
Cerpen sumberbarokah sekarang bisa dibaca di karyakarsa.
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
-----------------------
Tanteku Bintang Onlyfans - Chapter 9: Keluar Banyak Di Muka Tante
255Please respect copyright.PENANAAMB9f6m9aF
255Please respect copyright.PENANAmEW8TaTZlD
Rendi berbaring di kasurnya, badannya menegang, iPhone 15 Pro Max Tante Dian masih di tangannya, merekam aksi tante-nya yang kini menyedot dan mengocok kontolnya dengan penuh semangat. Pukul 08:25 pagi, kamar kecilnya terasa seperti dunia terpisah, aroma parfum floral Dian memenuhi udara, dan suara gorengan dari dapur ibunya di kejauhan bikin jantungan Rendi berdetak kencang, takut pintu terkunci itu tiba-tiba terbuka. Dian, dalam mode roleplay kekasih, tiba-tiba mempercepat kocokannya, tangan kirinya menggenggam batang kontol yang basah oleh air liurnya, naik-turun dengan gerakan brutal, bikin bunyi licin yang bergema di kamar. Payudaranya yang gondal-gandul bergoyang liar, puting coklat mudanya mencuat, hampir menyentuh paha Rendi, sementara matanya menatap keponakannya dengan senyum genit. “Sayang, enak, ya? Kontol gede kamu kayak pengen meledak,” katanya, suaranya manja, bikin Rendi mendesah pelan, “Uhh… Tan… gila…”
Tangan kanan Dian berpindah ke kepala kontol Rendi, yang kini memucat karena tegang maksimal, kulitnya merah pucat dan licin, sensitif banget sampai sentuhan sekecil apa pun bikin Rendi menggigil. Dia mulai menggosok kepala itu dengan telapak tangannya, gerakan melingkar yang kasar, nggak pelan-pelan lagi, telapaknya yang hangat bergesekan dengan kulit sensitif, bikin Rendi meronta, dengkulnya gemetar di kasur. “Ohh… Tan, pelan… aku… nggak tahan…” desahnya, suaranya serak, tapi Dian malah terkekeh, payudaranya bergoyang lebih hebat saat dia mencondongkan tubuh, intensitas gosokannya makin brutal. “Sabar, Sayang, Tante bikin kamu croott enak,” katanya, nadanya genit, lidahnya sesekali menjilat bibir, seolah menikmati reaksi Rendi yang semakin nggak karuan.
Rendi menutup mulutnya dengan tangan kiri, berusaha meredam desahan yang makin keras, “Mmmph… Tan… ohh…” tapi kenikmatan dari gosokan kasar Dian di kepala kontolnya bikin dia nggak bisa diam, pinggulnya naik-turun tanpa sadar, sprei biru tua di bawahnya mulai kusut. Kepala kontolnya, yang pucat dan sensitif, terasa seperti terbakar, setiap gesekan telapak tangan Dian bikin sensasi listrik menyambar seluruh tubuhnya, bikin dengkulnya gemetar lebih hebat, hampir nggak kuat nahan beban kenikmatan. Dia masih merekam dengan iPhone, layar menunjukkan tangan Dian yang lincah, kontolnya yang basah berkilau, dan payudara yang bergoyang seperti menari, tapi tangannya goyah, rekaman kadang miring karena dia susah fokus.
Dian, mendengar desahan Rendi yang teredam, malah tambah genit, matanya berkilat, seolah desahan itu bahan bakar buat dia. “Aduh, Sayang, desahan kamu bikin Tante pengen kasih lebih,” katanya, suaranya gedal, lalu mempercepat gosokan di kepala kontol, telapak tangannya sekarang berputar lebih kasar, kadang menekan sedikit, bikin Rendi merintih di balik tangan yang nutupin mulutnya, “Mmmph… Tan… gila…” Tangan kiri Dian nggak berhenti mengocok batang, gerakan naik-turun yang brutal bikin bunyi licin makin keras, air liur yang tadi diludahkan masih melumuri kontol sampai biji, menambah sensasi licin yang bikin Rendi merasa puncaknya makin dekat.
