
Cerpen sumberbarokah sekarang bisa dibaca di karyakarsa.
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
-----------------------
Tanteku Bintang Onlyfans - Chapter 8: Tante Keenakan
235Please respect copyright.PENANADB0KDBJSpJ
Tante Dian duduk di kasur Rendi, bra hitamnya sudah terlepas dan tergeletak di lantai, meninggalkan payudaranya yang besar dan bulat bergoyang bebas setiap kali dia bergerak. Payudara itu, seperti pepaya matang, gondal-gandul dengan berat alami, puting coklat mudanya mencuat keras, berkilau samar di bawah cahaya pagi yang menyelinap lewat jendela. Pukul 08:00 pagi, kamar kecil Rendi terasa pengap, aroma parfum floral Dian memenuhi udara, dan suara ibunya yang masih sibuk di dapur bikin Rendi tambah tegang, takut pintu tiba-tiba terbuka. Dian, dengan senyum genit, menatap Rendi yang baru menyalakan kamera kembali, tangannya sudah memainkan puting kirinya, jari-jarinya memutar perlahan, membuat payudara itu bergetar lembut. “Ren, ayo kasih Tante instruksi. Apa yang harus Tante lakuin biar konten ini panas banget?” tanyanya, suaranya rendah dan menggoda, matanya berkilat, bikin Rendi menelan ludah, tangannya gemetar memegang kamera.
Rendi, wajahnya merah dan suaranya serak, mencoba mengumpulkan nyali. Kontolnya sudah keras di balik celana pendek, bikin dia susah berdiri nyaman, tapi dia tahu Dian serius minta arahan. “E-Ehm, Tan, coba… remas-remas dada Tante dulu, kayak… kayak penonton suka gitu, pelan-pelan aja,” katanya, tergagap, berusaha kedengeran profesional meski pikirannya penuh fantasi. Dian mengangguk, tangannya langsung meremas kedua payudaranya, jari-jarinya mencengkeram kulit yang lembut, membuat payudara itu berubah bentuk, bergoyang naik-turun seperti adonan kenyal. Putingnya terjepit di antara jari, dan dia mendesah pelan, “Mmm, kayak gini, Ren?” Payudaranya yang gondal-gandul bergetar hebat, setiap remasan bikin mereka melambung, kulitnya memerah samar, dan Rendi cuma bisa mengangguk kaku, kamera masih merekam, meski matanya susah lepas dari pemandangan itu.
“Terus, Ren, apa lagi?” tanya Dian, suaranya setengah mendesah, tangannya masih meremas, payudaranya bergoyang lebih liar sekarang, puting coklatnya makin mencolok. Rendi, dengan napas tersengal, memberanikan diri, “T-Tan, coba… tarik-tarik putingnya, yang coklat itu, pelan aja, terus… ehm, bilang sesuatu kayak… ‘Sayang, putingku enak, jangan ditarik-tarik gitu, nanti aku croott’.” Wajahnya membakar, nggak nyangka bisa ngomong begitu, tapi Dian tersenyum lebar, matanya penuh godaan. Dia menarik puting kirinya dengan jari, memanjangkannya sedikit, lalu beralih ke kanan, gerakan itu bikin payudaranya terangkat dan bergoyang, putingnya yang mancung berkilau karena keringat tipis. “Sayang, putingku enak… jangan ditarik-tarik gitu, nanti aku croott,” katanya, suaranya manja dan sensual, menatap kamera dengan bibir merekah, desahannya bikin Rendi merinding, kontolnya berdenyut, dan dia susah berdiri tegak, kamera hampir miring di tangannya.
Dian terus memainkan putingnya, kadang memutar, kadang menarik, payudaranya yang gondal-gandul ikut bergerak, menciptakan efek seperti gelombang, kulitnya yang putih mulus kontras dengan puting coklat yang makin keras. Dia mendesah lagi, “Mmm, Ren, penonton bakal gila, nih,” katanya, melirik Rendi dengan senyum nakal, seolah tahu cowok itu lagi berjuang nahan hasrat. Rendi nggak tahan lagi, suaranya pecah saat bilang, “Tan, aku… aku nggak kuat ngeliat Tante, Tante seksi banget,” wajahnya merah padam, matanya buru-buru ke kamera, berusaha nutupin malu, tapi jujurnya bikin Dian terkekeh kecil. Payudaranya masih bergoyang, tangannya sekarang meremas kedua payudara sekaligus, putingnya terjepit, dan desahannya makin keras, bikin Rendi takut ibunya dengar, meski pintu masih tertutup.
