Aku, Ardi, melangkah masuk ke rumah kecilku di kota M, pintu kayu berderit pelan di bawah udara malam yang dingin, membawa aroma sawah yang samar. Cahaya lampu ruang tamu yang temaram menyambut, tapi suasana di dalam tak seperti yang kuharapkan. Setelah perjalanan panjang dengan motor, pikiran dipenuhi bayangan Fitri dan Habib Hamza yang menikmati keintiman di kasur atau sofa kami, aku mendapati rumah sudah sunyi, seperti bersiap untuk tidur. Aku berdiri di ambang pintu, tanganku masih gemetar memegang kunci, merasa seperti orang asing yang tak diundang. Suara pelan dari ruang tamu menarik perhatianku, dan aku melangkah masuk, hati berdegup kencang, tak tahu apa yang akan kulihat.
Di ruang tamu, Bapak dan Ibu Suyono, mertuaku, sedang menggelar kasur lipat di lantai, di samping sofa tua yang penuh kenangan pahit. Fahri, anakku, duduk di atas kasur itu, memegang truk mainannya, wajahnya penuh senyum meski matanya sudah mengantuk. “Yah, Bapak pulang!” serunya riang, berlari memeluk kakiku. Aku memeluknya erat, tubuh kecilnya hangat, satu-satunya yang masih terasa nyata di tengah dunia yang runtuh. Ibu Suyono menoleh, “Ardi, kamu akhirnya pulang. Kami mau tidur di sini, Fahri juga sama kami,” katanya dengan nada lembut, tapi ada sesuatu di matanya—simpati yang terasa kosong, seperti memandang pria yang tak lagi punya tempat.
Aku mengangguk pelan, mencoba mencerna, tapi pertanyaan Bapak Suyono berikutnya seperti pisau yang menikam. “Fitri dan Habib Hamza sudah mau tidur di kamar,” katanya sambil melipat selimut, suaranya biasa seolah itu hal wajar. Aku tersentak, dadaku sesak, menatapnya dengan mata sembab, tak percaya. Kamar kami? Ranjang kecil tempat aku dan Fitri biasa berpelukan, tempat aku memeluk gamisnya tadi siang, kini jadi tempat Fitri dan Habib Hamza bersiap tidur? Aku ingin bertanya, berteriak, tapi mulutku terkunci, hanya mampu menatap kasur lipat di ruang tamu, tempat mertuaku dan Fahri akan tidur. Lantas, aku tidur di mana? Pertanyaan itu bergema di kepalaku, membuatku merasa lebih rendah dari orang asing.
Aku melangkah ke sofa, duduk dengan tubuh lemas, menatap Fahri yang kini merangkak ke pelukan neneknya, tertawa kecil saat Ibu Suyono menggelitiknya. Kegembiraannya terasa seperti dunia lain, kontras dengan luka yang mencabik-cabik hatiku. Aku membayangkan Fitri di kamar, mungkin sudah berganti daster tipis seperti tadi sore, rambutnya terikat cantik, berbaring di samping Habib Hamza. Malam ini, aku sadar dengan perih, adalah malam pertama mereka—Fitri dan Habib, pasangan “baru” yang direstui mertuaku, yang kini menikmati keintiman di ranjangku. Bayangan itu begitu hidup: Habib merangkul Fitri, tangannya mengelus tubuhnya seperti di sofa tadi, mungkin lebih jauh, seperti yang kulihat di restoran atau dalam fantasi kelamku.
Aku menunduk, tanganku mencengkeram kain sofa, air mata menggenang tapi kutahan agar tak dilihat Fahri. Kenapa aku seperti orang asing di rumahku sendiri? Lebih buruk lagi, aku seperti hantu, tak dianggap, dibiarkan mengembara sementara Fitri dan Habib Hamza mengambil alih hidupku. Aku teringat Zahra, yang dengan tenang menerima pernikahan suaminya dengan Fitri, dan bertanya-tanya, apakah aku harus menyerah seperti itu? Tapi aku tak bisa—Fitri masih istriku, sah di mataku, dan ranjang itu milik kami, bukan milik pria yang mengelus pahanya di depan mataku. Aku ingin mengetuk pintu kamar, menarik Fitri keluar, tapi aku tak punya keberanian, takut melihat mereka berdua, mengkonfirmasi malam pertama yang kini menghancurkan duniaku.