Payudara Dian, yang gondal-gandul, bergoyang lebih liar karena gerakan tangannya, putingnya sesekali menyentuh paha Rendi, bikin cowok itu merinding, sensasi tambahan yang bikin dia makin nggak kuat. “Sayang, kontol kamu kok makin gede, sih? Tante suka banget,” kata Dian, tetap dalam roleplay, suaranya manja, lalu membungkuk sedikit, payudaranya hampir menyentuh batang kontol, bikin Rendi mendesah lebih keras, “Ohh… Tan, aku… mau…” Dia berusaha pegang iPhone stabil, tapi kenikmatan bikin tangannya gemetar, layar iPhone menangkap setiap detail—tangan Dian yang menggosok kasar, kepala kontol yang memucat, dan wajahnya yang penuh godaan, bibir merekah seperti mengundang.
Rendi merasa badannya seperti meleleh, dengkulnya gemetar nggak berhenti, dan dia cuma bisa menahan mulutnya supaya desahannya nggak kedengeran sampai dapur. “Tan… aku… nggak tahan… croott…” gumamnya, suaranya teredam, tapi Dian nggak pelanin tempo, malah tambah intens, telapak tangannya menggosok kepala kontol dengan gerakan cepat, kadang menekan ujung yang paling sensitif, bikin Rendi meronta hebat, pinggulnya terangkat dari kasur. “Tahan, Sayang, biar Tante bikin spektakuler,” kata Dian, terkekeh, payudaranya bergoyang seperti mengiringi ritme tangannya, putingnya berkilau karena keringat tipis, bikin Rendi susah lepas pandang meski dia berusaha fokus merekam.
Bunyi licin dari kocokan dan gosokan Dian memenuhi kamar, bercampur desahan Rendi yang teredam dan napas Dian yang mulai berat karena usaha. “Sayang, kamu kuat banget tahan gini, Tante bangga,” katanya, suaranya penuh rayuan, lalu menambah tekanan di kepala kontol, gerakan telapak tangannya sekarang seperti memoles, bikin Rendi merasa puncaknya udah di ujung. “Tan… aku… ohh…” desahnya, tangan kirinya mencengkeram sprei, iPhone hampir jatuh, tapi dia masih merekam, tahu konten ini buat OnlyFans dan Dian pengen hasil yang panas. Layar menunjukkan kepala kontol yang memucat, basah oleh air liur, dan tangan Dian yang nggak berhenti, payudaranya yang gondal-gandul jadi latar yang bikin rekaman ini terlalu gila buat Rendi bayangin bakal dilihat orang.
Rendi merasa seluruh tubuhnya bergetar, kenikmatan dari gosokan kasar Dian bikin dia nggak bisa mikir apa-apa lagi, cuma bisa desah dan rekam, meski tangannya goyah. “Tan… aku… mau keluar…” katanya, suaranya serak, hampir putus asa, tapi Dian cuma tersenyum, “Ayo, Sayang, croott buat Tante,” katanya, nadanya genit, tangannya masih menggosok kepala kontol dengan brutal, bikin dengkul Rendi gemetar seperti mau roboh. Dia menutup mulutnya lebih erat, takut ibunya dengar, tapi desahannya bocor, “Mmmph… ohh…” Pikirannya cuma penuh nikmat, payudara Dian yang bergoyang, dan tangan yang bikin dia melayang, lupa sejenak risiko kalau ibunya ketuk pintu atau konten ini ketahuan.
-----------------------------------
Dian, dengan payudara gondal-gandul yang bergoyang bebas, tiba-tiba menghentikan kocokan tangannya dan membungkuk lebih rendah, bibirnya langsung melahap kepala kontol Rendi dengan ganas, menyedot dengan rakus seperti kelaparan. Bunyi “slurp… slurp…” yang berisik memenuhi kamar, air liur Dian melumuri kepala kontol yang sudah memucat, bikin Rendi mendesah keras, “Ohh… Tan… gila…” Tangannya berusaha pegang iPhone stabil, tapi kenikmatan bikin rekaman goyah, layar menangkap bibir Dian yang meluncur dengan liar.
