“Andi, apa kabar?”
Aku mengalihkan pandanganku dari laptop, dan seketika aku terkejut.
“Ca-Carla?” Kataku terbata-bata.
“Kamu ngapain ada di sini?” Tanya Carla lembut.
“Oh..eh-m, gw lagi kerja nih, biasa ngejer deadline.” Kataku terbata-bata, mencoba untuk mengendalikan diriku.
“Boleh aku duduk?”
“Oh, boleh dong. Duduk-duduk.” Kataku sembari menarik kursi untuknya.
Kami berdua terdiam cukup lama. Kulihat Carla hanya melihat ke arahku sembari tersenyum. Ia masih memakai kemeja merah jambunya seperti dulu. Kulihat kakinya yang terus bergoyang, dengan flat shoes hitam merah jambu kesayangan miliknya.
“Masih demen warna pink lu ya?” kataku, mencoba untuk memecah keheningan.
“Iya, Di. Kamu tau kan aku suka banget sama warna pink.”
“Iya sih..”kataku sambil menggaruk kepalaku yang tidak gatal. “Kok lu bisa ada di sini Car?”
“Aku kebetulan juga abis ada meeting di sini, Di.” Balasnya lagi, sambil menatapku lembut.
Aku hanya tersenyum, lalu menunduk. Aku tidak kuat untuk menatap matanya. Tatapan matanya yang lembut, selalu membawa dan mengingatkanku pada masa lalu.
“Yaampun Andi, kamu jangan pulang malam terus dong. Kasian itu mama kamu nunggu sampe malem.”
“Lah, kan aku bawa kunci. Tenang aja, mama juga santai kok!” kataku sambil tertawa, menatap matanya melalui layar handphone.
“Yaudah, jangan pulang terlalu malam ya Di. Nanti kalo sudah sampai rumah, kabari aku ya!” kata Carla sambil tersenyum, menatapku dengan lembut.”
“Gimana kondisi kamu sekarang Di? Mama gimana?” tanya Carla.
Aku terkejut, suara Carla Kembali membawaku Kembali dari memoriku.
“Mama baik-baik kok Car. Yah sekarang memang udah tua sih, uda ga sekuat dulu ngomelnya. Tapi yakin deh, masih bawel!” kataku sambil menggeleng-geleng kepala.
“Yah kalo anaknya kamu, ya pasti pusing kan?” kata Carla sambil menutup mulutnya, sambil menahan tawa.
“Iya sih..” kataku lirih sambil tersenyum malu.
“Car, plis jangan gitu! Dengerin gw dulu!” teriakku sambil memohon lewat handphone.
“Engga Di, udah cukup, aku gamau.” Kata Carla dingin.
“Car, plis, gw sayang sama lu!” kataku lirih. Aku tidak kuat menahan air mataku. Rasa dingin yang tidak familiar, membuat hatiku perih. Aku tidak bisa mengendalikan pikiranku, hatiku tenggelam dalam keputuasaan. Bagaikan di dasar jurang, aku hanya bisa berteriak, berharap Carla mau manarikku dari atas sana.
“Engga Di, aku bilang cukup.” Kata Carla sekali lagi, begitu singkat.
“Car, terus buat apa 7 tahun kita jalanin? Plis Car, gw tau ada cara yang lebih baik dari ini. Kita bisa selesaiin bareng-bareng!”
“Udah ya Di..bye”
“Car tunggu!!” teriakku penuh keputusasaan.
“Sekarang kerja di mana Di?” tanya Carla sekali lagi.
Sekali lagi, suara Carla menarik diriku Kembali dari kenangan pahitku.
“Ohh..gw punya bisnis sendiri sekarang Car.” Kataku sekali lagi, terbata-bata.
“Ooh gitu.”
Kesunyian meliputi kami berdua selama beberapa saat.
“Aku kangen Di.”
Kangen kenapa?”
Kangen aja sama kamu.”
“Loh, emang kenapa sama yang sekarang?”
“Baik kok sama yang sekarang.”
“Lah terus?”
“Aku gatau Di..aku gatau..”kata Carla sambil menundukkan kepala.
“Kenapa Car?” tanyaku singkat, mencoba menyembunyikan perasaanku.
“Gapapa Di..” katanya lirih. “Kamu mungkin gatau, apa yang terjadi setelah kita putus 2 tahun lalu. Aku tau aku yang salah, aku yg mencoba untuk menyelesaikan hubungan kita. Aku kira, aku bisa hidup tanpa kamu. Tapi ternyata, engga sama sekali.” Katanya pelan.
