Sekitar 30 menit terlewatkan semenjak mereka beristirahat….
Moritz turun dari tangga setelah mengambil senjata miliknya. Senjata itu menjadi pusat perhatian semua orang.
“Woah! Itu tameng yang keren paman!” Lyrei berkomentar dengan kagum.
“Kalau kurang, kalian boleh ambil yang ada di kulkas. Anggap seperti rumah sendiri.” Moritz mengencangkan sarung tangannya.
“Anda sudah mau berangkat, Tn. Moritz?” Ruven bersandar di sofa.
“Yep. Selesai lebih cepat, lebih baik?” Moritz meraih gagang pintu. Sementara Faegwyn mengikuti di belakang Moritz.
“Faegwyn… kamu juga?”
“Yeah, aku nggak ada pilihan lain….”
Ruven beranjak dari tempat tidurnya.
“Ini, ambil ini.” Ruven memberikan sebuah kalung bermanik opal. “Kudengar ras Dark Elf di kota pirn hanya mereka?”
Faegwyn mengambil kalung itu. “Kenapa? Kamu mau mengejek?”
“Nggak…. Aku hanya mau bilang, kembalilah dengan selamat dan utuh.” Ruven kembali berbaring.
“Terima kasih,”
Moritz juga menerima gulungan perintah meminta bantuan dari Lyrei.
Moritz dan Faegwyn kembali melanjutkan perjalanan.
Mereka menaiki lembah dan masuk ke hutan pirn bagian selatan.
“Ny. Faegwyn, belum ada kabar?” Moritz yang sedari tadi memperhatikannya, merasa cemas.
“Belum, Tn .Moritz.” Faegwyn membalas singkat.
Selama perjalanan, tidak ada percakapan khusus. Moritz hanya merasa tidak enak menganggu telepatinya.
Karena biangkerok di hutan vaughtort telah dibasmi, maka melewati hutan pirn selatan atau sebagian warga desa menyebut hutan vaughtorn lanjutan, tidak mengalami masalah.
Kini mereka berada sedang menaiki pegunungan vaughtort. Kota pirn ada di berada di ketinggian tertentu pegunungan vaughtort.
***
Moritz memandangi jalan yang datarannya menaik lumayan curam. Lebih tepatnya pegunungan vaughtort. Itu akan cukup menguras tenaga, terutama bagi Faegwyn yang tidak menggunakan sihir regenerasi tenaga.
Angin malam meniup cukup kencang. Moritz sedikit menaruh khawatir pada Faegwyn yang dengan pakaiannya yang agak terbuka lingkaran kecil di bagian dada. Mayoritas pakaian elf memang tipis untuk memudahkan pergerakan ruang dan mobilitas.
“Fuuuh… ayo berangkat, Tn. Moritz,”
Moritz memegang pundaknya.
“Jangan dipaksakan, itu jelas nggak mungkin, ‘kan?”
“Sudah sejauh ini, saya harus tetap maju!” Faegwyn mengotot. Tampak dari kedua matanya yang serius, tangan kanannya selalu memengangi telinga menandakan Faegwyn cemas karena rekannya tidak segera mengirim telepati.
(Hah… apa boleh buat kalau sudah begini.)
(*”Apa ini sudah saatnya si gagah keluar? Hahaha!”*)
Suara gema dalam diri Moritz muncul lagi.
(Gagah dengkulmu! Kita nggak ada waktu buat bercanda. Kamu siap, ‘kan?)
(*”Itu nggak seperti aku punya pilihan, ‘kan? Lagipula… hm….”
(Ada apa?)
(Entahlah….. Kakak itu…. Nah, mungkin aku sedikit berlebihan?)
Moritz mengulurkan tangan kanannya.
“Draconic Pact!”
“Calling : Cockatrice!”
#Srrrrreeeeww! (Suara pusaran aura)
Sebuah aura menyerupai bola bergerak melingkar mengitari Moritz dan Faegwyn. Lama kelamaan bola hitam itu memekat. Menghitam dan terus menghitam.
“A-apa yang anda lakukan, Tn. Moritz!?” Faegwyn kebingungan. Ia mengamati ke segala arah dengan panik.
Sampai padangannya itu ke atas depan. Ia membeku.
Sesuatu seukuran kaki burung elang keluar dari bola hitam pekat itu.
Turun ke bawah, nampak sebuah ekor.
Turun lagi….