Sedotan Dian begitu kuat, seperti vakum, bibirnya melingkar erat di kepala kontol, lidahnya berputar di ujung yang sensitif, bikin Rendi merem-melek, kepalanya terasa ringan. Dalam pikirannya, dia yakin ini bukan pertama kalinya Dian memuaskan laki-laki—kenyotan bibirnya, cara lidahnya bermain dengan presisi, dan rakusnya dia menyedot bikin Rendi berpikir tante-nya pasti udah bikin banyak cowok muncrat sebelum ini. “Pasti dia udah sering banget ngelakuin ini,” gumamnya dalam hati, cemburu kecil muncul, membayangkan laki-laki lain yang pernah merasakan mulut Dian yang sekarang milik dia, meski cuma untuk konten OnlyFans. Payudara Dian bergoyang hebat saat kepalanya naik-turun, puting coklat mudanya sesekali menyentuh paha Rendi, menambah sensasi yang bikin dia susah berpikir jernih.
Dian menyedot lebih liar, bunyi sedotannya makin berisik, “slurp… slurp… srupp…” bercampur air liur yang menetes dari sudut bibirnya, melumuri batang kontol sampai biji, bikin permukaannya berkilau di bawah cahaya pagi. Bunyi itu begitu keras, Rendi panik, takut ibunya di dapur dengar, apalagi dinding kamarnya tipis. “T-Tan… pelan… nanti Mama dengar…” desahnya, suaranya serak, tangan kirinya mencengkeram sprei, berusaha redam kenikmatan yang bikin dia nggak bisa diam. Tapi Dian, seperti nggak peduli, malah menyedot lebih kuat, kepalanya bergerak cepat, bibirnya mengerut, menciptakan tekanan seperti vakum yang bikin Rendi merintih, “Ohh… Tan… aku…” Matanya merem-melek, iPhone hampir jatuh, tapi dia berusaha rekam, tahu Dian pengen konten yang panas.
“Sayang, kontol kamu enak banget, gede gini,” kata Dian di sela sedotan, suaranya gedal, tetap dalam mode roleplay kekasih, lalu kembali melahap kepala kontol, lidahnya menyapu lubang kecil di ujung, bikin Rendi menggigil, dengkulnya gemetar di kasur. Air liur Dian menetes lebih banyak, beberapa tetes jatuh ke sprei, bikin noda basah kecil, dan bunyi sedotannya makin tak terkendali, seperti mesin yang nggak bisa berhenti. Rendi cemburu lagi, mikirin cowok-cowok lain yang mungkin pernah Dian puasin dengan mulut yang sama, tapi kenikmatan yang dia rasain sekarang bikin cemburu itu cuma nyelinap sebentar—Dian, tante cantiknya, lagi memuaskan dia, dan itu bikin dia bahagia meski tahu ini cuma buat konten. “Tan… enak… banget…” desahnya, suaranya penuh nikmat, tangannya goyah merekam wajah Dian yang penuh konsentrasi.
Payudara Dian, yang gondal-gandul, bergoyang lebih liar seiring gerakan kepalanya, kadang menyentuh batang kontol yang basah, bikin Rendi merinding, sensasi tambahan yang bikin dia nggak tahan. “Mmm… Sayang, Tante pengen kamu croott di mulut Tante,” kata Dian, suaranya teredam karena bibirnya penuh, lalu menyedot lagi, kali ini lebih dalam, kepala kontol masuk sampai tenggorokan, bikin bunyi “gluk… gluk…” yang bikin Rendi panik, takut bunyi itu sampai ke dapur. “Tan… pelan… Mama… ohh…” desahnya, tangan kirinya menutup mulut, berusaha redam suara, tapi Dian malah tambah rakus, kepalanya naik-turun cepat, air liur menetes ke biji, bikin permukaan kontol makin licin dan berkilau di layar iPhone.
Rendi merasa puncaknya makin dekat, sedotan Dian yang seperti vakum bikin pinggulnya naik-turun tanpa sadar, sprei di bawahnya makin kusut. “Tan… aku… mau keluar…” gumamnya, suaranya serak, matanya merem-melek, kenikmatan bikin dia lupa sejenak cemburu tadi. Dian melirik ke atas, matanya berkilat, “Ayo, Sayang, croott buat Tante,” katanya, lalu kembali menyedot, bibirnya mengerut erat, lidahnya bermain di kepala kontol, bikin Rendi merintih, “Ohh… Tan… gila…” iPhone masih merekam, menangkap bibir Dian yang basah, air liur yang menetes, dan payudara yang bergoyang, tapi tangannya goyah, rekaman kadang buram karena dia susah tahan getaran tubuhnya.
