Arman duduk di sudut ruang tamu, matanya menatap layar televisi yang menyiarkan berita sore tanpa suara. Cahaya layar memantul di wajahnya yang lelah, garis-garis kekhawatiran mulai terukir di dahinya. Di tangannya, secangkir kopi sudah dingin, uapnya lenyap sejak tadi. Rumah kecil mereka terasa hening, hanya derit kursi kayu tua yang sesekali berbunyi saat ia menggeser posisi. Zahra belum pulang dari majelis taklim, dan ini sudah hari ketiga ia pergi lebih lama dari biasanya. Jam dinding berdetak pelan, menunjukkan pukul delapan malam.
Pintu depan akhirnya berderit terbuka. Zahra masuk dengan langkah ringan, hijab syar’i hitamnya menutupi seluruh tubuh kecuali wajahnya yang pucat namun berseri. Sorot matanya berbeda—seperti menyimpan rahasia yang tak bisa ia bagi. Ia melepas sepatunya, menunduk, dan tersenyum kecil ke arah Arman.
“Mas, maaf ya, tadi majelisnya agak lama. Ada pembahasan khusus soal dzikir penyucian hati,” katanya lembut, suaranya seperti alunan air yang menenangkan namun membuat Arman merasa asing.
Arman mengangguk, mencoba menahan pertanyaan yang menggumpal di dadanya. “Nggak apa-apa, Ra. Makan malam udah di meja, kalau lapar.”
Zahra menggeleng pelan, hijabnya sedikit bergoyang. “Aku sudah makan di sana, Mas. Ibu-ibu majelis bawa bekal banyak tadi.” Ia berjalan menuju kamar, langkahnya terasa seperti melayang, entah karena kelelahan atau sesuatu yang lain.
Arman menatap punggung istrinya yang menghilang di balik pintu kamar. Ada sesuatu yang salah, tapi ia tak bisa menunjuk apa. Dulu, Zahra selalu menceritakan apa saja yang ia pelajari di majelis, tentang ayat-ayat yang disentuh hatinya, atau bahkan candaan kecil antar ibu-ibu. Kini, ia hanya diam, seperti menyimpan dunia sendiri di balik hijabnya yang semakin tebal.
Di dalam kamar, Zahra berdiri di depan cermin besar yang terpasang di dinding. Cahaya lampu neon di kamar membuat bayangannya tampak lembut namun tajam. Ia melepas hijabnya perlahan, membiarkan rambut hitamnya yang panjang terurai hingga ke pinggang. Gamis syar’i yang ia kenakan terbuat dari kain katun tipis, menempel erat di lekuk tubuhnya, memperlihatkan siluet payudara dan pinggulnya yang biasanya tersembunyi. Ia menatap dirinya sendiri, tangannya meraba wajahnya, lalu turun ke leher, seolah mencari sesuatu yang hilang.
“Ya Allah, sucikan hatiku dari segala yang tidak Engkau ridhai,” gumamnya pelan, suaranya nyaris seperti nyanyian. Ia mengeluarkan tasbih dari saku gamisnya, butir-butir kayu itu berkilau di bawah lampu. Ia mulai berdzikir, suaranya lembut namun penuh getar. “Subhanallah… Alhamdulillah… Allahu Akbar…”
Setiap butir tasbih yang ia pindahkan dengan jari-jarinya terasa seperti ritual yang membawanya ke dunia lain. Matanya terpejam, bibirnya bergerak pelan, namun ada sesuatu di wajahnya—ekspresi yang bukan hanya damai, tapi juga penuh gejolak. Napasnya mulai memanjang, dadanya naik-turun lebih cepat. Ia berlutut di atas sajadah kecil di sudut kamar, tubuhnya sedikit membungkuk, gamisnya mengerut di sekitar pinggul, memperlihatkan lekuk pantatnya yang terbalut kain tipis.
Di luar kamar, Arman berdiri di ambang pintu, tangannya ragu-ragu menyentuh gagang. Ia mendengar suara dzikir Zahra, namun ada nada di dalamnya yang membuat jantungnya berdegup aneh. Bukan hanya suara tasbih, tapi juga napas istrinya yang terdengar… berbeda. Ia mengetuk pintu pelan.
“Ra, boleh masuk?” tanyanya, suaranya serak karena kelelahan seharian bekerja.
Dzikir Zahra terhenti sejenak. “Sebentar, Mas. Aku lagi dzikir, ini bagian dari penyucian hati. Jangan masuk dulu, ya, nanti auratku kebuka.”
Arman mengerutkan kening. “Aurat? Ra, aku suamimu. Nggak apa-apa, kan, kalau cuma masuk kamar?”
Zahra tak langsung menjawab. Ada jeda panjang sebelum suaranya terdengar lagi, lebih tegas. “Mas, tolong hargai ibadahku. Aku lagi dalam masa penyucian. Kalau Mas masuk, aku harus ulang dari awal.”
Arman menarik napas dalam-dalam, tangannya terlepas dari gagang pintu. Ia berjalan mundur, kembali ke ruang tamu, dan duduk di sofa dengan kepala tertunduk. Ada perasaan aneh yang merayap di dadanya—campuran cemburu, bingung, dan rasa bersalah karena meragukan istrinya. Tapi suara dzikir itu, napas Zahra yang terdengar seperti desah… ia tak bisa mengusirnya dari pikirannya.
