Sang ratu alraune mencoba hampir semua makanan setelah sup itu. Didorong oleh rasa penasarannya, tidak mencoba kuliner yang lain adalah sia – sia. Sama seperti Moritz dan Cockatrice, sang ratu alraune seolah merefleksikan sikap mereka. Setelah satu makanan, ia langsung mengambil makanan lain. Sang ratu alraune seakan belum makan setelah sekian lamanya.
Meskipun….
Sang ratu alraune sendiri, lupa kapan terakhir kali makan bersama tanpa memandang status atau derajat.
.
.
Hingga beberapa menit, tidak semua makanan habis kecuali sup itu yang bersih menyisakan pancinya.
“Gah! Aku nggak kuat!”
Cockatrice perutnya yang membuncit, tergeletak menyerah. Ia tampak seperti ayam ternak yang siap dipotong.
Moritz tersenyum puas dengan makan siangnya. Dengan santainya, ia menyalakan satu batang rokok lainnya.
Sedangkan sang ratu, di kedua tangannya telah tergigit dua sandwich isi bawang, keju dan daging sapi terbang panggang. Pandangannya yang tajam tadi, kini kedua matanya membulat berkaca – kaca seperti anak kecil yang menikmati fastfood setelah sekian lama. Bahkan bibir sang ratu berlumuran keju dan minyak.
(Huh? Oh iya aku lupa!)
Tampaknya Moritz mengingat akan hal yang sangat penting.
Dari tas punggungnya, ia mengambil sebungkus tisu basah. Moritz yang duduk di sebelah sang ratu, menaruh rokok itu dalam mulutnya, lalu mengulurkan tangan.
“Ah, benar juga! Aku seharusnya bawa satu botol lagi jeruk beku. Maaf, aku lupa,” ucap Moritz dengan tenang, lengan kanannya mengusap pipi sang ratu alraune yang belepotan dengan tisu basah.
Kemudian tisu basah itu ditumpuk pada piring – piring bekas sate kerang bakar dengan saus madu void.
Sang ratu alraune diam sesaat. Ia sedikit terkejut.
“Hm?” #Munchmunch “Mau bagaimana lagi kalau sudah terlanjur? Lain kali-“
#Uhuk!
Sang ratu alraune tersedak. Ia memukul – mukul ringan dadanya. Para Peyote Patron yang kebingungan, dari tangan mereka tercipta cawan dari batang pohon lalu mengambil air dari sungai pirn.
Namun…
Moritz segera mengambil satu botol teh dingin dari tasnya. “Oi, oi, kamu gegabah sekali ratu!” Setelah tutup botolnya terbuka, ia menyerahkan pada sang ratu. “Ya ampun, bahkan anak kecil tahu kalau makanan harus ditelan dulu sebelum bicara!” Moritz menasehatinya.
#Gluckgluckgluck!
Para Peyote Patron merasa sedikit kecewa karena didahului.
“Ahh…~” Sang ratu alraune mengusap bibirnya. “Salahku. Nah, tapi bagaimana kamu bisa dapat makanan seenak ini?” Sang ratu alraune memengangi janggutnya sambil berpikir.
“Fuuuuh….” Moritz menghembuskan rokoknya. “Nah, aku sedikit suka memasak. Selain itu bahan – bahannya memang pilihan, sih!”
Sang ratu alraune memandangi mulut Moritz. Ia tertarik bada batang putih berbentuk tabung memanjang yang mengeluarkan asap.
“Hey, boleh aku coba itu? Apakah itu dihisap?”
Moritz meraih sakunya, lalu menyerahkan sekotak rokok. Sang ratu alraune mengambil satu batang, lalu mengembalikan sisanya.
“Tolong buat ini berasap?” Raut muka alraune yang polos dan penasaran itu membuat Moritz jauh lebih santai.
Moritz nampaknya masih melupakan hal yang paling penting. “Seperti yang kamu inginkan, milady.”
#Blam!
Api kecil dari telunjuk Moritz mengenai ujung rokok yang dihisap sang ratu.
“Kamu pernah merokok sebelumnya?”
“Hm-hm.” Sang ratu spontan menggeleng.
“Ya kalau gitu, hisapnya pelan – pelan saja, ratu alraune mawar hitam….” Moritz sambil mengebulkan asapnya dua kali lagi dengan santai dan semakin lupa.
Sang ratu menghisap pelan, lalu mengeluarkannya perlahan – lahan.
“Seperti ini?”
“Seratus poin untukmu, ratu….” Moritz mengacungkan jempol.
(Eh? Kok rasanya aku melupakan hal penting?)
Moritz memandangi sekitarnya. Ia hanya melihat ayam kembung tidur dan satu wanita sedang merokok bersamanya.
Ia memejamkan matanya sambil menikmati rokoknya sebelum dipipihkan ke asbak.
(Nggak mungkinlah! Menunggu ratu alraune yang tidur itu memang lama! Lagipula…-)
(Sebentar….)
