
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
---------------------------------------------------
Tante Dian berdiri di samping kasur Rendi, aroma parfum floralnya masih memenuhi kamar kecil yang sudah terasa sesak dengan ketegangan. Laptop di meja masih menampilkan klip video yang sudah diedit, tapi Rendi cuma bisa mencengkeram kamera, jantungannya berdetak kencang setelah Dian bilang mau syuting konten “intim” di kamarnya. Pukul 07:40 pagi, suara ibunya di dapur—mengatur piring kue dan teh—terdengar samar, tapi itu nggak membantu menenangkan Rendi, apalagi dengan Dian yang sekarang tiba-tiba melangkah ke kasurnya. Dengan gerakan lincah, Dian merangkak ke atas kasur Rendi, tank top pink tipisnya bergoyang, memperlihatkan bra hitam yang menerawang dan lekuk payudaranya yang montok. “Tante coba kasurnya dulu, ya, Ren, biar tahu enak apa nggak buat syuting,” katanya, suaranya genit, matanya berkilat penuh godaan, membuat Rendi menelan ludah, wajahnya memerah.
Dian merebahkan diri di kasur, lalu berguling-guling pelan, rambutnya yang sedikit basah berhamburan di sprei biru tua yang agak kusut. Dia tertawa kecil, tangannya meraba-raba kasur seperti lagi menilai kualitasnya, lalu tiba-tiba mengambil bantal yang biasa Rendi pakai tidur. “Hmm, jadi ini bantal kamu, Ren? Wangi juga, ya,” katanya, mendekatkan bantal ke hidungnya dan menciumnya pelan, hidungnya sedikit mengerut lucu, seolah menikmati aroma sabun dan sisa parfum murah Rendi. Rendi membeku di kursi, wajahnya panas, malu banget karena bantal itu penuh bau tubuhnya setelah berminggu-minggu nggak dicuci. “T-Tan, jangan gitu, itu... ehm, kotor,” gumamnya, suaranya serak, buru-buru memalingkan muka, berharap Dian nggak lanjut ngegodain.
Tapi Dian nggak berhenti. Dia duduk di kasur, bantal masih di tangan, lalu tersenyum nakal ke Rendi. “Kotor apa? Enak, kok, kayak bau cowok muda,” katanya, terkekeh, lalu meletakkan bantal dan beralih ke bantal guling panjang yang tergeletak di sudut kasur. “Kasur kamu cocok, nih, buat bikin konten, Ren. Lihat, Tante coba dulu,” lanjutnya, nadanya penuh rencana. Dengan gerakan yang bikin Rendi nggak bisa kedip, Dian menaiki bantal guling itu, posisinya seperti menunggang, pahanya yang mulus mencengkeram bantal, dan pinggulnya mulai naik-turun pelan, seolah bantal itu laki-laki atau kekasihnya. Tank top-nya bergoyang, payudaranya ikut bergerak, bra hitamnya yang menerawang makin jelas, dan Rendi merasa udara di kamar tiba-tiba habis.
Rendi mencengkeram kamera lebih erat, matanya nggak tahu harus lihat ke mana—ke lantai, ke laptop, atau ke Dian yang sekarang genjot pinggulnya dengan ritme genit, suaranya mendesah pelan, “Mmm, kayak gini enak, ya, Ren, buat konten tease?” Dia menggoyang paha dan pinggulnya lebih dramatis, rambutnya ikut bergoyang, dan bantal guling itu tertekan di bawah berat tubuhnya, menciptakan adegan yang bikin Rendi dagdigdug, takut ibunya masuk tiba-tiba. “T-Tan, jangan keras-keras, nanti Mama dengar,” katanya, suaranya serak dan panik, tapi Dian cuma terkekeh, memperlambat gerakan tapi nggak berhenti, matanya menatap Rendi dengan ekspresi yang setengah bercanda, setengah menantang, seperti tahu persis efeknya ke keponakannya.
