Gerbang pun dibuka, setelah Moritz meminta pada penjaga.
Terpaut jarak 5 km, Moritz sudah bisa merasakan aura monster pembuat ulah ini.
(Apakah kamu berpikir itu ratu mawar, ayam goreng?)
(*”Ratu mawar nggak di sini, setidaknya nggak di etherealm ini. Lagipula, kalau itu dia… cepat atau lambat pasti akan menemuimu. Yang ini beda,”*)
Moritz mengambil berlari sekencang – sekencangnya. Sambil menelisik sekitar, Moritz merasa bahwa padang rumput pirn malam ini tampak lebih sedikit monster supranatural. Kini, ia telah mendapat bukti konkret atas kejadian tidak normal ini.
Moritz berhenti tepat di depan pohon cemara. Hutan pirn memang terkenal dengan stok cemaranya, terutama beberapa dari mereka terdapat cemara langka. Cemara yang dikelilingi will o wisp oranye.
Moritz mengulurkan tangan, dan mendekat perlahan…
Terdapat seperti barrier yang tak terlihat…
Tiba – tiba…
#Syuut~ skieept!
“Huup!” Sebuah tentakel batang berduri hendak melilitnya. Tapi Moritz berhasil menghindar.
Lalu tentakel yang lebih besar muncul dari barrier,agak keatas dan hendak memipihkan Moritz.
#Jebllaarrr!
Moritz berhasil menghindar lagi. Tentakel – tentakel itu kembali ke dalam barrier seolah tidak pernah kelihatan lagi.
“Ya ampun… merepotkan sekali!” Moritz memakai perisai dari punggungnya ke lengan kiri, lalu berlari sambil mendorong kuat menembus barrier itu.
Perisai itu tampak seperti berapi – api, seakan batu luar angkasa yang mencoba menembus atmosfer.
Saat mengenai barrier itu, hantamannya terdengar seperti suara kaca yang didorong roda batu.
Lalu…
#Prangg!
Barrier itu pecah.
Moritz kini telah memasuki hutan pirn utara. Auranya semakin kuat dan berbahaya. Tampak sangat hitam pekat di sekililing, bila tidak merapal sihir tertentu.
(Woah! Sepi sekali tempat ini? Seperti kuburan. Eh enggak, bahkan kuburan ada ras undead dan roh!)
(*”Hm… aku merasakan sumber aura itu di ujung kanan!”*)
Mengambil saran Cockatrice, Moritz mengencangkan langkahnya pada arah yang dituju.
Lantas…
Moritz mendengar suara rintihan.
(Siapa?)
Ia mendekat pada sumber suara rintihan. Rintihan suara wanita kesakitan dengan nafas terputus – putus.
“Halo? Nona? Anda di mana?” panggil Moritz.
Sekelebat kain putih melesat di hadapannya, melintas ke arah kiri. Moritz mengikuti dengan langkah hati – hati.
.
.
Suara itu semakin dekat….
“Uuuhhh…. Sakit….! Apa aku akan mati?”
Vokal suaranya agak menggema halus dan dua nada. Yang jelas, itu suara wanita.
#Hiks…
(Apa dari balik pohon ini?)
Moritz menghindari menginjak daun kering. Ia melangkah terus mendekati sumber suara itu.
Lantas…
“Cilukbaaa!”
Kepala Moritz mendongak tepat di hadapan wanita itu. Wanita itu memakai Furisode putih dengan motif bunga berwarna pink, berkulit putih pucat, dengan rambut panjang hitam.
Ia memengangi perutnya yang tertancap dengan mawar hitam.
“KYAAAA!!!”
Wanita itu hendak kabur, namun Moritz meraih leher furisode itu lebih dulu.
“Le-lepaskan aku! A-aku nggak ada masalah denganmu! Ampuni aku! Kyaaaaa!” Tangisan wanita itu semakin pecah. Ia meronta dan terus berusaha kabur dari Moritz.
(Oi, oi, yang benar saja! Bukannya seharusnya manusia takut hantu? Kok ini kebalik?)
(*”Ya, ya, hentikan analogi bodohmu, cebong! Kamu telah hidup di dunia dan aturan berbeda. Lagipula… kamu hanya membuat wanita itu kesakitan!”*)
(Dinasehati oleh hewan aneh kedengarannya memang aneh….)
(*”Menasehati manusia sableng sepertimu, untuk ancient gelap sepertiku memang hal yang pertama kali!”*)
“Nona, bila kamu terus bergerak, maka lukamu semakin dalam, duh!”
Moritz menarik paksa wanita itu sehingga ia terjatuh dan bersandar di pohon. Wanita itu malah semakin takut.
“Hi-hiiiiiii! Ma-manusia… bisa bicara denganku? Ka-kamu pasti kuat!” Wanita itu mundur hingga menatap pohon lain. Ia terdesak lalu melindungi wajahnya dengan tangannya. “Ampuni aku! Ampuni aku, tuan! Apapun itu, aku akan melakukan apapun itu bila kamu mengampuniku!” Nadanya terdengar semakin putus asa.
“Apapun, nona?” Moritz mengeluarkan senyuman jahat, seperti pria mesum di bar malam.
“Hiiiii!”
Moritz segera berjongkok, mengulurkan tangannya.