-------------------------
Rendi berdiri di sudut kamarnya, tangan gemetar memegang kamera, jantungannya berdetak kencang saat Tante Dian terus memainkan payudaranya yang gondal-gandul di atas kasurnya. Payudara besar itu bergoyang dengan setiap remasan, puting coklat mudanya yang mancung berkilau di bawah cahaya pagi, dan desahannya bikin Rendi susah bernapas. Pukul 08:10 pagi, aroma parfum floral Dian memenuhi kamar, tapi pikiran Rendi kacau—kontolnya semakin keras di balik celana pendek, bikin dia nggak bisa fokus merekam. Wajahnya memerah, napasnya tersengal, dan akhirnya dia nggak tahan. “T-Tan, minta istirahat sebentar, ya… aku… ehm, nggak bisa fokus,” katanya, suaranya serak, buru-buru menurunkan kamera, berharap Dian nggak notice kegugupannya. Dia memalingkan muka, berusaha nutupin tonjolan jelas di celananya, tapi rasa malu dan hasrat yang membakar bikin dia susah berdiri tenang.
Dian, yang masih duduk di kasur, payudaranya terbuka dan bergoyang pelan saat dia berhenti meremas, menatap Rendi dengan senyum nakal. Matanya turun sekilas ke celana Rendi, dan dia terkekeh kecil, seolah sudah tahu apa yang terjadi. “Kamu ngaceng, ya, Ren?” tanyanya, suaranya rendah dan genit, tangannya menyentuh rambut yang sedikit basah, membuat payudaranya terangkat lagi, bikin Rendi tambah grogi. Rendi nggak mau jawab, wajahnya panas, cuma menunduk ke lantai, tapi kontolnya yang keras terlihat jelas, mencetak bentuk di celana pendek yang tipis. Dia mencengkeram kamera lebih erat, berharap Dian ganti topik, tapi dalam hati dia tahu tante-nya nggak bakal berhenti menggoda, apalagi setelah pesan genit semalam yang masih bikin dia pusing.
Dian turun dari kasur dengan gerakan lincah, payudaranya bergoyang hebat, putingnya yang coklat berkilau samar karena keringat tipis. Dia melangkah mendekat ke Rendi, berdiri begitu dekat sampai aroma parfumnya menyapu wajah cowok itu, membuat dadanya sesak. Dengan senyum penuh godaan, Dian membungkuk sedikit, bibirnya dekat dengan telinga Rendi, dan berbisik, “Maaf, ya, Tante bikin kamu nggak fokus. Mau dikeluarin dulu pejunya biar enakan?” Suaranya lembut tapi nakal, napasnya hangat di telinga Rendi, bikin bulu kuduknya merinding. Rendi kaget, matanya membelalak, menatap Dian yang berdiri tanpa bra, payudaranya tepat di depan wajahnya, gondal-gandul dan mengundang. “D-Dikeluarin gimana, Tan?” tanyanya, suaranya serak, pura-pura nggak ngerti, meski jantungannya hampir copot.
Dian terkekeh, meluruskan tubuh, payudaranya bergoyang lagi, lalu menatap Rendi dengan mata penuh tantangan. “Aduh, Ren, jangan pura-pura. Tante kocokin, deh, Tante enakin kontolnya biar kamu bisa fokus di kamera,” katanya, suaranya setengah bercanda tapi ada nada serius yang bikin Rendi nggak yakin apa ini cuma godaan atau tawaran beneran. Payudaranya masih terbuka, putingnya mencuat, dan gerakan tangannya yang main-main dengan rambut bikin Rendi susah berpikir jernih. Dia mengangguk kaku, wajahnya merah padam, malu banget tapi nggak bisa nolak, hasrat yang membakar sejak kemarin bikin dia cuma bisa gumam, “O-Oke, Tan…” Dia buru-buru melirik ke pintu, takut ibunya masuk, tapi suara dapur masih terdengar jauh, memberi sedikit rasa aman di tengah situasi yang makin berbahaya.