Di dalam kamar, Zahra melanjutkan dzikirnya. Ia kini duduk bersila di atas sajadah, tangannya masih memegang tasbih, namun gerakannya melambat. Matanya terpejam, wajahnya memerah, dan napasnya semakin berat. Gamisnya sedikit tersingkap di bagian paha, memperlihatkan kulit putih yang kontras dengan kain hitam. Ia menarik napas panjang, lalu meletakkan tasbih di sampingnya. Tangannya perlahan meraba lehernya lagi, turun ke dada, lalu berhenti di atas payudaranya yang naik-turun di balik kain tipis.
“Ya Allah… ampuni hamba…” bisiknya, namun suaranya kini bercampur dengan getaran yang tak lagi murni religius. Ia memejamkan mata lebih erat, membayangkan sesuatu—atau seseorang. Wajah Habib Albar muncul di benaknya, sorot matanya yang lembut namun penuh kuasa, suaranya yang seperti alunan dzikir yang membelai jiwa. “Antara ruh dan tubuhmu ada jalan yang harus disucikan,” kata-kata itu berputar di kepalanya, membuat tubuhnya panas.
Zahra menarik gamisnya ke atas, memperlihatkan paha mulusnya hingga ke pinggul. Jembut hitamnya samar-samar terlihat di balik celana dalam putih yang tipis. Tangannya bergerak ragu-ragu, namun akhirnya menyentuh bagian dalam pahanya, merambat perlahan ke arah vagina yang sudah mulai basah. Ia menahan napas, jari-jarinya menyentuh bibir vagina dengan gerakan lembut, seolah tak ingin mengakui apa yang ia lakukan. Setiap sentuhan membuat tubuhnya menegang, napasnya tersengal, dan desahan kecil keluar dari bibirnya tanpa ia sadari.
“Subhanallah…” gumamnya, mencoba menyelipkan dzikir di antara gejolak tubuhnya. Jari-jarinya bergerak lebih cepat, menggosok klitorisnya dengan ritme yang semakin tak terkendali. Payudaranya terasa penuh di balik gamis, puting payudaranya mengeras hingga terlihat menonjol melalui kain. Ia membayangkan tangan lain—tangan yang lebih kuat, lebih berwibawa—menyentuhnya, membimbingnya ke “penyucian” yang dijanjikan.
Zahra menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan suara yang ingin pecah. Ia membayangkan Habib Albar di depannya, matanya menatap dalam, suaranya membisikkan ayat-ayat suci sambil tangannya meraba tubuhnya. Fantasi itu membuat tubuhnya bergetar, vaginanya berkontraksi, dan cairan hangat membasahi jari-jarinya. Ia memiringkan tubuhnya ke samping, kini berbaring di atas sajadah, kakinya sedikit terbuka, gamisnya tersingkap hingga pinggang. Jari-jarinya terus bergerak, masuk ke dalam vaginanya dengan gerakan pelan namun dalam, seolah mencari sesuatu yang tak pernah ia temukan bersama Arman.
“Ya Allah… ini untuk-Mu…” desahnya, suaranya nyaris tak terdengar, namun penuh dengan campuran dosa dan ekstase. Ia membayangkan Habib Albar menekan tubuhnya ke sajadah, penisnya yang keras dan panas masuk ke dalam dirinya, mengisi kekosongan yang ia rasakan selama ini. Fantasi itu begitu nyata hingga tubuhnya menegang, pinggulnya terangkat dari sajadah, dan orgasme menyapunya seperti gelombang. Ia menahan jeritan dengan menggigit lengan gamisnya, tubuhnya gemetar, dan napasnya tersengal-sengal.
Setelah beberapa menit, Zahra terduduk lemas di atas sajadah. Wajahnya memerah, keringat membasahi dahinya. Ia menatap tasbih yang tergeletak di sampingnya, lalu mengambilnya dengan tangan yang masih gemetar. “Astaghfirullah…” bisiknya, namun suaranya tak lagi yakin. Ia menarik gamisnya kembali, menutupi tubuhnya, dan berdiri dengan kaki yang masih lemas. Di cermin, ia melihat bayangannya—wanita yang kini terbelah antara doa dan nafsu.
Di ruang tamu, Arman masih duduk di sofa, tangannya mencengkeram cangkir kopi yang sudah dingin. Ia mendengar suara pintu kamar terbuka, lalu langkah Zahra yang mendekat. Ia menoleh, berharap melihat istrinya yang dulu—yang akan duduk di sampingnya, memeluknya, atau sekadar berbagi cerita. Tapi Zahra hanya berdiri di ambang pintu, wajahnya tenang namun jauh.
“Mas, aku mau tidur dulu. Capek tadi di majelis,” katanya, suaranya datar.
Arman mengangguk, tak mampu berkata apa-apa. “Iya, istirahat aja, Ra.”
Zahra berbalik, kembali ke kamar, dan menutup pintu pelan. Arman menatap pintu itu, mendengar suara kunci diputar dari dalam. Ia tak tahu apa yang terjadi di balik pintu itu, tapi hatinya berkata bahwa sesuatu telah berubah—dan ia tak yakin bisa mendapatkannya kembali.
Malam itu, rumah kecil mereka yang dulu penuh doa terasa hampa. Hanya suara detik jam dinding yang terus berjalan, mengisi keheningan yang kini menjadi tamu tetap di antara mereka.
***
Cerita seru lainnya bisa dibaca di karya karsa https://karyakarsa.com/silvertounge
115Please respect copyright.PENANAOuYPfMJqIA