Dataran tinggi Vaughtort….
Dataran yang menyediakan banyak sumber kehidupan. Udaranya sejuk namun cenderung agak dingin. Air yang mengalir, dari Sungai Grenaldine sampai Sungai Pirn masih jernih dan ditempati fauna air yang melimpah.
Hingga lembah Vaughtort, banyak sekali berjejer ladang bahan pokok yang dijadikan. Para Beastrian, atau ras manusia hewan di desa Vaughtort banyak mengunggulkan singkong daripada padi. Sementara ladang milik Elf, lebih cenderung menanam kentang. Nah mereka hidup berdampingan dan punya preferensi. Hidup damai dalam suatu perbedaan sudah biasa.
Hutan Vaughtort, letaknya mengikuti ke jejak jalan batu naik ke dataran tinggi lebih dalam dan lebih jauh. Tumbuhan liar di sini mayoritas aman dikonsumsi. Beberapa mencari tumbuhan obat – obatan seperti jamur tameng dan daun jeruk beku.
Walaupun, penduduk sekitar masih menaruh waspada. Karena hutan juga tidak hanya dimanfaatkan oleh makhluk yang berakal, beberapa makhluk karnivora seperti serigala grizzly dan anjing tempurung menjadi perhatian para penduduk.
Meskipun begitu…
Melewati hutan akan menemui lembah lagi. Lembah itu adalah tempat yang jarang dilewati orang. Nah, kecuali orang yang tersesat atau sekedar kenalan. Itu sudah jelas, pergi ke lembah situ harus melewati Hutan Vaughtort.
Di lembah itu terdapat sebuah rumah kayu dua tingkat dengan dua kebun kecil. Ditempati pemuda, Humanian, ras manusia, yang katanya adalah pensiunan prajurit dan veteran dalam tim ekspedisi atau eksplorasi.
Konon katanya, pria itu ikut andil besar dalam peperangan besar.
Hari – hari pensiunnya yang masih sendiri, digunakan untuk memancing di aliran sungai depan rumahnya. Aliran Sungai Vaughtort.
“Paman Moritz!” Bocah lelaki, beastrian kelinci kecil putih itu berlari cepat menghampiri pria yang sedang memancing sendiri.
“Beng! Jangan lari, nak!” Ibu manusia kelinci kecil itu ikut lari kecil khawatir anaknya terjatuh dan terperosot.
“Huh? Kamu bocah nakal yang ngambil kentang di kebunku?” Pria yang dipamggil Moritz itu menaruh pancingannya lalu meraih bocah itu. Ia mengelus kepalanya dengan ramah. “Apa? Kamu mau nyolong lagi?”
“Hey! Kita sudah sepakat kemarin saling memaafkan, bukan?” Beng, si kelinci kecil merajuk. Kemudian ia berbisik. “Lagipula, ada mamaku di sini. Jangan kencang – kencang dong!”
Moritz segera berdiri dan melepas Beng. Ia menyalami manusia kelinci wanita yang memakai dress hitam dan rambut putih kuncir, Ibu Beng.
“Halo, Tn. Moritz! Saya minta maaf karena, Beng, sering merepotkan anda tanpa sepengetahuan saya!” Ibu Beng kemudian memberikan sebuah kotak pink yang diikat kain. “Anu… kami sedang panen ubi manis. Kalau anda berkenan, silahkan!”
“Ah, anda nggak perlu repot – repot Nyonya Atilla.” Moritz membuka kotak itu.
Seketika bau sedapnya menyahut hidung Moritz. Ubi manis itu sejatinya adalah ubi manis beku. Tapi entah kenapa yang membuat Moritz bingung itu terlihat berwarna emas dan sangat menggiurkan.
Bau sedap itu secerah senyuman Nyonya Atilla yang menyapanya ramah.
“Anda ini ngomong apa? Saya dan beberapa ibu – ibu di desa depan turut berterima kasih, karena anda telah menyalamatkan anak kami! Kami nggak menyangka kalau di hutan ada cukup banyak serigala Grizzly!” Nyonya Attila sekejap meraih tangan Moritz dan mendekatkan dirinya seraya bersungguh – sunggu berterima kasih.
Sesaat itu membuat Moritz malu, terlebih sesuatu empuk menyentuhnya.
“E-eh y-ya… I-itu sudah biasa…. Tapi tolong bisakah anda mundur sedikit, Nyonya?”
“O-oh…. Maaf,”
#Kresekkresek!
Pancingan Moritz tiba - tba bergoyang di atas rumput.
“Eh? Paman, paman! Pancingnya gerak, tuh!”
Moritz meminta tolong untuk Beng membawa kotak itu sementara. Moritz spontan tangannya melesat meraih alat pancingnya yng hendak melompat ke sungai.
(Huh!? Kok kuat banget?!)
Moritz yang kedua tangannya mengenggam erat pengangan pancing itu pijakan kakinya terseret sedikit demi sedikit ke dalam sungai.
“A-apa anda perlu bantuan, Tn. Moritz?!” Nyonya Atilla yang khawatir di belakang namun tidak yakin bisa membantu.