“Ayo, Ren, siapin kamera. Kita coba syuting beneran sekarang. Tante mau yang kayak gini, tapi lebih pelan, biar penutupnya Tante buka tank top sedikit,” kata Dian, akhirnya turun dari bantal guling, duduk di kasur dengan kaki disilangkan, tank top-nya sedikit naik memperlihatkan perut mulusnya. Aroma parfumnya masih memenuhi kamar, bercampur bau sabun dari bantal yang dia cium tadi, bikin Rendi susah fokus. Dia mengangguk kaku, tangannya gemetar saat menyalakan kamera, pikirannya penuh dengan bayangan Dian yang barusan “menunggang” bantal guling, pesan genit semalam, dan ketakutan kalau ibunya bakal buka pintu. Kamar kecilnya sekarang terasa seperti studio film yang terlalu berbahaya, dan Rendi tahu dia nggak punya pilihan selain ikut main di dalamnya, meski dadanya dipenuhi campuran malu, hasrat, dan cemas.
-----------------------------
Tante Dian masih duduk di kasur Rendi, kaki mulusnya mencengkeram bantal guling yang dia “tunggangi” dengan gerakan pinggul yang genit, tank top pink tipisnya sudah dilepas dan kini hanya bra hitam renda yang menutupi payudaranya yang montok. Pukul 07:45 pagi, kamar kecil Rendi terasa semakin pengap, aroma parfum floral Dian bercampur dengan bau sabun dari bantal yang tadi dia cium, dan suara ibunya di dapur—mengatur piring kue—bikin Rendi tambah dagdigdug, takut pintu tiba-tiba terbuka. Dengan senyum nakal, Dian tiba-tiba meraih ujung tank top-nya, menariknya ke atas kepala dalam satu gerakan cepat, lalu melemparnya ke lantai dengan santai. “Panas, ya, Ren, Tante buka dulu, biar enak syuting,” katanya, suaranya lembut tapi penuh godaan, payudaranya yang kini cuma ditahan bra hitam bergoyang liar, puting coklat mudanya samar-samar terlihat di balik renda tipis, bikin Rendi menelan ludah, tangannya mencengkeram kamera erat-erat.
Payudara Dian, besar dan elastis, bergerak naik-turun seiring ritme pinggulnya yang masih menggenjot bantal guling, setiap goyangan menciptakan efek seperti gelombang, kulitnya yang putih mulus berkilau di bawah cahaya pagi yang masuk lewat jendela. Bra hitam itu, meski ketat, nggak bisa menahan sepenuhnya—tiap dia mendorong pinggul ke bawah, payudaranya terangkat, lalu turun dengan getaran lembut, renda bra-nya sedikit bergeser, memperlihatkan sedikit tepi areola coklatnya. Rendi, yang berdiri dengan kamera di tangan, nggak bisa nggak melirik, meski berusaha fokus ke layar kecil DSLR. Dalam benaknya, dia berfantasi liar—andai saja dia bantal guling itu, merasakan paha Dian mencengkeram tubuhnya, pinggulnya yang genjot naik-turun, dan payudara yang bergoyang tepat di depan wajahnya. Fantasi itu bikin dadanya sesak, hasrat yang dia coba tahan sejak kemarin kembali membakar, tapi rasa takut ibunya masuk bikin dia tetap pegang kamera dengan tangan gemetar.
Dian, seolah tahu efek yang dia ciptain, memperlambat gerakan pinggulnya, payudaranya masih bergoyang pelan, seperti menari dengan ritme yang sengaja dibikin menggoda, lalu menatap Rendi dengan mata berkilat. “Ren, Tante seksi dan nafsuin nggak kalau kayak gini?” tanyanya, suaranya rendah, hampir seperti bisik, bibirnya merekah dengan senyum nakal, tangannya menyentuh rambut yang masih sedikit basah, membuat payudaranya terangkat lagi, getarannya bikin renda bra-nya bergeser sedikit lebih jauh, memperlihatkan lebih banyak kulit. Rendi menelan ludah, wajahnya memerah, otaknya blank, tapi dia tahu Dian nggak bakal terima jawaban bohong. “S-Seksi banget, Tan,” katanya terbata-bata, suaranya serak, buru-buru menunduk ke kamera, berusaha nutupin groginya, meski jujurnya bikin dia tambah malu.
