Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di
https://victie.com/app/author/82829
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
---------------------------------------------------
Di bawah langit senja yang merona jingga, halaman masjid desa dipenuhi ratusan warga, suara sholawat mengalun lembut, dipimpin oleh seorang habib yang berdiri gagah di panggung kayu, sorot matanya penuh pesona. Aku, Anto, berdiri di barisan belakang, jantungku seperti dihantam palu saat melihat Fitri, istriku, dirangkul erat oleh habib itu di depan semua orang, lengan pria itu melingkari pinggang Fitri, senyumnya hangat seolah mereka berbagi rahasia. Hati ini remuk, setiap detik rangkulan itu seperti api yang membakar, Fitri dengan hijab biru muda dan gamis sederhana tampak begitu anggun, namun kebahagiaannya di sisi pria lain membuatku merasa tak berarti, seperti debu di hadapan karisma habib. Sholawat “Ya Nabi Salam Alaika” terus menggema, tapi kepalaku hanya dipenuhi cemburu yang menyakitkan, takut kehilangan Fitri, dan was-was bahwa hatinya kini condong pada pria yang dipuja jamaah itu.
Kerumunan mengangguk khusyuk, beberapa berlinang air mata terbawa sholawat, tapi mataku terkunci pada Fitri, yang kini tertawa kecil saat habib menepuk pundaknya, gerakan yang terlihat akrab, terlalu akrab untukku. “Fitri, kenapa kamu nyaman banget sama dia?” gumamku dalam hati, suaraku tenggelam oleh suara jamaah, rasa cemburu ini bercampur dengan insecurity yang mencekik—aku cuma buruh bangunan, tanganku kasar, tak bisa berbicara penuh hikmah seperti habib itu. Aku membayangkan Fitri terpukau oleh kelembutan pria itu, suaranya yang merdu membaca sholawat, dan wibawanya yang memikat, membuatku merasa tak layak bersanding dengannya. Rasa takut kehilangan semakin kuat, setiap kedipan Fitri ke arah habib seperti tusukan, membuatku bertanya, “Apa dia masih mencintaiku?”
Aku mencengkeram ujung sarungku, berusaha menahan emosi, berharap ini cuma bagian dari acara, bahwa Fitri hanya menghormati habib sebagai tamu desa, tapi rasa was-was itu seperti ular yang melilit, membisikkan bahwa Fitri mungkin lebih bahagia dengan pria yang begitu dihormati ini. “Ya Allah, jangan ambil Fitri dari hidupku,” doaku lirih, namun mataku tak bisa lepas dari pemandangan itu, tontonan ratusan orang yang seolah tak melihat hatiku yang tercabik-cabik. Fitri mengangguk saat habib berbicara, tangannya memegang lengan pria itu sekilas, dan detik itu rasanya seperti dunia runtuh, aku merasa tak berharga, hanya bayangan di sisi wanita yang kucintai. Sholawat terus berlangsung, namun di kepalaku, hanya ada suara cemburu yang berteriak, “Fitri, kamu masih istriku, bukan?”
