar, tapi nama itu terasa menggantung di udara.
Zahra mengangguk, tapi matanya tertuju pada tasbih yang masih ia pegang. “Aku tahu, Mas. Aku cuma… aku cuma lagi cari jalan buat jadi lebih baik. Buat kita berdua.” Kata-katanya terdengar seperti janji, tapi Arman tahu itu bukan janji yang ia inginkan.
Malam itu, Arman tidur di sisi ranjang yang terasa terlalu luas. Zahra meringkuk di sisi lain, membelakanginya, napasnya pelan dan teratur. Arman menatap langit-langit, mencoba mengabaikan gumpalan panas di dadanya. Ia memikirkan tubuh Zahra—lekuk pinggangnya, kelembutan payudaranya yang dulu sering ia sentuh dengan penuh kasih, vagina yang selalu menyambutnya dengan hangat di malam-malam penuh tawa mereka. Tapi sekarang, tubuh itu terasa seperti milik orang lain, seperti jasad yang menjauh darinya, terbungkus hijab dan doa-doa yang tak ia pahami.
Ia menoleh ke arah Zahra, berharap istrinya akan berbalik, akan memeluknya seperti dulu. Tapi Zahra tetap diam, terlelap dalam mimpinya—mungkin tentang majelis, tentang Habib Albar, tentang dunia yang Arman tidak lagi menjadi bagiannya.
Arman menutup mata, berusaha tidur, tapi malam itu terasa lebih dingin dari biasanya. Di luar, gerimis masih turun, dan suara azan subuh yang jauh terdengar seperti panggilan untuk seseorang yang bukan dirinya.
https://karyakarsa.com/silvertounge
52Please respect copyright.PENANAjzOfGcOseA