Dian terkekeh, suaranya seperti lonceng kecil, lalu bangun dari bantal guling, payudaranya masih bergoyang pelan saat dia berdiri, bra hitam itu sedikit naik, memperlihatkan bagian bawah dadanya yang bulat dan penuh, sebelum dia menyesuaikannya dengan jari-jari lentiknya.
--------------------
Rendi berdiri di sudut kamarnya, kamera DSLR di tangan, jantungannya berdetak kencang saat Tante Dian duduk di kasurnya, hanya mengenakan bra hitam renda yang tipis, payudaranya yang montok bergoyang pelan setelah dia melepas tank top pink-nya tadi. Kamar kecilnya terasa semakin sesak dengan aroma parfum floral Dian dan ketegangan yang nggak bisa dia hindari. Suara ibunya di dapur, masih sibuk menyiapkan teh dan kue lapis, terdengar samar, tapi itu cuma bikin Rendi tambah panik, takut pintu tiba-tiba terbuka. Dian, dengan senyum nakal yang bikin Rendi grogi, menyesuaikan posisinya di kasur, bantal guling Rendi di antara pahanya yang mulus. “Ren, Tante mau coba adegan yang lebih hot buat OnlyFans. Pura-pura bercinta sama bantal ini, kayak tadi, tapi lebih... intens. Rekam, ya, pastiin sudutnya bagus,” katanya, nadanya penuh percaya diri, matanya berkilat, membuat Rendi menelan ludah, tangannya gemetar saat menyalakan tombol rekam.
Dian mulai bergerak, pinggulnya naik-turun menggenjot bantal guling dengan ritme yang lambat tapi menggoda, pahanya mencengkeram kuat, seolah bantal itu pasangan sungguhan. Payudaranya, yang cuma ditahan bra hitam, bergoyang seiring gerakan, renda tipis itu nggak bisa menahan sepenuhnya, membuat lekuknya makin jelas di bawah cahaya pagi yang masuk lewat jendela. Dia sesekali mendesah pelan, “Mmm, enak, ya…,” suaranya rendah dan sensual, tapi Rendi langsung panik, buru-buru mengacungkan tangan kiri, memberi isyarat supaya Dian nggak terlalu keras, takut ibunya di dapur dengar. Dian cuma terkekeh kecil, mengangguk, tapi nggak berhenti, malah mencondongkan tubuh ke depan, dadanya sekarang menggesek bantal, gerakan ke kanan dan kiri, kadang kasar, kadang lembut, membuat Rendi nggak bisa nggak menatap, meski dia berusaha fokus ke layar kamera.
Gesekan dadanya ke bantal makin intens, payudara Dian yang besar dan bulat seperti pepaya bergetar hebat, renda bra-nya bergeser karena tekanan, dan tiba-tiba, cup bra sebelah kiri melorot, memperlihatkan payudara kirinya yang montok, puting coklat mudanya mencuat jelas, berkilau samar karena keringat tipis di kulitnya. Payudara itu bergoyang bebas, naik-turun seiring genjotan pinggulnya, kadang menyentuh bantal dengan gesekan lembut, kadang terangkat saat dia mendorong tubuh ke atas, menciptakan pemandangan yang bikin Rendi menahan napas. Dian mendesah lagi, kali ini lebih keras, “Ohh…,” suaranya penuh kenikmatan, matanya setengah terpejam, seolah lupa kamera atau Rendi ada di sana. Rendi buru-buru memberi isyarat lagi, tangannya melambai panik, wajahnya memerah, tapi dia tetep sigap memegang kamera, menangkap setiap gerakan, meski kontolnya yang keras di balik celana pendek bikin dia susah berdiri tenang.
