Sang ratu alraune berubah pikiran dalam sekejap. Ia tidak mau memberikan alasan yang spesifik, yang jelas sang ratu alraune tiba – tiba ngotot ikut. Sang ratu alraune menyamarkan dirinya sebagai wanita kerajaan berambut pirang.
Tanpa bertanya lebih jauh, Moritz langsung menggunakan teleportasi massal menuju rumahnya. Moritz berpikir untuk menaruh barang – barang yang dibawanya terlebih dahulu ke rumah.
Namun….
Sesampainya di sana, banyak warga desa mengungsi di halaman rumah Moritz. Mereka dalam keadaan luka – luka, walau tidak terlalu berat. Kebanyakan lukanya akibat berlari terburu – buru lalu jatuh meninggalkan luka di dengkul, sikut, atau bahkan wajah.
Esta, Lyrei, Nyonya Faegwyn, beserta tiga putrinya yang siap menarik panah mereka.
Beberapa prajurit berarmor besi memakai perisai sedang menginjak halaman rumah Moritz.
#Whirwhirwhirwhirl!
Moritz melempar perisainya seolah boomerang, lalu mengenai semua prajurit itu. Itu secara instant membuat semua pakaian besi dan tameng serta pedangnya pecah.
“Tu-tuan Moritz!” Esta, Lyrei, dan Ny. Faegwyn terkejut dan kompak memanggilnya.
Moritz dengan gagahnya mendatangi prajurit itu untuk menyuruh pergi.
“Tch! Awas saja kalian!” kata salah satu prajurit yang kabur.
Moritz tidak memperdulikan itu dan langsung berbalik. Ia melihat Ny. Atilla yang dahinya berdarah. “Semuanya, fokus sembuhkan para warga! Mulai dari sini aku yang akan mengambil garis penyerang!”
Esta, Lyrei, Faegwyn, dan bahkan ketiga putrinya saling berbisik curiga karena penampilan sang ratu alraune yang menyamar sangat mirip anggota dari kerajaan. Sedangkan beberapa pasukan sedang mendekat.
Menyadari itu, Moritz segera bertindak meluruskan kesalahpahaman.
“Titania, tolong bantu sembuhkan para warga!” Moritz melempar kunci rumahya. “Ambil beberapa obat – obatan, makanan, atau apapun itu untuk membantu!” Moritz bergegas pergi.
Titania, atau sang ratu alraune yang sedang menyamar, menghampiri rumah Moritz. Dibantu Esta dan Lyrei, Titania mengambil kebutuhan untuk para pengungsi.
Sementara itu….
“CHARGGGEE!!!” para prajurit membakar semangat mereka menyerang Moritz. Di balik pepohonan hutan pirn, sekelompok penyihir merapalkan mantra penguat.
Tombak itu didorong melesat cepat dan kuat.
#Ctang!
Tiga tombak diblokir oleh tameng Moritz.
“Counter Zigzag!”
Moritz mendorong tamengnya lalu…
#Krang!
Ketiga prajurit itu terpental ke pepohonan lalu mengenai rekannya sendiri. Semua rekan para prajurit roboh menyisakan dua penyihir.
“Enchanting!”
“Fireball!” ucap penyihir satunya.
Sebuah bola api seukuran empat bola boling sebanyak empat buah mengarah pada Moritz.
“Water Scutum!”
Tameng Moritz sedikit membesar dan berubah menjadi air,
#Blasst blast blast jeblasstt!
Bola api itu sekejap lenyap saat mengenai perisai air.
“Orang – orang bodoh!” kedua mata Moritz berkilatan. Dengan kecepatan kilat, Moritz mendorong perisainya menabrak satu penyihir.
“HAAAA!”
Kemudian dipukul dengan tangan kanannya satu penyihir yang lain. Mereka langsung terpental menggelinding.
Setelah itu, Moritz langsung berlari melesat cepat setelah mengetahui tidak ada lagi prajurit.
.
.
Hingga…
Sampailah Moritz pada penghujung hutan vaughtort.
Moritz melihat asap dari aula desa. Di depan pintu aula, seorang Beastrian kepala banteng kenalannya sedang terluka parah. Nafasnya terengah – engah, terdapat empat tusukkan di dada.
“Tn. Bastle! Apa yang terjadi!?”
“Mo… Moritz…. Dyad… Ruven….” Tunjukknya sebelum pingsan, arah kiri dari aula.
Moritz dengan cepat menuju arah yang ditunjuk Bastle.
#Ting! Tingtang!
Suara metal yang diasah tajam saling berbenturan. Ruven yang dahinya dan mulutnya mengeluarkan darah masih sempat memblokir serangan para pemakai tombak dan pedang.
Sedangkan Bihice, tidak hanya menangkis anak – anak panah, tapi juga meladeni kapten regu prajurit mereka. Wanita dengan memakai halberd. Moritz menyadari gaun birunya sobek di bagian pinggang dan meninggalkan bekas luka.
Bihice dan Ruven adalah satu – satunya yang menahan prajurit – prajurit ibukota grenaldin. Mereka bertempur di tengah jalan desa vaugtort. Rumah – rumah warga selain atapnya rusak, beberapa ada yang sedikit terpercik api.