Bapak Suyono mendekat, menepuk bahuku, “Ardi, tidur di sini aja, di sofa. Besok kita ngobrol,” katanya, suaranya penuh simpati tapi tak menjawab pertanyaanku. Aku mengangguk, tapi hatiku menolak—tidur di sofa, tempat aku dan Fitri bercinta dengan penuh cinta, kini jadi tempat buangan bagiku? Aku menatap pintu kamar yang tertutup, membayangkan Fitri di dalam, mungkin sudah dipeluk Habib, daster tipisnya tersingkap, tubuhnya yang indah kini disentuh pria lain. Aku menangis dalam hati, isakku tak bersuara, karena Fahri masih di dekatku, tertawa dengan neneknya, tak tahu bahwa ayahnya sedang mati di dalam.
Fahri akhirnya merebahkan diri di kasur lipat, matanya mulai terpejam, truk mainannya masih di tangan. Ibu Suyono menyelimutinya, lalu berbisik, “Ardi, istirahat, ya. Semua akan baik-baik saja.” Tapi kata-kata itu terasa kosong, seperti lelucon di tengah kehancuran. Baik-baik saja? Sementara Fitri dan Habib Hamza bersiap menikmati malam pertama di kamar kami? Aku menatap sofa, kainnya usang, penuh kenangan Fitri yang kini terasa seperti dusta. Aku ingin lari lagi, melaju dengan motor entah ke mana, tapi Fahri ada di sini, dan aku tak bisa meninggalkannya. Aku terpaksa tinggal, meski rumah ini tak lagi terasa seperti rumah.
Aku rebah di sofa, tubuhku kaku, menatap plafon kayu yang lapuk. Suara jangkrik dari luar dan dengkur pelan Fahri adalah satu-satunya yang memecah keheningan, tapi pikiranku dipenuhi bayangan Fitri dan Habib di kamar. Aku membayangkan mereka berpelukan, Habib mencium bibir Fitri seperti di restoran, tangannya menjelajahi tubuh yang kini katanya miliknya. Aku melihat Fitri tersenyum, pasrah namun bahagia, seperti saat ijab kabul, dan gambaran itu seperti pisau yang menikam berulang-ulang. Aku menutup mata, mencoba tidur, tapi setiap kali memejamkan mata, aku mendengar desahan Fitri dalam imajinasiku, bukan untukku, tapi untuk Habib Hamza, di ranjang yang seharusnya suci bagi kami.
Aku merasa lebih buruk dari orang asing—aku seperti penutup yang tak diundang, dibiarkan di sofa sementara istriku menikmati malam pertama dengan pria lain. Aku teringat ciuman mereka, restu mertuaku, dan daster tipis Fitri yang memperlihatkan kecantikannya yang kini untuk Habib. Aku bertanya-tanya, mengapa aku dibiarkan seperti ini? Mengapa Fitri tak melawanku, tak menolak Habib, dan mengapa mertuaku memperlakukanku seperti tak ada? Aku ingin mengetuk pintu kamar, menuntut Fitri kembali, tapi aku takut—takut mendengar suara mereka, takut melihat Fitri yang sudah bukan milikku. Aku hanya bisa terbaring, tenggelam dalam luka yang tak terucapkan, di sofa yang kini jadi tempat pengasinganku.
-----------------------
Malam di kota M sudah larut, jam di dinding ruang tamu menunjukkan pukul 11 malam, dan udara terasa semakin dingin, menyelinap lewat celah jendela. Aku, Ardi, masih terjaga di sofa tua, tubuhku kaku, mata sembab dari tangis yang tak kunjung reda. Kedua mertuaku, Bapak dan Ibu Suyono, sudah tidur pulas di kasur lipat di lantai ruang tamu, dengkur pelan mereka bercampur suara jangkrik dari luar. Fahri, anakku, meringkuk di antara mereka, wajah polosnya tenang, truk mainannya masih digenggam, tak tahu bahwa ayahnya sedang tenggelam dalam kepedihan. Aku menatap plafon kayu yang lapuk, sofa ini—tempat kenangan cinta dengan Fitri—kini jadi tempat pengasinganku, sementara istriku dan Habib Hamza menikmati “malam pertama” di kamar kami.