Pekikan wanita itu semakin menjadi – jadi.
Namun…
Tangan kanan Moritz diselimuti cahaya terang biru kehijauan.
#Syuut~
Tusukan mawar hitam di perutnya kini telah dicabut Moritz dengan cepat tanpa rasa sakit.
Luka di perut wanita itu semakin menyusut…
Lalu hilang, sama seperti cahaya di lengan kanan Moritz.
“Nah, mawar itu nggak seharusnya ditancapkan di perut, nona. Kamu perlu praktisi kecantikan soal ini,” celoteh Moritz.
“Ng-nggaklah! Mana mungkin aku yang melakukan itu!”
(Dia tampaknya sudah lebih baik.)
Moritz segera berdiri.
“Kalau begitu, sampai nan-“
Wanita itu memegangi tangannya.
“Tu-tunggu, mungkin aku bisa membantumu?”
***
Wanita itu memutuskan untuk mengikuti Moritz. Mereka mengobrol kecil sambil saling memperkenalkan diri. Wanita itu rela memberitahukan namanya pada Moritz, tanpa paksaan.
Ia mengatakan bahwa dirinya adalah Rokurokubi atau hantu leher panjang. Di tengah malam begini biasanya dia dan teman – temannya berkeliaran untuk berbincang – bincang. Namun, ras moldrin menembaki mereka panah tanpa sebab.
“Mata merah menyala, Mira?” Moritz mengernyitkan dahinya.
“Begitulah…. Mereka nggak segan – segan menghujani kami dengan panah mawar hitam. Padahal sebelumnya kami juga nggak pernah ada masalah dengan ras moldrin!”
(Nggak, nggak, bukan soal punya masalah atau nggaknya! Kalau mata mereka merah, berarti jelas – jelas moldrin itu sedang dikendalikan, kan?)
“Sebentar, bukannya ras hantu seperti kalian seharusnya nggak mempan kena panah?”
“Nggak semua panah dong! Panah ras pohon selalu dirapali mantra alam. Mantra alam bila mengenai tubuh arwah mirip seperti sihir tipe cahaya! Bahkan lebih buruknya itu bisa meninggalkan bekas korosi, dan membuat kami mati perlahan – lahan!”
“Kalau panah elf?”
“Hm… beberapa dari mereka masih bisa ditolerir. Itulah kenapa kami sering menganggu elf yang masih pemula, hihihih!”
(Oh… jadi begitu.)
Mereka berhenti tepat pada sebuah bunga yang besar. Dahan tubuhnya berwarna hijau gelap pucat. Bunga mawar hitam yang megah, dengan banyak dahan tentakel yang digelantungi sesuatu mirip buah ceri yang memancarkan sinar hijau tua dan hitam. Beberapa tentakel yang mirip menyalami Moritz juga melambai – lambai seolah siap menggeprek siapapun yang mendekati jarak tertentu.
“Di-di sana, teman – temanku disekap! Hantu payung juga ada!”
Cockatrice yang penasaran, ia memunculkan kepalanya dari jubah Moritz.
“Hm… jadi bunga ini yang mengacaukan gambaran telepatiku?”
“Burung reptil?” Wanita hantu bernama Mira itu heran.
“Hm?” Cockatrice berpaling pada Mira. “Oh, halo nona demplon? Apa kabar?”
Tatapan mata mereka sama – sama bertemu. Lantas…
Itu membuat Mira spontan mundur menjauh. Ia ketakutan lagi.
“Hiiiii! Auranyaaaaaaa besar!”
Moritz menghela nafas. “Bisakah kamu nggak membuat situasi semakin keruh, ayam goreng?”
Moritz dengan enggan, menjelaskan beberapa hal pada Rokurokubi bernama Mira itu, bahwa Moritz punya alasan tertentu untuk menyembunyikan Cockatrice. Mira akhirnya mengerti walau sedikit menjaga jarak.
.
.
Setelah itu, tanpa menunda lagi, Moritz ingin segera memulai pertarungan.
“Mira, kamu bawa dia dulu. Kamu pasti aman selama dia di dekatmu. Jangan lupa aturlah jarakmu karena aku nggak bisa berjanji mengontrol jarak seragan monster itu.”
Moritz pergi, sementara Cockatrice dipegang oleh kedua tangan Mira.
“Halo, nona demplon? Bolehkah aku bersembunyi di dua rudal balistikmu?”
“Hiiii! Burung reptil nakal!” Mira tampak bingung dan agak ketakutan dengan Cockatrice.
Sementara itu….
#Syuut~ Skieept!
Tentakel duri kecil gagal meraih Moritz.
Moritz segera mengambil kesempatan, berlari mengelilingi bunga itu. Sambil mendekat sedikit demi sedikit.
Namun…
#Syuut! Syuuut! Syuuut! Skiept! Skiept! Skiept!
Tentakel – tentakel kecil itu masih berusaha dan menjadi sangat banyak hingga nyaris tidak memberikan Moritz jeda. Berkali – kali mencoba melilit tubuh bahkan kaki Moritz namun gagal.
Karena itu Moritz mencari sisi kosong….
Moritz melambung hindar ke kanan. Dalam keadaan mati gerak, tentakel yang besar siap menghampiri Moritz dari arah yang berlawanan.
#SMPRAANG!
ns216.73.216.79da2