Bunyi sedotan yang berisik, “slurp… srupp… gluk…,” bikin Rendi tambah khawatir, bayangin ibunya tiba-tiba ketuk pintu karena dengar suara aneh. “Tan… suaranya… pelan dong…” pintanya, suaranya putus-putus, tapi Dian cuma terkekeh, “Tenang, Sayang, Mama nggak dengar, fokus ke Tante,” katanya, lalu menyedot lebih dalam, kepala kontol menghilang di mulutnya, bikin Rendi meronta, kakinya menendang sprei. Payudaranya yang gondal-gandul sesekali menyentuh paha Rendi, putingnya yang keras bikin sensasi tambahan yang bikin dia nggak bisa mikir apa-apa selain nikmat. iPhone masih merekam, layar menunjukkan pemandangan yang terlalu panas—Dian yang rakus, kontolnya yang basah, dan bunyi sedotan yang bikin kamar ini terasa seperti studio film dewasa.
Rendi tahu dia nggak akan tahan lama, sedotan Dian yang ganas bikin puncaknya tinggal hitungan detik. “Tan… aku… ohh… mau croott…” desahnya, tangan kirinya mencengkeram sprei, iPhone hampir jatuh, tapi dia berusaha pegang, tahu konten ini penting buat OnlyFans. Dian, mendengar desahan itu, tambah liar, kepalanya bergerak cepat, bibirnya menyedot seperti nggak mau lepas, air liur menetes ke kasur, bikin noda basah lebih besar. “Croott, Sayang, Tante mau rasain,” katanya di sela sedotan, suaranya gedal, payudaranya bergoyang, dan Rendi cuma bisa mendesah, “Tan… aku… ohh…” Pikirannya penuh nikmat, cemburu tadi hilang, diganti kebahagiaan bahwa Dian, meski mungkin udah puasin banyak cowok, sekarang cuma buat dia, meski cuma buat konten.
--------------------------------------
Kepala kontolnya, sensitif dan pucat, terasa seperti disambar petir setiap kali bibir Dian menyedot, lidahnya bermain di ujung, dan tekanan seperti vakum bikin Rendi nggak tahan lagi. “Tan… aku… mau croott…” desahnya, suaranya serak, pinggulnya terangkat, dan dengan satu sedotan kuat dari Dian, dia akhirnya muncrat, peju hangat, putih, amis, dan kental menyembur deras, mengenai wajah cantik Dian yang tepat di depannya.
Peju Rendi membanjiri wajah Dian, cairan kental itu menutupi mata, hidung, pipi, dan bibirnya, beberapa tetes bahkan mengalir ke dagu, berkilau di bawah cahaya pagi yang masuk lewat jendela. Wajah Dian, yang tadi sensual dengan makeup tipis, kini dipenuhi sperma yang lumayan banyak, bikin dia kesulitan membuka mata, bulu matanya lengket karena peju yang kental. “Uhh… Ren, banyak banget!” katanya, suaranya setengah kaget setengah terkekeh, tangannya refleks menyentuh wajah, merasakan cairan hangat itu. Payudaranya yang gondal-gandul bergoyang pelan saat dia menegakkan tubuh, peju di pipinya menetes ke leher, menciptakan pemandangan yang bikin Rendi, meski baru croott, masih merasa panas. Dia buru-buru mematikan rekaman di iPhone, jari-jarinya gemetar, layar menunjukkan wajah Dian yang basah oleh pejunya, bikin dia malu tapi juga kagum.
Rendi panik, meletakkan iPhone di kasur dan meraih tisu dari meja belajar yang penuh kabel. “T-Tan, tunggu, aku ambilin tisu!” katanya, suaranya serak, wajahnya merah karena malu dan kaget, nggak nyangka pejunya sebanyak itu. Dia ingin mengelap wajah Dian, takut tante-nya marah atau ngerasa jijik, tapi Dian justru mengangkat tangan, menghentikannya dengan senyum nakal. “Nggak usah, Ren, Tante bisa sendiri,” katanya, lalu dengan satu tangan mulai mengelap peju dari wajahnya, jari-jarinya mengumpulkan cairan kental itu dari pipi dan dagu. Alih-alih membuangnya, dia menyeruput peju itu dari jari, bibirnya merekah, menjilati cairan putih dengan santai, seolah itu hal wajar. Rendi membelalak, nggak bisa ngomong, kontolnya yang mulai lemas tiba-tiba berdenyut lagi melihat pemandangan itu.