Rendi meletakkan kamera di meja, tangannya gemetar, kontolnya yang keras bikin celananya terasa ketat. Dian melangkah lebih dekat, payudaranya hampir menyentuh dada Rendi, aroma parfumnya semakin kuat, dan dia tersenyum, seolah tahu persis kekacauan di pikiran keponakannya. “Tenang, Ren, Tante cepet kok, biar kamu nggak grogi lagi,” bisiknya, tangannya menyentuh lengan Rendi sekilas, bikin cowok itu merinding. Rendi nggak bisa ngomong apa-apa, cuma berdiri kaku, wajahnya panas, pikirannya penuh dengan bayangan payudara Dian yang gondal-gandul, tawaran “kocokin” yang bikin dia kaget, dan ketakutan kalau ibunya tiba-tiba buka pintu. Kamar kecilnya sekarang terasa seperti perangkap, dan dia tahu dia nggak punya kendali atas apa yang bakal terjadi selanjutnya.
Dian menarik Rendi pelan ke arah kasur, payudaranya bergoyang dengan setiap langkah, lalu duduk di tepi kasur, menepuk tempat di sampingnya. “Sini, Ren, Tante beresin cepet, abis itu kita lanjutin syuting,” katanya, nadanya santai tapi penuh godaan, seolah ini cuma hal biasa. Rendi, dengan napas tersengal, duduk di samping Dian, kontolnya masih keras, dan dia berusaha nggak melirik payudara yang cuma sejangkauan tangan. Pikirannya kacau—malu karena Dian tahu dia ngaceng, senang karena tawarannya, tapi juga takut karena ini tante-nya, dan ibunya cuma beberapa meter di dapur. Dia menelan ludah, menunggu langkah Dian, tahu bahwa kamar ini, dengan aroma parfum dan payudara gondal-gandul itu, udah bikin dia terjebak dalam situasi yang nggak pernah dia bayangin sebelumnya.
---------------------------------
Pukul 08:15 pagi, suara ibunya di dapur terdengar samar, tapi itu nggak cukup untuk menenangkan Rendi, apalagi setelah Dian berbisik menawarkan untuk “kocokin” kontolnya supaya dia bisa fokus. Dian, dengan senyum nakal, tiba-tiba menepuk kasur, menyuruh, “Ren, rebahan dulu, dong, biar Tante urus kamu.” Rendi menelan ludah, napasnya tersengal, dan dengan gerakan ragu dia merebahkan diri di kasur, kontolnya yang keras bikin celana pendeknya mencetak bentuk jelas. Dalam hati, dia bahagia banget diperlakukan begini oleh tante cantiknya, tapi rasa malu dan takut ibunya masuk bikin dia grogi.
Dian melangkah ke pintu kamar, memastikan sudah terkunci dengan bunyi klik yang bikin Rendi tambah dagdigdug. “Biar aman, Ren,” katanya, terkekeh kecil, lalu kembali ke kasur, payudaranya bergoyang dengan setiap langkah, puting coklat mudanya mencuat keras. Dia duduk di samping Rendi, tangannya dengan berani meraih pinggang celana pendek Rendi, menariknya pelan bersama celana dalamnya. Rendi sempat meronta, tangannya mendorong tangan Dian, “T-Tan, jangan… ini… ehm, nggak bener,” gumamnya, suaranya serak, tapi dalam hati dia nggak mau Dian berhenti—bayangan tangan Dian yang lentik menyentuh kontolnya bikin dia bahagia, meski rasa bersalah nyelinap. Dian cuma tersenyum, “Tenang, Ren, Tante tahu kamu mau,” katanya, dan dalam sekejap celana dan celana dalam Rendi sudah melorot ke pergelangan kaki, memperlihatkan kontolnya yang tegang, berdiri keras dengan urat-urat samar di permukaan.
