
Cerpen sumberbarokah sekarang bisa dibaca di karyakarsa.
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
-----------------------
Chapter 11: Masih tegang197Please respect copyright.PENANAsseqj0xDyz
197Please respect copyright.PENANAajZAnf2SlA
197Please respect copyright.PENANAK3eUKuWX7L
197Please respect copyright.PENANAFNsmzM3oxy
Rendi berdiri di sudut kamar kecilnya, tangan memegang kamera DSLR dengan lensa diarahkan ke Tante Dian yang duduk bersila di kasurnya, tank top pinknya digerakkan pelan untuk efek tease. Kamar terasa hangat meski AC menyala pelan, aroma parfum floral Dian masih kuat, dan suara ibunya di dapur—menggoreng sesuatu—bikin Rendi tetap waspada, meski pintu terkunci. Sprei biru tua kusut dari guling-gulingan tadi, dan Rendi, wajahnya masih sedikit merah dari panggilan “Rendi sayang” dan ciuman Dian, mulai menekan tombol rekam. “Oke, Tan, mulai,” katanya, suaranya lebih tenang dari sebelumnya, meski kontolnya masih ngaceng di balik celana pendek, reaksi alami setelah melihat Dian yang kini mainin rambut dengan gerakan sensual untuk syuting OnlyFans.
Dian, sesuai instruksinya sendiri, memulai adegan dengan memainkan rambutnya, jari-jarinya lincah menyisir helai yang sedikit basah, lalu menarik ujung tank top-nya pelan, memperlihatkan bahu mulus dan sedikit bra hitam renda di baliknya. “Kayak gini, Ren, biar penonton penasaran,” katanya, suaranya lembut tapi penuh godaan, matanya melirik kamera dengan senyum nakal. Payudaranya yang montok bergoyang pelan di balik tank top, dan Rendi, yang mulai terbiasa melihat Dian bugil dari syuting sebelumnya, bisa fokus ke layar kamera tanpa grogi berlebihan. Meski begitu, kontolnya tetap keras, sensasi dari blowjob tadi dan posisi woman on top masih terasa di pikirannya, tapi dia berusaha profesional, menangkap setiap gerakan Dian dengan sudut close-up yang diminta.
Syuting kali ini jauh lebih lancar, nggak melibatkan kontol Rendi seperti adegan sebelumnya, bikin dia bisa bernapas lega. Dian, dengan gerakan terlatih, menarik tank top lebih rendah, bra hitamnya kini terlihat jelas, renda tipis memperlihatkan samar puting coklat mudanya. “Ren, zoom ke sini, biar kelihatan detail,” perintahnya, tangannya menyentuh bra, jari-jarinya mainin tali, seolah mau lepas tapi cuma tease. Rendi mengangguk, “Iya, Tan,” katanya, jari-jarinya menyesuaikan lensa, tangannya lebih stabil sekarang, meski napasnya sedikit berat. Dia mulai terbiasa dengan tubuh bugil Dian—payudara yang gondal-gandul, kulit mulus yang berkilau di cahaya pagi—tapi nggak bisa lepas dari hasrat, cuma kali ini dia bisa ngendalikan diri, fokus ke kamera.
“Bagus, Ren, sudutnya pas!” puji Dian, nadanya antusias, lalu berdiri dari kasur, tank top-nya ditarik ke atas kepala, dilempar ke lantai dengan gerakan dramatis, kini cuma bra hitam dan celana pendek ketat yang menempel di tubuhnya. Payudaranya bergoyang bebas, bra nggak bisa nahan sepenuhnya, dan Rendi, meski ngaceng, tetep sigap merekam, mengikuti gerakan Dian yang berjalan pelan ke tengah kamar, pinggulnya bergoyang seperti model. “Tante mau kasih tease lebih, Ren, rekam dari bawah, biar kelihatan seksi,” katanya, suaranya penuh percaya diri. Rendi nurut, berlutut di lantai, kamera diarahkan ke atas, nangkep lekuk tubuh Dian, payudara yang menonjol, dan wajahnya yang penuh godaan, bikin dia kagum sama profesionalisme tante-nya.