Acara sholawat itu seperti berlangsung selamanya, setiap nada yang dilantunkan terasa seperti ejekan pada kegelisahanku, aku ingin menghampiri Fitri, menariknya dari panggung, tapi kakiku lumpuh, takut jadi bahan omongan, takut Fitri malah menjauh. “Apa dia lebih mencintai habib itu daripada aku?” pikirku, pertanyaan itu berputar-putar, diperparah oleh rasa takut kehilangan yang kian membesar, membuatku merasa seperti pria yang tak punya apa-apa di hadapan sosok yang disanjung jamaah. Fitri tersenyum lagi, kali ini ke arah habib, dan aku hampir tak bisa bernapas, rasa merasa tidak berharga menyelimuti diriku, seperti aku bukan suaminya, bukan siapa-siapa. Di tengah sholawat yang syahdu, aku berdiri dengan hati yang hancur, terjebak dalam cemburu dan was-was, takut Fitri benar-benar terpikat.735Please respect copyright.PENANA1jhoQCiyRA
-----------------------------------
Pukul 11 malam telah lewat, sholawat di halaman masjid desa selesai, suara merdu yang tadi menggema kini diganti keheningan, hanya sisa sampah plastik dan bungkus makanan berserakan di lapangan yang mulai sepi. Ratusan hadirin pulang dengan wajah puas, bercengkerama tentang kehangatan acara, namun aku, Anto, berdiri dengan hati hancur, masih terbayang Fitri dirangkul habib itu di panggung tadi. Di sudut lapangan, tenda putih mewah masih ramai, habib dan rekan-rekannya duduk melingkar, makan-makan sambil tertawa lebar, piring penuh nasi kebuli dan kambing panggang di depan mereka, suasana akrab yang kontras dengan kegelisahanku. Aku melihat Habib Hamza di sana, memangku istrinya yang juga keturunan Arab, tangannya mengelus pinggul wanita itu dengan santai, gerakan yang begitu alami namun membuatku was-was—apa dia juga mengelus Fitri dengan cara yang sama tadi, seolah itu hal biasa baginya?
Aku berjalan mondar-mandir di tengah kerumunan yang mulai menipis, mencari Fitri dan anakku, Fahri, yang tadi ikut acara, tapi wajah mereka tak kunjung terlihat. “Fitri, kamu di mana? Fahri, ayah di sini!” panggilku pelan, suaraku tenggelam oleh sisa obrolan warga dan tawa dari tenda habib, jantungku berdegup kencang, cemburu dan takut kehilangan bercampur jadi satu. Aku mendorong kerumunan, mataku menyapu setiap sudut, berharap melihat hijab biru muda Fitri atau senyum Fahri, tapi yang ada hanya wajah-wajah asing dan sampah yang terinjak kakiku. Pikiranku liar, membayangkan Fitri masih bersama habib, mungkin tertawa di tenda itu, dirangkul lagi, atau lebih buruk, terpikat oleh karisma pria yang begitu dipuja semua orang.
Tawa dari tenda putih semakin keras, Habib Hamza masih mengelus istrinya, sesekali berbisik mesra, dan aku tak bisa menahan pikiran bahwa dia mungkin memperlakukan Fitri dengan cara yang sama, dengan keberanian yang tak kumiliki sebagai buruh biasa. “Fitri, kamu nggak akan ninggalin aku, kan?” gumamku, tanganku mencengkeram sarung, keringat dingin membasahi dahi meski udara malam sejuk. Aku terus mencari, berjalan ke pinggir lapangan, memanggil nama Fitri dan Fahri dengan suara yang semakin putus asa, namun tak ada jawaban, hanya suara jangkrik dan sisa aroma makanan yang mengambang di udara. Hati ini semakin remuk, rasa takut kehilangan Fitri untuk habib itu seperti bayangan yang menolak pergi, meninggalkanku sendirian di lapangan penuh sampah, dengan cemburu yang terus menggerogoti.
-----------------------
Malam telah larut, udara dingin menyelimuti lapangan masjid yang kini sepi setelah sholawat usai, hanya sisa sampah bungkus makanan dan aroma kopi yang masih mengambang di udara. Aku, Anto, berlari kecil dengan jantung berdegup kencang, mencari Fitri dan Fahri di antara kerumunan yang mulai bubar, cemburu dan was-was menghantui setiap langkahku. Di dekat gerbang masjid, aku akhirnya menemukan Fahri, anakku, berdiri sendirian memegang tas kecil, wajahnya polos. “Fahri, Bunda mana?” tanyaku dengan suara parau, tanganku mencengkeram bahunya. “Bunda dipanggil asisten Habib Hamza, Yah, katanya mau ketemu abis sholawatan,” jawab Fahri, suaranya lugu, tapi kata-kata itu seperti menamparku. “Ketemu buat apa? Fahri tahu nggak?” desakku, napasku tersengal, tapi Fahri hanya menggeleng, “Nggak tahu, Yah, Bunda bilang cuma dikasih sesuatu, terus dia ikut aja.” Panik melandaku, aku menggandeng Fahri, berjalan cepat menuju tenda putih di ujung lapangan, tempat tawa para habib dan rekan-rekannya masih menggema, membuat hatiku semakin remuk.