Dian menatap kontol Rendi, matanya membelalak, lalu tangannya meraba pelan batang yang panas itu, jari-jarinya melingkar dengan lembut, merasakan teksturnya. “Wow, gede juga punya kamu, Ren. Kayak punya mantan Tante, loh,” katanya, suaranya setengah kagum, setengah menggoda, payudaranya bergoyang saat dia membungkuk untuk lihat lebih dekat. Rendi merasa bangga, kontolnya dipuji bikin dadanya membusung, tapi ada cemburu kecil karena dibandingkan sama mantan pacar Dian—dia pengen jadi satu-satunya yang istimewa buat tante-nya. Dia cuma mengangguk malu, wajahnya merah, nggak tahu harus bilang apa, tapi saat jari-jari Dian mulai mengocok pelan batangnya, naik-turun dengan ritme lembut, dia mendesah, “Uhh… Tan…,” suaranya pelan, kenikmatan bikin dia lupa sejenak rasa cemburu itu.
Dian tersenyum, melihat reaksi Rendi, lalu tiba-tiba membungkuk lebih rendah, bibirnya mendekati ujung kepala kontol yang sudah merah dan licin. Dia mengecup-ngecup kepala itu dengan manja, bibirnya lembut menyentuh kulit sensitif, setiap kecupan bikin Rendi menggigil, desahannya makin keras, “Ohh… Tan, enak…” Dian terkekeh di sela kecupan, payudaranya yang gondal-gandul bergoyang pelan, hampir menyentuh paha Rendi. Tiba-tiba, dia mengangkat kepala, matanya berkilat dengan ide baru. “Ren, coba kamu rekam Tante sepong kontol kamu, deh. Pake HP aja, ini buat konten OnlyFans juga, pasti laku keras,” katanya, nadanya antusias, tangannya masih mengocok pelan, bikin Rendi nggak bisa nolak. Dia menunjuk iPhone 15 Pro Max-nya yang tergeletak di meja, kilau titaniumnya mencolok di bawah cahaya pagi.
Rendi, dengan napas tersengal, meraih iPhone Dian, tangannya gemetar saat membuka aplikasi kamera, kontolnya masih berdenyut di tangan Dian. “T-Tan, serius? Ini… buat OnlyFans?” tanyanya, suaranya serak, kaget tapi juga excited, hasrat bikin dia lupa sejenak betapa berbahayanya ini. Dian mengangguk, “Iya, Ren, rekam dari sudut atas, biar muka Tante sama kontol kamu kelihatan jelas. Penonton suka yang real gini,” katanya, lalu kembali mengecup kepala kontol, kali ini lebih lama, bibirnya melingkar di ujung, lidahnya menyentuh sedikit, bikin Rendi mendesah keras, “Ohh… Tan…” Dia menyalakan rekaman, layar iPhone menunjukkan Dian yang mulai menyedot pelan, payudaranya bergoyang setiap kali kepalanya bergerak, putingnya menyentuh paha Rendi, menciptakan sensasi yang bikin dia susah pegang HP stabil.
Rendi berbaring, badannya tegang, kenikmatan dari mulut Dian bikin dia melayang, tapi tangannya berusaha tetep merekam, menangkap setiap gerakan bibir Dian yang meluncur di batangnya, desahan pelan dari tante-nya, dan payudara yang bergoyang bebas. Dalam hati, dia bahagia banget—tante cantiknya, yang biasa cuma ada di fantasi, sekarang bikin dia enak, dan dia yang rekam momen ini. Tapi rasa cemburu tadi masih nyelinap, apalagi mikirin konten ini bakal dilihat ribuan cowok di OnlyFans. “Tan… ini… enak banget,” gumamnya, suaranya serak, berusaha fokus ke rekaman, meski pikirannya kacau antara nikmat, malu, dan takut ibunya tiba-tiba ketuk pintu. Kamar kecilnya sekarang terasa seperti studio rahasia, dan Rendi tahu dia udah terlalu dalam buat mundur.
Dian terus menyedot, kepalanya naik-turun dengan ritme yang bikin Rendi mendesah lebih keras, tangannya masih mengocok bagian bawah batang, payudaranya sesekali menyentuh paha Rendi, bikin sensasi tambah gila. “Ren, pegang HP-nya stabil, ya, biar bagus,” katanya di sela sedotan, suaranya gedal, lalu kembali melingkarkan bibir di kontol, lidahnya bermain di ujung, bikin Rendi menggigil. Dia berusaha patuh, merekam dengan iPhone, layar menunjukkan wajah Dian yang sensual, payudara yang gondal-gandul, dan kontolnya yang basah karena air liur. Tapi di balik kenikmatan, Rendi takut—pintu terkunci, tapi ibunya cuma beberapa meter di dapur, dan konten ini, meski bikin dia bahagia, bikin dia cemas kalau sampai ketahuan. Dia mendesah lagi, “Tan… aku… nggak tahan…,” suaranya penuh nikmat dan kepanikan, terjebak di momen yang terlalu panas untuk dia tangani.