Dian membungkuk sedikit, payudaranya hampir keluar dari bra, lalu mainin rambut lagi, bibirnya merekah, berbisik ke kamera, “Kalian suka, ya?” seolah ngomong ke penonton OnlyFans. Rendi nggak bisa nggak kagum, Dian tahu persis cara bikin penonton tergila-gila, dan dia, meski cuma keponakan, merasa bangga jadi bagian dari “proyek” ini. “Tan, itu… seksi banget,” katanya tanpa sadar, suaranya pelan, bikin Dian terkekeh, “Hihihi, Rendi sayang, makasih, ya!” godanya, panggilan manja itu bikin Rendi tersenyum malu, tapi tetep fokus merekam, kontolnya yang keras diabaikan demi hasil video yang bagus. Syuting ini, tanpa sentuhan langsung, bikin dia lebih rileks, meski hasrat nggak pernah hilang.
Adegan berlanjut, Dian duduk kembali di kasur, kakinya disilangkan, tangannya meraba bra, jari-jarinya mainin renda, kadang menarik cup sedikit, memperlihatkan lebih banyak kulit. “Ren, sekarang long shot, biar kelihatan seluruh badan,” katanya, dan Rendi mundur beberapa langkah, kamera nangkep Dian dari kepala sampai kaki, gerakannya seperti tarian pelan, penuh tease. “Kayak gini, Tan?” tanyanya, suaranya lebih percaya diri sekarang, mulai nyaman dengan ritme syuting. Dian mengangguk, “Perfect, Ren, kamu cepet belajar!” pujinya, bikin Rendi tersenyum, dadanya membusung, bangga bisa bikin tante-nya puas, meski posisi bra yang melorot bikin dia susah nggak melirik.
Dian, seolah tahu efeknya ke Rendi, tiba-tiba bangkit lagi, berputar pelan, celana pendeknya menegang di bokong, bikin Rendi menelan ludah, tapi tetep merekam dengan stabil. “Ren, nanti kita edit, kasih musik seksi, biar lebih hot,” katanya, nadanya penuh rencana, lalu kembali ke kasur, berbaring telentang, tangannya meraba perut sampai ke bra, gerakan yang bikin payudaranya bergoyang. Rendi, yang mulai terbiasa, tetep ngaceng, tapi bisa ngontrol groginya, fokus ke layar kamera, nangkep setiap detail—kulit Dian yang berkilau, renda bra yang bergeser, dan senyum nakal yang bikin video ini pasti laku di OnlyFans. “Tan, ini udah bagus banget,” katanya, suaranya antusias, mulai ngerasa kayak kru profesional.
Syuting berjalan mulus, Dian kasih instruksi jelas, dan Rendi, meski hasrat masih membara, bisa ikutin dengan baik. “Ren, sekarang Tante mau mainin bra, kayak mau lepas tapi nggak beneran, rekam close-up,” kata Dian, duduk lagi, tangannya menarik tali bra, cup-nya melorot sedikit, memperlihatkan tepi puting, tapi nggak sampai terbuka. Rendi zoom in, tangannya stabil, “Iya, Tan, got it,” katanya, napasnya sedikit berat, tapi nggak panik seperti tadi. Posisi Dian yang sensual, payudara yang hampir tumpah, dan gerakan jari yang mainin renda bikin dia kagum, tapi syuting tanpa melibatkan kontolnya bikin dia lebih tenang, meski celana pendeknya tetap ketat karena ereksi yang nggak reda.
“Ok, Ren, cukup dulu, Tante capek,” kata Dian setelah beberapa menit, bangkit dari kasur, payudaranya bergoyang terakhir kali sebelum dia ambil tank top dari lantai, tapi nggak langsung dipakai, cuma digenggam. “Kamu hebat, Ren, syuting tadi mulus banget,” pujinya, senyumnya hangat, bikin Rendi tersenyum lebar, “Makasih, Tan, Tante juga… ehm, pro banget,” katanya, menurunkan kamera, wajahnya masih merah, tapi bangga. Dian terkekeh, “Hihihi, Rendi sayang, kita tim yang oke, ya!” katanya, menepuk pundak Rendi, bikin cowok itu merinding, panggilan manja itu masih bikin dadanya berbunga-bunga. Dia melirik pintu, takut ibunya masuk, tapi suara dapur masih aman, bikin dia lega.
Rendi meletakkan kamera di meja, napasnya perlahan normal, meski kontolnya masih keras, dia mulai terbiasa dengan godaan Dian, tahu ini bagian dari “kerja” mereka.