Tiba-tiba, suara samar dari kamar membuat jantungku berdegup kencang. Kasur kami, ranjang kecil yang selalu berderit saat aku dan Fitri berpelukan, kini mengeluarkan bunyi ritmis yang tak asing—derit… derit… pelan tapi teratur. Aku menahan napas, dadaku sesak, tahu pasti apa artinya: Fitri dan Habib Hamza sedang bercinta di sana, di ranjang yang seharusnya suci bagi kami. Bayangan itu, yang tadi hanya fantasi kelam di perjalanan pulang, kini jadi kenyataan yang menghantamku seperti badai. Aku membayangkan Fitri, mungkin masih dengan daster tipis, tubuhnya bergoyang di bawah Habib, rambutnya yang terikat cantik kini tergerai, dan tangan pria itu menjelajahi lekuk tubuhnya yang indah. Aku menutup mata, mencoba mengusir gambar itu, tapi derit kasur terus terdengar, seperti ejekan yang tak henti.
Aku ingin mengintip, melihat dengan mata kepala sendiri apa yang terjadi di balik pintu kamar, tapi aku tahu itu hanya akan menghancurkan hatiku lebih dalam. Hatiku sudah remuk—dari ciuman mereka di restoran, ijab kabul yang katanya sah, restu mertuaku, hingga elusan Habib di paha Fitri tadi sore. Apa lagi yang bisa kuhancurkan? Rasa cemburu bercampur keputusasaan mendorongku, seperti bisikan setan yang tak bisa kutolak. Aku bangkit dari sofa, tubuhku gemetar, dan melangkah jinjit, berhati-hati agar tak menginjak lantai yang berderit. Mertuaku dan Fahri masih tidur pulas, wajah mereka tenang, seolah dunia ini baik-baik saja, sementara aku merasa seperti pria yang berjalan menuju hukuman.
Setiap langkah menuju pintu kamar terasa seperti menapak bara. Aku berdiri di depan pintu kayu yang sederhana, tanganku menyentuh gagangnya, tapi tak berani membuka. Derit kasur masih terdengar, kini lebih jelas, diselingi suara-suara samar yang membuat darahku mendidih. Aku menempelkan telinga ke pintu, napasku tertahan, dan mendengar desahan mesra yang sangat intens—suara Fitri, tapi berbeda, lebih dalam, lebih penuh gairah, seperti wanita yang tenggelam dalam kenikmatan yang tak pernah kuberikan. Aku ingat-ingat: Fitri tak pernah mendesah seperti itu saat bersamaku, tak pernah seintens ini, bahkan di malam-malam paling mesra kami di sofa atau ranjang. Desahan itu, bercampur suara Habib yang pelan namun penuh kuasa, seperti pisau yang menikam hatiku berulang-ulang.
Aku menutup mata, air mata mengalir tanpa suara, membasahi pipiku. Di balik pintu, aku membayangkan Fitri, kulitnya yang putih mulus berkilau dalam cahaya lampu kamar, tubuhnya bergerak selaras dengan Habib, tangannya mungkin memeluk pria itu seperti dulu memelukku. Suara desahannya, yang kini lebih liar, lebih bebas, seperti menegaskan bahwa ia menemukan sesuatu dengan Habib yang tak pernah ia dapatkan dariku. Aku merasa kecil, gagal sebagai suami, tak bisa menandingi karisma atau kemewahan Habib Hamza, pria yang kini mengambil alih ranjang dan istriku. Aku ingin membuka pintu, berteriak, menarik Fitri kembali, tapi kakiku lumpuh, hanya mampu menguping, menyiksa diri dengan setiap suara yang keluar.