Sebuah tubuh reptile, sayap dan kepala burung. Sisiknya berwarna ungu abu – abu gelap mengkilat perak terkena sinar bulan. Kepalanya mirip ayam jatan berbulu sampai leher hingga turun ke tubuhnya yang berkharakteristik reptil. Bagian ekornya adalah ular, sementara sayapnya mirip burung phoenix.
“Selamat malam, milady!” makhluk itu menyapa Faegwyn. Kibasan sayapnya yang gagah membuat Faegwyn ketakutan.
“Arggh!” Dark elf itu spontan terdorong dan jatuh terduduk. Dia terlalu terkaget.
Moritz menekuk lengan kanannya, lalu makhluk itu bertengger di atasnya. Makhluk itu kepalanya melirik tepat rok Faegwyn yang terbuka
“Hmm? Biru muda? Warna yang bagus, tapi sayang itu bukan celana dalam?”
Faegwyn segera menutup roknya dengan malu. Lantas….
#BRUAAK!
“Bodoh! Kamu ngomong apa, huh!?” Moritz membenturkan kepalanya pada kepala burung itu.
Itu memekik kesakitan. “Duh, duh, duh…. Kamu baru manggil pas udah mukul? Lancang banget?” dengan sayapnya, burung itu mengelus kepalanya.
“Kamu yang lancang, tolol!” Moritz menaruh tameng di punggungnya, lalu membantu Faegwyn yang terjatuh. “Ny. Faegwyn anda nggak papa?”
“Uh… umm….”
Setelah itu Moritz menjelaskan semua kesalahpahaman yang terjadi. Ia mengatakan bahwa burung itu adalah Cockatrice, ras Ancient, yang telah menemaninya sejak lahir. Moritz menambahkan bahwa ia menggunakan kontrak pada Cockatrice agar tidak macam – macam.
Moritz meminta Faegwyn untuk merahasiakan hewan itu pada semua orang. Moritz hanya ingin hidup tenang dan tidak digantungkan oleh orang lain.
Lantas mereka melanjutkan perjalan….
Dalam beberapa menit, mereka beritga mengobrol biasa. Tidak ada pembatas meski Cockatrice adalah hewan ancient, Faegwyn tidak keberatan ataupun terganggu. Terlebih lagi, suara Cockatrice terdengar cempreng lucu seperti anak kecil.
“Tapi, kenapa anda memanggil Cockatrice?”
“Soal itu-“
“Ah! Ah! kakak cakep! Biar aku yang jawab! Moritz hanyalah pria penyendiri yang terlalu sering mengandalkan otot. Bahkan bila aku nggak ada, dia nggak mampu mengeluarkan bahkan seperempat skill yang dia miliki, Kekekekekeke!” Cockatrice tertawa puas sambil mengibas – ngibaskan sayapnya.
“Fufufufu….”
Moritz meraih lesat sayap kanan Cockatrice, kemudian mendekatkan wajahnya pada burung itu. Ia memandang dalam – dalam.
“Kamu ngomong apa, ayam goreng!?”
“Heh? Kamu beraninya lawan aku pas dalam bentuk kecil, cebong!?”
Mereka terlibat dalam perkelahian kecil. Faegwyn merasa seperti membawa dua anak kecilnya.
“Eh? Maksudnya, cockatrice yang sebenarnya….”
Setelah kata – kata itu, Moritz dan Cockatrice menghentikan perkelaihan konyol mereka.
“Tentu, Ny. Faegwyn. Dia seukuran naga. Bila saya melakukan pemanggilan penuh….”
“Aura saya akan menarik monster. Bahkan ancient lain….” nada Cockatrice pelan, ia memandang langit. “Itu akan memicu peperangan ancient.”
.
.
Dalam sejam….
Sebuah gapura dengan sudut kanan kirinya terdapat api will o wisp biru. Gapura itu dicat putih berbahan keramik dan bertuliskan TOWN OF PIRN.
***
-------------------------- Information ---------------------------
Mini Cockatrice Buff – Memberikan pelindung menyerupai bola aura hitam (Black Corrosive Barrier) yang memberikan nulifikasi pada hawa dingin/membeku/terbakar/korosi/racun/radiasi dari sihir atau kejadian alam dibawah atau sama dengan Tier VII. Bila sesuatu asing/monster memasuki pelindung itu maka akan langsung musnah atau pada ketahanan korosi di bawah Tier VII. Selain itu menambahkan regenerasi tenaga dan kesehatan sedikit deni sedikit. Bola pelindung dapat diperbesar hingga delapan orang.