--------------------------------
Rendi duduk di meja belajar kecilnya, laptopnya menyala dengan layar penuh aplikasi editing video, kabel-kabel berserakan di sekitar. Kamera DSLR masih di samping, dan dia langsung mentransfer file syuting tadi—adegan Tante Dian yang menggoda dengan bra hitam renda dan tank top pink yang dilepas perlahan. Kamar kecilnya terasa hangat, aroma parfum floral Dian masih menyelimuti udara, dan suara ibunya di dapur—mencuci piring—menggema pelan, bikin Rendi tetap waspada meski pintu terkunci. Dia membuka file video, thumbnail menunjukkan Dian yang mainin rambut dengan senyum nakal, bikin wajah Rendi merah lagi, meski dia mulai terbiasa lihat tante-nya bugil. Kontolnya masih ngaceng di balik celana pendek, tapi dia fokus ke layar, jari-jarinya lincah mengklik untuk mulai edit, berusaha profesional meski pikiran penuh dengan adegan tadi.
Dian, yang tadi syuting cuma pakai bra dan celana pendek, kini udah pakai kembali tank top pink dan celana ketatnya, rambutnya digerai, bikin dia kelihatan santai tapi tetep seksi. Dia duduk di tepi kasur, kakinya disilangkan, tangannya memegang piring kue lapis yang tadi dibawa ibunya Rendi. “Ren, makan kue dulu, biar nggak laper,” katanya, suaranya hangat, mengambil sepotong kue dan menyuapinya ke mulut Rendi, jari-jarinya nyaris menyentuh bibir cowok itu. Rendi, grogi, membuka mulut, “M-Makasih, Tan,” gumamnya, mengunyah pelan, wajahnya memerah karena perhatian kecil itu. Aroma kue manis bercampur parfum Dian, bikin kamar terasa lebih intim, meski Rendi berusaha tetep fokus ke laptop, timeline video mulai terisi klip-klip pendek.
Dian terkekeh, lihat Rendi yang grogi, lalu menyuapi lagi, kali ini sambil mainin rambutnya sendiri. “Rendi sayang, nanti video ini kita jual berapa puluh dolar, ya? Tante pikir 50 dolar cukup, soalnya ini hot banget,” katanya, nadanya penuh antusias, matanya berkilat mikirin potensi OnlyFans mereka. Rendi menoleh, telan kue yang masih di mulut, “50 dolar? Iya, Tan, kayaknya laku, deh, apalagi Tante… ehm, seksi banget tadi,” katanya, suaranya serak, jujur tapi malu, bikin Dian tersenyum lebar. Dia mengambil sepotong kue untuk dirinya sendiri, menggigit kecil, “Hihihi, makasih, Ren. Tante yakin, soalnya udah banyak yang DM, penasaran sama konten baru kita,” lanjutnya, suaranya penuh percaya diri.
Rendi mengangguk, jari-jarinya kembali ke keyboard, mulai nambahin transisi sederhana ke video, potong bagian yang kurang mulus. “Beneran, Tan? Banyak yang DM?” tanyanya, penasaran, melirik Dian yang sekarang duduk lebih dekat, bahunya nyaris nyentuh meja. Dian mengangguk, “Iya, Ren, fans Tante di OnlyFans udah pada nanya, ‘kapan video baru?’ Katanya mereka suka yang tease kayak gini,” katanya, lalu menyuapi Rendi lagi, kue lapisnya tinggal beberapa potong. Rendi nggak bisa nggak senyum, dadanya membusung, bangga jadi bagian dari konten yang ditunggu-tunggu, meski cemburu kecil muncul mikirin cowok-cowok lain yang bakal lihat Dian. “Keren, Tan, berarti kita harus bikin lebih banyak,” katanya, suaranya antusias, mulai ngerasa kayak partner bisnis beneran.
“Pastinya, Ren! Kalau ini laku, kita bikin yang lebih hot, mungkin Tante pake lingerie merah, biar lebih gila,” kata Dian, matanya berkilat, tangannya mainin piring kue, seolah udah ngerencanain adegan berikutnya. Rendi menelan ludah, bayangin Dian pake lingerie merah bikin kontolnya berdenyut lagi, tapi dia cuma mengangguk, “I-Iya, Tan, pasti laku keras,” katanya, berusaha fokus ke laptop, nambahin filter biar video kelihatan lebih cinematic. Dian terkekeh, “Rendi sayang, kamu harus siap, nanti syuting bakal lebih… intens,” godanya, nadanya nakal, bikin Rendi tersenyum malu, wajahnya panas. Kue di tangan Dian disuapin lagi, dan Rendi, meski grogi, ngerasa hangat sama perhatian itu.