Dian seolah nggak peduli bra-nya yang melorot, malah mempercepat gerakan pinggulnya, payudara kanannya masih di bra tapi ikut bergoyang, sementara payudara kiri yang terbuka bergerak lebih liar, putingnya kadang tersentuh bantal, membuat Dian mendesah pelan lagi, suaranya seperti bisik yang sengaja bikin Rendi panas. “Ren, bagus, kan? Pasti laku ini,” katanya di sela desahan, melirik ke kamera dengan senyum genit, matanya menatap Rendi seolah tahu persis efek yang dia ciptain. Rendi cuma mengangguk kaku, suaranya serak saat bilang, “I-Iya, Tan, bagus banget,” berusaha tetep profesional, meski pikirannya penuh fantasi—bayangan dia yang jadi bantal itu, merasakan gesekan payudara Dian, paha yang mencengkeram, dan desahan yang sekarang bikin bulu kuduknya merinding.
Di luar kamar, suara Bu Sari tiba-tiba terdengar lebih dekat, “Rendi, Dian, kue sama tehnya udah di meja! Kalian mau aku bawain ke kamar?” teriaknya, suaranya ceria, nggak tahu apa yang lagi terjadi. Rendi panik, hampir menjatuhkan kamera, buru-buru berteriak balik, “N-Nggak usah, Ma, kami ke sana bentar lagi!” suaranya serak, tangannya masih memegang kamera yang merekam Dian, yang sekarang memperlambat gerakan, payudaranya yang terbuka masih bergoyang pelan, putingnya menyentuh bantal sekali lagi sebelum dia duduk tegak, bra-nya masih miring. “Hihihi, cepet banget panik, Ren,” godanya, menyesuaikan bra-nya dengan jari-jari lentik, tapi nggak buru-buru nutupin payudaranya, seolah sengaja bikin Rendi tambah grogi.
Rendi menurunkan kamera, napasnya tersengal, kontolnya yang keras bikin dia susah berdiri nyaman. “Tan, kita… ehm, istirahat dulu, ya? Mama kayaknya mau masuk,” katanya, suaranya gemetar, berusaha ganti topik meski matanya nggak bisa lepas dari payudara Dian yang sekarang setengah tertutup lagi.
------------------
Rendi masih memegang kamera dengan tangan gemetar, jantungannya berdetak kencang saat Tante Dian, yang kini hanya mengenakan bra hitam renda, tiba-tiba buru-buru meraih tank top pink dari lantai dan memakainya dengan cepat. Payudaranya yang montok sempat bergoyang bebas, tapi untungnya dia berhasil menutupi sebelum pintu kamar tiba-tiba terbuka tanpa ketukan. Bu Sari, ibunya Rendi, masuk dengan nampan berisi dua gelas teh manis dan sepiring kue lapis, senyumnya lebar dan nggak curiga apa-apa. “Rendi, Dian, ini teh sama kuenya! Aduh, maaf, tadi lupa ketuk, tangan Mama penuh,” katanya, suaranya ceria, nggak sadar suasana canggung yang langsung menyelimuti kamar. Rendi buru-buru mematikan kamera, tombol off-nya ditekan dengan panik, wajahnya memerah, sementara Dian, yang masih dalam posisi menggenjot bantal guling seperti sedang bercinta, cepat-cepat duduk tegak, tank top-nya agak miring, tali bra hitamnya jelas terlihat di bahu.
Kamar kecil itu langsung terasa sesak, aroma parfum floral Dian bercampur dengan bau teh manis yang dibawa Bu Sari. Rendi menunduk, berusaha nutupin groginya, tangannya sibuk menyembunyikan kamera di bawah meja, takut ibunya tanya soal rekaman. Dian, meski kelihatan canggung dengan senyum kaku, sigap menyesuaikan tank top-nya, tapi tali bra-nya yang menerawang tetap mencolok, bikin Rendi tambah dagdigdug, takut ibunya notice. Bu Sari, yang nggak peka sama ketegangan itu, meletakkan nampan di meja belajar Rendi yang penuh kabel, lalu dengan santai duduk di kasur, tepat di samping Dian. “Aduh, Dian, seneng banget kamu mampir! Kalian berdua tadi ngapain? Serius banget kayaknya,” katanya, matanya berbinar, penuh rasa ingin tahu, sambil merapihkan sprei yang sedikit berantakan karena gulingan Dian tadi.