“Hmm, udah lama nggak minum peju, hehe,” kata Dian, suaranya genit, matanya yang akhirnya bisa terbuka menatap Rendi dengan godaan. Dia menjilati jari-jarinya satu per satu, memastikan setiap tetes peju yang basah hilang, lidahnya bergerak lincah, bikin bunyi kecil yang bikin Rendi merinding. Peju yang tadi menutupi hidung dan bibirnya sekarang tinggal sedikit, kulitnya kembali mulus, cuma sedikit kilau basah di sudut bibir. “Enak, Ren, peju kamu,” lanjutnya, terkekeh, payudaranya bergoyang saat dia menyandarkan tubuh ke dinding di samping kasur, seolah baru selesai makan camilan favorit. Rendi cuma bisa menatap, wajahnya panas, campuran malu, bangga, dan kaget bikin dia nggak tahu harus bilang apa, tangannya masih memegang tisu yang nggak terpakai.
Dian menyeka sisa peju di dagunya dengan punggung tangan, lalu menjilatinya lagi, gerakan itu bikin payudaranya bergetar, puting coklat mudanya masih mencuat keras. “Kamu hebat, Ren, croott sebanyak ini, pasti penonton OnlyFans suka,” katanya, nadanya penuh percaya diri, seolah momen ini cuma bagian dari pekerjaan. Rendi mengangguk kaku, “T-Tan… itu… banyak banget, ya, maaf…” gumamnya, suaranya serak, berusaha nutupin groginya, tapi dalam hati dia bahagia banget—tante cantiknya nggak cuma nggak marah, malah menikmati pejunya. Tapi cemburu kecil dari tadi, mikirin cowok lain yang mungkin pernah Dian puasin, masih nyelinap, apalagi dengan ucapan “udah lama nggak minum peju” yang bikin dia penasaran soal masa lalu Dian.
Kamar kecil itu terasa pengap, aroma peju amis bercampur parfum Dian, dan suara dapur ibunya yang sekarang beralih ke bunyi piring bikin Rendi tiba-tiba sadar betapa berisikonya situasi ini. “Tan… nanti kalau Mama masuk…” katanya, suaranya panik, buru-buru menarik celana pendeknya yang masih melorot di pergelangan kaki. Dian cuma tersenyum, bangun dari kasur, payudaranya bergoyang hebat, lalu meraih tank top pink dari lantai. “Tenang, Ren, pintu kan dikunci. Kita istirahat dulu, abis ini lanjutin syuting,” katanya, nadanya santai, sambil menyesuaikan tank top, meski tali bra hitamnya yang tadi dilepas masih tergeletak. Rendi mengangguk, tangannya gemetar menyimpan tisu, iPhone di kasur menunjukkan rekaman yang baru selesai, bikin dia nggak percaya ini beneran terjadi.
Dian duduk kembali di kasur, kakinya disilangkan, payudaranya yang sekarang tertutup tank top masih terlihat menonjol, kulitnya sedikit memerah karena panasnya momen tadi. “Kamu oke, Ren? Muka kamu merah banget,” godanya, terkekeh kecil, tangannya menyentuh lengan Rendi sekilas, bikin cowok itu melompat kecil, wajahnya makin panas. “I-Iya, Tan, aku… ehm, nggak apa-apa,” bohongnya, berusaha tenang, meski pikirannya penuh dengan bayangan wajah Dian yang dipenuhi pejunya, jari-jarinya yang menjilati sperma, dan ucapan “enak” yang bikin dia bangga sekaligus cemburu. Dia melirik iPhone, tahu rekaman itu bakal jadi konten OnlyFans yang laku keras, tapi rasa takut kalau ibunya curiga atau konten ini ketahuan bikin dadanya sesak.