Saat mendekati tenda, cahaya lampu minyak menerangi suasana, aroma kambing panggang dan teh manis memenuhi udara, dan di tengah lingkaran laki-laki berjubah, aku melihat Fitri—istriku—duduk di samping Habib Hamza, menggantikan posisi istri habib yang tampaknya telah pulang. Fitri begitu memukau, hijab ungu lembutnya membingkai wajahnya yang putih mulus, gamis abu-abunya sedikit membentuk lekuk tubuh sintalnya, matanya yang bening berkilau di bawah cahaya, kontras dengan laki-laki berkumis tebal dan berjenggot di sekitarnya, seperti mutiara di tengah kerikil. Habib Hamza, dengan sorban hitam dan jubah cokelat, merangkul pundak Fitri dengan tangan kanannya, jari-jarinya sesekali mengelus lengan Fitri dengan gerakan lembut namun penuh maksud, kain gamisnya sedikit bergeser memperlihatkan pergelangan tangannya yang ramping. Fitri menunduk, pipinya merona, bibirnya tersenyum malu-malu, namun tak menolak saat habib menariknya lebih dekat, bahunya menempel ke dada pria itu, membuat dadaku sesak, seperti ditusuk berulang kali.
“Ummi Fitri, malam ini kamu bikin tenda ini bercahaya, seperti bintang di langit,” puji Habib Hamza dengan suara dalam yang merdu, senyumnya lebar, matanya menelusuri wajah Fitri dengan penuh godaan, tangan kirinya kini turun ke paha Fitri, mengelus pelan di atas kain gamis, jari-jarinya menekan lembut hingga lekuk pahanya samar terlihat, gamis itu tersingkap sedikit memperlihatkan betisnya yang putih mulus. Fitri tergelak, “Habib, jangan gitu, saya kan cuma ibu-ibu biasa,” katanya, suaranya lembut dengan nada genit yang tak sengaja, tangannya memegang lengan habib seolah ingin menolak tapi justru terlihat mengundang, jari-jarinya mencengkeram jubah pria itu. Para laki-laki di tenda bersorak, “Wah, habib, ummi Fitri bikin kita iri!” teriak salah satu, disusul tawa keras, membuat suasana semakin riuh, sementara aku berdiri di luar tenda, menggenggam tangan Fahri, cemburu membakar setiap inci tubuhku, tak bisa bergerak, hanya menatap dengan hati yang tercabik.
Habib Hamza semakin berani, ia mencondongkan wajahnya, hidungnya hampir menyentuh pipi Fitri, lalu mencium jilbab ungunya di dekat telinga dengan bunyi “smeck” yang pelan namun terdengar jelas di telingaku, aroma parfum Fitri yang manis bercampur dengan bau tembakau dari pria-pria di tenda, menciptakan suasana yang panas dan intim. Tangan habib kembali mengelus paha Fitri, kali ini lebih lambat, jari-jarinya menelusuri kain gamis dengan penuh perhatian, seolah merasakan setiap lekuk tubuhnya, dan Fitri hanya menunduk, pipinya semakin merah, tangannya mencengkeram ujung gamis, namun senyumnya tak pudar, seolah terbawa oleh pesona pria itu. Kecantikan Fitri begitu mencuri perhatian, kulitnya yang putih bersih seperti porselen, bibirnya yang merona alami, dan matanya yang seperti danau bening, membuat setiap pria di tenda tak bisa berpaling, sorak-sorai mereka semakin keras, “Subhanallah, habib pilih ummi yang luar biasa!” teriak seorang, disambut gelak tawa, seolah sentuhan habib ke Fitri adalah hiburan yang mereka nantikan.