Derit kasur semakin cepat, diselingi bisik-bisik mesra yang tak bisa kudenar jelas, tapi cukup untuk membuatku membayangkan mereka tenggelam dalam keintiman. Aku teringat daster tipis Fitri tadi sore, rambutnya yang terikat cantik, dan bagaimana ia memalingkan muka dariku, seolah aku tak lagi ada. Kini, di kamar ini, ia memberikan dirinya pada Habib, dengan desahan yang tak pernah kukenal, di ranjang yang masih beraroma gamisnya yang kupeluk tadi siang. Aku menjambak rambutku pelan, mencoba menahan isak, tapi air mata terus mengalir, bercampur keringat dingin yang menetes dari dahiku. Aku merasa seperti hantu, berdiri di depan pintu, menyaksikan istriku menjadi milik pria lain.
Aku teringat Zahra, yang dengan tenang menerima pernikahan suaminya dengan Fitri, dan bertanya-tanya, bagaimana ia bisa begitu kuat? Aku tak bisa—setiap desahan Fitri, setiap derit kasur, seperti menghapus delapan tahun pernikahan kami, cinta kami, dan janji kami. Aku membayangkan sofa di ruang tamu, tempat kami bercinta dengan penuh tawa, kini jadi tempatku terbuang, sementara ranjang kami ternoda oleh “malam pertama” mereka. Aku ingin lari, melaju dengan motor entah ke mana, tapi Fahri tidur di ruang tamu, dan aku tak bisa meninggalkannya lagi. Aku terjebak, di rumahku sendiri, menguping keintiman istriku dengan pria lain, seperti pria yang tak punya harga diri.
Suara di dalam kamar mulai mereda, derit kasur melambat, dan desahan Fitri berubah jadi napas panjang yang lelah namun puas. Aku masih menempel di pintu, tak bergerak, takut mendengar lebih banyak, tapi juga tak bisa pergi. Aku membayangkan mereka berpelukan, mungkin tertawa pelan, atau berbisik mesra seperti yang biasa kulakukan dengan Fitri. Gambar itu begitu nyata, membuatku menangis lebih keras dalam hati, isakku tertahan agar tak membangunkan mertuaku. Aku merasa lebih buruk dari orang asing—aku seperti penutup, menyaksikan istriku menikmati malam pertama dengan Habib Hamza, di kamar yang seharusnya jadi tempat kami berbagi cinta.
Aku akhirnya menjauh dari pintu, langkahku jinjit kembali ke sofa, tubuhku lemas seperti tak lagi punya tulang. Aku rebah, menatap plafon, air mata masih mengalir, membasahi bantal kecil yang kugenggam. Suara kasur sudah berhenti, tapi desahan Fitri, yang begitu intens dan asing, terus bergema di kepalaku, seperti mantra yang menghancurkan. Aku teringat wajah Fitri, senyumnya yang genit untuk Habib, dan bagaimana ia memalingkan muka dariku tadi sore. Aku bertanya-tanya, apakah Fitri masih istriku, atau sudah sepenuhnya milik Habib? Pertanyaan itu tak terjawab, hanya menambah luka yang kini terasa abadi.
------------------------
Aku belum sepenuhnya kembali ke sofa, kaki masih gemetar setelah menguping keintiman mereka, desahan Fitri yang begitu intens dan asing terus bergema di kepalaku. Tiba-tiba, pintu kamar berderit pelan, dan aku tersentak, jantungku seperti berhenti. Fitri, istriku, keluar dari kamar, hanya memakai kain tipis yang dililitkan sembarangan ke tubuhnya, menutupi sekilas lekuk pinggang dan pahanya yang indah. Wajahnya tampak lelah, keringat tipis di dahinya berkilau di bawah cahaya lampu redup, tapi ada rona bahagia di matanya, seperti wanita yang baru saja dipenuhi cinta—cinta yang bukan dariku.