Dian, dengan keahlian aktingnya yang masih tersisa dari zaman FTV, langsung tersenyum lebar, nadanya santai dan meyakinkan. “Oh, Sar, kami lagi bahas konten, loh. Rendi bantu Tante bikin video buat TikTok, gitu. Kan sekarang pada suka video pendek, Tante coba ikut-ikut tren, biar nggak ketinggalan,” katanya, terkekeh kecil, tangannya main-main dengan rambut yang masih sedikit basah, seolah posisi genjot bantal tadi cuma khayalan. Rendi menatap Dian, kagum tapi juga kaget, nggak nyangka tante-nya bisa bohong begitu lancar. Dia cuma mengangguk pelan, pura-pura setuju, meski wajahnya masih merah dan suaranya serak saat bilang, “I-Iya, Ma, TikTok... ehm, Tante jago bikin konten.” Dia berharap ibunya nggak tanya lebih jauh, apalagi soal “tren” yang Dian maksud.
Bu Sari mengangguk, kelihatan puas dengan jawaban itu, matanya berpindah dari Dian ke Rendi. “Bagus, dong, kalian bikin usaha bareng. TikTok itu laku, ya? Mama denger-denger banyak yang kaya dari situ,” katanya, lalu mengambil sepotong kue lapis dan menyodorkan ke Dian. “Makan, Di, ini kue kesukaanmu dulu, kan?” tambahnya, suaranya penuh nostalgia, nggak sadar kalau “usaha” yang dia pikir cuma video joget-joget sebenarnya konten syur buat OnlyFans. Dian mengambil kue, tersenyum manis, dan mengedipkan mata ke Rendi saat Bu Sari nggak lihat, bikin Rendi tambah canggung. Dia menyesap teh, berusaha tenang, tapi pikirannya penuh dengan bayangan payudara Dian yang tadi keluar dari bra, posisi genjot bantal, dan kebohongan lancar yang baru saja selamatkan mereka dari kecurigaan ibunya—setidaknya untuk sekarang
-------------------------------------
Bu Sari bangkit dari kasur Rendi, nampan kue dan teh masih di meja belajar, lalu menepuk-nepuk sprei sebelum melangkah ke pintu. “Rendi, Dian, Mama ke dapur dulu, ya, mau masak buat makan siang. Kalian lanjutin ngobrol soal TikTok-nya,” katanya, senyumnya hangat, tapi lalu menoleh ke Rendi dengan nada setengah bercanda, “Ren, jangan nakal-nakal, ya. Jangan nakal sama Tante Dian, meski dia cantik, dia tetap tante kamu.” Rendi memerah, cuma bisa mengangguk kaku, suaranya tersangkut di tenggorokan. Dian terkekeh, memainkan rambutnya yang masih sedikit basah, dan menimpali, “Iya, Sar, tenang aja, kalo Rendi nakal, Tante teriak minta tolong!” Keduanya tertawa, suara tawa Bu Sari nyaring, tapi Rendi cuma tersenyum kecil, menahan malu, wajahnya panas karena tahu “nakal” yang dimaksud ibunya jauh dari apa yang baru saja terjadi—Dian menggenjot bantal guling dan payudaranya yang sempat terbuka. Bu Sari menutup pintu dengan pelan, meninggalkan kamar yang tiba-tiba terasa hening, hanya ada Rendi, Dian, dan aroma parfum floral yang memenuhi udara.