(Si ayam kembung nggak ngerokok… tapi nona itu…. Tapi siapa nona itu?)
Kini kedua matanya mulai diperhatikan dengan benar. Wanita itu duduk dengan cara yang sama melipat kakinya. Sambil bersantai menikmati rokok. Hanya saja….
(Eh? Mawar hitam? Aku nggak pernah lihat dryad pakai mawar hitam, tuh?)
(EHHHH~!?)
Moritz terperanjat. Ia segera menarik ayam kembung yang tergeletak menjauhi wanita di dekatnya, sang ratu alraune.
“A-Alraune!? O-oi… jangan macam – macam, loh!? Nephele akan-“ Moritz celingukan ke segala arah seolah mencari sesuatu diliputi rasa panik. “Eh, kok nggak ada?”
“Kamu ini santai sekali ya? Ratu – ratu kecilmu sudah pergi dari tadi,” tambahnya. “Fuuuuh…..” Sang ratu alraune masih bersantai sambil mengebul rokok.
Kini para Peyote Patron mulai mendekati Moritz dan Cockatrice.
(Oi! Ayam kembung! Bangun tolol!)
Moritz menggerak – gerakkan tubuh Cockatrice.
Sayangnya, balon bening di hidung Cockatrice yang mengembang kempis, adalah bukti ia tenggelam dalam mimpinya.
Rokok itu ditaruhnya ke asbak. Kini Ratu Alraune menyatukan kedua tangannya dan menyandarkan dagu di atasnya. Kedua matanya kini memandang serius Moritz. Namun terdapat senyuman di bibirnya.
“Katakan, manusia, ada apa gerangan ikut campur dengan permasalahan fraksi alam?”
Secepat kilat senyuman di bibir ratu alraune memudar. Sang ratu alraune kembali ke wajah cemberutnya.
.
.
Suasana menjadi hening, angin mulai bertiup cukup kencang. Semak belukar yang bergoyang, daun pohon cemara yang melambai – lambai, seolah mereka menyemangati sang ratu alraune untuk mengusir Moritz.
Moritz menarik nafas dalam – dalam, lalu dihembuskannya perlahan – lahan. Kini ia jauh lebih tenang.
Ia mengambil rokok untuk kemudian disemayamkan pada bibirnya.
#Blam!
“Fuuuhhh….” Moritz mengebul hingga dua kali. Kemudian rokoknya ditaruh berhadapan di asbak. “Nona, katakan, apakah kamu yang merusak tempat ini?”
“Mulutmu cukup kasar untuk seorang manusia?”
“Ehhhh~?” Moritz memasang wajah bodo amat, sambil memasukan kelingkingnya ke telinga. “Kamu sendiri ratu, tapi kalau makan rakusnya kayak budak?”
Seolah kata – kata Moritz didengar oleh seisi hutan, para moldrin mulai datang. Kata – kata lancang itu cukup membuat keempat Peyote Patron itu mengayunkan tongkatnya.
Situasi Moritz bagaikan mempercepat dirinya ke dalam keadaan gawat.
Namun di sisi lain….
“Ng-nggak ada salahnya, ‘kan!? Ka-kamu juga narik ngajakin makan, ‘k-kan!? Ja-jadi… Eh-ehem! Sebagai sang ratu, tentu aku masih punya sopan santun!” sang ratu memprotes. Ia kikuk dan agak malu mendengar komentar terang – terangan Moritz. “Ka-kamu! Se-sekarang juga cepat tarik kata – katamu!?”
Sang ratu salah tingkah, roman mukanya mirip anak gadis SMA yang dijahili kekasihnya. Moritz menggaruk kepalanya kerepotan.
Lantas….
“Maafkan aku.” Moritz berlutut padanya. Ia mengucapkan kalimat serius dan tulus. “Tolong aku, teman - temanku mungkin dalam keadaan sekarat. Bila pembicaraan rumit ini dilanjutkan, aku hanya akan menyesali seumur hidup melihat mayat mereka.”
“Ka-kamu….”
Melihat Moritz yang sikapnya juga berubah drastis, jauh lebih sopan, sang ratu alraune menimbang – nimbang.
“Nah, kamu tadi sudah mengajakku bersenang – senang sebentar. Lagipula… aku merasa pembicaraan itu juga… nggak ada masalah nantinya. Setidaknya aku bisa mengerti hal itu karena nggak ada Sturgeon Moldrin yang ditangkap atau dibunuh,”
“Sturgeon Moldrin?” Moritz mendongak dan berpaling padanya. “Maksudnya, anda yang melepas mereka ke sungai terdekat?”
Sang ratu alraune mendekati Moritz. Tangan kanannya menyentuh dagu Moritz kemudian didorong ke atas agar Moritz sejajar dengannya.
“Nah, semenjak kamu nggak tahu maksudnya, aku nggak akan kasih tahu. Tapi… aku nggak menyangka itu bahkan bisa dipancing dengan cacing?”