Aku berdiri kaku, tak mampu bergerak, menatap Fitri yang melangkah dengan langkah ringan, sepertinya hendak ke kamar mandi di ujung lorong. Kain yang melilit tubuhnya nyaris transparan, memperlihatkan kulit putih mulusnya yang kini terasa haram bagiku. Di belakangnya, pintu kamar masih terbuka sedikit, dan aku melihat sekilas ke dalam—Habib Hamza rebahan di ranjang kami, tubuhnya bugil, hanya ditutupi sehelai selimut tipis yang tersingkap. Ia memegang rokok yang menyala, asapnya mengepul ke udara, mengaburkan wajahnya yang tampak puas. Kamarku, yang biasanya rapi dengan aroma gamis Fitri dan udara segar dari jendela, kini pasti sumpek, dipenuhi bau asap rokok yang menyengat, bercampur aroma keringat dan keintiman yang baru saja mereka lakukan.
Fitri mendadak berhenti, matanya melebar saat melihatku berdiri di depan pintu. “Awas!” katanya tajam, suaranya penuh kaget, seolah aku orang asing yang menghalangi jalannya, bukan suaminya yang delapan tahun berbagi ranjang itu. Nada suaranya, dingin dan asing, seperti tamparan di wajahku, membuatku merasa lebih rendah dari penutup. Aku menunduk, tak mampu menatap matanya yang kini terasa milik orang lain, tapi bayangan wajahnya—lelah namun bahagia—terpaku di pikiranku. Aku ingin bertanya, menuntut penjelasan, tapi mulutku terkunci, hanya mampu menatap kain yang melilit tubuhnya, yang seolah menegaskan bahwa ia baru saja keluar dari pelukan Habib Hamza.
Dari dalam kamar, suara Habib Hamza terdengar, “Ardi, masuk sini!” Nada suaranya santai namun berwibawa, seperti pria yang tahu ia memegang kendali. Aku menoleh, melihatnya bangkit dari ranjang, masih bugil tapi cepat memakai sarung yang tergeletak di lantai, tanpa atasan, dadanya yang berbulu terlihat berkilau oleh keringat. Ia menghisap rokoknya lagi, asap mengepul dari mulutnya, lalu melambai padaku, “Duduk, duduk,” katanya, menunjuk ranjang yang baru saja mereka gunakan. Aku merasa seperti tawanan, diperintah masuk ke kamar yang kini ternoda, tempat istriku memberikan dirinya pada pria lain. Kakiku bergerak sendiri, melangkah masuk, meski hati ini ingin lari sejauh mungkin.
Aku duduk di ujung ranjang, tanganku mencengkeram lutut, merasa seperti tersesat di dunia yang bukan milikku. Ranjang kami, yang biasanya rapi dengan sprei biru sederhana, kini berantakan, selimut kusut, dan bau asap rokok bercampur aroma keringat membuatku mual. Habib Hamza berdiri di depanku, sarungnya longgar, rokok masih di tangannya, wajahnya penuh karisma meski ada sedikit rasa puas yang tak disembunyikan. Fitri sudah menghilang ke arah kamar mandi, meninggalkanku dengan pria yang kini “suami barunya,” dan aku merasa seperti tahanan yang menunggu vonis. Aku teringat desahan Fitri tadi, yang begitu intens, lebih liar dari yang pernah kuberikan, dan itu seperti pisau yang menikam berulang-ulang.
Habib Hamza menghisap rokoknya, lalu menghembuskan asap ke udara, “Ardi, kita perlu ngobrol,” katanya, suaranya tenang tapi penuh kuasa. Aku menatap lantai, tak mampu menatap matanya, takut melihat kepuasan yang sama seperti di restoran saat ia mencium Fitri. Aku membayangkan ranjang ini, masih hangat dari tubuh mereka, dan kain yang melilit Fitri, yang mungkin dilepas Habib dengan tangannya yang tadi mengelus pahanya. Aku merasa kecil, gagal sebagai suami, tak bisa menandingi karisma atau kemewahan pria ini, yang kini berdiri di kamarku seperti tuan rumah. Aku ingin bertanya, mengapa ia mengambil Fitri, tapi kata-kata itu tersekat, hanya mampu menatap sprei kusut yang penuh kenangan pahit.