Obrolan mereka penuh harapan, kayak dua orang yang lagi ngerencanain startup besar. “Tan, nanti kalau laku, kita bagi duitnya berapa-berapa?” tanya Rendi, suaranya hati-hati, tapi matanya penuh semangat, timeline video udah setengah jadi, musik seksi mulai ditambahin. Dian memikir sebentar, menggigit kue, “Hmm, 60-40, Tante 60, kamu 40, soalnya Tante yang perform, hehe. Tapi kalau laku banyak, Tante kasih bonus, deh,” katanya, mengedipkan mata, bikin Rendi tergagap, “Bonus? Maksudnya… ehm, kayak tadi?” tanyanya, pikiran balik ke blowjob dan ciuman, hati berbunga-bunga. Dian tertawa keras, “Hihihi, nakal, ya, Rendi sayang! Bisa aja, kalau kamu pinter edit,” godanya, tangannya menepuk pundak Rendi.
Rendi kembali ke laptop, senyum nggak bisa ilang dari wajahnya, jari-jarinya nambahin teks pembuka di video, “Dian’s Tease Exclusive,” sesuai saran Dian. “Tan, ini udah oke, tinggal render, nanti aku kirim ke Tante buat cek,” katanya, suaranya lebih percaya diri, mulai nyaman kerja bareng Dian. Dian mengangguk, “Cepet banget, Ren, kamu emang pinter!” pujinya, lalu menyuapi kue terakhir, jari-jarinya sengaja nyentuh bibir Rendi, bikin cowok itu grogi lagi. “Kalau udah selesai, kita upload malam ini, biar fans Tante langsung heboh,” lanjutnya, suaranya penuh rencana, bikin Rendi ngerasa mereka lagi bangun sesuatu yang besar, meski riskan.
Dian bangkit dari kasur, meregangkan tubuh, tank top-nya menegang, memperlihatkan lekuk payudaranya yang bikin Rendi susah nggak melirik. “Ren, Tante ke ruang tamu bentar, nemenin Mama kamu, biar nggak curiga. Kamu selesain edit, ya,” katanya, nadanya santai, tapi matanya penuh godaan, seolah nyemangatin Rendi. “Iya, Tan, aku buru-buru selesain,” jawab Rendi, matanya balik ke layar, progress bar rendering mulai jalan. Dia ngerasa penuh harapan, bayangin duit dari OnlyFans, bonus yang Dian janjikan, dan konten yang bakal makin hot. Cemburu tadi soal fans Dian mulai memudar, diganti semangat buat bikin video ini sukses, apalagi dengan panggilan “Rendi sayang” yang masih bikin dadanya hangat.
Kamar kecil itu terasa seperti markas kecil mereka, laptop menyala, piring kue kosong di kasur, dan aroma parfum Dian yang masih nempel di udara. Rendi melirik pintu, takut ibunya masuk tiba-tiba, tapi suara dapur masih aman, bikin dia fokus ke rendering video. “50 dolar… kalau laku banyak, bisa beli lensa baru,” gumamnya sendiri, tersenyum, mikirin duit yang bakal masuk. Dia nggak sabar nunggu Dian cek hasil edit, bayangin tante-nya tersenyum puas, mungkin kasih kecupan lagi kayak tadi. Kerja bareng Dian bikin dia ngerasa kayak partner, nggak cuma keponakan, dan itu bikin dia semangat meski tahu risiko ketahuan ibunya selalu ada.
“Ren, kamu hebat, beneran,” kata Dian tiba-tiba, ternyata belum ke ruang tamu, berdiri di dekat pintu, tangannya memegang kenop. “Tante nggak nyangka keponakan Tante bisa sehebat ini, bikin video bagus gitu,” lanjutnya, suaranya hangat, bikin Rendi tersenyum lebar, wajahnya merah. “Makasih, Tan… Tante juga yang bikin videonya laku, kan,” balasnya, jujur, bikin Dian terkekeh, “Hihihi, tim kita emang top, ya, Rendi sayang!” katanya, lalu buka pintu pelan, “Tante ke Mama dulu, kabarin kalau udah selesai!” Rendi mengangguk, “Oke, Tan, cepet kok,” jawabnya, balik ke laptop, hati penuh harapan, tahu petualangan ini baru mulai.
Rendering video hampir selesai, dan Rendi ngerasa kayak lagi bangun mimpi bareng Dian—konten OnlyFans yang laku keras, duit yang ngalir, dan “bonus” yang bikin dadanya dagdigdug. Dia melirik piring kue kosong, teringat suapan Dian, jari-jarinya yang nyentuh bibir, dan panggilan manja yang bikin dia bahagia. “Kalau laku, kita bikin yang lebih hot,” gumamnya, ulang kata-kata Dian, tersenyum sendiri.