Mulai terlihat gelembung dan lingkaran pusaran air kecil di sungai. Sementara itu pancingan Moritz yang berwarna ungu kokoh telah melengkung mirip huruf kecil “n”
“Tolong menjauhlah!”
Nyonya Atilla merangkul mundur anaknya, Beng. Pepohonan khususnya bambu suara di Hutan Vaughtort berderit – derit ditiup angin yang cukup kencang.
(Tch…! Aku nggak punya cara lain!)
Kaki Moritz nyaris jatuh.
(Nautilus Blessings!)
Nyonya Atilla dan Beng melihat partikel – partikel kecil dan gelembung – gelembung air menyelimuti Moritz.
.
------------------------ Skill Information---------------------
Nautilus Blessings – Tier VII Skill – Berkah Nautilus menguatkan kekuatan fisik 7x lipat dan melemahkan kekuatan makhluk 7x lipat. Berkah tidak bisa digagalkan dengan Skill penghapus berkah tier di bawahnya.
124Please respect copyright.PENANAFOQ5yJ1u50
Tangan Moritz terlihat diselimuti air yang berkilauan. Kini kakinya bisa mundur dan menjauh dari lubang sungai.
Otot di tangan Moritz mulai bermunculan…
Ditariklah pancingnya itu….
(Erggggghhhhh!)
Ditariknya lagi…
Moritz menghela nafas, keringatnya tidak bisa berhenti berjatuhan dari dahinya.
(Errgghh! Aku… nggak pernah narik sekuat ini! Ikan atau tumpukan besi, sih!?)
Ditariknya lagi….
Pusaran air semakin membesar. Kemudian tampak kepala ikan keluar dari pusaran itu. Ukurannya sebesar kepala manusia.
“HEAAA!” Tarikan terakhir Moritz berhasil menyeret ikan itu keluar dari sungai.
Ikan itu terangkat cukup jauh hingga mendarat dua langkah di belakang Nyonya Atilla dan Beng.
Badan ikan itu setinggi Nyonya Atilla, yang kini gemetaran ketakutan. Sisiknya mengiklat bagai kristal warna hijau. Mulutnya masih bergerak – gerak menutup dan membuka. Tubuhnya masih menggeliat cepat.
“O-oh… Dewi Gaia! Makhluk apa ini!?” Nyonya Atilla memekik ketakutan, mundur menjauh, dan menutupi mata anaknya.
“Hm….” Moritz berjalan mendekati ikan itu. Ditariknya kail yang melukai ikan itu, lalu merapalkan sebuah mantra untuk menyembuhkan luka di mulut ikan.
Beng melepas tangan ibunya lesat mendekati Moritz dengan rasa penasaran. Matanya berbinar – binar seolah kagum dengan ikan besar yang belum pernah ia lihat.
“Beng! Jangan dekat – dekat!” Ibunya khawatir dan segera menyusulnya.
124Please respect copyright.PENANAvEfW8stgir
“Ikan apa itu, paman!?”
Moritz memegangi sisik sambil mengelus kepala ikan tersebut. Seketika ikan tersebut mulai tenang dan sedikit menggeliat.
“Moldrin Sturgeon. Sebenarnya kita nggak boleh nangkap ikan ini. Meski begitu, aku bahkan nggak pakai umpan untuk ikan ini, tapi….”
“Ehhhh~? Padahal tadi susah payah, loh?” Beng sedikit kecewa.
“Anu… kenapa nggak boleh ditangkap, Tn. Moritz?”
“Nah, ikan ini penting untuk para Moldrin….” Moritz segera mengangkat ikan itu lalu mengembalikan lagi ke sungai. Ia enggan menjelaskan lebih rinci.
(Ada apa ini? Kenapa aku merasakan hal aneh? Menangkap Moldrin Sturgeon kecil saja membutuhkan berkah dryad dan umpan khusus…. Tapi… perasaan aku hanya pakai umpan cacing tanah, kan?)
Moritz memeriksa isi sakunya lalu mengambil sebuah plastik. Ia ingin memastikan apa yang ia pikirkan. Benar saja, isinya memang cacing tanah yang menggeliat.
“Woah! Paman pasti pakai cacing spesial itu!?”
“Nggak. Ini cuman cacing tanah,”
(Apa aku harus konfirmasi ke para Dryad? Kuharap Bihice nggak pergi kemana – mana….)
“Mari kita lupakan apa yang terjadi tadi, kalian berdua ayo masuk dulu!” Moritz tersenyum ramah, mengajak mereka bertamu dalam rumahnya.
Nyonya Atilla dan Beng merasa takjub dengan interior yang mirip bangunan Elf. Lantai dan tembok kayu. Bahkan untuk seorang pria, rumah itu sangat bersih.
Sebagai gantinya kotak pemberian Nyonya Atilla, Moritz memberinya dua toples selai.
“Woah~! Kenapa ada aura – aura hitam, Tn. Moritz?” Ny. Atilla matanya terbelalak dipenuhi rasa penasarannya. Namun cenderung ke arah kurang meyakinkan.