Rendi menarik napas dalam, berusaha fokus, tapi aroma peju yang masih samar dan pemandangan Dian yang santai menjilati sisa sperma dari jarinya bikin dia susah lepas dari momen tadi.255Please respect copyright.PENANAciDfvTwfgu
---------------------------------
Tante Dian, yang baru saja membersihkan peju Rendi dari wajahnya dengan jari-jarinya, kini mengenakan tank top pink yang sedikit miring, payudaranya masih terlihat menonjol meski tak lagi telanjang. Pukul 08:40 pagi, kamar kecil Rendi dipenuhi aroma campuran parfum floral Dian dan sisa bau amis peju, membuat udara terasa berat. Suara ibunya di dapur—mencuci piring—terdengar samar, tapi cukup untuk mengingatkan Rendi bahwa pintu terkunci adalah satu-satunya pelindung mereka. Dian, dengan gerakan santai, tiba-tiba ikut merebahkan diri di kasur di samping Rendi, posisinya tengkurap, siku menyangga tubuh, membuat payudaranya sedikit tertekan di sprei biru tua yang kusut. “Ren, bentar, Tante mau lihat rekamannya,” katanya, suaranya antusias, meraih iPhone 15 Pro Max dari tepi kasur.
Rendi, masih grogi, menggeser tubuhnya agar tengkurap di samping Dian, posisi mereka samping-sampingan, bahunya hampir bersentuhan. Dian membuka aplikasi galeri di iPhone-nya, jari lentiknya dengan cepat menemukan video yang baru direkam—momen Dian menyedot kontol Rendi dengan rakus. “Waw, keren ini, Ren! Kita jual 50 dolar di OnlyFans, pasti laku keras,” katanya, matanya berkilat, senyumnya penuh percaya diri. Dia memutar video itu, layar menunjukkan wajahnya yang sensual, bibir melingkar di kontol Rendi, air liur menetes, dan payudaranya yang gondal-gandul bergoyang. Rendi menelan ludah, wajahnya memerah lagi, nggak nyangka momen tadi terekam begitu jelas. Sayup-sayup, suara desahannya sendiri terdengar dari speaker iPhone, “Ohh… Tan… telan lagi…,” bikin dia buru-buru menunduk, malu banget karena kedengeran begitu putus asa.
Dian terkekeh kecil, melirik Rendi dengan ekspresi genit. “Desahan kamu seksi, Ren, tapi nanti suara kamu dimute aja, bisa, kan? Biar cuma suara Tante pas nyepong kamu yang kedengeran,” katanya, nadanya santai tapi ada nada menggoda, jari-jarinya memutar video itu lagi, bunyi “slurp… gluk…” dari sedotannya menggema pelan di kamar. Rendi, dengan suara terbata-bata, mengangguk, “B-Bisa, Tan, nanti aku edit… mute suara aku aja,” katanya, berusaha kedengeran profesional meski wajahnya panas, pikirannya masih penuh bayangan bibir Dian yang melahap kontolnya. Dia nggak bisa nggak ngerasa bangga karena Dian bilang videonya keren, tapi malu juga karena suara desahannya terekam begitu jelas, apalagi dengan permintaan “telan lagi” yang bikin dia pengen tenggelam ke kasur.
Video itu diputar ulang untuk ketiga kalinya, Dian mencondongkan tubuh agar Rendi bisa lihat lebih jelas, siku mereka bersentuhan, dan aroma parfumnya bikin Rendi susah fokus. “Lihat, Ren, sudutnya bagus, kan? Kamu pinter rekam meski tadi gemeteran,” godanya, terkekeh, payudaranya bergoyang pelan di balik tank top saat dia mengubah posisi, rambutnya yang sedikit basah menyapu bahu Rendi. Rendi cuma tersenyum kaku, “I-Iya, Tan, soalnya Tante… ehm, bikin susah fokus,” katanya, jujur tapi grogi, bikin Dian tertawa lebih keras, suaranya seperti lonceng kecil. Bunyi sedotan dari video, meski pelan, bikin Rendi melirik ke pintu, takut ibunya dengar, tapi Dian seolah nggak peduli, matanya terpaku pada layar, seolah bangga dengan “karya” mereka.
Dian tiba-tiba mengusap-usap kepala Rendi dengan tangan kanannya, jari-jarinya lembut menyisir rambut cowok itu, seperti dia masih anak kecil. “Keponakan Tante pinter, ya, hehe,” katanya, nadanya hangat tapi ada sentuhan genit, lalu mencondongkan wajah dan mengecup pipi Rendi berkali-kali, “cup… cup…,” bunyinya pelan tapi bikin wajah Rendi tambah merah. Kecupan itu terasa lembut, bibir Dian hangat, dan aroma parfumnya makin kuat, bikin Rendi kaku, nggak tahu harus bales apa. “T-Tan, aku… ehm, udah gede, loh,” gumamnya, berusaha protes tapi suaranya lelet, malu karena diperlakukan kayak anak kecil, meski dalam hati dia bahagia banget dapat perhatian Dian, apalagi setelah momen panas tadi.