-------------------------------------
Rendi berbaring di kasurnya, napasnya tersengal, iPhone 15 Pro Max Tante Dian di tangannya gemetar merekam momen yang bikin kepalanya pening. Tante Dian, payudaranya yang gondal-gandul bergoyang bebas, sedang menyedot kontolnya dengan penuh semangat, bibirnya meluncur naik-turun, lidahnya bermain di ujung, bikin Rendi mendesah, “Ohh… Tan…” Pukul 08:20 pagi, kamar kecilnya terasa seperti studio rahasia, aroma parfum floral Dian memenuhi udara, dan suara ibunya di dapur—menggoreng sesuatu—bikin Rendi tambah takut pintu tiba-tiba terbuka, meski sudah terkunci. Dian, yang tadinya cuma mengocok dan mengecup kontolnya, tiba-tiba seperti masuk mode lain, matanya menatap Rendi dengan ekspresi lembut, seolah bukan tante, tapi kekasih. “Sayang, kontol kamu gede banget, sih, enak nih,” katanya, suaranya manja, penuh rayuan, lalu kembali menyedot dengan bunyi “slurp slurp,” bikin Rendi merinding, tangannya hampir menjatuhkan HP.
Dian, dalam mode roleplay kekasih, menarik kepalanya, bibirnya berkilau karena air liur, lalu mulai mencium dan menjilati kontol Rendi dari bawah. Dia memulai dari biji, lidahnya menyapu kulit yang sensitif dengan gerakan pelan, bikin Rendi menggigil, desahannya keluar tanpa sadar, “Uhh… Tan…” Dian terkekeh, “Sabar, Sayang, Tante… ehm, aku bikin kamu enak,” katanya, tetap dalam peran pacar, lalu menjilati batang kontolnya dari bawah ke atas, lidahnya meluncur di urat-urat yang menonjol, payudaranya bergoyang setiap kali dia bergerak, puting coklat mudanya sesekali menyentuh paha Rendi. Rendi berusaha merekam, layar iPhone menunjukkan wajah Dian yang sensual, tapi tangannya gemetar, kenikmatan bikin dia susah fokus, apalagi dengan pintu terkunci yang jadi satu-satunya penghalang dari ibunya.
Sampai di kepala kontol yang merah dan licin, Dian berhenti, menatapnya dengan mata penuh kekaguman, seolah itu benda paling menarik di dunia. “Aduh, Sayang, kepalanya menggemaskan banget,” katanya, suaranya gedal, lalu mengecup ujung itu berkali-kali, bibirnya lembut menyentuh kulit sensitif, setiap kecupan bikin Rendi mendesah lebih keras, “Ohh… Tan, gila…” Dian tersenyum, kecupannya makin manja, lidahnya sesekali menyentuh lubang kecil di ujung, bikin Rendi meronta pelan, kakinya menegang di kasur. Payudaranya, yang gondal-gandul, bergoyang pelan saat dia membungkuk, hampir menyentuh batang kontol, menambah sensasi yang bikin Rendi nggak bisa berpikir jernih. Dia berusaha pegang iPhone stabil, merekam setiap kecupan, tapi kenikmatan bikin tangannya goyah, layar kadang miring.