Aku berdiri membatu, tangan Fahri di genggamanku terasa kaku, “Yah, Bunda ngapain di situ?” tanyanya dengan suara kecil, tapi aku tak bisa menjawab, mulutku terkunci, mataku hanya menatap Fitri yang dirangkul, jilbabnya dicium, pahanya dielus oleh Habib Hamza, tontonan yang membuatku merasa seperti suami yang tak ada artinya. Sorak-sorai dari tenda seperti ejekan, setiap sentuhan habib ke Fitri disambut tawa dan puji syukur yang seolah menormalkan semua, tapi bagiku, itu seperti racun yang merobek hatiku. “Fitri, kamu istriku, kenapa kamu biarin dia gitu?” gumamku dalam hati, air mata terbendung di pelupuk mata, tapi kutahan, tak ingin Fahri melihat ayahnya hancur. Udara malam semakin dingin, aroma sampah dan kambing panggang bercampur, namun yang paling menyakitkan adalah melihat Fitri, wanita yang kucintai, begitu nyaman dalam pelukan pria lain, dikelilingi laki-laki yang memujanya, sementara aku hanya bisa berdiri di luar, dengan hati remuk dan rasa takut kehilangan yang tak terucapkan.
-------------------------
Di bawah cahaya lampu petromaks yang temaram, tenda putih mewah di sudut lapangan masjid dipenuhi tawa dan aroma kambing panggang, suasana semakin panas dengan sorak-sorai laki-laki berjubah yang mengelilingi Habib Hamza dan Fitri, istriku, yang duduk di sisinya. Tiba-tiba, seorang pria berkumis tebal di sudut tenda berseru dengan suara lantang, “Nikahi saja bidadari mulus bahenol ini, Habib! Jadikan dia istri kedua!” Sorak-sorai meledak, para pria berteriak dalam bahasa Arab, “Na’am, na’am! Zawwijha, ya Habib!” setuju dengan penuh semangat, gelas-gelas teh manis di tangan mereka bergoyang, tawa mereka menggema hingga ke luar tenda. Habib Hamza, dengan sorban putih dan jubah cokelat, tersenyum lebar, matanya berkilat senang, tangan kanannya yang masih merangkul pundak Fitri menariknya lebih dekat, jari-jarinya mengelus lengan Fitri yang tertutup gamis abu-abu, gerakan yang begitu intim hingga membuatku, Anto, yang berdiri di luar tenda bersama Fahri, merasa dunia runtuh di kakiku.
Fitri, dengan hijab ungu yang membingkai wajahnya yang putih mulus, pipinya merona, matanya bening berkilau di bawah cahaya lampu, tampak seperti bunga di tengah kerumunan laki-laki kasar, kecantikannya kontras dengan suasana tenda yang penuh asap tembakau. Habib Hamza, tanpa melepas senyumnya, mengisyaratkan Fitri untuk duduk di pangkuannya, tangannya menepuk paha sendiri dengan gerakan penuh percaya diri, “Ayo, Ummi Fitri, duduk di sini, biar lebih dekat sama suamimu,” katanya dengan suara merdu yang penuh godaan, matanya tak lepas dari wajah Fitri. Fitri tergelak kecil, “Habib, jangan gitu, malu ah,” katanya, suaranya lembut namun ada nada genit yang tak bisa disembunyikan, tapi dengan senyum malu-malu, ia menurut, menggeser tubuhnya dan duduk di paha Habib Hamza, gamisnya tersingkap sedikit memperlihatkan betis putihnya, tangannya mencengkeram lengan habib untuk keseimbangan, membuat sorak-sorai di tenda semakin riuh, “Subhanallah, pasangan serasi!” teriak seseorang, disambut tawa dan tepukan.