Aku teringat wajah Fitri tadi, lelah namun bahagia, seperti wanita yang baru menemukan cinta sejati. Nada “awas” yang ia ucapkan, seolah aku penyusup, terus bergema, membuatku merasa seperti orang asing di rumahku sendiri. Kamarku, yang dulu harum dengan aroma gamis Fitri dan udara segar, kini sumpek, penuh asap rokok dan jejak keintiman mereka. Aku membayangkan mereka bercinta tadi, Fitri mendesah dengan gairah yang tak pernah kuberikan, Habib memeluknya seperti yang kulihat di tenda putih atau sofa tadi sore. Air mata menggenang, tapi kutahan, tak ingin Habib melihatku hancur, meski aku tahu ia pasti bisa membaca kepedihan di wajahku.
Habib duduk di sisi ranjang, tak jauh dariku, sarungnya masih longgar, rokoknya kini diletakkan di asbak kecil di meja samping. “Fitri istri yang baik, Ardi,” katanya tiba-tiba, suaranya lembut tapi seperti menghina. “Kamu harus belajar menerima, seperti Zahra.” Nama Zahra, istri Habib yang anggun, membuatku teringat percakapan kami tadi malam, bagaimana ia dengan tenang menerima pernikahan suaminya. Tapi aku bukan Zahra—aku tak bisa menerima istriku bercinta dengan pria lain di ranjang kami, mendesah dengan cara yang tak pernah kukenal. Aku menunduk, tanganku gemetar, merasa seperti tawanan yang tak punya hak bicara, di kamar yang kini jadi panggung malam pertama mereka.
Aku teringat Fahri, yang tidur pulas di ruang tamu bersama mertuaku, tak tahu bahwa ayahnya sedang dihina di kamar ini. Aku merasa bersalah, meninggalkannya untuk menguping, untuk masuk ke kamar ini, hanya untuk menyiksa diri sendiri. Aku ingin bangkit, lari dari kamar yang sumpek ini, tapi Habib melanjutkan, “Kami akan tinggal di sini sementara, Ardi. Fitri ingin dekat dengan Fahri.” Kata-katanya seperti hukuman, mengkonfirmasi bahwa aku akan terus hidup di bawah bayang-bayang mereka, di rumahku sendiri. Aku menatap ranjang, sprei yang kusut, dan membayangkan Fitri kembali ke sini, ke pelukan Habib, setelah dari kamar mandi, melanjutkan malam pertama mereka.
Aku merasa lebih buruk dari orang asing—aku seperti tahanan, diperintah duduk di ranjang yang ternoda, dihadapkan pada pria yang mengambil istriku. Aku teringat restu mertuaku, yang membuatku seperti tak pernah ada, dan Fitri yang memalingkan muka tadi sore, seolah aku tak lagi berarti. Aku ingin berteriak, menuntut Fitri kembali, tapi aku tahu itu sia-sia—desahan tadi, kain yang melilit tubuhnya, dan wajah bahagianya sudah cukup untuk mengkonfirmasi bahwa ia kini milik Habib. Aku menunduk, air mata menetes ke lantai, tapi kutahan isakku, tak ingin Habib melihatku lebih lemah dari ini.
Udara di kamar semakin pengap, asap rokok masih menyelimuti, bercampur bau keringat dan parfum Habib yang kuat. Aku teringat sofa di ruang tamu, tempat aku seharusnya tidur, tapi kini aku terjebak di sini, seperti tawanan yang dipaksa menyaksikan kehancuran hidupnya. Aku membayangkan Fitri kembali dari kamar mandi, mungkin melangkah masuk dengan kain yang sama, duduk di sisi Habib, dan melanjutkan keintiman mereka, seolah aku tak ada. Aku ingin lari, kembali ke sofa, atau melaju dengan motor entah ke mana, tapi aku tak bisa—Fahri ada di ruang tamu, dan aku tak bisa meninggalkannya lagi.
178Please respect copyright.PENANATnh7NZlz23
TO BE CONTINUED
178Please respect copyright.PENANAu20itCNY4B