Kemudian sang ratu alraune menunjuk si ayam kembung yang sedang tidur kekenyangan, Cockatrice. “Disamping itu… apa basilisk di sampingmu juga familimu? Aku merasakan energi yang sangat besar dari kalian berdua. Nggak! Semua penduduk hutan pirn pasti juga merasakannya!”
“Untung wajah dan dadamu sama – sama bagusnya. Kalau nggak, sudah kubakar dari tadi,” sahut Cockatrice tiba – tiba.
“Hey, kamu dari tadi bangun?” tanya Moritz.
“Tolol! Sejak kapan aku tidur?”
(Sejak balon dihidungmu itu muncul dan meletup!? Tcih, dasar ayam goreng!) Moritz memandang kesal Cockatrice.
Sang ratu alraune tentu tidak senang melihat keakraban mereka. Itu karena ia sadar bahwa energinya yang berlipat – lipat dibandingkannya.
“Tch! Kalian berdua memang punya mulut yang kotor!” tambahnya. “Untuk apa aku harus menolong kalau kalian jauh lebih kuat?” Sang ratu alraune tampak enggan, sambil melipat kedua tangannya dan berpaling ke arah lain.
“Jangan – jangan kamu iri? Ya ampun, apa ini fase menstruasi?”
“A-APA KAMU BILANG!?” wanita di hadapan Moritz itu kembali memprotes dengan pipi merah. Ia menjadi canggung. “Tch! Ka-kamu… minta tolong tapi malah ngata – ngatain!?”
“Ah!” Cockatrice dan Moritz kompak berlutut. “Maafkan atas kelancangan kami. Jadi, apakah kamu mau menolong?” Mereka kompak lagi mendongak ke atas setelah berlutut, seolah permintaan maaf itu dibuat main – main.
Sang alraune dengan malu dan jengkel, ia membuang mukanya. (Mmmmmm…. Mereka bi-bisanya mengejekku!?) Sang ratu menggerutu.
Kemudian….
“Eh-ehem…. Maaf aku nggak bisa.” Kini sang ratu alraune berbalik dan berpaling pada Moritz. Sang ratu alraune akhirnya kembali serius lagi. “Sebagai sang ratu dari fraksi alam, aku nggak bisa ikut campur terlalu dalam. Permasalahan fraksi campuran dalam perserikatan diluar garis tanggung jawabku. Yang terpenting adalah pillar konstellar fraksi alam di Yregalia tetap aman adalah prioritasku saat ini. Jadi… yang kulakukan sudah menyangkut urusan menyeluruh fraksi alam.”
(Woah! Pelit banget ini wanita!)
(*”Woah! Pelit banget ini wanita!)
Moritz dan Cockatrice memasang wajah bodoh dan kecewanya.
“Kenapa kalian melihatku seperti itu!? A-aku tahu… kalian pasti berpikir ‘Pelit banget wanita ini!” YA, ‘KAN!? YA, ‘KAN?” aura wibawanya hilang, sang alraune kembali mengomeli mereka lagi.
Moritz dan Cockatrice kemudian saling berbisik. Tawa Cockatrice membuat sang ratu menjadi jengkel lagi. Mereka tampak merencanakan sesuatu untuk sang ratu.
“Nah, ratu alraune? Sebagai gantinya, bagaimana kalau nanti kita makan – makan lagi?” Moritz membuka senyuman selebar – lebarnya dan seramah – ramahnya. Hanya saja di mata sang ratu alraune, ia hanya pria yang suka bermain – main.
“KAMU KIRA AKU SEMURAH ITU DIBAYAR DENGAN DENGAN MAKANAN!?” Sang ratu alraune mengutarakan ketidaksetujuannya. Wajahnya dan suaranya tidak salah lagi tegas menolak, hanya saja…
“E-eh…? Tapi kamu ngiler gitu?”
***
Setelah itu…
Meski sang ratu alraune terlihat enggan, Moritz masih merasa ada kesempatan untuk membujuknya. Panjang lebar Moritz menceritakan familianya, dryad yang terus membantunya sejak pertama kali datang di Yregailia. Moritz berterus terang bahwa sebenarnya misi yang diberikan saat ini sangat berat dan penuh resiko.
“Sudah kuduga amatir sekali kamu!” kata ratu alraune dengan sombong. Tambahnya, “Aku sangat prihatin dengan dryad itu. Lagipula, dia termasuk fraksi alam. Tapi tetap, aku nggak bisa, maaf.”
Moritz dan Cockatrice saling memandang dan menangguk satu sama lain. Roman muka mereka saling bertatapan, saling mengerti bahwa usaha meminta bantuan ini sudah maksimal.
“Kupikir kita harus segera menyusul dryad itu?”
“Kamu benar. Kuharap Bihice nggak memaksakan diri,” kata Moritz.
Moritz berdiri dan segera mengambil peralatan memasak dan makan yang kotor ke dalam tas punggungnya. Sesaat hendak merapalkan mantra teleportasi…
“Tu-tunggu! Siapa nama dryad tadi?” Sang ratu alraune menarik jubah Moritz.
ns216.73.216.82da2