Habib Hamza tak membuang waktu, tangan kanannya kini memegang pinggul Fitri, jari-jarinya meraba dengan penuh perhatian, menelusuri lekuk tubuhnya di atas kain gamis, gerakan yang lambat namun penuh maksud, seolah ingin merasakan setiap inci kulitnya meski tertutup kain. Ia menarik Fitri erat, membuat tubuh Fitri menempel rapat ke dadanya, payudaranya yang tersembunyi di balik gamis menekan jubah habib, posisi mereka seperti suami istri yang tak peduli pada dunia luar. “Ummi Fitri, kamu bikin hati habib meleleh,” bisiknya, suaranya serak, wajahnya begitu dekat hingga hidungnya menyentuh pipi Fitri, lalu ia mencium jilbab ungu itu di dekat pelipis dengan bunyi “smeck” yang pelan namun terdengar jelas di telingaku, aroma parfum Fitri yang manis bercampur dengan bau kopi dan tembakau, menciptakan suasana yang semakin intim. Fitri hanya tersenyum, pipinya semakin merah, tangannya mencengkeram jubah habib, seolah terbawa oleh pesona pria itu, tak menyadari aku yang berdiri dengan hati remuk di luar tenda.
Sorak-sorai di tenda semakin liar, para laki-laki bertepuk tangan, “Allahu Akbar, habib dapat bidadari!” teriak salah satu, gelas-gelas diketuk ke meja kayu, membuat suasana seperti pesta pernikahan dadakan. Habib Hamza, dengan senyum penuh kemenangan, merangkul Fitri lebih erat, tangan kirinya kini turun ke paha Fitri, mengelus dengan gerakan melingkar, jari-jarinya menekan kain gamis hingga lekuk pahanya terlihat jelas, gamis itu tersingkap lebih tinggi, memperlihatkan betisnya yang mulus berkilau di bawah cahaya lampu. “Kita akan nikah segera, ya kan, Fitriku sayang?” katanya dengan suara lantang, penuh percaya diri, matanya menatap Fitri dengan penuh hasrat, tangannya mencengkeram pinggul Fitri lebih kuat, menariknya hingga bokongnya menempel rapat ke pangkuannya. Fitri cuma diam, menunduk, pipinya merona, lalu mengangguk pelan dengan senyum malu, tak mengucap sepatah kata pun, namun anggukannya seperti pisau yang menikam hatiku, membuatku tak bisa bernapas.
Aku jatuh ke lututku di luar tenda, tangan Fahri yang kugenggam terlepas, “Yah, Bunda kenapa gitu?” tanyanya polos, tapi aku tak bisa menjawab, mulutku terkunci, mataku hanya menatap Fitri yang duduk di pangkuan Habib Hamza, dirangkul, dielus, dan diperlakukan seperti istri di depan semua orang. Sorak-sorai dari tenda seperti ledakan di telingaku, setiap sentuhan habib ke Fitri—elusan di pinggul, ciuman di jilbab, dan tarikan erat tubuhnya—disambut tawa dan puji syukur, seolah semua menyetujui Fitri menjadi miliknya. Kecantikan Fitri begitu mencolok, wajahnya yang ayu, kulitnya yang putih seperti porselen, dan matanya yang bening seperti kaca, membuatnya seperti ratu di tengah laki-laki yang memujanya, namun bagiku, itu adalah mimpi buruk. Udara malam terasa beku, aroma sampah dan makanan bercampur, tapi yang paling pahit adalah melihat Fitri, wanita yang kucintai, begitu nurut dalam pelukan habib, seolah aku, suaminya, tak pernah ada.
Aku tetap di tanah, lututku lemas, tanganku mencengkeram rumput, air mata akhirnya jatuh, “Fitri, kamu istriku, kenapa kamu nurut sama dia?” gumamku, suaraku tenggelam oleh tawa riuh dari tenda. Fahri memegang pundakku, “Yah, kita pulang aja,” katanya, suaranya kecil, tapi aku tak bisa bergerak, mataku terpaku pada Fitri, yang kini tersenyum kecil di pangkuan habib, tangan pria itu masih meraba pinggulnya, wajahnya begitu dekat hingga napasnya pasti terasa di leher Fitri. “Kami akan jadi pasangan yang diberkahi, insyaallah,” kata Habib Hamza lagi, suaranya penuh keyakinan, disambut sorakan “Amin!” dari semua orang, membuat tenda bergemuruh. Aku merasa tak berharga, seperti bayangan yang tak dilihat, hati ini hancur total, takut kehilangan Fitri untuk pria yang begitu dipuja, sementara sorak-sorai itu terus menggema, menyisakan aku dan Fahri di luar, dengan luka yang tak akan pernah sembuh.