Dian cuma terkekeh, mengecup pipi Rendi sekali lagi sebelum kembali fokus ke iPhone, memutar video untuk keempat kalinya, seolah nggak bisa puas lihat hasilnya. “Serius, Ren, ini bakal bikin OnlyFans kita meledak. 50 dolar worth it banget,” katanya, nadanya penuh rencana, jari-jarinya memperbesar layar untuk lihat detail bibirnya yang menyedot. Rendi mengangguk, “Iya, Tan, nanti aku edit cepet, kasih filter biar lebih… ehm, keren,” katanya, berusaha ikut antusias meski pikirannya masih kacau—bayangan pejunya di wajah Dian, desahannya sendiri, dan kecupan di pipi bikin dia nggak bisa tenang. Dia melirik Dian, yang sekarang tersenyum sambil mainin rambutnya, payudaranya masih bergoyang pelan di balik tank top.
Kamar kecil itu terasa semakin pengap, sprei kusut di bawah mereka, dan iPhone yang masih memutar video bikin suasana nggak bisa lepas dari momen terlarang tadi. Rendi khawatir kalau ibunya tiba-tiba ketuk pintu, apalagi dengan bunyi sedotan dari video yang, meski pelan, terasa riskan. “Tan… volumenya dikecilin dikit, takut Mama dengar,” pintanya, suaranya serak, melirik pintu yang terkunci. Dian mengangguk, menurunkan volume, “Oke, Ren, tenang aja, Mama nggak bakal curiga,” katanya, nadanya santai, tapi matanya masih penuh godaan, seolah tahu Rendi lagi berjuang nahan grogi. Usapan di kepalanya tadi dan kecupan di pipi bikin Rendi merasa spesial, tapi juga bikin dia sadar betapa dalam dia udah terjebak dalam “proyek” ini.
“Ren, nanti abis ini kita bikin konten lain, ya, mungkin Tante coba yang lebih tease, kayak mainin puting lagi,” kata Dian, tiba-tiba bangkit dari posisi tengkurap, duduk di kasur, tank top-nya naik sedikit memperlihatkan perut mulusnya. Rendi menelan ludah, mengangguk kaku, “I-Iya, Tan, apa aja… aku siap,” katanya, berusaha kedengeran percaya diri meski dadanya dagdigdug, mikirin konten yang bakal makin panas. Kecupan tadi masih terasa di pipinya, dan ucapan “keponakan pinter” bikin dia bahagia, meski ada cemburu kecil mikirin video ini bakal dilihat ribuan cowok di OnlyFans. Dia melirik iPhone yang sekarang diam di tangan Dian, tahu editing video ini bakal bikin dia sibuk, tapi juga bikin dia nggak sabar lihat hasilnya.
Rendi menghela napas, berusaha tenang, tapi aroma parfum Dian dan kenangan momen tadi—bibirnya yang menyedot, peju di wajahnya, dan desahan yang terekam—bikin pikirannya kacau. “Tan, aku… ehm, ke kamar mandi bentar, ya,” katanya, suaranya pelan, butuh alasan buat kabur sebentar dari suasana yang terlalu intens. Dian tersenyum, mengangguk, “Cepet balik, Ren, kita harus rencanain konten berikutnya,” katanya, lalu kembali mainin iPhone-nya, seolah momen tadi cuma langkah kecil dalam rencana besarnya. Rendi bangkit, kakinya lelet, melirik pintu yang masih terkunci, tahu kamar ini udah jadi panggung buat rahasia yang makin dalam, dan dia, meski grogi, nggak bisa nolak pesona tante-nya yang bikin hidupnya jungkir balik.
255Please respect copyright.PENANAFywreQuhQe
--------------------------
255Please respect copyright.PENANAg9sfLS3WjX
TO BE CONTINUED
255Please respect copyright.PENANA9K9cb3wjGQ
255Please respect copyright.PENANAmZxpAQCwd4