(Itu persis yang Nona Janice bilang!)
(*”Berhati – hatilah! Karena aku merasa ada aura lain!”*)
Moritz melompat tinggi.
.
.
#BRRRAAK!
Ia mendarat kuat menendang prajurit berarmor dengan senjata tombak. Namun, beberapa anak panah terlanjur melesat.
#Sap!sap!sap!sap!sap!
Moritz menggerakkan tamengnya mengikuti arah panah yang melesat itu. Lima anak panah berhasil dihentikan.
“Oh? Senior Moritz? Kenapa… kenapa pecundang sepertimu ada di sini, huh? Wanita itu menggeram. Tambahnya berpaling ke belakang. “KALIAN SEMUA MUNDUUUUR!!”
“Bihice, mundur dan sembuhkan Tn. Ruven dan Tn. Bastle. Aku akan mengambil pertempuran ini!” Moritz mengulurkan tangannya memberi aba – aba mundur.
“#Gasp… gasp…! Baik, Milord!” Bihice yang nafasnya tersengal – sengal, nampak kelelahan, segera membantu Ruven sebelum ambruk.
Sementara itu….
“Tcueh!” wanita berambut twintail merah itu meludah kesal. Salah satu matanya membesar membuktikan betapa frustasi dan gilanya wanita itu, “Kamu… KAMU MALAH NGACANGIN AKU SIALAN!”
Ia berlari ke arah Moritz, sambil memutar – mutarkan halberd miliknya.
“Huh?”
Ayunan besi sabit halberd itu melesat ke arah wajah Moritz. Dengan momentum itu, Moritz merendahkan kepalanya dan leas langsung mendobrak tubuh wanita itu.
#Sprang!
Wanita itu kemudian terpental hingga menatap salah satu tembok rumah warga.
#Bruakk!
“Hhuaaggh!” wanita itu muntah darah dan terduduk. Sedangkan Moritz menghampirinya dengan tatapan frustasi tanpa sepatah kata.
“K-kamu pikir… aku kalah #Gasp… gasp…!?” wanita itu tersenyum lebar, salah satunya mengedip – ngedip kecil.
(Blink!)
Wanita itu dalam kedipan mata menghilang dari hadapan Moritz.
Tiba – tiba dari belakang….
“Eheheheahahaha! STTAABBB!!!” Wanita itu tertawa gila sambil mengarah pada punggung belakang Moritz
Namun…
#Criiiinggg!
Moritz mundur sedikit, tamengnya bersentuhan dengan ujung halberd. Kemudian tangan kanannya dari bawah dengan lesat meraih leher wanita itu.
#JEBLARRRR!!
“HUAGGH!”
Moritz membanting wanita itu. Kini kedua bola matanya menjadi putih. Wanita berambut twintail itu kini tidak sadarkan diri. Beberapa prajurit pemanah yang menyaksikan kekalahan kapten regunya, mereka langsung kabur.
(Claribel… wanita bodoh….)
Moritz menggotong tubuh wanita yang barusan dibantingnya.
Tiba – tiba….
#Syuuussshhh
Moritz merasakan kehadiran yang tidak biasa dari belakangnya. Setidaknya, siluet bayangan itu menggambarkan seseorang memakai topi kerucut.
“Hoooaaamz…! Ngantuk sekali…..”
Tongkat magis berwarna hitam dan putih, dengan ujung mirip tangan yang menggengam sesuatu. Di tengahnya tampak seperti orb yang berisi roh kecil hitam dan putih yang berputar – putar, saling mengejar satu sama lain. Tongkat sihir supinity, adalah salah satu dari lima puluh tongkat legendaris yang terkuat di seluruh Etherealm.
Tongkat itu mampu menyimpan dan memperkuat semua elemen bahkan merapal elemen gabungan. Kekuatan spesialnya adalah tongkat itu unggul dalam mengeluarkan sihir area luas.
“Jaquelin!” Moritz berbalik.
“Hm? Moritz? Mau kamu apakan Claribel? Hooaaamms….” Wanita itu mengucek mata kirinya sambil menguap. Ia melihat Claribel, wanita yang berambut twintail, digendong Moritz.
Wanita yang dipanggil Jaquelin itu berdiri tepat di atap salah satu rumah warga. Kedua luar matanya menghitam kurang tidur, pupil hitam besar dan kelihatan bosan. Jacquelin berusaha keras menatap lawannya. Rambutnya panjang berwarna hitam dan putih, selang seling. Mengenakan topi kerucut dan mantle penyihir ungu bercampur pink muda.
Sesaat, Jaquelin mengulurkan tangannya, dengan jarinya menunjuk Moritz.
“Beam….”
#Blublubblubub
Muncul sebuah gelembung – gelembung hitam dari telunjuknya.
(Oi, oi serius kah wanita ini? Bukannya itu akan membunuh rekannya juga!?) Moritz menjadi panik.
#Phew~…… JEBBLAARRRRRRRR!!!!
Seperti cahaya perak kilat dan kecil. Sekelebat menghantam tanah lalu meledak besar.
TO BE CONTINUE
ns216.73.216.82da2