-------------------------------
Malam semakin dingin, lapangan masjid yang tadi ramai kini sepi, hanya sisa sampah makanan dan aroma kopi yang masih tercium di udara. Aku, Anto, berdiri dengan lutut lemas di luar tenda putih mewah, hati remuk setelah melihat Fitri, istriku, duduk di pangkuan Habib Hamza, dirangkul, dielus, dan diperlakukan seperti istri di depan puluhan laki-laki yang bersorak. Fahri, anakku, memegang tanganku, wajahnya polos, tapi kata-katanya membuatku semakin terpukul, “Yah, Bunda lagi dicium-ciumin Habib, kayak Yah sama Bunda di rumah,” katanya dengan suara lugu, matanya bening tanpa dosa, seolah mencium dan mesra-mesraan adalah hal biasa yang dilakukan orang dewasa, bukan hanya untuk suami istri. Aku menatapnya, mulutku terkunci, jantungku seperti dihantam, tak percaya anakku melihat tindakan itu sebagai sesuatu yang lumrah, sementara hatiku tercabik oleh cemburu dan rasa takut kehilangan.
Fahri menarik tanganku, berusaha membuatku bangkit dari tanah, “Bunda dielus-elus sama Habib, disayang-sayang, kayak Yah elus Bunda tiap malem,” lanjutnya, suaranya ceria, tangannya menunjuk ke tenda putih tempat tawa dan sorak-sorai masih menggema. Dia tersenyum kecil, seperti menceritakan hal sepele, tak tahu bahwa setiap katanya seperti pisau yang menusuk dadaku, membandingkan zina yang kulihat dengan kasih sayang yang kuberikan pada Fitri di rumah. “Fahri, Bunda ngapain di situ? Ceritain sama Ayah,” desakku, suaraku gemetar, berharap ada penjelasan yang bisa meredakan luka ini, tapi Fahri hanya menggeleng, “Nggak tahu, Yah, Bunda cuma ketawa, kayak seneng gitu, Habib bilang Bunda cantik,” katanya, kata-kata itu membuatku semakin lemas, membayangkan Fitri menikmati sentuhan pria lain, diperhatikan seperti yang kini jarang kulakukan karena lelah bekerja.
Aku memeluk Fahri, menyembunyikan air mata yang mulai jatuh, “Yah, kita pulang aja, Bunda kelamaan,” katanya, suaranya mulai cemas, tapi aku tak bisa bergerak, mataku masih tertuju ke tenda, tempat Fitri dirangkul, dielus, dan dicium jilbabnya oleh Habib Hamza, tontonan yang kini dianggap wajar oleh anakku sendiri. Sorak-sorai dari tenda masih terdengar, “Ummi Fitri, bidadari habib!” teriak seseorang, disambut tawa, membuatku merasa tak berharga, seperti suami yang gagal menjaga istri dan anaknya dari pandangan dunia. “Fitri, kenapa kamu biarin dia gitu? Fahri sampe bilang itu biasa…” gumamku, suaraku tenggelam oleh udara malam yang dingin, aroma sampah dan kambing panggang bercampur dengan luka di hatiku, meninggalkanku dengan cemburu yang tak terucapkan, sementara Fahri berdiri di sampingku, tak tahu bahwa kata-katanya yang lugu telah menghancurkan duniaku lebih dalam.
735Please respect copyright.PENANAamaq7Sq4KZ
TO BE CONTINUED
735Please respect copyright.PENANAjXqZP7HI9x
-------------------
Support cerita sumberbarokah supaya bisa terus update setiap hari dengan beli cerita di
https://victie.com/app/author/82829
2 cerpen berbayar:
SYAKIRAH SI SUCCUBUS BERHIJAB
JADI SELINGKUHAN UMMA
735Please respect copyright.PENANASOm7otOkay