Begitu pintu tertutup, Dian langsung bergerak, senyum nakalnya kembali muncul. “Panas banget, ya, Ren,” katanya, tangannya meraih ujung tank top pink-nya lagi, menariknya ke atas kepala dengan gerakan cepat, lalu melemparnya ke lantai, memperlihatkan bra hitam renda yang menahan payudaranya yang montok. Payudara itu bergoyang pelan saat tank top lepas, renda bra-nya sedikit bergeser, samar-samar memperlihatkan puting coklat mudanya. Rendi menelan ludah, berdiri kaku di dekat meja, tangannya masih mencengkeram kamera yang tadi buru-buru dimatikan. “Ren, tolong ambilin teh-nya, dong, Tante haus,” pinta Dian, nadanya santai tapi matanya penuh godaan, duduk di kasur dengan kaki disilangkan, bra-nya makin ketat karena posisi itu. Rendi, dengan wajah merah dan gerakan canggung, mengambil gelas teh dari meja, berjalan pelan ke Dian, berusaha nggak melirik payudara yang cuma ditutupi bra tipis itu. Dia menyerahkan gelas, tangannya gemetar, dan Dian mengambilnya dengan senyum genit, jari-jarinya sengaja menyentuh tangan Rendi sekilas, bikin cowok itu buru-buru mundur, dadanya dagdigdug.
Dian menyesap teh, lalu meletakkan gelas di samping kasur, matanya kembali ke Rendi, penuh rencana. “Sekarang waktunya syuting lagi, Ren. Tante mau yang lebih berani buat OnlyFans. Kali ini Tante remas-remas payudara, tanpa bra, biar penonton pada gila,” katanya, suaranya rendah, hampir seperti bisik, tapi penuh percaya diri. Dia bangkit dari kasur, berdiri tepat di depan Rendi, tangannya meraih kait bra hitam di punggung, membukanya dengan gerakan lincah, lalu membiarkan bra itu jatuh ke lantai, memperlihatkan payudara besarnya yang bulat seperti pepaya, puting coklat mudanya mencuat keras, berkilau samar karena keringat tipis di kulitnya. Payudara itu bergoyang bebas, berat tapi elastis, setiap langkah kecil Dian bikin mereka bergetar, dan Rendi cuma bisa menatap kamera, berusaha tetep profesional meski kontolnya keras di balik celana pendek, wajahnya membakar karena malu dan hasrat yang nggak bisa dia tahan.
Dian kembali ke kasur, duduk dengan posisi sedikit membungkuk, lalu menjulurkan dadanya ke arah kamera yang Rendi pegang dengan tangan gemetar. “Rekam, Ren, pastiin close-up-nya bagus,” perintahnya, suaranya lembut tapi tegas, tangannya mulai meremas payudara kirinya, jari-jarinya mencengkeram kulit yang lembut, membuat payudara itu berubah bentuk, putingnya terjepit di antara jari, bikin dia mendesah pelan, “Mmm….” Payudara kanannya ikut bergoyang karena tekanan, lalu dia beralih meremas keduanya, gerakan tangannya kadang lembut, kadang kuat, menciptakan efek seperti adonan yang lentur, kulitnya memerah samar karena gesekan. Dia menatap kamera, bibirnya merekah, sesekali mendesah lagi, “Kalian suka, ya?” seolah ngomong ke penonton OnlyFans, tapi mata sesekali melirik Rendi, bikin cowok itu susah napas, tangannya masih sigap merekam meski pikirannya penuh fantasi liar—bayangan tangannya sendiri yang meremas payudara itu, merasakan kelembutan dan beratnya, sementara suara dapur ibunya di kejauhan bikin dia terus ingat betapa berbahayanya situasi ini.
620Please respect copyright.PENANAqHNtf5D7YM
TO BE CONTINUED
620Please respect copyright.PENANAXxhgbqd0Mf
Dukung sumberbarokah dengan membeli cerpen-cerpen di
LYNK, VICTIE DAN KARYAKARSA
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
---------------------------------------------------
ns216.73.216.8da2