Kedua penjaga kota pirn menghampiri Moritz. Cockatrice kini bersembunyi di kedua rudal balistik Faegwyn.
“Permisi, kami berdua ke sini atas pesan yang diberikan Lyrei melalui gulungan ini.”
Moritz menyerahkan gulungan itu pada salah satu penjaga. Sedangkan satunya lagi tanpa basa – basi menyilahkan Moritz dan Faegwyn.
“Hey! Buka gerbangnya!”
Gerbang kayu terbuka….
Setelah Moritz dan Faegwyn masuk, gerbang itu ditutup kembali.
Mereka terus berjalan lurus, sambil memandangi kota pirn yang di malam hari masih agar ramai.
Cockatrice mendongak kecil dari himpitan empuk dua gunung kembar Faegwyn. Burung reptil itu tampak senang melihat suasana kota pirn di tengah malam.
Rumah – rumahnya mirip struktur perumahan di gurun, cenderung batu berwarna putih. Hanya tampak berkilat karena terbuat dari granit.
Jalanannya lurus dengan kramik warna – warni dan kilauan benih emas. Ada satu perempatan di tengah, atau alun – alunnya, air mancur dengan patung seorang dewi.
Berbagai lilin berapi warna – warni terpasang di dekat air mancur, menghasilkan aroma yang menenangkan.
Di alun – alun itu pula, terdapat banyak pedagang kaki lima yang menjual dari aneka bakaran hingga barang antik.
Cockatrice menoleh ke kiri. Ia melihat seseorang yang meminum suatu cairan di botol, lalu menyemburkan api.
Mereka berhenti di dekat alun – alun.
“Anda tunggu sebentar, saya harus lapor dulu!” Penjaga itu belok kanan, lalu lurus pada sebuah gedung tiga tingkat.
Sementara itu, mereka jalan – jalan kecil menikmati indahnya kota pirn meski tengah malam lebih.
“Jangan – jangan, kamu nggak pernah lihat kota, Tn. Cockatrice? Faegwyn menunduk ke bawah pada dadanya.
“Nah, itu karena si tolol itu nggak punya akal dan selalu menyembunyikanku seenaknya!”
“Cerewet sekali kamu, ayam goreng?” Moritz berpaling dengan wajah mengejek sambil memasukkan kelingking pada telinganya.
“A-apa katamu!? Mau berantem, huh!?”
“Tn. Cockatrice… jangan gerak terlalu banyak…. Rasanya geli….”
“Ah, maaf.”
Moritz mengajak mereka ke sebuah kedai yang menjual barbecue daging sapi terbang dan jellysquid (cumi ubur). Moritz memesan untuk tiga orang. Mereka kemudian menuju tempat duduk sepi.
Sambil menunggu, mereka mengobrol kecil sambil menikmati makanan itu. Cockatrice agak cemberut ketika Moritz melarang tubuhnya untuk keluar lebih banyak daripada kepala.
Faegwyn memberi pendapat agar ia menyuapi Cockatrice dari posisi itu. Potongan daging panggang itu dicuilnya setengah telunjuk, sesuai ukuran mulut Cockatrice.
#Munchmunch!
“Sayang sekali aku nggak nyicipi makanan seperti ini dari dulu….”
“Fufufufu! Mau tambah?”
Cockatrice mengangguk seperti anak kacil, sehingga Faegwyn mencuilkan lagi dan menyuapinya.
“Hey, kakak cakep, kamu nggak ikutan makan?” Cockatrice mendongak ke atas.
“Hm? Oh, aku nggak lapar….”
Burung reptil itu baru menyadari bahwa Faegwyn jarang sekali menurunkan tangan kanannya. Menglap jari kanannya dengan tisu karena lengket dari minyak ketika menyuapi Cockatrice dan kembali mendekatkan ke telinga memang merepotkan, menurut Cockatrice. Ia juga sadar bahwa Faegwyn mencemaskan sesuatu. Selain bisa merasakannya karena bersentuhan fisik, diam – diam Moritz dengannya saling berdiskusi lewat batin.
“Kakak cakep…”
#Munchmunch~ Gluck!
Cockatrice melanjutkan,
“Bagaimana kalau aku bilang… ketiga putri anda baik – baik saja? Apa itu membuatmu lebih rileks?”
ns 172.70.179.53da2