Kurasakan perasaan pedih yang sama seperti dulu. Perasaan menyesal, perasaan menyalahkan diri sendiri, perasaan tidak bisa Kembali.
“Aku gatau Di. Aku pikir, aku bisa lupain kamu. Tapi ternyata, aku hanya semakin menyesal. Dari hari ke hari, bulan ke bulan.”
“Aku kira, aku bisa melupakan kamu, kalo aku bisa gantiin hidup kamu dengan orang lain. Aku mengizinkan orang lain untuk menggantikanmu.”
“Terus, lu hepi kan sekarang?” kataku lirih.
“Orang ini baik, baik banget malah. Kayaknya, aku lebih jarang berantem sama dia ketimbang sama kamu.”
“Alaah, gaseru berarti orangnye. Gelut laah biar asik.” Kataku dengan senyum dan tawa palsu yang kubuat.
“Tapi, kayaknya aku tetep gabisa lupain kamu. Ga jarang aku nangis, menyesal karna ninggalin kamu. Aku tau kamu orang baik, dan ninggalin kamu adalah keegoisanku. Aku mau minta maaf sama kamu, aku gatau lagi harus berbuat apa sama perasaan aku sekarang.”
Kulihat air mata mulai mengalir di pipi kirinya. Kulihat dia tidak kuasa untuk mengangkat kepalanya dan menatap mataku.
“Gw juga kangen sama lu Car.” Kataku.
“Kok bisa?” katanya terkejut, sembari menghapus air matanya.
“Ya..gatau.” kataku sekali lagi.
“Gw tau kok lu egois waktu itu ninggalin gw. Gw ngerti banget apa yang lu pengen. Mungkin waktu itu, gw yang egois buat mencegah lu utk pergi dari hidup gw.”
“Mungkin, itu yang membuat gw berhenti untuk mengejar lu lagi. Gw sadar, gw mungkin ga sebaik itu sekarang di mata lu, dan lu ingin melihat lebih jauh lagi dalam hidup lu.”
“Sakit ga sih? Sakit, banget malah. Gaada hari gw gabisa lupain hari itu. Hari di mana gw melepas semua yang gw Yakini akan selamanya, hari di mana gw sadar, bahwa lu udah gaada lagi. Gada lagi notif ‘selamat pagi’ dari lu, notif ‘udah makan apa belum’ dari lu, atau serangan fajar di pagi hari, lu telfon gw karena lu gabisa tidur.”
“Ternyata, semua kenangan, yang gw anggap sebagai hal kecil, hal yang mengganggu, hal yang menyebalkan, ternyata adalah kenangan yang selalu muncul, setiap malam.”
“Setiap malam, Car, setiap malam.” Kataku. Tak terasa, pipiku mulai basah. Aku tidak bisa melepaskan pandanganku pada Carla. Kulihat Carla juga menangis. Perempuan yang kusayangi, perempuan yang selalu kukasihi dari dulu, kini muncul Kembali di hadapanku.
Betul, di hadapanku.
“Terus, kita harus apa?” kata Carla kepadaku.
“Yaudah, tetep kayak gini aja.” Kataku sambil mengusap airmata.
“Maksudnya?” kata Carla bingung.
“Yaudah, kayak gini aja. Gw punya pekerjaan, lu juga punya pacar. Tetap seperti ini aja, jangan ada yang berubah.” Kataku sekali lagi, sambil merapihkan laptopku.
“Aku gangerti Di..” kata Carla sekali lagi, masih tidak mengerti.
“Yaudah, lu jalanin hubungan lu yang sekarang. Sekarang, biarlah ini jadi satu dari bagian kecil dari hidup kita berdua, yang sekali lagi harus kita lewatin.” Kataku sambil tersenyum.
“Tapi..gimana Di?” kata Carla sekali lagi lirih.
“Emang kamu ga ngerasa ada yang ganjel apa? Ini kayak duri dalem daging tau. Emang kamu gamau coba cabut durinya?” kata Carla sekali lagi, sambil meraih tanganku.
Aku tersenyum sedih, lalu mengambil tangan Carla dari tanganku, lalu meletakkan di atas pangkuannya.
“Tuhan yang tau Car, seberapa sayang gw sama lu. Tuhan juga tau, seberapa besar luka yang ada di hati gw sekarang karena lu. Tapi, Tuhan yang tau juga, betapa tololnya diri gw, walaupun lu udah sakitin gw, sesakit itu, gw masih sayang sama lu.”