Toples selai yang dipegang Ny. Atilla berisi cairan berwarna ungu abu – abu gelap dan diselimuti aura hitam.
“Ah, ini Mutant Strawberry. Cukup populer di kota gurun Tel Midrayv. Nah, waktu itu saya beli cukup banyak, ahahaha!”
“Tel Midrayv?” Kedua tamu Moritz itu tampak kebingungan. Mereka hanya baru mendengar nama tempat yang Moritz sebutkan.
Suasana menjadi agak canggung. Moritz lekas mengambil roti dari kulkasnya dan menyuruh mereka untuk mencoba selai itu sendiri.
Saat selai itu dioleskan ke permukaan perut roti, cairan kental itu seolah meresap. Kini roti itu memancarkan aura hitam yang sama. Itu mungkin terlihat… sedikit terlihat menganggu dari pada menarik.
“I-ini… ahaha… saya… agak kurang yakin,” Ny. Atilla tampak enggan mencicipi. Bahkan Beng telah menutup matanya. “Tapi… kenapa mereka nggak punya bau ya, Tn. Moritz?”
“Unik, kan? Awalnya saya berpikir begitu. Tapi… percayalah, rasanya lebih nikmat dari selai strawberry manapun!” Moritz mendekatkan roti yang memancarkan aura hitam itu ke Ny. Atilla.
Karena Moritz bersikeras dengan wajah ramahnya, kini Ny. Atilla mengurungkan niatnya. Roti tersebut perlahan dimasukkan dalam mulutnya, lantas….
“Emmhhh! I-ini….” Ny. Atilla segera menjawil anaknya, Beng. “Beng! Beng! Kamu harus coba ini, nak!”
“E-N-GGAK!”
Mendengar itu, Ny. Atilla malah semakin terdorong untuk memaksanya. Ia mencuil roti bekas gigitannya. Ia menggelitiki pinggang Beng.
“MAAA~! GELII! AHAHAHAHA! Eup-“
#Munchmunch!
“Kok enak, sih?”
Beng segera menghabiskan sisa gigitan milik ibunya.
(Oi, oi, kelinci dekil sableng ini maunya apa?) Moritz sedikit sebal.
“Bagaimana, Ny. Atilla?”
“Saya merasa sedikit ada campuran blueberry dan strawberry. Mmm… ah ada sensasi mint dan leci juga. Saya nggak tahu sekompleks ini!”
Kedua tamu Moritz itu sangat berterima kasih. Kedua wajah mereka diselimuti kagum dan terlihat tidak sabar mencoba selai itu di rumah.
“Ngomong – ngomong, ini sudah sore. Boleh saya antar?”
“Eh kok nanya? Buruan lah!” sahut Beng spontan.
(Bocah sableng ini nggak ada hormatnya ya?)
“Hussh, yang sopan, Beng!” Ny.Atilla kemudian berpaling pada Moritz. “Ah nggak usah, Tn.Moritz! Saya punya beberapa mantra untuk kamuflase. Seorang Elf, Nona Esta baru – baru ini mengadakan pengajaran sihir melindungi diri untuk warga desa,”
“Hm…. Tapi, serigala grizzly nggak hanya mengandalkan mata. Hidungnya bisa mencium dari Pirn sampai Grenaldine,”
Penjelasan Moritz yang menaruh khawatir pada mereka, membuat Ny. Atilla bimbang.
“Tapi, kalau anda hanya mengantar kami….”
“Ah, saya juga ada perlu dengan kepala desa. Jadi kenapa nggak bareng?”
(Nah, nggak juga sih. Aku bisa ke desa kapanpun….)
“Oh jadi begitu! Syukurlah!”
Setelah Moritz mengunci rumahnya, mereka segera menaiki lembah. Lalu masuk ke hutan. Moritz merapalkan beberapa mantra pendeteksi. Karena bukan serigala grizzly dan anjing tempurung yang ia khawatirkan, tapi hal lain yang ia belum yakin tentang itu.
Sekitar lima hari yang lalu, ketika Moritz menemukan Beng dan kawan – kawannya dicegat serigala grizzly di hutan vaughtort. Moritz tidak berpikir bahwa serigala grizzly atau Beng dan kawan – kawannya yang salah. Tapi karena Moritz merasa ada yang menggunakan sihir medan luas pada hutan.
(Lagipula… baik serigala grizzly atau anjing tempurung seharusnya nggak bisa mencium bau Beng. Aku telah memasang sihir kamuflase bau tingkat empat pada semua penduduk Desa Vaughtort, sedangkan makhluk di sekitar ini hanya sampai tingkat tiga.)
(Dan baik serigala grizzly dan anjing tempurung, nggak akan datang kalau nggak ada bau. Lalu siapa? Atau… apa?)
Moritz selalu terbiasa mengungkapkan permasalahannya lewat batinnya sendiri. Baginya, bila bisa meminimalisir seseorang untuk takut, ia lebih baik nggak memberitahukan fakta tersebut.
(*”Kau butuh bantuan, sobat?”*)
Tipikal suara dalam dan bergema menyahut dalam benak Moritz.
ns 172.69.7.73da2