-------------------
Rendi duduk sendirian di kamar kecilnya, laptop di meja belajar masih menyala, progress bar rendering video OnlyFans tadi hampir selesai. Pintu kamar terkunci, suara ibunya di dapur bercampur dengan aroma masakan yang samar-samar masuk, tapi pikiran Rendi nggak di situ. Dia menatap layar kosong, tapi bayangan Tante Dian—bibirnya yang melingkar di kontolnya, sedotan ganas, dan peju yang membanjiri wajah cantik tante-nya—terus berputar di kepalanya. Sensasi blowjob tadi, hangatnya mulut Dian, dan bunyi “slurp… gluk” yang berisik, terasa begitu nyata, bikin kontolnya berdenyut lagi di balik celana pendek. Dia menelan ludah, wajahnya memanas, tahu momen itu kayak candu yang bakal sulit banget dia lepas.
Dia menyandarkan punggung ke kursi, tangannya refleks menyentuh celana, tapi berhenti, takut kebablasan dan nggak fokus ke editing. Bayangan Dian yang menjilati peju dari jari-jarinya, ucapan “enak, Ren, peju kamu,” dan senyum nakalnya terus ngegangu, bikin Rendi nggak bisa tenang. Dia nggak nyangka, tante yang biasanya cuma ngobrol santai atau bercanda, bisa bikin dia ngerasa kenikmatan yang kayak gitu. Rasa cemburu muncul sekilas, mikirin cowok lain yang mungkin pernah ngerasain mulut Dian, tapi itu cepet ilang, diganti rasa bangga karena Dian bilang kontolnya gede dan enak. “Rendi sayang,” panggilan manja itu terngiang, bikin dadanya hangat, meski dia tahu ini cuma buat konten.
Kamar terasa pengap, sprei biru tua di kasur masih kusut dari guling-gulingan tadi, dan piring kue kosong di tepi kasur jadi pengingat suapan Dian yang bikin dia grogi. Rendi menghela napas, berusaha alihin pikiran ke laptop, tapi tiap kali mata tertutup, dia ngerasa lagi bibir Dian, lidahnya yang main di kepala kontol, dan desahan dia sendiri yang terekam di iPhone. Sensasi itu kayak obat, bikin dia pengen ngerasain lagi, meski tahu betapa riskannya—ibunya cuma beberapa meter di dapur, dan kalo ketahuan, habis sudah. Tapi candu itu, kenikmatan yang Dian kasih, bikin dia nggak bisa nolak bayangin momen berikutnya, apalagi dengan janji “bonus” kalau konten laku.
Dia melirik pintu, takut ibunya tiba-tiba ketuk, tapi suara dapur masih konstan, bikin dia sedikit lega. Rendi kembali ke laptop, jari-jarinya mulai ngecek timeline video, tapi pikirannya nggak fokus, balik lagi ke blowjob tadi—payudara Dian yang gondal-gandul, tangannya yang mengocok, dan mata yang penuh godaan. Dia menggeleng, “Fokus, Ren,” gumamnya sendiri, tapi senyum kecil muncul, tahu sensasi itu udah nempel di otaknya, kayak lagu favorit yang nggak bisa berhenti dinyanyiin. Dia nggak sabar nunggu Dian balik dari ruang tamu, mikirin apa konten berikutnya bakal bikin dia ngerasain candu itu lagi, meski cemas ketahuan selalu ada di sudut pikirannya.
Rendering video selesai, dan Rendi klik save, tapi dia nggak langsung kirim ke Dian, pengen nikmatin sepi kamar sebentar. Dia bersandar lagi, mata menatap langit-langit, bayangan Dian yang nyedot kontolnya balik lagi, bikin kontolnya berdenyut keras. “Gila, Tan… kamu bikin aku gini,” gumamnya, suaranya pelan, campur kagum dan takut. Sensasi blowjob itu, meski cuma sekali, udah kayak candu yang bikin dia pengen lebih, pengen ngerasain bibir Dian lagi, meski tahu ini cuma buat OnlyFans. Kamar kecil ini, dengan sprei kusut dan aroma parfum yang nempel, jadi saksi betapa dalam Rendi udah terjebak, dan dia, meski grogi, nggak bisa bayangin berhenti sekarang.
197Please respect copyright.PENANAMtzp0kjKcW
TO BE CONTINUED
ns216.73.216.37da2