“Sesayang itu Car, sesayang itu. Gada yang berubah..sama sekali ga berubah..”kataku lirih.
“Sesayang pertama kali gw ngobrol sama lu waktu kita SMP. Pertama kali gw liat lu, lu Cuma cewe cupu. Cewek yang kalo pulang sekolah langsung pulang, gaada nongkrong dulu, gaada ngobrol dulu. Tapi, sesayang itu diri gw sama lu. Gw masih sayang sama Carla yang sama. Carla yang culun, Carla yang pendengar, Carla yang cengeng. Sampai di hari Carla sudah besar, Carla yang sudah menjadi perempuan cantik, yang ingin mengejar banyak hal. Carla di mata gw, gapernah berubah.”
“Tapi, sekarang, kondisinya berbeda, Car. Lu harus ngerti itu. Sekarang, banyak banget yang lu harus pikirin.” Kataku sambil mengetuk jidatnya seperti dulu.
“Ada pekerjaan, ada tanggung jawab, ada tuntutan. Kita udah bukan anak SMA lagi Car, yang tiap hari cuman mikirin tugas sama ulangan. Kita bukan lagi anak sekolahan, yang setelah pulang sekolah, gada lagi tanggung jawab. Bisa pergi ke mana-mana, bisa jalan bareng lagi, bisa sayang-sayangan lagi.”
“Misal sekarang, lu juga ada pacar. Dia sayang sama lu, gw tau itu. Pasti dia berusaha keras biar lu tetep sama dia, bagaimanapun pengorbanannya.”
“Gw pun juga sama. Gw gabisa sesederhana bilang ‘Ayo kita ulang lagi kisah kita.’ Banyak banget yang harus gw pikirin. Gimana kalo semua berakhir sama lagi? Gimana kalo gw gabisa bikin lu seneng lagi kayak dulu? Gimana kalo tengah jalan, lu berubah pikiran lagi? Gak sesederhana itu Car.”
“Tapi, katanya kamu masih sayang aku?” kata Carla, tidak kuat menahan isak tangisnya.
“With all my heart, gw jujur sama lu, gw sayang banget sama lu Car, bahkan sampai detik ini.” Kataku menatap dirinya dengan lembut.
“Tapi, biarlah waktu yang menjawab. Gw gatau apa yang harus gw lakukan. Tapi, mungkin mirip sama lu, duri yang selama ini lu tancapkan, masih tertanam dalam hati gw.”
“Kalo gitu, boleh kok lu cabut!” kata Carla. Isak tangisnya mulai terdengar. Kulihat dia runtuh sangat dalam. Aku tidak kuat melihatnya. Aku berdiri, memeluk dirinya, lalu mencium keningnya.
“Lu tau gw gabisa cabut duri ini kan Car? Gw gabisa ngambil diri lu gitu aja, terus bikin pasangan lu sekarang sakit hati. Gw gabisa sesederhana itu bikin orang lain sedih. Gw tau rasa sakitnya seperti apa Car. Orang yang lu sayang, diambil gitu aja. Gw ngerti rasanya.
“Terus, kamu mau apain dong?” tanya Carla, masih dalam pelukanku.
“Biarlah seperti ini. Dan elu, jangan lagi kayak dulu. Mulai dari sekarang, sayangin pacar lu sepenuh hati lu. Cintai dia, gw tau dia juga tulus sayang sama lu.”
“Gw gatau sampai kapan duri ini akan hilang. Gw gatau siapa yang berhasil menarik duri ini keluar, siapa yang berhasil membuat gw jatuh cinta lagi. Tapi, kalo duri ini harus menancap selamanya, selama duri ini tertanam karena diri kamu, gw gamasalah.”
Aku melepas pelukanku dari Carla, sekali lagi mencium keningnya.
“Gw pergi dulu ya..Gw sayang sama lu. Hidup bahagia ya Carla.”
Aku bangun, lalu berbalik pergi. Bisa kudengar isak Carla yang terdengar pelan, namun menyayat hati.
Namun, aku tidak bisa Kembali. Aku terus berjalan, memasukki kerumunan, hilang bersama memori terakhirku.
81Please respect copyright.PENANAIrbAJrEMiL
81Please respect copyright.PENANA9YvqigrmwR
81Please respect copyright.PENANA9U938qQ0sH