Tiba-tiba, Dian mengangkat kepala, menatap kontol Rendi, lalu meludah ke arahnya dari atas, air liurnya jatuh menetes, mengenai kepala kontol dan meluncur pelan ke batang, melumuri sekujur permukaan hingga biji. “Biar licin, Sayang,” katanya, suaranya nakal, lalu meludah lagi, dua kali, air liur bening itu berkilau di kulit kontol, bikin tampilannya makin menggoda di layar iPhone. Rendi menahan napas, desahannya keluar pelan, “Tan… ini… gila banget…” Dian terkekeh, payudaranya bergoyang saat dia mencondongkan tubuh, tangan kirinya mulai mengocok batang kontol yang sekarang basah dan licin, gerakan naik-turun yang pelan tapi mantap, sementara tangan kanannya menggesek kepala kontol dengan telapak tangan, gerakan melingkar yang bikin Rendi meronta-ronta, “Ohh… Tan, pelan… aku nggak tahan…”
Rendi merasa badannya seperti terbakar, kenikmatan dari dua tangan Dian—satu mengocok batang, satu lagi menggesek kepala kontol—bikin pinggulnya naik-turun tanpa sadar, tapi dia masih berusaha merekam, iPhone di tangannya menangkap setiap detail: air liur yang menetes, tangan Dian yang lentik, dan payudara yang bergoyang bebas, putingnya kadang menyentuh paha Rendi. “Sayang, enak, kan? Kontol gede gini pasti bikin cewek klepek-klepek,” kata Dian, tetap dalam roleplay pacar, suaranya manja, lidahnya sesekali menjilat ujung kontol di sela kocokan, bikin Rendi mendesah keras, “Uhh… Tan, enak banget…” Dia berusaha fokus ke rekaman, tapi sensasi itu bikin kepalanya kosong, cuma bisa mikirin nikmatnya mulut dan tangan Dian.
Dian mempercepat kocokan tangan kirinya, batang kontol yang basah berbunyi licin setiap gerakan, sementara telapak tangan kanannya menggosok kepala kontol lebih cepat, bikin Rendi meronta lebih hebat, kakinya menendang sprei, “Tan… aku… ohh, nggak kuat…” desahnya, suaranya serak, tapi tangannya masih pegang iPhone, merekam wajah Dian yang sekarang penuh konsentrasi, bibirnya merekah, payudaranya bergoyang liar karena gerakan tangannya. “Tahan, Sayang, biar Tante… ehm, aku bikin kamu croott enak,” katanya, terkekeh kecil, lalu menjilat kepala kontol sekali lagi, lidahnya bermain di lubang kecil, bikin Rendi menggigil. Layar iPhone menunjukkan pemandangan yang terlalu panas—kontolnya yang melengkung, air liur yang menetes, dan Dian yang seperti kekasih idaman.
Rendi merasa puncaknya semakin dekat, kenikmatan dari kocokan dan gesekan tangan Dian bikin pinggulnya menggoyang, tapi dia berusaha tetep merekam, tahu konten ini buat OnlyFans dan Dian pengen hasil yang bagus. “Tan… ini… gila, aku mau…” gumamnya, suaranya penuh kepor, wajahnya memerah, campuran malu dan nikmat bikin dia nggak. Dian melirik ke atas, matanya penuh godaan, “Rekam terus, Sayang, nanti kita edit bareng,” katanya, lalu kembali mengocok dengan dua tangan, payudaranya bergoyang, air liur di kontolnya berkilau di bawah cahaya. Rendi mendesah keras, berusaha tahan, “Tan… enak banget…,” tapi pikirannya cuma bisa fokus ke nikmat, lupa sejenak ibunya di dapur atau risiko kalau konten ini ketahuan—cuma ada dia, Dian, dan iPhone yang jadi saksi momen terlarang ini.
Kamar kecil itu sekarang terasa seperti dunia lain, pintu terkunci jadi satu-satunya pelindung dari dunia luar. Rendi tahu dia udah terlalu dalam, kenikmatan dari tangan dan mulut Dian bikin dia nggak bisa mundur, tapi rasa takut dan malu masih ada, bikin dia terus. Dia terus merekam, tangan gemetar, desahannya bercampur dengan bunyi licin dari kocokan Dian, dan payudara yang gondal-gandul bikin dia nggak bisa mikir apa-apa selain puncak yang makin dekat. “Sayang, Tante bikin kamu enak, ya?” tanya, suaranya manja, kembali ke roleplay, dan Rendi cuma bisa mengangguk, “Iya… Tan… gila…,” suaranya penuh nikmat, terjebak dalam godaan tante yang kini, di kasurnya, jadi lebih dari sekadar tante—dia kekasih dalam fantasi yang bikin dunia nyatanya jungkir balik.
235Please respect copyright.PENANA81uwqtQc6o
--------------------------
235Please respect copyright.PENANA44vilMtVr7
TO BE CONTINUED
235Please respect copyright.PENANAI6vrCbMNbe